Adakah cinta yang tanpa batas? Pertanyaan ini hampir mustahil dengan jawaban “Ya, ada!” Mengapa? Sebab, kita semua adalah manusia terbatas. Ego atau pementingan diri sendiri itulah yang menjadi batas dalam kita mencintai. Kita mencintai, dalam bahasa Eka Darmaputra, supayaatau bila. Sehingga bahasa cinta itu menjadi, “Saya mencintai istri sayasupayadia pun mengasihi saya.” Atau “Saya akan mencintai istri saya biladia juga begitu terhadap saya.” Kalimat ini bisa diteruskan terhadap anak, orang tua, saudara, teman, teman sepelayanan, tetangga, dan yang lainnya. Bahasanya bicara tentang kasih, namun kontennya tidak lebih dari transaksi: “saya memberi maka saya harus mendapatkan” atau sebaliknya.
Mencintai, makna terdalam dari kata itu seharusnya bisa membebaskan sang pencinta dari kepentingan-kepentingan sendiri betapa pun alasan-alasan untuk itu sangat rasional. Sebab, adakah yang disebut cinta atau kasih sejati jika segala sesuatu berpulang untuk kepuasan sendiri? Cinta akan menjadi kerdil apabila kita memakainya sebagai alat untuk kenyamanan dan kemuliaan diri sendiri.
Yesus mengajarkan cinta tanpa batas.
Petrus dan Yudas Iskaryot, adalah dua pribadi yang bereaksi secara berbeda terhadap cinta kasih Yesus. Mereka ada dalam meja perjamuan. Reaksi mereka begitu mencolok dibanding murid-murid yang lain.
Petrus, sosok temperamental. Tidak selalu memahami apa yang dimaksudkan Yesus. Ketika Yesus berterus terang bahwa Ia harus menderita dan dibunuh, Petrus tampil sebagai sosok pembela. Ia menghardik Sang Guru. Yesus tidak boleh menderita apalagi mati dengan cara mengenaskan. Petrus ingin menyelamatkan Sang Penyelamat! Pada waktu itu, Yesus mengingatkan kepadanya, sebelum ayam berkokok ia akan menyangkal Yesus tiga kali. Petrus adalah pribadi yang kompleks; ia kuat sekaligus lemah. Keduanya ada di dalam dirinya. Ia akan menyangkal Yesus, namun ia juga akan menangisi tindakannya itu dan mohon pengampunan.
Bukankah dalam beberapa hal, kita mirip-mirip Petrus? Ingin mengikut dan melayani Yesus, namun akhirnya terus-menerus menyangkal Dia? Bahkan lebih buruk lagi, kita pura-pura tidak mengenal-Nya. Kadang-kadang kita takut akan kasih, dan tanggung jawab yang mengalir dari relasi kita dengan Yesus yang dekat. Kita dapat berkata “Ya” kepada Yesus yang berkuasa yang memanggil kita untuk melakukan hal-hal besar, sejauh kita berada pada pihak yang berkuasa. Sebaliknya, kita mengatakan “Tidak” ketika diperhadapkan dengan pelbagai kesulitan dan kerentanan hidup. Seperti Petrus kita memilih cara sendiri untuk merespons cinta-Nya. Kita juga sering mengalami kesulitan untuk menjadi seperti seorang anak dan percaya tanpa syarat pada kasih-Nya.
Yudas menolak dan takut akan kasih. Ia menyingkirkan Yesus. Setelah membasuh kaki para murid dan menyatakan dambaan-Nya akan kasih, kesatuan, dan persekutuan, hati Yesus gundah. Ia ingat akan kata-kata dalam Mazmur 41, yang berbicara tentang sahabat karib yang dipercaya, “…yang makan roti-Ku, telah mengangkat tumitnya terhadap Aku.”
Jelas, yang dimaksudkan Yesus adalah Yudas, murid-Nya, sahabat-Nya. Yudas yang Ia percaya, yang kakinya telah Ia basuh. Ia pergi untuk menghianati-Nya, menyingkirkan Sang Cinta itu! Yudas menolak untuk mencintai Yesus, ia melawan Dia. Ia sudah mulai membenci Yesus. Pasti, Yesus tahu kedalaman isi hati Yudas. Namun, Ia terus menyatakan kasih-Nya itu kepada Yudas. Yesus tidak melewatkan pembasuhan kaki terhadap Si Penghianat ini. Mungkin saja tatapan mata-Nya beradu dengan mata Yudas, kain lenan basah yang menyeka kaki yang kotor itu terasa menusuk sanubari. Namun, betapa kerasnya hati itu sehingga Yudas memilih hengkang dan bergabung dengan para pembenci Yesus. Yesus tahu sejak dari awal tabiat Yudas. Namun, Ia tetap memilih mencintainya. Itulah cinta tanpa batas.
Tabiat Yudas bisa ada dalam diri kita. Bisa saja kita mengikut Yesus dengan motivasi mendapatkan keuntungan tertentu. Lalu, ketika yang didambakan itu tidak terwujud, kita menjadi kecewa dan memilih meninggalkan Dia. Namun, Yesus tetap membuka cinta-Nya bahkan bagi si penghianat yang mau kembali. Percayalah bahwa pengampunan dan kasih-Nya begitu besar. Sayang, Yudas berbeda dari Petrus. Ia memilih berada pada posisi menolak cinta-Nya bahkan sampai akhir hidupnya yang tragis!
Ketika Yudas meninggalkan ruangan, Yesus memanggil para murid-Nya dengan sebutan “anak-anak-Ku”. Dalam arti tertentu mereka memang masih anak-anak kecil. Mereka baru saja dilahirkan menjadi murid; baru tiga tahun mereka mengenal Yesus. Mereka belum matang dan dituntut untuk berkembang cepat. Yesus hendak menunjukkan kepada mereka jalan menuju hidup yang utuh dan suci, jalan yang akan melewati kegembiraan yang menggairahkan dan rasa sakit yang mengerikan, dan berakhir dalam kesatuan dengan Yesus di dalam kemuliaan.
Selanjutnya, Yesus meninggalkan pesan terakhir,
“Aku memberikan perintah baru kepada kamu,
yaitu supaya kamu saling mengasihi;
sama seperti Aku telah mengasihi kamu,
demikian pula kamu harus saling mengasihi.
Dengan demikian, semua orang akan tahu
bahwa kamu adalah murid-murid-Ku,
yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13:34,35)
Menurut Hukum Musa, orang-orang Yahudi dipanggil untuk mengasihi Allah dengan seluruh jiwa, hati, budi, dan kekuatan mereka, dan mencintai sesama seperti diri mereka sendiri. Dalam pesan-Nya, Yesus memanggil para murid tidak hanya untuk mencintai orang lain seperti mereka mencintai diri mereka sendiri, melainkan mencintai seperti Dia – Yesus – mencintai mereka. Inilah yang baru!
Apa yang mencolok dalam konteks ketika Yesus mengatakan “mencintai seperti Aku mencintaimu”? Jelas bukan semata mencintai diri sendiri. Betapa pun diri sendiri menjadi tolok ukur dalam mencintai orang lain, tetap ada batasnya! Ada batasnya kita mencintai diri sendiri, entah kemampuan atau pun cara kita mencintai diri sendiri. Ketika Yesus mengatakan bahwa kita harus mencintai sama seperti Dia mencintai kita, maka kita akan teringat dengan figur Petrus dan Yudas Iskaryot.
Mencintai orang yang mencintai kita adalah lumrah. Yesus pernah mengatakan, cinta semacam itu, para pemungut cukai pun melakukannya. Cinta yang mengharapkan pamrih, adalah cinta yang umum dan berbatas. Namun, mencintai orang yang jelas-jelas tahu akan menyangkal dan menolak kita inilah yang disebut mencintai seperti Yesus mencintai. Mengasihi orang yang jelas-jelas kita tahu akan menghianati dan mencelakakan kita, itulah cinta kasih yang tanpa batas! Inilah perintah baru itu, yakni agar murid-murid Yesus melakukan-Nya.
Mungkin terdengar mustahil. Namun, bukan berarti tidak mungkin. Banyak contoh tentang itu, salah satunya:
Pada bulan Mei 1981, Alm. Paus Yohanes Paulus II ditembak oleh Mohammed Agca. Dua tahun kemudian, Lance Morrow menceritakan bahwa di balik tembok putih polos Penjara Rebbiba di Roma, Yohanes Paulus menggenggam tangan orang yang nyaris membunuhnya. Selama 21 menit, Paus duduk dengan orang yang hampir membunuhnya… Keduanya bercakap-cakap dengan lembut. Sekali, atau dua kali, Agca tertawa. Sang Paus mengampuninya. Pada akhir pertemuan, tidak jelas apakah Agca mencium cincin Paus atau menempelkan tangan Paus ke dahinya sebagai tanda simbol hormat dalam Islam. Cinta kasih itu tanpa batas, melampaui keyakinan, agama, ras, dan derajat sosial. Cinta kasih itu meruntuhkan tembok-tembok pemisah dan membangun jembatan relasi kemanusiaan.
Bukankah itu yang terjadi dengan Petrus. Ketika Petrus dipulihkan, ia menjadi seorang yang mampu menerobos sekat pemisah antara Yahudi dan non Yahudi dan ia bersedia mempertanggungjawabkan baptisan Kornelius di depan sidang di Yerusalem (Kisah Para Rasul 11:1-18).
Sekarang apa yang menjadi tanda kita sebagai murid Yesus? Sudahkah kasih Yesus yang tanpa batas itu juga mewarnai kehidupan iman kita. Sehingga dengan siapa pun kita dapat berinteraksi, berelasi dan membagikan cinta kasih Kristus!
Jakarta, Minggu Paska V
Tidak ada komentar:
Posting Komentar