Ayah sahabat baiknya berkata, “Mulai hari ini kamu tidak boleh lagi bermain dengan anakku!”
Kaget dan tak percaya, “Mengapa tidak boleh?”
Dengan gelisah, ayah sang sahabat itu menjawab, “Karena kami berkulit putih dan engkau memiliki kulit berwarna!”
Demikian sekilas dialog Martin Luther King Jr. kecil ketika ia tidak lagi diperbolehkan bergaul dengan sahabatnya.
“Aku mempunyai mimpi. Mimpiku adalah suatu hari, pemerintah, anak-anak kulit hitam, dan anak-anak kulit putih di Kota Alabama tempat para rasis menjijikkan, dapat menjadi saudara dan saling berjabat tangan. Ini adalah harapan kita semua. Karena memiliki harapan inilah aku kembali ke Selatan. Jika kita memiliki keyakinan, suatu saat pasti akan diperoleh kebebasan asalkan mau berusaha, berdoa, masuk penjara, dan juga berjuang Bersama demi kebebasan. Hari ketika mimpiku menjadi kenyataan pasti akan segera datang.”
Itulah pidato terkenal dari Martin Luther King Jr. Pada tanggal 23 Agustus 1963 di depan Lincoln Memorial Hall, Washington yang dihadiri lebih dari dua ratus ribu orang. “Di dunia ini, semua hal terwujud karena adanya harapan.” Itulah pesan Martin Luther King, pelopor gerakan “tidak melawan dan tidak melakukan kekerasan” dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan hak. Ia menghadapinya dengan cinta kasih. Bukan dengan kekerasan!
Pada masa King Jr. berjuang, di kota Montgomery diberlakukan peraturan pemisahan tempat duduk di bus berdasarkan ras. Lambat laun, menjadi terbiasa mengkhususkan tempat duduk hanya untuk orang kulit putih dan penumpang kulit hitam diminta untuk bediri jika tempat duduknya dibutuhkan. Kemudian, pada suatu hari, Rosa Parks, seorang perempuan kulit hitam, menolak berdiri untuk memberikan tempat duduknya sehingga ia ditangkap dan harus membayar denda. Setelah kejadian itu, selama lebih dari satu tahun Martin Luther King menggalakkan aksi “tidak naik bus”. Dampaknya? Tentu saja orang-orang kulit hitam yang tidak mempunyai kendaraan harus berjalan kaki. Sebaliknya, untuk sementara orang kulit putih puas karena tidak lagi menjumpai orang kulit hitam di dalam bus.
Namun, di luar dugaan solidaritas orang kulit hitam meningkat. Mereka yang mempunyai kendaraan berpartisipasi memberikan tumpangan. Ada juga di antara mereka yang rela menemani berjalan, sampai naik kuda untuk pergi ke mana-mana. Martin Luther King mendapat ancaman pembunuhan. Namun, ia tidak gentar dan sampai akhir melakukan aksi itu. Akhirnya, diskriminasi ras di dalam bus dihapuskan.
Tak pelak lagi, aksinya memperjuangkan keadilan tanpa kekerasan terinspirasi oleh Mahatma Gandhi. Gandhi tidak pernah menggunakan kekerasan. Kekerasan hanya akan membawa kebencian dan mengundang lebih banyak kekerasan. Gandhi mengatakan kepada masyarakat India untuk melawan musuh dengan kekuatan jiwa. Gandhi mengatakan kepada mereka untuk membalas benci dengan cinta. Gandhi menyebutnya “perang tanpa kekerasan”. Dan itu terbukti membawa India pada kebebasan.
Martin Luther King Jr. berpikir bahwa Black Americandapat menggunakan cara Gandhi untuk memenangkan kebebasan mereka. Bukankah cara Gandhi juga adalah cara Yesus Kristus? Bukankah Kristus juga mengatakan kepada para murid-Nya untuk, ”memberikan pipi yang lain manakala seseorang menampar mereka?” Bukankah Yesus mengajarkan untuk, “mendoakan dan memberkati mereka yang menganiaya kamu?” Gagasan menggunakan cara-cara damai dan kasih untuk melawan kejahatan disebut anti-kekerasan. Apakah itu cara pengecut? “Tidak!”, kata King. Butuh keberanian dan kekuatan lebih untuk tidak memukul balik bila dipukul!
King Jr. banyak belajar dari Gandhi dan Gandhi, meski bukan seorang Kristen, ia belajar dari Injil, khususnya “Khotbah di Bukit”. Mereka menemukan Mutiara indah dan air surgawi penyegar padang gurun dunia yang penuh dengan ketidak-adilan. Mereka berhasil membumikan ajaran-ajaran Yesus dalam konteksnya masing-masing meski sama seperti Kristus, harus membayar dengan nyawanya masing-masing. Bukankah di sini kita dapat menemukan dan belajar arti dari sebuah pengutusan? Diutus bukan untuk menaklukkan, bukan juga untuk mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya. Melainkan menyebarkan cinta-Nya, menyemai benih-benih perdamaian dan keadilan, serta hidup berdampingan rangkulan cinta kasih.
Pada mulanya para murid dipanggil untuk mengikut Yesus. Mereka hidup Bersama, melihat, mengamati, bergumul dan merasakan apa yang dirasakan Yesus. Mereka melihat firman yag diperagakan itu. Ya, Yesus adalah contoh pertama dan utama dari pengajaran-Nya! Kini, Yesus menginginkan mereka juga dapat meneruskan kepada orang-orang lain agar kasih itu tidak hanya menjadi milik mereka. Mereka sudah dilatih, kini mereka harus juga dapat melatih orang lain.
Yesus menyatakan konteks tugas perutusan itu. Gambaran yang dipergunakan Yesus adalah gambaran tentang panen yang melimpah. “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit”(Lukas 10:2). Pemberitaan yang dilakukan Yesus sampai saat itu sudah menarik begitu banyak orang yang datang kepada-Nya. Namun, rupanya mereka tidak mencukupi untuk melayani sekian banyak orang yang datang kepada Yesus.
Oleh karena itu Yesus meminta agar mereka minta kepada Tuan yang empunya tuaian supaya mengirim pekerja-pekerja untuk tuaian itu. Tetapi meminta saja tidaklah cukup. Maka selanjutnya, Yesus mengatakan, “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala” (Lukas 10.3). Ada dua hal yang dikatakan Yesus. Pertama, Ia mengutus mereka dan yang kedua, gambaran tentang mereka dan ke mana mereka diutus, yakni: seperti domba diutus ke tengah-tengah serigala.
Sekali lagi Yesus menunjukkan bahwa tugas pengutusan itu bukanlah tanpa risiko. Gambaran yang dipergunakan Yesus sangatlah mengena. Para utusan itu akan seperti domba di tengah-tengah serigala. Artinya, ancaman yang harus mereka hadapi sangatlah besar. Mereka bisa berhadapan dengan para penguasa yang haus darah. Atau seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr. Bisa juga berhadapan dengan kemunafikan, penganiayaan, dan lain sebagainya. Di tengah-tengah kondisi itu domba tidak boleh berubah menjadi serigala. Domba harus taat dan setia, mendengar suara Sang Gembala.
Apakah ancaman hebat itu harus membuat mereka gentar? Tidak! Apakah mereka harus melengkapi diri dengan segala hal yang mereka perlukan untuk perjalanan dan tugas pengutusan itu? Tidak juga! Yesus melarang mereka untuk membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut. Mereka tidak boleh berpindah-pindah rumah dan harus makan serta minum apa yang disediakan bagi mereka. Larangan-larangan ini tidak harus diartikan secara harfiah. Makna sesungguhnya sangat dalam. Seorang utusan Yesus belum tentu dipanggil untuk meninggalkan tempat, lalu berjalan tanpa bekal apa pun. Yang terpenting di sini adalah pemutusan dengan pola hidup dunia ini. Manusia yang bukan utusan Yesus, pada umumnya mementingkan “punya” dan “bicara”. Seorang utusan Yesus tidak boleh terperangkap dalam pola mentalitas seperti itu. Dengan tidak mempunyai uang dan dengan tidak menyalami orang sepanjang jalan, relasi para utusan Yesus dengan orang yang akan mereka datangi tidak akan dilandasi atau diukur menurut jenis “pertukaran” atau barter yang berlaku umum (berupa uang atau kata-kata yang umumnya basa-basi).
Kemudian, Yesus menyatakan bahwa para utusan itu harus menjalankan tugas mereka: sembuhkanlah orang-orang sakit dan beritakanlah bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Mereka diutus untuk terlibat dalam inti urusan Yesus sendiri, yakni : untuk menyembuhkan banyak orang dan mewartakan Kerajaan Allah.
Gereja adalah tempat atau sarana di mana Tuhan memanggil kita menjadi murid-murid-Nya. Di gereja pula kita bersekutu, dilatih untuk mengenal, mengerti dan memahami kehendak Allah. Di gereja kita diajari cinta kasih, pelayanan dan pengampunan. Di gereja kita berlatih untuk mempraktikan apa yang sudah didengar dan dipahami. Selanjutnya, setiap kita diutus dalam konteks dunia kita masing-masing untuk “menyembuhkan” banyak orang dan mewartakan Kerajaan Allah. Benar, kita bukan dokter yang ditugasi untuk memulihkan dan menyembuhkan pasien. Namun, bukankah di sekitar kita ada banyak orang-orang yang “sakit” namun mereka tidak menyadari. Mereka yang sakit hati, sakit spiritualitas, lumpuh iman dan pengharapan. Di sanalah Tuhan mengutus kita. Simptom kesakitan itu muncul dalam perilaku hidup egois, serakah, ketidak-adilan, rasisme, kebencian, permusuhan, pendeknya kehidupan menurut daging. Kita semua tahu, unjungnya adalah maut.
Setiap anak Tuhan dipanggil untuk menyatakan damai sejahtera. Tentu bukan sekedar ucapan bibir saja, melainkan harus berani mewujudkannya. Ya, tidak mudah – itulah sebabnya Yesus mengatakan seperti domba di tengah-tengah serigala – namun, kita harus mewujudkannya. Biarlah, kita tidak hanya sibuk melayani di gereja, melainkan menindak-lanjutinya dalam dunia kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar