Kamis, 30 Mei 2019

KESATUAN YANG SEMPURNA

Indonesia dibangun atas dasar Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Para pendiri negeri ini sangat menyadari bahwa Indonesiaterdiri dari pelbagai keragaman: suku, etnisitas, budaya, bahasa, agama atau keyakinan, dan sebagainya. Maka Indonesia tidak memilih menjadi negara agama atau menjadikan salah satu suku bangsa tertentu menjadi pilar pokok negara. Tidak! Bineka Tunggal Ika dipilih sebagai semboyan kehidupan kita berbangsa dan bernegara. “Berbeda-beda tetapi tetap satu”! Demikian makna dasar dari semboyan itu. Kesatuan tidak menghilangkan keanekaragaman itu, melainkan tetap memberi ruang kepada setiap perbedaan yang merupakan identitas elemen-elemen bangsa itu; menghormati eksistensi yang berbeda-beda itu sambil tetap merasakan kesehatian, solideritas dan persaudaraan di antara sesamaanak bangsa. 

Namun belakangan ini, dalam pesta demokrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah maupun Pemilihan Umum Presiden dan anggota Legislatif, NKRI yang berpuluh tahun dibangun terancam oleh politik praktis identitas. Politik identitas muncul oleh karena kompetensi atau kemampuan orang-orang yang berkompetisi dalam pemilu itu sangat minim. Politik identitas mengusungdan menyarakankesamaan aliran dalam beragama, kesamaan suku, dan etnisitas mencoba merobek anyaman kebinekaan itu hanya untuk kepentingan sesaat. Kekuasaan! Banyak orang tidak menyadari pengaruh ini begitu kuat merembes dan menjadi virus pemecah belah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, kelompok satu dengan yang lain saling curiga bahkan menganggapnya sebagai musuh!

Masalah kesatuan ternyata bukan hanya persoalan di ranah bangsa,negaraatau politik. Ia juga dapat menjadi problem besar untuk sebuah kehidupan umat percaya. Kalau melihat sejarah kehidupan umat percaya: bukan intimidasi, tekanan atau penganiayaan yang dapat meluluh-lantakan sebuah komunitas orang percaya. Kehancuran itu justru terjadi ketika ada perpecahan dalam komunitas itusendiri. Lihatlah, sejarah kekristenan di Timur Tengah, Turki, Semenanjung Arab, Afrika Utara, bahkan sampai Eropa. Perpecahan dalam komunitas umat membuat umat itu terpecah belah, bekeping-keping dan mudah untuk ditaklukkan.

Inilah yang menjadi keprihatinan Yesus. Maka Yesus – sebelum kepergian-Nya – mendoakan agar para murid bersatu. Bila diamati dalam konteks zaman Injil Yohanes ditulis, pokok ini amat serius. Dari dahulu para murid Yesus tidaklah berasal dari kalangan yang seragam, setingkat, atas seasal. Perbedaan satu sama lain cukup besar. Kisah Para Rasul mencatat hal itu juga. Nah, apakah banyaknya perbedaan itu menjadi alasan untuk mereka bertindak sendiri-sendiri? Tidak! Justru keragaman itu dipandang sebagai sumber kekuatan untuk mereka bersatu. Ini paradoks kehidupan komunitas. Karena perbedaan itu eksis atau ada dan dirasakan, maka semakin dirasakan pula kebutuhan untuk bersatu. Di sinilah kita harus memahami bahwa kesatuan itu bukanlah keseragaman. Sebab kalau dipahami demikian, tidak ada gunanya kita bicara tentang kesatuan.

Keragaman yang kemudian dipadukan, di situlah letak kekuatan baru yang lebih dasyat. Begitulah doa Yesus. Di sini Ia memberi ruang agar setiap orang berkembang seleluasa-leluasanya, tetapi juga agar mereka memerhatikan satu dengan yang lain sehingga menghasilkan sesuatu yang baru.

Kesatuan dalam doa Yesus itu didasarkan pada kesatuan diri-Nya dengan Sang Bapa. Ungkapan ini mungkin saja terasa begitu sangat teoritis, bahkan sarat dengan muatan mistik dan sulit dimengerti. Namun, Yohanes tidak mengajak kita berpikir ruwet. Ia mengajak kita memakai cara berpikir yang sangat biasa. Begini, kesatuan antara Yesus dan Sang Bapa itu jelas bukan kesatuan kesenyawaan sehingga yang satu sama persis dan melebur dengan yang lain. Ini tidak benar! Sebab kalau begitu untuk apa Yesus hadir kedunia? Kesatuan yang ditonjolkan ini adalah kesatuan yang timbul karena yang satu patuh dan yang lain menaruh perhatian; Yesus sebagai Anak, patuh, taat, setia pada kehendak Sang Bapa. Pada pihak lain, Bapa menopang dan meneguhkan apa yang dilakukan Sang Anak. Jalas tidak sama, tetapi keduanya membangun keselarasan. Inilah kesatuan yang ingin dikatakan Yesus!

Kesatuan kasih antara Bapa dan Anak itu bukan hanya contoh atau model untuk kesatuan murid-murid Yesus, tetapi juga menjadi dasar dan sumbernya untuk mereka bersatu. Murid-murid ditarik atau dihisabkan ke dalam kesatuan antara Yesus danBapa; diangkat ke dalam kesatuan ilahi itu. Atau bisa dikatakan secara terbalik seperti dalam Yohanes 17:22 dan 26, “…,supaya mereka menjadi satu, sama seperti kita adalah satu….supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka.”Kesatuan Ilahi oleh Yesus dialirkan ke tengah-tengah para murid-Nya. Kasih Bapa yang ada di dalam Yesus, oleh Yesus dinyatakan di tengah-tengah mereka.

Kesatuan para murid dan selanjutnya kesatuan jemaat bertujuan misioner di tengah-tengah dunia yang tidak mengenal dan mengimani kasih setia Bapa (Yoh.17:25). Dunia itu menjadi alamat kasih Allah (Yoh.3:16). Kasih-Nya itu diterjemahkan melalui hidup dan pelayanan Anak-Nya. Kini, mereka yang belum mengenal dan menerima Yesus sebagai utusan Bapa, akan terus-menerus disapa oleh Bapa melalui kesaksian para murid Yesus yang diutus ke tengah dunia dan dengan kesatuan kasih para murid itu akan menunjukkan bahwa Yesus sungguh-sungguh berasal dari Bapa. Kesatuan kasih di antara para murid akan menjadi pesona bagi orang-orang “luar” untuk menerima Yesus sebagai utusan Allah, dan dengan demikian mereka menerima kasih Bapa.

Sebaliknya, ketika para murid atau selanjutnya pengikut Yesus gagal mewujudkan kesatuan kasih – malah bertikai satu dengan yang lain untuk kepentingan sendiri – di sini mereka menjadi batu sandungan atau penghalang bagi orang lain untuk mengenal, menerima, merasakan dan mengalami kasih Bapa. Kasih itu tertahan oleh karena keegoisan kita!

Tidak dapat dipungkiri, gereja dalam sejarahnya banyak mengalami perpecahan, pertikaian bahkan kemelut dan permusuhan. Yesus, Dia yang telah berdoa untuk persatuan, tentu saja menangis! Mungkin juga hati-Nya hancur. Bukan doa-Nya yang tidak mujarab, namun para pengikut-Nyalah yang enggan mewujudkan doa itu. Betapa ambisi pribadi telah merampas kasih Bapa bagi banyak orang. Haruskah sekarang gereja terus memikirkan egonya sendiri? Tidak sadarkah bahwa hal itu melukai hati Yesus?

Para murid atau orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus mestinya berupaya berjalan ke arah kesatuan yang diinginkan Yesus itu. Bukan untuk menjadi seragam atau sama. Tetapi masing-masing berfungsi seperti anggota tubuh yang berbeda-beda. Mengerjakan tugas yang berbeda-beda, namun “mengalir darah” yang sama, tujuan yang sama, yakni: meneruskan karya Yesus di bumi ini.

Yesus menyatakan bahwa kesatuan yang sempurna hanya bisa dicapai kalau Allah hidup semakin utuh dalam diri kita masing-masing, kalau kita berusaha untuk hidup kudus dengan menerima Yang Kudus di dalam diri kita, dan kalau kita masing-masing bersama-sama mulai memancarkan kehadiran Yesus dalam diri kita.

Kita semua mempunyai tugas yang harus dilaksanakan agar dapat menjadi tempat dari Yang Kudus di dalam hati kita untuk mencintai sebagaimana Ia mencintai. Kesatuan tidak datang dengan menerima struktur-struktur luar, atau hukum, dogma, atau ritual ibadah. Kesatuan itu muncul dari hidup yang mengalir dalam diri kita dan melalui kita Bersama. Kesatuan itu adalah hati dan budi yang diikat bersama karena hati dan budi kita relakan untuk diikat dalam persekutuan dengan Yesus. Kesatuan itu adalah nyanyian, perayaan syukur, tanda kemuliaan Allah. Dengan demikian eukumenitas tidaklah untuk mengajak orang masuk ke dalam anggota gereja tertentu, melainkan untuk mendorong semua, mulai dari diri kita sendiri, untuk mencintai Yesus secara sungguh-sungguh.

Kesatuan ini tidak hanya untuk orang-orang yang secara harafiah pengikut Yesus, tetapi untuk semua orang yang berusaha menghormati, mencintai mereka yang berbeda dan yang berusaha untuk hidup berdasarkan kebenaran yang mereka tangkap dalam suara hati mereka. Kesatuan ini untuk semua orang yang ditarik untuk dekat dengan mereka yang lemah, yang membutuhkan bantuan, dan yang tertindas serta yang menapaki jalan kasih dan jalan bukan kekerasan. Kesatuan ini adalah persekutuan yang mengikat hati Bersama-sama, hati yang dibentuk dalam berbagai tradisi agama yang berbeda. Dalam hati yang seperti ini berdetak kerinduan yang sama akan damai, akan kebenaran, akan keinginan untuk dipegang dalam rengkuhan kasih Allah. Kita adalah berbeda dan pada waktu yang sama menjadi satu dalam kerinduan hati kita.

Mewujudkan doa kesatuan yang disampaikan Yesus, menjadi berarti dalam konteks NKRI yang sedang terkoyak ini. Kita dipanggil untuk mewujudkannya tidak melulu dengan kata dan wacana, melainkan dalam tingkah polah prilaku kita. Damailah Indonesia!

Jakarta, Minggu Paskah VII 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar