Kamis, 30 Mei 2019

KESATUAN YANG SEMPURNA

Indonesia dibangun atas dasar Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Para pendiri negeri ini sangat menyadari bahwa Indonesiaterdiri dari pelbagai keragaman: suku, etnisitas, budaya, bahasa, agama atau keyakinan, dan sebagainya. Maka Indonesia tidak memilih menjadi negara agama atau menjadikan salah satu suku bangsa tertentu menjadi pilar pokok negara. Tidak! Bineka Tunggal Ika dipilih sebagai semboyan kehidupan kita berbangsa dan bernegara. “Berbeda-beda tetapi tetap satu”! Demikian makna dasar dari semboyan itu. Kesatuan tidak menghilangkan keanekaragaman itu, melainkan tetap memberi ruang kepada setiap perbedaan yang merupakan identitas elemen-elemen bangsa itu; menghormati eksistensi yang berbeda-beda itu sambil tetap merasakan kesehatian, solideritas dan persaudaraan di antara sesamaanak bangsa. 

Namun belakangan ini, dalam pesta demokrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah maupun Pemilihan Umum Presiden dan anggota Legislatif, NKRI yang berpuluh tahun dibangun terancam oleh politik praktis identitas. Politik identitas muncul oleh karena kompetensi atau kemampuan orang-orang yang berkompetisi dalam pemilu itu sangat minim. Politik identitas mengusungdan menyarakankesamaan aliran dalam beragama, kesamaan suku, dan etnisitas mencoba merobek anyaman kebinekaan itu hanya untuk kepentingan sesaat. Kekuasaan! Banyak orang tidak menyadari pengaruh ini begitu kuat merembes dan menjadi virus pemecah belah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, kelompok satu dengan yang lain saling curiga bahkan menganggapnya sebagai musuh!

Masalah kesatuan ternyata bukan hanya persoalan di ranah bangsa,negaraatau politik. Ia juga dapat menjadi problem besar untuk sebuah kehidupan umat percaya. Kalau melihat sejarah kehidupan umat percaya: bukan intimidasi, tekanan atau penganiayaan yang dapat meluluh-lantakan sebuah komunitas orang percaya. Kehancuran itu justru terjadi ketika ada perpecahan dalam komunitas itusendiri. Lihatlah, sejarah kekristenan di Timur Tengah, Turki, Semenanjung Arab, Afrika Utara, bahkan sampai Eropa. Perpecahan dalam komunitas umat membuat umat itu terpecah belah, bekeping-keping dan mudah untuk ditaklukkan.

Inilah yang menjadi keprihatinan Yesus. Maka Yesus – sebelum kepergian-Nya – mendoakan agar para murid bersatu. Bila diamati dalam konteks zaman Injil Yohanes ditulis, pokok ini amat serius. Dari dahulu para murid Yesus tidaklah berasal dari kalangan yang seragam, setingkat, atas seasal. Perbedaan satu sama lain cukup besar. Kisah Para Rasul mencatat hal itu juga. Nah, apakah banyaknya perbedaan itu menjadi alasan untuk mereka bertindak sendiri-sendiri? Tidak! Justru keragaman itu dipandang sebagai sumber kekuatan untuk mereka bersatu. Ini paradoks kehidupan komunitas. Karena perbedaan itu eksis atau ada dan dirasakan, maka semakin dirasakan pula kebutuhan untuk bersatu. Di sinilah kita harus memahami bahwa kesatuan itu bukanlah keseragaman. Sebab kalau dipahami demikian, tidak ada gunanya kita bicara tentang kesatuan.

Keragaman yang kemudian dipadukan, di situlah letak kekuatan baru yang lebih dasyat. Begitulah doa Yesus. Di sini Ia memberi ruang agar setiap orang berkembang seleluasa-leluasanya, tetapi juga agar mereka memerhatikan satu dengan yang lain sehingga menghasilkan sesuatu yang baru.

Kesatuan dalam doa Yesus itu didasarkan pada kesatuan diri-Nya dengan Sang Bapa. Ungkapan ini mungkin saja terasa begitu sangat teoritis, bahkan sarat dengan muatan mistik dan sulit dimengerti. Namun, Yohanes tidak mengajak kita berpikir ruwet. Ia mengajak kita memakai cara berpikir yang sangat biasa. Begini, kesatuan antara Yesus dan Sang Bapa itu jelas bukan kesatuan kesenyawaan sehingga yang satu sama persis dan melebur dengan yang lain. Ini tidak benar! Sebab kalau begitu untuk apa Yesus hadir kedunia? Kesatuan yang ditonjolkan ini adalah kesatuan yang timbul karena yang satu patuh dan yang lain menaruh perhatian; Yesus sebagai Anak, patuh, taat, setia pada kehendak Sang Bapa. Pada pihak lain, Bapa menopang dan meneguhkan apa yang dilakukan Sang Anak. Jalas tidak sama, tetapi keduanya membangun keselarasan. Inilah kesatuan yang ingin dikatakan Yesus!

Kesatuan kasih antara Bapa dan Anak itu bukan hanya contoh atau model untuk kesatuan murid-murid Yesus, tetapi juga menjadi dasar dan sumbernya untuk mereka bersatu. Murid-murid ditarik atau dihisabkan ke dalam kesatuan antara Yesus danBapa; diangkat ke dalam kesatuan ilahi itu. Atau bisa dikatakan secara terbalik seperti dalam Yohanes 17:22 dan 26, “…,supaya mereka menjadi satu, sama seperti kita adalah satu….supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka.”Kesatuan Ilahi oleh Yesus dialirkan ke tengah-tengah para murid-Nya. Kasih Bapa yang ada di dalam Yesus, oleh Yesus dinyatakan di tengah-tengah mereka.

Kesatuan para murid dan selanjutnya kesatuan jemaat bertujuan misioner di tengah-tengah dunia yang tidak mengenal dan mengimani kasih setia Bapa (Yoh.17:25). Dunia itu menjadi alamat kasih Allah (Yoh.3:16). Kasih-Nya itu diterjemahkan melalui hidup dan pelayanan Anak-Nya. Kini, mereka yang belum mengenal dan menerima Yesus sebagai utusan Bapa, akan terus-menerus disapa oleh Bapa melalui kesaksian para murid Yesus yang diutus ke tengah dunia dan dengan kesatuan kasih para murid itu akan menunjukkan bahwa Yesus sungguh-sungguh berasal dari Bapa. Kesatuan kasih di antara para murid akan menjadi pesona bagi orang-orang “luar” untuk menerima Yesus sebagai utusan Allah, dan dengan demikian mereka menerima kasih Bapa.

Sebaliknya, ketika para murid atau selanjutnya pengikut Yesus gagal mewujudkan kesatuan kasih – malah bertikai satu dengan yang lain untuk kepentingan sendiri – di sini mereka menjadi batu sandungan atau penghalang bagi orang lain untuk mengenal, menerima, merasakan dan mengalami kasih Bapa. Kasih itu tertahan oleh karena keegoisan kita!

Tidak dapat dipungkiri, gereja dalam sejarahnya banyak mengalami perpecahan, pertikaian bahkan kemelut dan permusuhan. Yesus, Dia yang telah berdoa untuk persatuan, tentu saja menangis! Mungkin juga hati-Nya hancur. Bukan doa-Nya yang tidak mujarab, namun para pengikut-Nyalah yang enggan mewujudkan doa itu. Betapa ambisi pribadi telah merampas kasih Bapa bagi banyak orang. Haruskah sekarang gereja terus memikirkan egonya sendiri? Tidak sadarkah bahwa hal itu melukai hati Yesus?

Para murid atau orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus mestinya berupaya berjalan ke arah kesatuan yang diinginkan Yesus itu. Bukan untuk menjadi seragam atau sama. Tetapi masing-masing berfungsi seperti anggota tubuh yang berbeda-beda. Mengerjakan tugas yang berbeda-beda, namun “mengalir darah” yang sama, tujuan yang sama, yakni: meneruskan karya Yesus di bumi ini.

Yesus menyatakan bahwa kesatuan yang sempurna hanya bisa dicapai kalau Allah hidup semakin utuh dalam diri kita masing-masing, kalau kita berusaha untuk hidup kudus dengan menerima Yang Kudus di dalam diri kita, dan kalau kita masing-masing bersama-sama mulai memancarkan kehadiran Yesus dalam diri kita.

Kita semua mempunyai tugas yang harus dilaksanakan agar dapat menjadi tempat dari Yang Kudus di dalam hati kita untuk mencintai sebagaimana Ia mencintai. Kesatuan tidak datang dengan menerima struktur-struktur luar, atau hukum, dogma, atau ritual ibadah. Kesatuan itu muncul dari hidup yang mengalir dalam diri kita dan melalui kita Bersama. Kesatuan itu adalah hati dan budi yang diikat bersama karena hati dan budi kita relakan untuk diikat dalam persekutuan dengan Yesus. Kesatuan itu adalah nyanyian, perayaan syukur, tanda kemuliaan Allah. Dengan demikian eukumenitas tidaklah untuk mengajak orang masuk ke dalam anggota gereja tertentu, melainkan untuk mendorong semua, mulai dari diri kita sendiri, untuk mencintai Yesus secara sungguh-sungguh.

Kesatuan ini tidak hanya untuk orang-orang yang secara harafiah pengikut Yesus, tetapi untuk semua orang yang berusaha menghormati, mencintai mereka yang berbeda dan yang berusaha untuk hidup berdasarkan kebenaran yang mereka tangkap dalam suara hati mereka. Kesatuan ini untuk semua orang yang ditarik untuk dekat dengan mereka yang lemah, yang membutuhkan bantuan, dan yang tertindas serta yang menapaki jalan kasih dan jalan bukan kekerasan. Kesatuan ini adalah persekutuan yang mengikat hati Bersama-sama, hati yang dibentuk dalam berbagai tradisi agama yang berbeda. Dalam hati yang seperti ini berdetak kerinduan yang sama akan damai, akan kebenaran, akan keinginan untuk dipegang dalam rengkuhan kasih Allah. Kita adalah berbeda dan pada waktu yang sama menjadi satu dalam kerinduan hati kita.

Mewujudkan doa kesatuan yang disampaikan Yesus, menjadi berarti dalam konteks NKRI yang sedang terkoyak ini. Kita dipanggil untuk mewujudkannya tidak melulu dengan kata dan wacana, melainkan dalam tingkah polah prilaku kita. Damailah Indonesia!

Jakarta, Minggu Paskah VII 2019

Rabu, 29 Mei 2019

PEMULIAAN KRISTUS DAN KEHORMATAN UMAT

Sebuah kisah sukses sejatinya bukanlah cerita singkat. Ada proses perjuangan yang meletihkan bahkan nyaris putus asa. Banyak tokoh-tokoh dunia yang melegenda - nama dan karyanya tak lekang di telan waktu – justru ketika mereka berhasil mengalahkan diri sendiri. Mereka berhasil membebaskan diri dari rasa jemu, sakit, tersisihkan, dipermalukan, dianggap bodoh, bahkan ego diri. 

Thomas Alfa Edison Namanya tidak hilang ditelan bumi, ribuan kali ia melakukan pelbagai percobaan hingga tercipta karya-karya abadi. Nelson Mandela, lebih banyak menghabiskan hidupnya di dalam jeruji penjara. Namun, orang tidak pernah melupakan warisannya tentang pengampunan. Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Nigthtingale, Teresa, Zhou Enlai, mereka semua kita kenal sebagai tokoh-tokoh yang berani memilih jalan sulit demi kemanusiaan…dan, kemuliaan mereka tidak lekang di telan waktu! Ironis, banyak orang mengejar kemuliaan dengan cara-cara instan. Enggan melewati jalan terjal dan tidak sanggup mengendalikan diri. Sehingga jalan ego yang diutamakan.

Yesus memilih jalan terjal itu. Berkali-kali Ia menyampaikan peringatan itu kepada para murid. Namun, sejumlah itu pula mereka tidak memahami dan tetap berpegang pada jalan ego itu. Sehingga tidaklah mengherankan dalam penampakan setelah kebangkitan, mereka masih saja bertanya tentang mimpi-mimpi menjadi yang termulia, “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?”(Kisah Para Rasul 1:6). Bukankah ini impian lama? Kini, Yesus benar-benar mengalahkan maut. Maut saja takluk di hadapan-Nya, apalagi Kaisar Roma! Bukankah, ini saat yang paling tepat untuk mewujudkan impian itu? Alih-alih menanggapi, Yesus menyatakan bahwa mereka tidak perlu tahu masa dan waktu, biarlah itu urusan Bapa!

Di penghujung karya-Nya secara fisik di dunia ini, Yesus tidak bosan-bosannya mengingatkan para pengikut-Nya untuk menyadari bahwa kemesiasan yang Ia emban bukanlah mesias sang penakluk. Melainkan, Mesias yang menderita dalam ketaatan kepada Sang Bapa. Dengan jalan itulah Ia menerima kemuliaan. Peristiwa kenaikan Yesus ke sorga merupakan saat pemuliaan itu. Injil Lukas begitu singkat menceritakan tentang pemuliaan itu. Berdasarkan kisahnya sendiri tampak jelas, bahwa kenaikan terjadi menjelang sore hari setelah peristiwa kebangkitan itu. Dengan demikian Lukas punya alur cerita bahwa peristiwa kenaikan Yesus ke sorga itu merupakan satu rangkaian utuh dari seluruh karya Yesus: dari misteri kematian, kebangkitan, kenaikan dan Pentakosta. Tampaknya begitu singkat, namun sebenarnya tidak sesederhana dan sesingkat yang dicatat. Lukas mengantisipasi dalam bukunya yang kedua yakni, Kisah Para Rasul.

Dalam Injil Lukas, peristiwa kenaikan itu diceritakan sebagai berikut:
Yesus membawa para murid ke luar kota sampai dekat Betania. Di sana Ia memberkati para murid-Nya. Seketika itu juga, ketika Ia memberkati mereka, Ia terangkat ke sorga. Para murid sujud menyembah-Nya. Lalu, mereka pulang kembali ke Yerusalem dengan sukacita. Di Yerusalem mereka selalu berada dalam Bait Allah dan memuliakan Allah.Singkat!

Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia terpisah dari mereka dan terangkat ke sorga.”(Lukas 24:51). “Terangkat” sebuah kata yang sangat bernada liturgis. Mengapa? Sebab kata itu dipakai untuk menunjukkan kelezatan korban bakaran yang membumbung tinggi naik ke sorga. Ketika kata “terangkat” ini dikenakan kepada Yesus, itu menandakan bahwa seluruh kehidupan dan karya-Nya telah berkenan kepada Allah menjadi korban persembahan yang harum. Yesus seperti anak domba, Ia telah menanggung dosa-dosa kita di dalam tubuh-Nya sendiri. Maka sangat pantaslah bahwa kenaikan-Nya ke sorga merupakan gambaran bahwa Yesus telah dipermuliakan. Kehidupan dan karya-Nya itu menjadi korban persembahan yang harumdan menyenangkan Allah!

Pada pihak lain, kenaikan-Nya ke sorga itu menandakan berakhirnya penampakan-penampakan yang dilakukan Yesus sesudah kebangkitan-Nya. Sekali lagi, kalau dalam Injil Lukas dikisahkan begitu singkat bahwa setelah kenaikan Yesus itu para murid kembali dengan “sangat bersukacita”, sebab sekarang Yesus hadir secara lebih intim dan dapat dipahami secara lebih personal berkat Roh-Nya yang diutus ke dalam jiwa mereka. Yesus memberkati para murid supaya mereka menjadikan seluruh kehidupan mereka itu menjadi persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah, seperti apa yang sudah Ia lakukan. 

Namun demikian, dalam Kisah Para Rasul, Lukas menceritakan peristiwa kenaikan Yesus ke sorga lebih leluasa. Ternyata ada dialog dan pergumulan. Para murid setelah menerima berkat dan menyaksikan Yesus yang terangkat itu tidak serta-merta meninggalkan tempat itu lalu kembali ke Yerusalem. Tidak! 

Bagi penulis Injil Lukas, peristiwa kenaikan Yesus ke sorga tidak hanya bermakna bagi diri Yesus sendiri, melainkan juga bagi para murid. Mereka kini harus berpisah secara fisik dengan Yesus. Sekarang, mereka harus memulai kehidupan yang baru dengan semangat kebangkitan-Nya. Para murid harus bisa dipercaya mengembangkan kehidupan mereka sesudah pengalaman yang menegangkan bersama dengan Sang Guru. Inilah makna peristiwa sesudah Paskah yang ditandai dengan kenaikan Yesus ke dalam kemuliaan. Pada saat inilah setiap orang percaya lahir kembali dalam Roh Kudus.

Kenaikan Yesus dalam kemuliaan itu sendiri dilukiskan oleh Lukas secara audiovisual. Para murid melongo memandang langit, mengarah kepada kepergian Yesus. pada saat itulah muncul dua sosok yang berpakaian putih kemilau memberi arti bagi peristiwa itu. Mereka menyadarkan agar para murid – orang-orang Galilea – tidak melongo memandang langit. Mereka harus berani hidup menyongsong kedatangan-Nya kembali yang mengajak bersama dalam kemuliaan-Nya.

Para murid kini ditantang untuk menjalani kehidupan secara nyata, tanpa kehilangan arah menuju kemuliaan sebagaimana menjadi arah kehidupan Yesus yang adalah junjungan mereka. Peristiwa kenaikan Yesus dalam kemuliaan-Nya bukan hanya soal Yesus yang dimuliakan, melainkan juga soal Jemaat beriman atau Gereja semesta. Dalam hal ini, bagaimana Gereja menatap masa depan bersama Yesus yang mulia, dengan penuh kesadaran bahwa arah hidup itu adalah menyongsong Dia yang sudah dimuliakan.

Suara yang mereka dengar dari langit, menyadarkan mereka akan tugas dan tanggungjawab yang harus mereka emban setelah pengalaman itu. Mereka tidak cukup tertegun menatap langit lalu menyampaikan pujian kemuliaan bagi Yesus. Tidak cukup begitu! Mereka harus kembali kepada kenyataan hidup, menjalani kehidupan dengan arah yang jelas. Arah yang sudah ditapaki Yesus!

Gereja harus terus-menerus menyuburkan keyakinan bahwa seluruh angotanya ditantang untuk mengembangkan hidup ini sepenuhnyadalam peziarahan menuju Yesus Kristus yang mulia. Kita menyadari bahwa dalam peziarahan itu pelbagai macam kegelisahan masih akan terus mewarnai usaha bertemu dengan Tuhan yang telah dimuliakan, sampai akhirnya bisa bertemu muka dengan muka dalam kemuliaan-Nya.

Inilah juga yang kini menjadi tantangan semua orang beriman; bagi kita yang mengalami Yesus yang mulia dalam peristiwa kebangkitan dan kenaikan-Nya ke sorga. Kita masih ingat ungkapan “tidak ada mahkota tanpasalib”, tidak ada kemuliaan tanpa menjalaninya dengan ketaatan dan mungkin juga penderitaan seperti yang Yesus telah alami. Penderitaan dalam jalan ketaatan haruslah dipahami sebagai anugerah atau kehormatan bagi setiap orang percaya untuk menempuhnya. Jadi, di sinilah letak kehormatan kita sebagai pengikut Kristus, yakni : berani melangkah di jalan yang telah dilalui oleh Yesus!

Jakarta, Hari Kenaikan Yesus Ke Sorga 2019

Jumat, 24 Mei 2019

TAAT DALAM IMAN DAN KASIH

Sedikit banyak kericuhan paska Pemilu tanggal 21 dan 22 Mei di Jakarta dan sekitarnya membawa pengaruh, minimal aktivitas di Ibu Kota Negara ini sedikit berkurang. Jalan-jalan tidak terlalu ramai seperti hari-hari biasa. Aktivitas bisnis sedikit terganggu, beberapa kantor atau tokomemilih tutup untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. 

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meredam aksi-aksi brutal yang konon menurut beberapa pakar telah ditunggangi oleh kelompok-kelompok radikal tertentu. Upaya pemerintah itu termasuk di dalamnya pembatasan konten-konten di ranah media sosial (medsos). Tentu beragam tanggapan muncul atas pembatasan medsos yang dilakukan oleh pemerintah. Kelompok yang tidak puas menyebutnya bahwa pemerintah berusaha menutup-nutupi peristiwa yang sedang terjadi. Mereka menjadikannya sebagai bahan propaganda bahwa kebenaran fakta yang terjadi sedang direduksi dan ditutupi. Meski demikian banyak pula yang mengapresiasi tindakan Keminfo ini. Antara lain portal berita ABC Newsyang berkomentar bahwa pembatasan sementara media sosial dilakukan guna menghindari penyebaran konten yang bisa memancing emosi massa. Dalam artikelnya ABC memaparkan contoh hoaks yang tersebar. Disebutkan bahwa seorang pengunjuk rasa berusia muda memberikan informasi “absurd” kepada wartawan ABC bahwa polisi China sudah didatangkan ke Indonesia untuk menembak pengunjuk rasa.

Ross Tapsell seorang ahli tentang Indonesia dari Australia National University yang dikutip New Straits Times (Indonesia Curbs Social Media, Blaming Hoaxers for Flaming Unrest) menyebut antara lain, pelambatan konten video dan foto di Whatapp masuk akal sebab platform itu memungkinkan penyebaran secara massif konten yang bisa menghasut dan memancing kemarahan pada waktu sensitive seperti sekarang ini.

Tentu saja tanggapan-tanggapan lain masih banyak termasuk para ibu rumah tangga yang chattingnya menjadi terhambat, anak-anak milenial yang sulit mengunggah vlog ke canel Youtube dan sebagainya. Kali ini fokus kita bukan pada perdebatan pembatasan kontens di medsos. Namun mari kita lihat dampak luar biasa dari pengaruh medsos pada tindakan massa. Kita masih ingat pengaruh medsos pada kemenangan Donald Trump, krisis ekonomi di Venezuela, gerakan-gerakan radikalis yang membuahkan kehancuran, dan lain sebagainya. 

Medsos telah muncul menjadi kekuatan baru pada masa kini. Akal sehat seolah kehilangan tempat berpijak. Betapa tidak, orang-orang yang berpendidikan tinggi sangat mudah terhasut oleh berita bohong, video dan foto editan atau pernyataan sepenggal dari tokoh-tokoh yang tercipta oleh medsos. Literatur yang digunakan bukan lagi kajian ilmiah, melainkan sepenggal berita porta media abal-abal. Mengherankan, mengapa orang dengan sangat mudah digiring dalam opini dan kemudian jatuh ke dalam ketaatan radikal yang keliru. Mereka bisa taat melakukan apa pun, termasuk mengorbankan nyawanya dan nyawa orang-orang lain yang tidak berdosa. Manusia bisa taat sampai mati, namun dalam jalan yang keliru!

Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku…”(Yoh. 14:23)

Menuruti firman, kalau kita bandingkan dengan ayat 15, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.”Menuruti firman-Kudan menuruti perintah-Kuditempatkan pada derajat yang sama. Menuruti perintah, jelas di sini Yesus sedang mengajarkan ketaatan! Taat dalam melakukan segala yang diperintahkan. Tentu saja literasi yang kita gunakan bukan seperti literasi medsos: taat sepenggal-sepenggal atau ketaatan membabi buta. Tidak! Lagi pula, Yesus pun tidak pernah menghasut dan menebarkan kebencian. 

Taat terhadap segala firman atau perintah Yesus. Di sini sangat mungkin kita bertanya, perintah-perintah mana yang dimaksudkan Yesus? Sebelum melangkah lebih jauh, baiklah kita teliti dulu pernyataan Yesus ini. Kalimat atau pernyataan Yesus ini jangan dipahami sebagai, “Kalau kalian benar-benar mengasihi Aku, mestinya kalian akan menaati Aku.” Seolah-olah kecintaan terhadap Sang Guru harus dibuktikan dengan melakukan hal-hal yang diperintahkan. Inilah yang sering dipakai oleh para pemimpin politis. Mereka mengetes kesetiaan para pengikutnya dengan apa saja yang diinginkannyaharus dilakukan. Bahkan mereka mendoktrinasi agar para pengikutnya melakukan bom bunuh diri. Hal itu dinyatakan sebagai bukti cinta dan pengabdian pengikut pada sang pemimpin!

Yesus tidak sama sekali bermaksud seperti itu! Pernyataan Yesus ini justru menegaskan kebalikan dari sikap seperti itu. Singkatnya, mengasihi Yesus itu bakal membuat orang dapat mengenal dengan baik perintah-perintah-Nya lalu menurutinya. Jadi, mengasihi Sang Guru akan menjadi jaminan agar seseorang dapat memperhatikan perintah-perintah Sang Guru, demikianlah nantinya terungkap bahwa, “siapa saja yang memegang perintah-perintah-Nya, dia itulah yang juga nyata-nyata mengasihi-Nya. Oleh karena itu dia akan dikasihi Bapa dan Yesus akan bersama-sama berada dengannya.

Mengasihi Yesus dalam konteks ini adalah mengakui kebesaran-Nya dan meluangkan, memberi tempat terhormat kepada-Nya serta setia dalam kondisi apa pun. Ini dari sisi murid. Dari sisi Sang Guru? Dikasihi oleh Guru berarti menerima perlindungan dari-Nya. Latar belakang “mengasihi” ini ialah kehidupan umat Perjanjian Lama. Mereka dipilih, dibebaskan, dilindungi, dipedulikan Allah, tetapi sekaligus mereka diharapkan untuk tetap setia kepada-Nya. Jadi, mengasihi dalam pengertian itulah yang menjadi dasar bagi “menuruti perintah-perintah”. Yang dimaksud enggan “menuruti perintah/firman” ialah kekuatan-kekuatan yang menggerakkan dari dalam dan muncul dari hubungan batin antara dirinya dengan Sang Guru sendiri. Di situlah maknanya bahwa Yesus dan Bapa berkenan tinggal bersama dalam diri sang murid. Sehingga setiap tindakan dan kemauan para murid itu tidak bersumber dari diri mereka sendiri, melainkan dari “yang mendiami dirinya”. Di sinilah juga terungkap makna iman yang sesungguhnya. Bukan saja percaya akan keberadaan Allah dan kemahakuasaan Yesus. Namun, mereka membuka diri, membuka tempat yang paling mulia yakni hati nuraninya untuk didiami oleh Bapa dan Kristus!

Dari sinilah akan terpancar kehidupan iman itu. Orang banyak akan melihat bahwa perilaku dan tindakan-tindakan para murid Yesus akan menghadirkan kembali Yesus. Mereka akan melihat peri laku murid-murid itu sama seperti apa yang Yesus lakukan, walaupun nantinya Yesus akan berpisah secara fisik dengan mereka. Orang banyak akan melihat para murid Yesus yang mengerjakan segala sesuatu itu dengan ketulusan, kesungguhan, cinta kasih yang besar, ucapan yang ramah, perilaku yang bersahabat, di situlah orang banyak menemukan kembali Yesus dalam diri para murid. Hidup mereka seakan menyuratkan perintah dari atas yang dapat dibaca oleh banyak orang. Dalam hal ini hidup mereka menjadi kesaksian. Sebaliknya, para murid melakukan segalanya itu bukan atas dasar pencitraan, terpaksa, atau dengan beban berat. Mereka melakukannya dengan sukacita dan dalam ketaatan!

Yesus tidak seperti para pemimpin politis busuk. Para politisi busuk itu mengharapkan pengorbanan pengikutnya, setelah mereka tertangkap, terbukti bersalah dan menderita, mereka akan mengatakan, “orang itu bukan bagian dari kami, kami tidak kenal!” Yesus tidak demikian. 

Yesus menyadari bahwa tugas yang dilakukan oleh para murid itu bukanlah perkara mudah. Mereka memerlukan penolong yang memungkinkan mereka melakukan tindakan-tindakan seperti apa yang Yesus lakukan. Dalam konteks inilah Yesus berjanji untuk tidak melepaskan mereka seperti anak yatim piatu. Yesus berjanji akan memberikan seorang Penolong yang lain yang akan menyertai mereka untuk selama-lamanya. Siapa yang dimaksudkan dengan Penolong yang lain?

Penolong yang selama ini tinggal bersama dengan mereka tidak lain adalah Yesus Kristus itu sendiri. Yesus yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam karya Allah. Ketika Yesus pergi kepada Bapa, Ia akan memintakan kedatangan Penolong yang lain. Penolong yang lain ini akan memerankan seperti apa yang dikerjakan oleh Yesus. Di dalam Dia, kehadiran Yesus tetap dialami oleh para murid. Apa yang akan dikerjakan oleh Penghibur ini adalah mengingatkan orang akan apa yang diajarkan Yesus; menguatkan dan memampukan orang untuk menerjemahkan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.

Segalanya Tuhan telah sediakan. Ia telah lebih dahulu mencintai kita, Ia telah mengajarkan dan meneladankan apa yang harus kita lakukan. Ia telah menjamin memberi pertolongan melalui Roh Kudus. Nah, apalagi yang kurang selain kini kita melakukan perintah atau firman Yesus itu dengan sepenuh hati sehingga orang-orang pada masa kini akan melihat kembali kehadiran Kristus!

Jakarta, Minggu Paskah VI 2019

Kamis, 16 Mei 2019

MENCITAI TANPA BATAS

Adakah cinta yang tanpa batas? Pertanyaan ini hampir mustahil dengan jawaban “Ya, ada!” Mengapa? Sebab, kita semua adalah manusia terbatas. Ego atau pementingan diri sendiri itulah yang menjadi batas dalam kita mencintai. Kita mencintai, dalam bahasa Eka Darmaputra, supayaatau bila. Sehingga bahasa cinta itu menjadi, “Saya mencintai istri sayasupayadia pun mengasihi saya.” Atau “Saya akan mencintai istri saya biladia juga begitu terhadap saya.” Kalimat ini bisa diteruskan terhadap anak, orang tua, saudara, teman, teman sepelayanan, tetangga, dan yang lainnya. Bahasanya bicara tentang kasih, namun kontennya tidak lebih dari transaksi: “saya memberi maka saya harus mendapatkan” atau sebaliknya.

Mencintai, makna terdalam dari kata itu seharusnya bisa membebaskan sang pencinta dari kepentingan-kepentingan sendiri betapa pun alasan-alasan untuk itu sangat rasional. Sebab, adakah yang disebut cinta atau kasih sejati jika segala sesuatu berpulang untuk kepuasan sendiri? Cinta akan menjadi kerdil apabila kita memakainya sebagai alat untuk kenyamanan dan kemuliaan diri sendiri. 

Yesus mengajarkan cinta tanpa batas.

Petrus dan Yudas Iskaryot, adalah dua pribadi yang bereaksi secara berbeda terhadap cinta kasih Yesus. Mereka ada dalam meja perjamuan. Reaksi mereka begitu mencolok dibanding murid-murid yang lain.

Petrus, sosok temperamental. Tidak selalu memahami apa yang dimaksudkan Yesus. Ketika Yesus berterus terang bahwa Ia harus menderita dan dibunuh, Petrus tampil sebagai sosok pembela. Ia menghardik Sang Guru. Yesus tidak boleh menderita apalagi mati dengan cara mengenaskan. Petrus ingin menyelamatkan Sang Penyelamat! Pada waktu itu, Yesus mengingatkan kepadanya, sebelum ayam berkokok ia akan menyangkal Yesus tiga kali. Petrus adalah pribadi yang kompleks; ia kuat sekaligus lemah. Keduanya ada di dalam dirinya. Ia akan menyangkal Yesus, namun ia juga akan menangisi tindakannya itu dan mohon pengampunan. 

Bukankah dalam beberapa hal, kita mirip-mirip Petrus? Ingin mengikut dan melayani Yesus, namun akhirnya terus-menerus menyangkal Dia? Bahkan lebih buruk lagi, kita pura-pura tidak mengenal-Nya. Kadang-kadang kita takut akan kasih, dan tanggung jawab yang mengalir dari relasi kita dengan Yesus yang dekat. Kita dapat berkata “Ya” kepada Yesus yang berkuasa yang memanggil kita untuk melakukan hal-hal besar, sejauh kita berada pada pihak yang berkuasa. Sebaliknya, kita mengatakan “Tidak” ketika diperhadapkan dengan pelbagai kesulitan dan kerentanan hidup. Seperti Petrus kita memilih cara sendiri untuk merespons cinta-Nya. Kita juga sering mengalami kesulitan untuk menjadi seperti seorang anak dan percaya tanpa syarat pada kasih-Nya.

Yudas menolak dan takut akan kasih. Ia menyingkirkan Yesus. Setelah membasuh kaki para murid dan menyatakan dambaan-Nya akan kasih, kesatuan, dan persekutuan, hati Yesus gundah. Ia ingat akan kata-kata dalam Mazmur 41, yang berbicara tentang sahabat karib yang dipercaya, “…yang makan roti-Ku, telah mengangkat tumitnya terhadap Aku.”

Jelas, yang dimaksudkan Yesus adalah Yudas, murid-Nya, sahabat-Nya. Yudas yang Ia percaya, yang kakinya telah Ia basuh. Ia pergi untuk menghianati-Nya, menyingkirkan Sang Cinta itu! Yudas menolak untuk mencintai Yesus, ia melawan Dia. Ia sudah mulai membenci Yesus. Pasti, Yesus tahu kedalaman isi hati Yudas. Namun, Ia terus menyatakan kasih-Nya itu kepada Yudas. Yesus tidak melewatkan pembasuhan kaki terhadap Si Penghianat ini. Mungkin saja tatapan mata-Nya beradu dengan mata Yudas, kain lenan basah yang menyeka kaki yang kotor itu terasa menusuk sanubari. Namun, betapa kerasnya hati itu sehingga Yudas memilih hengkang dan bergabung dengan para pembenci Yesus. Yesus tahu sejak dari awal tabiat Yudas. Namun, Ia tetap memilih mencintainya. Itulah cinta tanpa batas.

Tabiat Yudas bisa ada dalam diri kita. Bisa saja kita mengikut Yesus dengan motivasi mendapatkan keuntungan tertentu. Lalu, ketika yang didambakan itu tidak terwujud, kita menjadi kecewa dan memilih meninggalkan Dia. Namun, Yesus tetap membuka cinta-Nya bahkan bagi si penghianat yang mau kembali. Percayalah bahwa pengampunan dan kasih-Nya begitu besar. Sayang, Yudas berbeda dari Petrus. Ia memilih berada pada posisi menolak cinta-Nya bahkan sampai akhir hidupnya yang tragis!

Ketika Yudas meninggalkan ruangan, Yesus memanggil para murid-Nya dengan sebutan “anak-anak-Ku”. Dalam arti tertentu mereka memang masih anak-anak kecil. Mereka baru saja dilahirkan menjadi murid; baru tiga tahun mereka mengenal Yesus. Mereka belum matang dan dituntut untuk berkembang cepat. Yesus hendak menunjukkan kepada mereka jalan menuju hidup yang utuh dan suci, jalan yang akan melewati kegembiraan yang menggairahkan dan rasa sakit yang mengerikan, dan berakhir dalam kesatuan dengan Yesus di dalam kemuliaan.

Selanjutnya, Yesus meninggalkan pesan terakhir, 
Aku memberikan perintah baru kepada kamu,
yaitu supaya kamu saling mengasihi; 
sama seperti Aku telah mengasihi kamu,
demikian pula kamu harus saling mengasihi.
Dengan demikian, semua orang akan tahu
bahwa kamu adalah murid-murid-Ku,
yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”  (Yohanes 13:34,35)

Menurut Hukum Musa, orang-orang Yahudi dipanggil untuk mengasihi Allah dengan seluruh jiwa, hati, budi, dan kekuatan mereka, dan mencintai sesama seperti diri mereka sendiri. Dalam pesan-Nya, Yesus memanggil para murid tidak hanya untuk mencintai orang lain seperti mereka mencintai diri mereka sendiri, melainkan mencintai seperti Dia – Yesus – mencintai mereka. Inilah yang baru!

Apa yang mencolok dalam konteks ketika Yesus mengatakan “mencintai seperti Aku mencintaimu”? Jelas bukan semata mencintai diri sendiri. Betapa pun diri sendiri menjadi tolok ukur dalam mencintai orang lain, tetap ada batasnya! Ada batasnya kita mencintai diri sendiri, entah kemampuan atau pun cara kita mencintai diri sendiri. Ketika Yesus mengatakan bahwa kita harus mencintai sama seperti Dia mencintai kita, maka kita akan teringat dengan figur Petrus dan Yudas Iskaryot.

Mencintai orang yang mencintai kita adalah lumrah. Yesus pernah mengatakan, cinta semacam itu, para pemungut cukai pun melakukannya. Cinta yang mengharapkan pamrih, adalah cinta yang umum dan berbatas. Namun, mencintai orang yang jelas-jelas tahu akan menyangkal dan menolak kita inilah yang disebut mencintai seperti Yesus mencintai. Mengasihi orang yang jelas-jelas kita tahu akan menghianati dan mencelakakan kita, itulah cinta kasih yang tanpa batas! Inilah perintah baru itu, yakni agar murid-murid Yesus melakukan-Nya.

Mungkin terdengar mustahil. Namun, bukan berarti tidak mungkin. Banyak contoh tentang itu, salah satunya:

Pada bulan Mei 1981, Alm. Paus Yohanes Paulus II ditembak oleh Mohammed Agca. Dua tahun kemudian, Lance Morrow menceritakan bahwa di balik tembok putih polos Penjara Rebbiba di Roma, Yohanes Paulus menggenggam tangan orang yang nyaris membunuhnya. Selama 21 menit, Paus duduk dengan orang yang hampir membunuhnya… Keduanya bercakap-cakap dengan lembut. Sekali, atau dua kali, Agca tertawa. Sang Paus mengampuninya. Pada akhir pertemuan, tidak jelas apakah Agca mencium cincin Paus atau menempelkan tangan Paus ke dahinya sebagai tanda simbol hormat dalam Islam. Cinta kasih itu tanpa batas, melampaui keyakinan, agama, ras, dan derajat sosial. Cinta kasih itu meruntuhkan tembok-tembok pemisah dan membangun jembatan relasi kemanusiaan.

Bukankah itu yang terjadi dengan Petrus. Ketika Petrus dipulihkan, ia menjadi seorang yang mampu menerobos sekat pemisah antara Yahudi dan non Yahudi dan ia bersedia mempertanggungjawabkan baptisan Kornelius di depan sidang di Yerusalem (Kisah Para Rasul 11:1-18). 

Sekarang apa yang menjadi tanda kita sebagai murid Yesus? Sudahkah kasih Yesus yang tanpa batas itu juga mewarnai kehidupan iman kita. Sehingga dengan siapa pun kita dapat berinteraksi, berelasi dan membagikan cinta kasih Kristus!

Jakarta, Minggu Paska V

Jumat, 03 Mei 2019

MENGENAL YESUS DALAM SELEBRASI

Para pecandu sepak bola pasti mengenal gaya bermain idolanya, termasuk ketika sang idola itu melakukan perayaan setelah mencetak gol. Sebut saja Ahmed Musa, penyerang Nigeria. Ia akan merentangkan kedua tangannya seperti sayap pesawat terbang, berlari dengan gembira ketika berhasil menjebol gawang lawan. Siapa yang tak kenal Ronaldo? Penyerang legendaris Real Madrid. Ia punya berbagai gaya unik ketika berhasil membuat gol. Salah satu gayanya, ia berjongkok sambil meletakan tangan di dagunya seolah sedang berpikir keras. Bahasa tubuhnya jelas, ia menggambarkan pihak lawan yang berpikir keras: mengapa gawang mereka sampai kebobolan. Masih banyak lagi gaya dan ulah selebrasi para pemain sepak bola itu berhasil mencetak gol. 

Selebrasi, tentu saja bukan hanya milik dunia sepak bola. Hampir di semua lini kehidupan, apabila seseorang berhasil menaklukkan pencapaian tertentu ia akan mengadakan selebrasi atau perayaan, entah sederhana maupun dalam suasana ingar bingar. Sangatlah wajar ketika seseorang atau sebuah komunitas merayakan keberhasilan atau kemenangan.Tidaklah keliru kalau keberhasilan kita dirayakan dengan sukacita.

Dalam tradisi Yahudi, ada salah satu hari raya yang berkaitan dengan selebrasi atau semacam perayaan kemenangan. Hari itu adalah Hari Raya Penahbisan Bait Allah di Yerusalem. Hari itu diperingat setiap tahun untuk memperingati penahbisan mezbah baru dan penyucian Bait Allah oleh pejuang Yahudi yang bernama Yudas Makkabe. Mengapa mezbah dan Bait Allah itu harus disucikan atau ditahbiskan kembali? Bait Allah dan mezbahnya itu telah dicemarkan! Antiokhus IV pada tanggal 25 bulan Kislew (bulan Desember) sekitar tahun 167 atau 168 sM menajiskan Bait Allah dengan mempersembahkan korban di mezbah Bait Allah itu kepada dewa Zeus. Ia juga memaksa untuk memasuki ruang maha kudus di Bait Allah dan merampas perbendaharaan emas dan perak di Bait Allah. 

Peristiwa ini tentu saja menyulut kemarahan luar biasa dari orang-orang Yahudi, khususnya mereka yang tergabung dalam kelompok kaum Zelot.Mattathias memimpin pemberontakan terhadap hegemoni Romawi itu. Sayang, ia kurang berhasil. Namun kemudian perjuangannya diteruskan oleh sang anak, Yudas Makkabe. Ia berhasil memenangkan pertempuran dan kembali menguasai Bait Allah. Kemenangan itu ia pergunakan untuk memurnikan kembali Bait Allah yang sempat “dicemari” oleh Antiokhus. Peristiwa selebrasi itulah yang kemudian hari dirayakan sebagai Hari Raya Penahbisan Bait Allah.

Pada hari selebrasi inilah, Yesus berjalan-jalan di Bait Allah, di serambi Salomo. Tentu saja pada saat itu Yesus sudah menjadi seperti seorang “selebritis”. Tanda-tanda atau mukjizat yang dilakukan-Nya telah banyak menimbulkan ketakjuban banyakorang. Ke mana saja Ia pergi selalu diikuti oleh orang banyak yang berbondong-bondong. Namun, pada pihak lain, hal inimenimbulkan kecemburuan dari kalangan orang Yahudi terutama para imam.

Pada musim dingin di serambi Salomo itulah orang-orang mengelilingi Yesus dan bertanya kepada-Nya, “Berapa lama lagi Engkau membiarkan kami hidup dalam kebimbangan? Jika Engkau Mesias, katakanlah terus terang kepada kami.”(Yoh.10:24). Mengpa mereka menyatakan diri sebagai orang-orang yang bimbang? Tentu saja pertanyaan seperti ini – yang dilontarkan pada saat Hari Raya Penahbisan Bait Suci dilatarbelakangi oleh pengharapan bahwa Yesus pun mampu menghadirkan selebritas atau perayaan kemenangan seperti apa yang sudah dilakukan oleh seorang Yudas Makkabe. Mereka bertanya bingung, mengapa Yesus tidak seperti Yudas Makkabe? Mengapa Dia tidak melakukan pemberontakan dan mengalahkan Roma dengan kemenangan yang lebih hebat ketimbang Makkabe? Inilah yang membuat mereka hidup dalam kebimbangan!

Jelaslah, orang-orang yang mempertanyakan kemesiasan Yesus dan mereka yang bimbang adalah orang-orang yang berharap bahwa Yesus hadir untuk memenuhi harapan atau ambisi mereka, dalam hal ini menjadi “mesias penakluk”. Kenyataannya, mereka tidak melihat Yesus yang seperti itu!Yesus menjawab berkaitan dengan ajaran-Nya tentang “Gembala yang baik”, “Aku telah menyatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya;…. karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku.”(Yoh.10: 25,26). 

Kemesiasan Yesus terlihat bukan sebagai figur sang penakluk. Kemesiasan itu terlihat dalam karya-karya ilahi dan ajaran kebenaran-Nya. Melihat dan mengalami mukjizat ternyata tidak menjamin seseorang dapat memahami Yesus sebagai Mesias yang sebenarnya. Bukan Yesus tidak mampu menghadirkan selebrasi seperti Makkabe menghadirkan-Nya. Namun, bukan itu misi-Nya hadir ke dunia. Ia hadir sebagai firman yang hidup. Kehidupan, pelayanan, ajaran dan mukjizat-Nya harus ditanggapi sebagai perwujudan firman yang menjadi manusia. Dia hadir sebagai Gembala yang baik yang memenuhi gambaran Mazmur 23. Gembala yang memberi makan dan membimbing para domba-Nya. Dia sendiri menyatakan dengan jelas, “Aku dan Bapa adalah satu.”Alih-alih mengaminkan apa yang dikatakan Yesus, mereka bertindak beringas dan hendak merajam Yesus.

Yesus menyadari, bahwa “mereka yang bukan termasuk domba-domba-Nya” tidak akan mengerti. Mereka tidak pernah benar-benar “mendengarkan” suara Sang Gembala. Ajaran, karya, dan karsa Yesus hanya bisa dimengerti oleh domba-domba-Nya sendiri. Hal ini mirip-mirip dengan pengajaran perumpamaan-Nya dalam Matius 13. Walaupun perumpamaan itu disampaikan melalui ilustrasi kehidupan sehari-hari, namun mereka tidak pernah memahami. Kehidupan keagamaan yang mereka praktikan hanyalah sebatas umat selebrasi, yaitu umat yang menjaga dan merayakan hari raya keagamaan dengan konsisten, tekun dan semarak, tetapi tidak pernah belajar mengenali karya Bapa di dalam Yesus Kristus. Telinganya selalu tertutup atau tepatnya ditutup ketika mendengar suara Sang Gembala Baik. Karena itulah mereka tidak pernah melihat kemuliaan Bapa hadir di dalam Yesus Kristus.

Bisa saja kehidupan keagamaan kita sama seperti orang-orang yang menolak kemesiasan Yesus. Kita menjadi umat selebritas yang merayakan dan memelihara tradisi dengan begitu ketat. Namun, tidak menjadi pendengar dan pelaku firman yang sesungguhnya. Kita gemar kalau ibadah-ibadah kita meriah, dengan pengunjung yang berlimpah. Kita suka kalau tahun-tahun gerejawi dirayakan dengan meriah, meski untuk itu menyita dana dan daya. Namun, sayangnya acara-acara itu kerap kali menyisakan permasalahan. Pertikaian pendapat, perselisihan karena ide yang tidak tertampung lalu kita marah dan bermusuhan. Jelaslah, ini bukan perilaku domba-domba yang mendengar suara Sang Gembala!

Di luar peribadahan di gereja. Bukankah kita juga sering menjadi orang yang gemar selebritas: haus akan perayaan-perayaan kesuksesan. Kita ingin menjadi nomor satu dengan menaklukkan saingan-saingan kita. Kita ingin selalu menonjol dan diutamakan! Jelaslah, perilaku ini pun bukan tabiat seorang domba gembalaan Yesus. Yesus tidak pernah mencontohkan kehidupan yang demikian. Cermati, dan kenalilah suara-Nya, baik dalam peristiwa kehidupan sehari-hari maupun dalam ibadah-ibadah kita. Lalukanlah yang Dia kehendaki, pastilah kita akan dapat merayakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Jakarta, Paskah IV 2019

Rabu, 01 Mei 2019

PERJUMPAAN YANG MEMULIHKAN

Ada berbagai alasan untuk orang kembali pada pekerjaan lama. Bisa saja ia melihat dalam pekerjaan yang baru tidak bisa mengoptimalkan kompetensinya. Ia malah tergagap dan tidak berdaya. Kemungkinan lain, pekerjaan baru tidak menjanjikan penghasilan dan penghidupan yang lebih baik. Atau namanya sudah melekat dan dikenal orang melalui pekerjaan lama yang ia tekuni. 

Petrus dan enam orang temannya pergi ke Danau Tiberias. Mereka kembali ke pekerjaan lamanya: jadi nelayan di danau itu. Padahal mereka dulu telah dipanggil Tuhan dari danau itu agar berhenti menjadi penjala ikan, mengikuti-Nya dan kemudian menjadi penjala manusia. Oke-lah, mungkin saja mereka masih kecewa dan terpukul atas kematian Yesus, Guru mereka yang diharapkan menjadi mesias yang akan mengangkat harkat martabat mereka dan tentunya kaum Yahudi. Namun, jika itu alasannya, bukankah Yesus yang bangkit itu sudah beberapa kali menjumpai dan menyapa mereka? Bahkan secara khusus Ia menepis semua keraguan yang diwakili oleh Tomas. Setidaknya, mereka juga melihat demonstrasi Yesus memperlihatkan luka-luka di tubuh-Nya. Dan, yang tidak kalah pentingnya, bukankah Yesus yang bangkit itu telah memberi tugas, mengutus para murid sama seperti Bapa mengutus diri-Nya? Lalu sesudah itu Ia menghembusi mereka dengan Roh.

Lalu, apa yang salah? Apakah mereka mengartikan tugas perutusan itu untuk kembali ke danau? Apakah misi yang diemban agar mereka mendapatkan ikan yang banyak? Injil Yohanes tidak menjelaskan mengapa mereka kembali ke pekerjaan lama dan tidak melaksanakan misi yang diamatkan Yesus. Mengisi kekosongan jawab ini, ada banyak penafsir berpendapat bahwa kemungkinan kisah ini adalah kisah yang dirangkai di kemudian hari. Injil Yohanes mestinya berakhir pada Yohanes 20:31. Namun, ada juga yang berpendapat Yohanes 21 itu merupakan bagian utuh yang tidak terpisahkan dari pasal-pasal sebelumnya. Hal ini dibuktikan dari penemuan-penemuan naskah kuno yang memang utuh sampai pasal 21.

Alasan apa pun yang dikemukakan sepertinya bukan itu yang harus kita persoalkan. Bukankah lebih baik mencari makna di balik kisah itu. Petrus memberi tahu teman-temannya bahwa ia akan pergi menangkap ikan. Mungkin saja ia dan teman-temannya sedikit bosan dan dalam kadar tentu merasa tidak pasti mengenai apa yang akan terjadi danapa yang harus mereka lakukan.

Mereka pergi semalaman, tetapi tidak menangkap apa-apa. Ketika hari menjelang siang, Yesus berdiri di tepi pantai danau itu. Petrus dan keenam temannya tidak menyadari bahwa yang berdiri itu adalah Yesus. Yesus bertanya kepada mereka, “Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk-pauk?”Yesus menyebut mereka anak-anak, yang merupakan ungkapan kasih kebapaan dari seorang guru kepada para muridnya. Dalam bahasa Yunani, pertanyaan Yesus itu menantikan jawaban negatif: “Kami tidak punya!” Kemudian Yesus menyuruh mereka menebarkan jala di sebelah kanan perahu. Tidak disangka, jala mereka penuh dengan ikan. Seratus lima puluh tiga ekor banyaknya.

Segeramurid yang dikasihi mengenali orang yang berbicara kepada mereka. Ia pun berseru kepada Petrus, “Itu Tuhan!” Petrus mengenakan pakaiannya – karena ia telanjang – lalu terjun ke danau, dan lari mendapatkan Yesus.

Petrus sering kali tampil dan ditampilkan sebagai pemimpin dari murid-murid yang lain. Namun, ia bukanlah yang pertama mengenali Yesus. Ia membutuhkan murid yang dikasihi agar dapat mengenali Yesus. Para pemimpin, betapa pun hebatnya dia, dapat tersedot perhatiannya oleh tanggung jawab kepemimpinannya, sehingga ia memerlukan orang lain untuk membantu, yaitu orang yang mempunyai mata atau pandangan yang jernih. Ketika Petrus dibantu untuk melihat bahwa itu adalah Yesus, ia terjun menemui Dia. Ia berani mengambil risiko dengan terjun ke danau. Matanya terpaku kepada Yesus. Petrus langsung taat kepada Yesus ketika Yesus menyuruhnya untuk menarik jala. Ia tidak menyuruh orang lain untuk melakukannya, tetapi ia sendiri. Ia menjadi pemimpin sekaligus pelayan!

Di awal, ketika Yesus memanggil para murid untuk mengikuti-Nya, Yesus memilih Simon Petrus sebagai “Kefas”, Sang “Batu Karang”. Di atas batu karang ini komunitas akan dibangun. Petrus mempunyai watak dan ciri-ciri seorang pemimpin. Ia maju atas nama kelompok dua belas murid untuk menyatakan imannya kepada Yesus.

Petrus juga berani menegur Yesus mengenai apa yang harus Ia lakukan dan tidak boleh Ia lakukan, serta berusaha untuk membela Yesus agar Ia tidak ditangkap. Akhirnya ketika Yesus menjadi begitu rentan. Ia menjadi pesakitan dan siap dibantai, Petrus, orang kuat sekaligus lemah ini jatuh dan mengatakan bahwa ia bukan murid Yesus. Ia menyangkal Yesus tiga kali. Sang “Batu Karang”, jelas bukan batu karang lagi! Ombak dasyat menghempaskannya hingga menjadi puing-puing pasir. Apakah kemudian Petrus kehilangan perannya sebagai “batu karang”?

Pada hari Paskah pagi, ketika Maria dari Magdala datang mendapatkan para murid, jelas ia mencari Petrus sebagai pemimpin kelompok, meski Petrus telah menyangkal Yesus. Bagaimana dengan sikap Yesus? Pantaskah orang seperti ini dipertahankan sebagai “batu karang”? Apakah Ia akan mengalihkan kepemimpinan kepada murid yang dikasihi, yang tetap setia sampai akhir dan berada di kaki salib?

Lihat bagaimana Yesus memulihkan:

Sesudah sarapan, Yesus bertanya kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari mereka ini?”

Tentu tidak mudah bagi Petrus untuk menjawab pertanyaan ini. Lidahnya tidak selantang dulu. Petrus telah belajar. Ia tidak memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya. Dulu, ia berkata, “Tentu, dan saya akan memberikan nyawaku untuk-Mu!” Petrus kini telah diajar untuk rendah hati oleh pengalamannya; ia tahu dan mengenal kelemahan-kelemahan dan dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya. Yang dapat ia katakana – mungkin dengan suara yang bergetar – adalah: “Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”

Yesus mengatakan kepadanya, “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

Petrus sedih karena Yesus mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali. Dengan cara itulah Yesus memulihkan Sang “Batu Karang”, Ia memulihkan Petrus sebagai gembala yang harus menggembalakan domba-domba-Nya. Domba-domba itu bukan miliknya, melainkan milik Yesus. Petrus tidak mempunyai hak untuk menguasai domba-domba itu; ia diberi tugas untuk membantu mereka agar berada dalam kesatuan dengan Yesus, agar mendengarkan suara Sang Gembala Agung. 

Dengan cara itu pula, Yesus melembutkan dan mengajar agar Petrus rendah hati dan kemudian dapat memimpin, mengembangkan dan bertanggung jawab terhadap kawanan domba Allah, sebagai pembuktian bahwa ia mencintai Yesus.

Petrus dipanggil terutama dan pertama-tama untuk anak-anak domba (Yun: arnia), yakni memberi makan yang kecil, memperhatikan mereka yang tersesat, kesepian, lemah, sakit, dan lapar, mereka yang tersingkirkan dari masyarakat. Petrus dipulihkan untuk mengikuti dan meneladani Sang Gembala Baik, untuk menuntun kawanan, untuk mencuci kaki orang lain, untuk memberi mereka makan, dan untuk memberikan hidupnya bagi mereka yang dipercayakan kepadanya.

Petrus adalah kita!
Siapa kita? Jelaslah tidak setegar batu karang. Kerap kali dengan bahasa, gaya, sikap dan pikiran, kita menyangkal Tuhan. Barang kali lebih dari tiga kali kita menyangkal untuk tidak taat dan setia kepada Kristus. Demi rasa aman dan nyaman, kita menolak untuk setia pada firman-Nya. Kita mengikut arus dan bersembunyi di balik berbagai alasan. Lalu, apakah Yesus menyerah dan diam? Rasanya Tidak! Sama seperti terhadap Petrus, Ia juga bertanya kepada kita, “Apakah engkau mengasihi-Ku?”Pertanyaan itu seharusnya kita tempatkan sebagai sarana pemulihan dan peneguhan kembali jati diri kita sebagai murid-murid-Nya. 

Sama seperti Petrus, kita pun diajar untuk kembali melihat pengalaman. Memperbaiki apa yang retak dan bahkan pecah. Mengumpulkan puing-puing agar kembali menjadi batu karang. Sama seperti Petrus, kita diajar untuk rendah hati, menanggalkan keegoisan dan memandang orang lain – kawanan domba – sebagai orang-orang yang berharga, yang harus dijaga bahkan dengan mempertaruhkan nyawa.

Yang menjadi permasalahan sekarang: Maukah kita mengalami pemulihan?

Jakarta, Paskah III 2019