“Seribu teman terlalu sedikit, satu orang musuh terlalu banyak”. Pepatah ini mengingatkan bahwa, sejatinya dalam kehidupan ini kita tidak mencari musuh tetapi turus menjalin relasi yang baik dengan semua orang. Idealnya, setiap orang yang kita jumpai dijadikan teman bahkan sahabat. Namun sayangnya, karena perbedaan temperamen, sifat, budaya, dan terutama kepentingan, alih-alih persahabatan yang dibangun, hubungan menjadi disharmoni. Disadari atau tidak, dalam kehidupan kita ada orang-orang yang kita sukai dan ada yang tidak kita sukai. Sebaliknya juga begitu, bagi orang-orang tertentu, kita dapat menjadi sahabatnya. Namun, bagi yang lain bisa jadi kita adalah orang yang memuakan mereka, seteru! Jika sudah begini, kita mengalami kesulitan berkomunikasi dengan baik.
Haruskah kita memutuskan untuk berhenti menjalin relasi dengan mereka yang menjadi “musuh” kita? Haruskah kita juga memusuhi dan memperlakukan mereka layaknya mereka memperlakukan kita? Benar, pada umumnya naluri manusia ingin membalas perlakuan yang diterimanya. Kita pada umumnya ingin membalas budi baik terhadap orang yang memberikan kebaikan kepadanya. Sebaliknya, kita juga ingin membalas perlakukan yang tidak menyenangkan terhadap dirinya.
Pernahkah Anda ingin membalas dendam lebih dari pada porsi yang seharusnya ketika Anda disakiti? Pada umumnya manusia ingin membalas lebih dari apa yang diterimanya. “Jika kamu membunuh anjingku, maka anjingmu akan kubunuh, begitu juga sapimu dan ayammu – aku akan tunjukkan agar kamu tidak main-main denganku!” Membatasi kecenderungan ini maka terciptalah apa yang disebut Hukum Resiprokal atau lex talionis. Siapa pun yang menyakiti orang lain harus merasakan sakit yang sama: patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi, seperti yang dibuatnya orang lain bercacat, begitulah harus dibuat kepadanya (Imamat 24:19-20). Resiprokal adalah standar dunia tentang kebenaran, keadilan dan hukum. Resiprokal juga berfungsi mengekang mereka untuk membuat kerusakan yang lebih parah dari yang seharusnya ketika mereka melakukan pembalasan.
Tidak menuntut balas dan mengasihi musuh di tengah kecenderungan sifat manusia melakukan pembalasan, mungkinkah?
Batasan kasih dan hak balas dendam dipelajari oleh orang Yahudi dalam kitab Imamat, “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Imamat 19:18). Mengasihi orang sebangsa adalah konsep yang dapat diterima umum, sama seperti lumrahnya kita memberi angpaupada anggota keluarga sendiri. Jika seseorang bukan orang sebangsa, atau anggota keluarga, maka tidak ada kewajiban untuk mengasihi. Membenci musuh adalah sikap yang wajar.
Yesus sekali lagi – setelah minggu kemarin kita tercengan dengan ucapan bahagia – menyatakan hal yang tidak wajar yang dianut oleh dunia ini, yakni perintah untuk mengasihi musuh. Apa artinya mengasihi seseorang? Bagi kebanyakan kita, kasih adalah sebuah perasaan emosi. Kata Yunani agapau(atau agape) sebenarnya mengacu bukan pada perasaan, melainkan kepada sebuah tindakan. Mengasihi (agapau) berarti “menginginkan sesuatu yang baik terjadi buat orang lain”. Kasih tidak melibatkan emosi atau rasa suka. Kita mengasihi, itu artinya kita menginginkan kebaikan bagi orang lain dan memperlihatkan keinginan tersebut dalam bentuk tindakan. Inilah poin pentingnya! Mengasihi musuh memang tidak mungkin ketika kita hanya menggunakan emosi, “Saya tidak pernah akan merasakan sanyang terhadap orang yang pernah melukai saya. Yesus tidak meminta para muridnya untuk merasakan sayang atau suka, tetapi untuk melakukan tindakan kasih kepada semua orang termasuk musuh sekali pun.
Mudah bagi kita untuk mengasihi orang yang mencintai kita; bahkan pemungut cukai pun bisa. Namun, sulit bagi kita untuk mengasihi mereka yang pernah melukai kita. Mudah bagi kita untuk mendoakan mereka yang mengasihi kita, tetapi sulit untuk mereka yang pernah menyakiti. Akan tetapi tindakan ini bukan hal mustahil untuk dilakukan. Mengasihi orang yang mengasihi kita adalah manusiawi, tetapi mengasihi musuh adalah tindakan surgawi! Ketika kita berhasil melakukannya, maka kita bertindak sama seperti Bapa surgawi.
Sebutan anak-anak Tuhan, mestinya mendorong kita untuk melakukan seperti Bapa melakukannya. Allah mengasihi siapa saja termasuk orang-orang yang menentang-Nya dengan memberikan kebaikan. Termasuk kita di dalamnya, bukankah kita juga adalah orang yang berdosa, yang mestinya tidak pantas untuk menerima kasih karunia-Nya, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. Sebab jikalau kita masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya”(Roma 5:8,10).
Membalas dendam atas perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang-orang di sekitar kita mungkin saja sesaat akan menjadi pelipur lara buat kita. Namun, apakah selanjutnya masalah menjadi selesai? Bukankah sebaliknya? Banyak darah tertumpah akibat balas dendam: perang antar saudara karena sakit hati seolah menjadi cerita turun-temurun. Sudah tidak terhitung lagi banyaknya nyawa melayang akibat konfliks kaum Protestan dan Katolik di Irlandia Utara; Yahudi dan Palestina; Hutus dan Tutsis di Rwanda; Korena Utara dan Selatan; Pakistan; Afganistan dan Anda bisa menyebutkan sendiri. Jelaslah membalas dendam akan menghasilkan dendam yang baru, demikian seterusnya.
Lalu, bukankah ketika kita tidak membalas, itu berarti kita sedang membiarkan mereka untuk bertindak terus menyakiti orang lain? Bukankah kita sedang membiarkan mereka bertindak dzolim?
Yesus memberi contoh,”Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkanlah ia juga mengambil bajumu”(Lukas 6:20). Bukankah Yesus sedang mengajarkan pembiaran kelaliman? Sepintas kita menangkap mungkin begitu. Mari kita lihat konteksnya. Dalam Injil Matius dijelaskan lebih rinci, “Siapa yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”(Matius 5:39).
Pada zaman Yesus, adalah pemandangan lazim melihat seorang tuan menampar budaknya. Seorang tuan dapat memperlakukan seorang budak semaunya. Tidak ada seorang pun yang dapat menampar seseorang yang kedudukannya lebih tinggi. Tangan kiri tidak pernah digunakan untuk memukul. Menampar pipi kanan berarti menampar seseorang dengan punggung tangan. Ketika si tuan menampar, si budak akan menunduk pasrah. Si tuan akan terus menampar si budak. Tentu si budak dapat membalas, namun harap diingat, jika ia melakukannya maka risikonya sangat besar. Jika ada seseorang yang kedudukannya sama, lalu menamparnya, maka ia dapat melaporkan si penampar itu ke pengadilan. Pada zaman Yesus, menampar seseorang adalah tindakan kriminal yang dapat dihukum di pengadilan. Tetapi Yesus malah mengajarkan respons yang mengejutkan: tawarkan juga pipi yang lain. Akibatnya, si penampar menjadi bingung (mengapa ia pasrah saja, atau ketika membalikkan pipi, si tuan tidak bisa lagi menggunakan punggung tangan, melainkan telapak tangan. Dan ini adalah tamparan untuk orang yang sama kedudukannya. Si penampar akan berpikir dua kali: jangan-jangan dia melaporkannya kepada pihak berwajib!)
Orang yang ditampar akan punya alternatif untuk sebuah respons tanpa kekerasan namun mengajarkan kepada si penamparnya untuk berpikir kembali tentang kekerasan yang sudah ia lakukan. Mahatma Gandhi dalam konteks perjuangannya memakai cara-cara seperti ini. Ia pernah mengatakan, “Jika mata ganti mata maka seluruh dunia akan menjadi buta!” Gandhi memilih jalan tidak memakai kekerasan dalam perjuangannya. Ia berhasil membuktikan kepada dunia bahwa kekerasan dan dendam bukanlah solusi terbaik mengatasi konfliks!
Martin Luther King Jr pernah mengatakan “Darkness cannot drive out darkness, only light can do that. Hate cannot drive out hate, only love can do that.” Luther King Jr, bukan sekedar retorika. Ia membuktikannya dengan gerakan menuntut kesetaraan hak asasi manusia namun dengan cara tidak menggunakan kekerasan.
Bagaimana dengan gereja? Apakah masih mempertanyakan, “Mengasihi musuh, mungkinkah?” Jelas, di dalam Yesus hal itu bukan saja mungkin. Namun, merupakan solusi mengatasi dan mengakhiri konfliks. Saatnya kita bertanya bukan mungkin atau tidak, melainkan maukah kita mengasihi musuh atau orang yang telah membuat luka dalam hidup kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar