Indonesia konon terkenal dengan keramahtamahannya. Benarkah? Bisa “ya”, namun bisa juga “tidak”. Itu semua tergantung di mana dan dalam konteks apa. Ketika kita berjalan-jalan ke perkampungan, dusun-dusun yang jauh dari ingar-bingar polutan bisnis, sangat mungkin menjumpai warganya yang menegur ramah, tersenyum seolah mengajak larut dalam persahabatan. Ini sangat sulit kita jumpai di tengah masyarakat yang terpapar oleh sentimenprimordial dan budaya egosentrisme.
Jepang merupakan negara moderen yang dapat mepertahankan keramahtamahan sebagai ciri utamanya. Omotenashi adalah kosa kata Jepang tentang keramahtamahan. Kata ini merupakan gabungan dari dua karakter kanji, yaitu : “omote” yang berarti “depan”, dan “nashi” yang berarti “tidak ada”. Istilah ini mengacu pada sesuatu yang dapat dilihat (terletak di depan) dan yang tidak dapat dilihat (seperti jiwa). Singkatnya, omotenashi berarti melayani tamu dengan sepenuh hati. Konon, kata ini semakin menjadi populer ketika Jepang mengajukan diri sebagai tuan rumah pelaksanaan Olympic Games di Tokyo pada 2020 mendatang. Mereka siap menyambut siapa pun dengan keramahtamahan.
Omotenashi telah merasuk dalam sendi-sendi kehidupan orang Jepang. Tidak mengherankan bila kita melewatkan waktu di sebuah ryokan (losmen tradisional), kita akan dilayani layaknya tamu hotel bintang lima. Awalnya budaya keramahtamahan Jepang ini dimulai pada momen penyajian teh pada saat perjamuan atau kehadiran tamu. Sapaan santun dengan bahasa formal adalah basicyang harus dipelajari oleh setiap pekerja di Jepang. Hal yang sangat mendasar dalam budaya omotenashi adalah frasa “Ichi-go ichi-e” yang dapat diterjemahkan, “Saya sangat bersyukur dapat bertemu dengan Anda. Karena itu, izinkansaya akan melakukan hal terbaik saat ini, kalau-kalau kita tidak dapat bertemu kembali!”
Keramahtamahan yang penuh kehangatan dan ketulusan ini bukan hanya terlihat dari makanan dan minuman yang disajikan tetapi juga dari kehangatan sambutan, perhatian pada detail, dan “kehadiran” tuan rumah.
Pada dasarnya setiap orang ingin perlakuan ramah. Ramah bukan sekedar basa-basi. Bukan pula jamuan; makan-minum yang disajikan. Kedua hal ini – bahasa yang ramah dan penyajian makanan atau minuman – harus ditempatkan pada “dampak” atau “buah” dari seseorang yang memiliki hati yang tulus, ramah dan terbuka terhadap kehadiran orang lain. Sebab, bisa saja bahasa yang manis dan penyajian makanan dan minuman itu dilakukan dengan motif yang bertentangandari ketulusan atau keramahan itu sendiri.
Keramahtamahan adalah budaya umum bangsa-bangsa Timur, termasuk juga bangsa Yahudi. Kisah Abraham dan Sara yang menyambut tiga orang tamu (Kejadian 18:1-10) menegaskan itu. Keramahan itu ditunjukkan dengan sikap dan dengan pelbagai hidangan yang disiapkan untuk ketiga tamu itu. Bahkan, mereka melakukannya sebelum mengetahui bahwa ketiga tamu itu tidak lain adalah utusan TUHAN yang mengulangi pernyataan janji Allah terhadap Abraham.
Keramahtamahan juga tergambar dalam bacaan Injil hari ini. Peristiwanya, Yesus Bersama para murid dalam sebuah perjalanan singgah di rumah Marta dan Maria. Martalah yang mula-mula menerima Yesus. Kemudian Marta menyibukkan diri dengan pelbagai pekerjaan menyiapkan hidangan bagi tetamu kehormatan itu. Sedangkan Maria duduk dekat kaki Yesus dan mendengarkan apa yang dikatakan Yesus. Marta gusar oleh karena ia merasa bekerja seorang diri. Ia mengeluh kepada Yesus dan meminta-Nya agar Maria membantunya. Di sepanjang masa, kisah ini ditafsirkan dengan berbagai cara. Antara lain, sebagai contoh adanya dua tipe manusia Kristen. Pertama, tipe Marta. Ia sangat aktif, sibuk menyiapkan berbagai kebutuhan; makanan dan minuman, hidangan agar para tamu dapat dijamu dengan baik. Kedua, tipe Maria. Ia seorang yang kontemplatif, yang bersimpuh di kaki Yesus “menyibukkan” diri dengan sabda dan doa.
Ada sejumlah ahli tafsir yang berpendapat bahwa, alasan Yesus menegur Marta oleh karena Ia tidak mengharapkan bermacam-macam hidangan. Cukuplah bila Marta menyediakan satu jenis makanan saja. Seandainya Marta bersikap demikian, maka sama seperti Maria, ia pun akan punya cukup waktu untuk mendengarkan sabda Tuhan dan punya relasi khusus dengan Allah. Ada pula yang berpendapat, jika saja Marta melayani dengan gembira dan tidak merasa diri paling sibuk melayani, maka tidak akan terjadi teguran Yesus terhadapnya dan pembenaran terhadap sikap Maria. Semua penting, baik yang melayani kebutuhan jasmani maupun rohani, yang penting dilakukan dengan gembira dan tidak menganggap diri paling utama lalu merendahkan orang lain.
Marta pasti tidak mengharapkan jawaban Yesus seperti itu. Bisa jadi ia juga tambah jengkel karena justru Yesus memuji Maria. Lukas sering berbicara tentang kekhawatiran yang tidak boleh dibiarkan berkembang dalam hati para murid Yesus. Orang bisa “terhimpit oleh kecemasan”, sehingga sabda Tuhan tidak menghasilkan buah. Pendengar sabda Yesus tidak boleh khawatir tentang makanan dan pakaian (Lukas 12:25, dst). Sebab, bila khawatir, mereka akan terperangkap dalam pola hidup manusia pada umumnya. Jadi, Yesus tidak mengkritik pelayanan yang diusahakan oleh Marta, melainkan pola pikirnya dan kerepotannya sehubungan dengan “banyak hal” di mana itu semua mencerminkan kekhawatirannya sendiri. Marta tenggelam ke dalam urusan domestik: makanan dan minuman untuk tamu-tamunya. Itulah yang memenuhi hatinya dan itulah satu-satunya yang dia anggap penting. Begitulah cara Marta melayani Yesus! Dan pikirnya, dengan cara itu paling tepat melayani Yesus. Marta tidak menyadari bahwa ada waktu untuk “bekerja” bagi Yesus, tetapi juga ada waktu menghadirkan diri dengan duduk tenang dan mendengarkan-Nya.
Sikap yang ditunjukkan Marta alih-alih keramahtamahan justru sebaliknya. Ia merusaknya, oleh karena merasa paling sibuk melayani. Meminjam budaya omotenashi, keramahan itu bukan saja tercermin dalam hidangan cukup dan enak. Tetapi juga dari kehangatan sambutan, perhatian pada detail, dan “kehadiran” tuan rumah. Walaupun di awal, Martalah yang menyambut Yesus terlebih dahulu, namun ia memilih “tidak hadir”. Sebaliknya, Maria memanfaatkannya sebagai momen yang “langka”. Lagi meminjam budaya keramahan Jepang, seolah Maria mengatakan, “Ichi-go ichi-e, Saya sangat bersyukur dapat bertemu dengan Anda. Karena itu izinkan saya melakukan hal terbaik saat ini, kalau-kalau kita tidak dapat bertemu kembali!”
Maria telah melakukan hal terbaik, dan untuk itu Yesus mengapresiasinya, “Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya” (Lukas 10:42). Hal terbaik itu telah dilupakan oleh Marta karena ia menyibukkan diri dengan berbagai hal. Hal terbaik yang dipilih oleh Maria adalah duduk di dekat kaki Yesus dan mendengarkan setiap ajaran-Nya. Pada saat itu, bukan mereka yang harus melayani Yesus. Yesuslah yang datang untuk melayani mereka. Kini yang mereka butuhkan adalahmenyambut Yesus dan mendengarkan Dia. Baru sesudah itu, dengan ajaran dan firman yang telah mereka dengar, mereka akan melakukannya: melayani orang lain sebagaimana Yesus melayani mereka.
Keramahtamahan merupakan kata yang enak didengar tetapi tidak mudah melakukannya. Dalam bacaan Injil hari ini, keramahtamahan itu sangat erat kaitannya dengan pilihan. Pilihan untuk menyibukkan diri dengan berbagai hal atau duduk diam mendengarkan? Pilihan untuk menganggap diri paling penting, paling hebat, paling responsif atau mengutamakan orang lain? Bisa saja kita terjebak merasa diri telah melakukan pelayanan dan ramah. Namun, ketika meletakkan keramahtamahan sebagai tujuan, kita akan merasa diri paling ramah dan paling bisa melayani. Di sinilah kita gagal mengartikan tentang keramahtamahan sebagai nilai! Keramahtamahan bukanlah tujuan, melainkan buah,dampak, atau nilaiyang tertanam dalam hati.Hati yang dipenuhi oleh kegembiraan dalam menyambut Tuhan atau orang lain. Dengan hati yang seperti ini, akan menghasilkan tindakan yang ramah itu. Dengan hati seperti ini maka jelaslah fokusnya bukan pada diri sendiri, melainkan pada pihak atau orang lain. Dampaknya, tidak akan pernah merasa diri paling aktif, paling berguna, paling hebat dan paling bisa melayani. Namun, bersedia mendengar dan melakukan apa yang perlu dilakukan.
Sudah saatnya gereja harus berbenah diri menghadirkan keramahan. Tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang pada akhirnya bukan prioritas atau tidak berguna. Mencari nama, mementingkan diri sendiri dan menilai negatif orang lain yang berbeda dalam bentuk pelayanan adalah contoh-contoh ketidak ramahan dan itulahyang dikecam Yesus. Berusahalah agar jangan kita pun dikecam oleh Yesus!
Jakarta, 18 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar