Ritual keagamaan sering dicibir. Namun, tidak jarang berguna sebagai sarana umat membangun karakter mulia. Ia dicibir oleh karena sering orang memakainya sebagai alat memertahankan identitas. Di ranah politik, ritual – yang kemudian di dalamnya terbangun syareat dengan ketentuan akidah atau doktrin – dipakai sebagai alat politik identitas. Dalam tataran ini tidak penting orang itu hidup menjunjung moralitas yang bersumber dari nilai-nilai luhur ayat-ayat suci atau tidak. Bagi kelompok ini, yang penting adalah memelihara ritual dan akidah. Yang penting menjaga kekudusan Sabat, korban bakaran dan korban sembelihan ketimbang mencintai dan memberdayakan orang miskin dan tertindas.
Pada pihak lain, ritual dapat menjadi sarana membangun karakter mulia dalam kehidupan umat. Tentu saja untuk mencapainya, orang harus tekun dan setia belajar memahami makna dari ritual. Mau belajar dan kerendahan hati menjadi syarat mutlak untuk memahami makna dari sebuah rangkaian ritual. Komunitas Yahudi sangat kental dengan ritual-ritual ibadah. Banyak hukum-hukum yang mengatur kehidupan orang perorangan ataupun bersama-sama sebagai sebuah komunitas. Ya, kehidupan mereka tidak lepas dari keyakinan mereka sebagai umat pilihan Allah, yang diberi hukum khusus, Taurat.
Dalam kehidupan masyarakat Yahudi, keluarga mempunyai andil besar dalam membangun karakter umat. Mengapa? Ini adalah amanat TUHAN sendiri yang disampaikan oleh hamba-Nya Musa yang dikenal dengan syema Israel(Ulangan 6:4-9). Intinya, agar setiap orang tua mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk mengasihi TUHAN dengan segenap hati, segenap jiwa, dan dengan segenap kekuatan. Mereka harus mengajarkannya berulang-ulang dengan pelbagai metode dan sarana.
Yusuf dan Maria, orang tua Yesus adalah penganut agama Yahudi. Mereka hidup dan menghidupi tradisi dan ritual Yahudi. Sehingga tidaklah mengherankan, sejak kelahiran-Nya, Yesus kental dengan tradisi ritual Yahudi. Ia disunat pada hari kedelapan, merayakan Paskah Yahudi, membaca kitab suci dalam Bahasa Ibrani, menghormati hari Sabat dan lain sebagainya telah mendarah daging dalam diri keluarga-keluarga Yahudi. Dalam setahun, seperti orang-orang Galilea lainnya, keluarga Yesus melakukan perjalanan ziarah ke Yerusalem tiga kali setahun seperti yang diwajibkan oleh ketentuan Taurat: di musim semi untuk merayakan Paskah, di awal musim panas untuk merayakan Pentakosta, dan di musim gugur untuk merayakan pesta Pondok Daun. Pada perayaan Paskah khususnya, Yosefus (sejarawan Yahudi abad pertama) mencatat bahwa sekitar dua setengah juta orang Yahudi dari Palestina dan dari seluruh dunia berkumpul di Yerusalem.
Perjalanan peziarah dari Galilea ke Yerusalem melintasi daerah seberang Sungai Yordan dan ditempuh selama 4 sampai 5 hari. Biasanya mereka berjalan membentuk rombongan-rombongan besar yang terdiri dari orang-orang sekampung atau sedaerah. Mungkin mirip-mirip orang melakukan ibadah haji. Walaupun perjalanan itu tidak mudah. Namun, mereka tertolong dengan arak-arakan gembira dan menyanyikan Mazmur pujian (misalnya Mazmur 84, 12—134 yang berisi nyanyian ziarah).
Pada perjalanan pulang terjadilah insiden kecil (Lukas 2:44). Yesus hilang! Yusuf dan Maria, masing-masing mengira Yesus berada dalam salah satu rombongan mereka. Orang banyak yang berjalan pulang tentulah tidak bersamaan dalam sebuah kelompok. Ada kelompok-kelompok kecil yang berjalan bersama. Mungkin saja beberapa rombongan laki-laki berjalan lebih cepat dari pada perempuan dan anak-anak. Bisa saja Yusuf mengira bahwa Yesus berada bersama Maria dalam rombongan kaum perempuan. Sebaliknya, Maria menduga Yesus bersama dengan rombongan Yusuf. Ketika mereka bertemu, terkejutlah mereka berdua oleh karena Yesus tidak ada di antara mereka. Segeralah kemudian mereka mencari Yesus.
Barulah pada hari ketiga mereka menemukan Yesus sedang berada di kompleks Bait Allah. Lukas 2:46 tidak mengatakan bahwa Yesus menjadi pusat perhatian. Namun, Yesus “mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan” dan memberi jawab atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Artinya, Yesus berperan sebagai seorang pelajar yang cerdas, bukan bertindak sebagai pengajar. Tingkah lakunya adalah sesuai dengan apa yang diharapkan dari seorang murid yang rajin. Sebab, bersoal jawab antara guru dan murid adalah termasuk metode pengajaran dari para rabi Yahudi. Dalam tradisi Yahudi, anak-anak yang berumur 13 tahun dianggap dewasa dalam menalar persoalan keagamaan. Pada saat itu seorang anak laki-laki menjadi “anak Taurat”, artinya bahwa selanjutnya ia wajib memelihara segala syareat agama. Dalam tahun-tahun sebelumnya, Taurat atau lebih tepatnya “hukum-hukum agama” itu diajarkan kepada mereka dan mereka dibiasakan dan dilatih untuk menaati perintah-perintah itu. Tentu saja dimulai dengan yang mudah dan akhirnya – antara usia 12 dan 13 tahun – juga diberikan materi yang paling berat. Itulah sebabnya mengapa Yesus dapat bersoal jawab mengenai ketentuan hukum-hukum agama.
Yusuf dan Maria telah berperan menjadi orang tua yang baik. Yesus dibimbing sejak usia dini mengenal, memahami bahkan melakukan ketentuan hukum Taurat. Bagaimana dengan keluarga-keluarga kita? Apakah sudah cukup puas ketika menyerahkan Pendidikan agama anak-anak kita kepada Lembaga Pendidikan formal atau Sekolah Minggu?
Sebagaimana setiap orang tua, Maria dan Yusuf cemas dan mengkhawatirkan Yesus. Oleh karenanya ketika mereka menemukan Yesus, Maria segera berkata, “Mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapamu dan aku dengan cemas mencari Engkau.”Yesus menanggapi, “Kamu mencari Aku? Mengapa? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”Dalam jawaban ini, Yesus mengkontraskan kata Bapa-Ku(= Allah) yang diucapkan-Nya sendiri, dengan kata “bapa-Mu”(=Yusuf) yang diucapkan Maria. Maria berbicara dalam bingkai kewajiban anak terhadap orang tuanya. Sedangkan Yesus berbicara tentang kewajiban-Nya terhadap Allah. Dengan bertanya, “Tidakkah kamu tahu,”Yesus menyatakan bahwa orang tua-Nya, Maria dan Yusuf seharusnya tahu tentang hal itu. Lalu, mengapa mereka tidak dapat memahaminya? Kunci masalahnya ada pada kata harus. Yesus selalu harus ada dalam pekerjaan Bapa-Nya – bukan pada saat itu saja. Ia harusselalu taat karena begitulah kehendak Sang Bapa.
Meski tidak memahami, namun Maria menyimpannya di dalam hati. Dengan demikian mata batin Maria tertuju ke masa depan. Ia yakin bahwa suatu saat wahyu ilahi akan menjadi lebih jelas baginya. Lewat kalimat ini juga, Injil Lukas mau menegur pembacanya: Mereka juga harus bersikap seperti Maria untuk memahami seluruh Injilnya.
Sesudah insiden yang menghebohkan keluarga Yusuf, akhirnya mereka kembali ke Nazaret. Cerita Lukas tentang masa kecil Yesus kemudian diakhiri dengan pernyataan bahwa Yesus terus bertumbuh secara jasmani dan rohani di bawah asuhan kedua orang tuanya. Kalimat yang sama kita temukan dalam pertumbuhan masa kecil Samuel dalam bimbingan kolaborasi antara orang tuanya (Elkana dan Hana) dan Imam Eli (I Samuel 2:26).
Keluarga Yusuf dan Mari, begitu juga Elkana dan Hana adalah sosok orang tua yang merespos positif kehendak Allah. Mereka menjadi sarana di mana benih-benih pekerjaan Allah itu tumbuh dengan baik. Samuel tampil menjadi utusan Allah pada zamannya, demikian juga Yesus – sebagai manusia – Ia dipersiapkan sedemikian rupa dalam keluarga sederhana namun takut akan TUHAN. Sejak dari kecil mereka dikenalkan dengan ritual, tetapi juga keteladanan. Lalu, bagaimana dengan peran kita sebagai orang tua atau keluarga? Sadarkah bahwa dalam setiap keluarga, Tuhan merancangkan rencana indah? Ya, keluarga yang dipakai dan dipanggil untuk menjadi saluran berkat bagi orang dan ciptaan yang lain.
Mari kita benahi keluarga kita, agar dari sana terpancar terang dan kasih Tuhan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar