Bagaimana cara kerja resleting? Gambarkan di selembar kertas bagaimana sebenarnya cara kerja resleting! Tambahkan sedikit penjelasan, seolah-olah Anda sedang berusaha memberi penjelasan kepada seseorang yang belum pernah melihat resleting. Ambil waktu beberapa menit. Apakah mudah bagi Anda menjelaskannya?
Leonid Rozenblit dan Frank Keil, peneliti di Universitas Yale, mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu kepada ratusan orang. Bagaimana cara kerja toilet? Bagaimana cara kerja baterai? Hasilnya selalu sama: kita pikir, kita memahami hal-hal itu dengan baik, sebelum akhirnya dipaksa atau terpaksa untuk menjelaskannya. Hanya setelah itulah kita menyadari betapa minimnya pengetahuan kita. Itulah ilusi pengetahuan!
“Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”Tanya seorang ahli Taurat kepada Yesus. Pertanyaan ini bisa masuk dalam ranah ilusi pengetahuan. Ilusi, oleh karena ia merasa sudah begitu tahu. Ahli Taurat merasa diri sudah menguasai jawaban yang standar menurut kaidah hukum yang selama ini dianutnya. Namun, ternyata pengetahuannya itu hanya sekedar ilusi. Tidak benar-benar menuntunnya menjadi orang yang berhikmat. Pengetahuan itu dipakai hanya untuk menguji dan menjatuhkan orang. Maka Yesus meminta orang itu untuk melakukan apa yang ia ketahui.
Untuk pembenarannya – dan ini sekaligus mengukuhkan dirinya terjebak dalam ilusi pengetahuannya sendiri – ahli Taurat itu mengajukan pertanyaan lain, “Dan siapakah sesamaku manusia?”Sepertinya pertanyaan ini begitu naif. Namun, tidaklah sesederhana itu ketika kita meletakkannya pada konteks sosial zaman itu. “Sesama manusia”, dipahami sebagai orang-orang yang berada dalam ikatan keluarga, saudara, bangsa dan paling banter adalah mereka yang berasal dari bangsa lain yang menyatakan diri untuk mengikuti ajaran-ajaran Yahudi (proselit). Di luar itu sulit menganggap orang lain sebagai sesama yang harus dihormati, dicintai dan dikasihi. Orang-orang Yahudi menganggap orang-orang Samaria sebagai musuh. Kalau demikian pemahamannya, maka bisa jadi ahli Taurat ini telah melakukannya. Ia merasa bahwa dirinya telah mengasihi “sesamanya”, dalam hal ini keluarganya, saudaranya, teman sebangsanya atau orang lain yang mengikuti ajarannya. Jadi, apa lagi yang kurang?
Yesus membuka cakrawala berpikir tentang sesama manusia itu menggunakan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati. Yesus mengisahkan tentang seseorang yang mengalami musibah. Dirampok dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yeriko. Jalan ini dikenal sering menjadi ajang perampokan. Jalan ini merupakan jalan berbukit-bukit cadas yang memiliki banyak dinding gua yang sering kali dipakai sebagai tempat persembunyian para penyamun.
Orang yang dirampok itu dipukuli, dan ditinggalkan pergi begitu saja dengan sekujur tubuh penuh luka. Ia sekarat,setengah mati. Dalam kondisi inilah, Yesus menggambarkan ada tiga orang dengan tiga sikap yang berbeda terhadap korban perampokan ini.
Orang pertama adalah seorang imam. Imam adalah seorang pelayan di Bait Allah. Tentu banyak orang yang menghormati karena ia adalah abdi Allah. Bagaimana sikap sang imam ini terhadap korban? Imam itu melihat orang yang terluka setengah mati itu, tetapi melewatinya dari seberang jalan. Orang kedua adalah seorang Lewi. Suku Lewi sangat dihormati oleh komunitas Yahudi karena dari suku itulah para imam ditahbiskan. Apa yang dilakukan orang Lewi ini? Percis sama seperti apa yang dilakukan sang imam. Ia lewat begitu saja di seberang jalan. Tidak dijelaskan oleh Yesus apa alasannya sang imam dan orang Lewi tidak mau menolong korban perampokan itu. Yang lebih penting ditonjolkan adalah pilihan bahwa kedua petinggi Yahudi itu melewati orang malang itu di seberang jalan. Entah apa pun alasan yang mereka miliki, yang jelas mereka tidak menolong orang yang sedang sekarat itu.
Kemudian datanglah seorang Samaria. Kita masih ingat, bacaan Injil Minggu lalu tentang sebuah desa yang dihuni oleh orang-orang Samaria. Penduduk desa itu menolak Yesus yang ingin melewati daerah mereka untuk menuju Yerusalem. Yohanes dan Yakobus menawarkan untuk meminta api turun dari langit untuk membinasakan desa mereka itu. Artinya, dalam diri para murid pun sudah tertanam gambaran negative terhadap orang Samaria. Bagi kebanyakan orang Yahudi, orang Samaria bukanlah orang yang pantas untuk dihormati. Mereka melakukan kawin campur dengan bangsa asing, tidak memelihara hukum Taurat dengan baik. Pendek kata mereka tidak bersih dan harus dihindari. Ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus pastilah sangat tahu akan situasi sosial seperti ini. Tetapi sekarang ia harus mendengar kisah tentang kebaikan orang Samaria! Tentu ini bukan soal main-main karena dua petinggi Yahudi tidak melakukan apa-apa untuk membantu orang yang sedang sekarat itu. Si ahli Taurat juga tentu penasaran – jika petinggi Yahudi tidak melakukan tindakan apa pun, apalagi orang Samaria!
Sekarang, fokus perhatian terarah seluruhnya kepada orang Samaria ini. Hal pertama yang dikatakan Yesus adalah tergeraklah hatinya oleh belas kasihan(Lukas 10:33). Bukankah ini yang sering kali menggerakkan Yesus untuk melakukan tindakan pemulihan? Hati-Nya diliputi oleh belas kasihan; belarasa! Ketika melihat anak janda Nain yang mati, hati Yesus tergerak oleh belas kasihan (Lukas 7:13). Hal yang sama dinyatakan Yesus dalam kisah mengenai bapa yang menyambut anak bungsunya kembali pulang (Lukas 15:20). Melalui Nabi Hosea, Allah menyatakan bahwa yang Ia kehendaki adalah belas kasihan dan bukan persembahan (Hosea 6:6). Belarasa merupakan inti dari semangat hidup sebagai sesama. Belarasa atau belas kasihan berarti peka untuk melihat kebutuhan sesamadan melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan itu.
Belas kasihan itu yang membuat seseorang bertindak. Orang Samaria itu membalut luka-luka korban perampokan itu. Ia menyiraminya dengan minyak, menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri. Ia membawanya ke tempat penginapan, merawatnya. Ketika meninggalkan penginapan, ia menyerahkan uang kepada pemilik penginapan itu dan memintanya untuk merawat si korban yang malang itu. Semuanya itu adalah tindakan konkrit yang menegaskan sikap belarasa. Belarasa bukan sekedar sentimental, perasaan, tetapi juga ungkapan nyata dalam tindakan.
Setelah menyelesaikan cerita-Nya, Yesus bertanya dengan pertanyaan serupa, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”(Lukas 10:36). Kali ini pun ahli Taurat itu menjawab dengan benar,”Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.”(Lukas 10:37). Yesus menutup perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati itu dengan pesan agar ahli Taurat itu – tentu juga para pendengar-Nya – untuk melakukan seperti apa yang dilakukan oleh orang Samaria itu.
Melalui kisah perumpamaan ini, Yesus menunjukkan sikap seperti apa yang harus dibangun dan dimiliki oleh para murid dalam hubungan mereka dengan orang-orang yang hidup di sekitar mereka. Yang harus dibangun adalah sikap kepedulian, bukan sikapabai,seperti sang imam dan orang Lewi, yang melihat orang susah dari seberang jalan. Orang Samaria yang selama ini mempunyai stigma buruk, ternyata mampu menampilkan karakter dan sikap yang sama seperti sikap Kristus.
Dari kisah perumpamaan ini kita juga belajar. Bisa jadi kebanggaan, kehormatan, kedudukan, pengetahuan kita justru menjadi penghalang untuk kita dapat mengembangkan kepedulian dan menjadikan semua orang itu sebagai sesama. Sangat mungkin jugakedudukan sebagai imam atau orang Lewi, itu menghalangi mereka untuk menyentuh orang yang sedang sekarat. Dengan menyentuh orang yang mungkin saja dari pandangan mereka sudah mati dan tidak dikenal, syareat agama mereka membentengi untuk bersentuhan. Sebaliknya, orang Samaria tidak ada batasan, bahkan mereka sudah kadung dianggap orang-orang yang najis. Tidak ada penghalang buat mereka bersentuhan dengan orang yang nyaris mati itu. Tidak ada hukum yang menghalangi bahkan menyentuh mayat sekalipun.
Mestinya, hukum-hukum Tuhan itu bukan menjadi pembatas apalagi membangun dinding pemisah dan menara kebanggaan, melainkan justru untuk mengembangkan kepedulian dan belarasa khususnya kepada mereka yang tertindas, tersisih dan menderita.
Jakarta, 9 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar