Ada berbagai alasan untuk orang kembali pada pekerjaan lama. Bisa saja ia melihat dalam pekerjaan yang baru tidak bisa mengoptimalkan kompetensinya. Ia malah tergagap dan tidak berdaya. Kemungkinan lain, pekerjaan baru tidak menjanjikan penghasilan dan penghidupan yang lebih baik. Atau namanya sudah melekat dan dikenal orang melalui pekerjaan lama yang ia tekuni.
Petrus dan enam orang temannya pergi ke Danau Tiberias. Mereka kembali ke pekerjaan lamanya: jadi nelayan di danau itu. Padahal mereka dulu telah dipanggil Tuhan dari danau itu agar berhenti menjadi penjala ikan, mengikuti-Nya dan kemudian menjadi penjala manusia. Oke-lah, mungkin saja mereka masih kecewa dan terpukul atas kematian Yesus, Guru mereka yang diharapkan menjadi mesias yang akan mengangkat harkat martabat mereka dan tentunya kaum Yahudi. Namun, jika itu alasannya, bukankah Yesus yang bangkit itu sudah beberapa kali menjumpai dan menyapa mereka? Bahkan secara khusus Ia menepis semua keraguan yang diwakili oleh Tomas. Setidaknya, mereka juga melihat demonstrasi Yesus memperlihatkan luka-luka di tubuh-Nya. Dan, yang tidak kalah pentingnya, bukankah Yesus yang bangkit itu telah memberi tugas, mengutus para murid sama seperti Bapa mengutus diri-Nya? Lalu sesudah itu Ia menghembusi mereka dengan Roh.
Lalu, apa yang salah? Apakah mereka mengartikan tugas perutusan itu untuk kembali ke danau? Apakah misi yang diemban agar mereka mendapatkan ikan yang banyak? Injil Yohanes tidak menjelaskan mengapa mereka kembali ke pekerjaan lama dan tidak melaksanakan misi yang diamatkan Yesus. Mengisi kekosongan jawab ini, ada banyak penafsir berpendapat bahwa kemungkinan kisah ini adalah kisah yang dirangkai di kemudian hari. Injil Yohanes mestinya berakhir pada Yohanes 20:31. Namun, ada juga yang berpendapat Yohanes 21 itu merupakan bagian utuh yang tidak terpisahkan dari pasal-pasal sebelumnya. Hal ini dibuktikan dari penemuan-penemuan naskah kuno yang memang utuh sampai pasal 21.
Alasan apa pun yang dikemukakan sepertinya bukan itu yang harus kita persoalkan. Bukankah lebih baik mencari makna di balik kisah itu. Petrus memberi tahu teman-temannya bahwa ia akan pergi menangkap ikan. Mungkin saja ia dan teman-temannya sedikit bosan dan dalam kadar tentu merasa tidak pasti mengenai apa yang akan terjadi danapa yang harus mereka lakukan.
Mereka pergi semalaman, tetapi tidak menangkap apa-apa. Ketika hari menjelang siang, Yesus berdiri di tepi pantai danau itu. Petrus dan keenam temannya tidak menyadari bahwa yang berdiri itu adalah Yesus. Yesus bertanya kepada mereka, “Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk-pauk?”Yesus menyebut mereka anak-anak, yang merupakan ungkapan kasih kebapaan dari seorang guru kepada para muridnya. Dalam bahasa Yunani, pertanyaan Yesus itu menantikan jawaban negatif: “Kami tidak punya!” Kemudian Yesus menyuruh mereka menebarkan jala di sebelah kanan perahu. Tidak disangka, jala mereka penuh dengan ikan. Seratus lima puluh tiga ekor banyaknya.
Segeramurid yang dikasihi mengenali orang yang berbicara kepada mereka. Ia pun berseru kepada Petrus, “Itu Tuhan!” Petrus mengenakan pakaiannya – karena ia telanjang – lalu terjun ke danau, dan lari mendapatkan Yesus.
Petrus sering kali tampil dan ditampilkan sebagai pemimpin dari murid-murid yang lain. Namun, ia bukanlah yang pertama mengenali Yesus. Ia membutuhkan murid yang dikasihi agar dapat mengenali Yesus. Para pemimpin, betapa pun hebatnya dia, dapat tersedot perhatiannya oleh tanggung jawab kepemimpinannya, sehingga ia memerlukan orang lain untuk membantu, yaitu orang yang mempunyai mata atau pandangan yang jernih. Ketika Petrus dibantu untuk melihat bahwa itu adalah Yesus, ia terjun menemui Dia. Ia berani mengambil risiko dengan terjun ke danau. Matanya terpaku kepada Yesus. Petrus langsung taat kepada Yesus ketika Yesus menyuruhnya untuk menarik jala. Ia tidak menyuruh orang lain untuk melakukannya, tetapi ia sendiri. Ia menjadi pemimpin sekaligus pelayan!
Di awal, ketika Yesus memanggil para murid untuk mengikuti-Nya, Yesus memilih Simon Petrus sebagai “Kefas”, Sang “Batu Karang”. Di atas batu karang ini komunitas akan dibangun. Petrus mempunyai watak dan ciri-ciri seorang pemimpin. Ia maju atas nama kelompok dua belas murid untuk menyatakan imannya kepada Yesus.
Petrus juga berani menegur Yesus mengenai apa yang harus Ia lakukan dan tidak boleh Ia lakukan, serta berusaha untuk membela Yesus agar Ia tidak ditangkap. Akhirnya ketika Yesus menjadi begitu rentan. Ia menjadi pesakitan dan siap dibantai, Petrus, orang kuat sekaligus lemah ini jatuh dan mengatakan bahwa ia bukan murid Yesus. Ia menyangkal Yesus tiga kali. Sang “Batu Karang”, jelas bukan batu karang lagi! Ombak dasyat menghempaskannya hingga menjadi puing-puing pasir. Apakah kemudian Petrus kehilangan perannya sebagai “batu karang”?
Pada hari Paskah pagi, ketika Maria dari Magdala datang mendapatkan para murid, jelas ia mencari Petrus sebagai pemimpin kelompok, meski Petrus telah menyangkal Yesus. Bagaimana dengan sikap Yesus? Pantaskah orang seperti ini dipertahankan sebagai “batu karang”? Apakah Ia akan mengalihkan kepemimpinan kepada murid yang dikasihi, yang tetap setia sampai akhir dan berada di kaki salib?
Lihat bagaimana Yesus memulihkan:
Sesudah sarapan, Yesus bertanya kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari mereka ini?”
Tentu tidak mudah bagi Petrus untuk menjawab pertanyaan ini. Lidahnya tidak selantang dulu. Petrus telah belajar. Ia tidak memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya. Dulu, ia berkata, “Tentu, dan saya akan memberikan nyawaku untuk-Mu!” Petrus kini telah diajar untuk rendah hati oleh pengalamannya; ia tahu dan mengenal kelemahan-kelemahan dan dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya. Yang dapat ia katakana – mungkin dengan suara yang bergetar – adalah: “Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”
Yesus mengatakan kepadanya, “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
Petrus sedih karena Yesus mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali. Dengan cara itulah Yesus memulihkan Sang “Batu Karang”, Ia memulihkan Petrus sebagai gembala yang harus menggembalakan domba-domba-Nya. Domba-domba itu bukan miliknya, melainkan milik Yesus. Petrus tidak mempunyai hak untuk menguasai domba-domba itu; ia diberi tugas untuk membantu mereka agar berada dalam kesatuan dengan Yesus, agar mendengarkan suara Sang Gembala Agung.
Dengan cara itu pula, Yesus melembutkan dan mengajar agar Petrus rendah hati dan kemudian dapat memimpin, mengembangkan dan bertanggung jawab terhadap kawanan domba Allah, sebagai pembuktian bahwa ia mencintai Yesus.
Petrus dipanggil terutama dan pertama-tama untuk anak-anak domba (Yun: arnia), yakni memberi makan yang kecil, memperhatikan mereka yang tersesat, kesepian, lemah, sakit, dan lapar, mereka yang tersingkirkan dari masyarakat. Petrus dipulihkan untuk mengikuti dan meneladani Sang Gembala Baik, untuk menuntun kawanan, untuk mencuci kaki orang lain, untuk memberi mereka makan, dan untuk memberikan hidupnya bagi mereka yang dipercayakan kepadanya.
Petrus adalah kita!
Siapa kita? Jelaslah tidak setegar batu karang. Kerap kali dengan bahasa, gaya, sikap dan pikiran, kita menyangkal Tuhan. Barang kali lebih dari tiga kali kita menyangkal untuk tidak taat dan setia kepada Kristus. Demi rasa aman dan nyaman, kita menolak untuk setia pada firman-Nya. Kita mengikut arus dan bersembunyi di balik berbagai alasan. Lalu, apakah Yesus menyerah dan diam? Rasanya Tidak! Sama seperti terhadap Petrus, Ia juga bertanya kepada kita, “Apakah engkau mengasihi-Ku?”Pertanyaan itu seharusnya kita tempatkan sebagai sarana pemulihan dan peneguhan kembali jati diri kita sebagai murid-murid-Nya.
Sama seperti Petrus, kita pun diajar untuk kembali melihat pengalaman. Memperbaiki apa yang retak dan bahkan pecah. Mengumpulkan puing-puing agar kembali menjadi batu karang. Sama seperti Petrus, kita diajar untuk rendah hati, menanggalkan keegoisan dan memandang orang lain – kawanan domba – sebagai orang-orang yang berharga, yang harus dijaga bahkan dengan mempertaruhkan nyawa.
Yang menjadi permasalahan sekarang: Maukah kita mengalami pemulihan?
Jakarta, Paskah III 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar