Kamis, 08 November 2018

PERSEMBAHAN YANG TIDAK MUNAFIK


Nilai tukar dollar Amerika Serikat sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Apalagi, pada masa menjelang pemilu seperti sekarang ini. Minggu yang lalu, nilai tukar rupiah terhadap dollar menembus Rp. 15.000,-. Syukurlah tidak terus melorot. Hari-hari ini rupiah kembali menggeliat. Di Indonesia kenaikan dollar terhadap rupiah sepanjang tahun ini tidak lebih dari 10% namun telah begitu ramai dipergunjingkan. Di Iran nilai tukar rial terjun bebas lebih dari 300%. Kini, 1 dollar AS dihargai 149.000 rial, melonjak tajam dari rata-rata 40.000 rial pada 2017. Dampaknya, keadaan perekonomian Iran terus memburuk ditambah lagi pemberlakuan sanksi baru oleh AS yang efektif berlaku pada 5 November 2018 yang lalu.

Di tengah keterpurukan dan ancaman kebangkrutan ekonomi Iran, banyak warganya menyoroti dan marah terhadap gaya hidup dan prilaku kelompok orang kaya dan berkuasa, termasuk tokoh agama. Kompas hari ini (08/11/18) memberitakan tentang kemarahan warga Iran itu. Salah satu kemarahan itu diperlihatkan Sayed Mahdi Sadrossadari, salah seorang tokoh agama yang memiliki 256.000 follower pada akun instagram-nya. Ia mengunggah beberapa pesan, yang ditujukan kepada anak-anak kelompok elite negerinya. Dalam salah satu pesan unggahan terbarunya, ia mengecam kehidupan mewah salah seorang komandan Garda Revolusi Iran (IRGC) dan putranya. Dalam swafoto yang diunggah daring, anak komandan itu terlihat berfoto di depan seekor harimau di rumah mewah. "Seekor harimau di rumah?" Apa yang sedang terjadi?" Tulis Sadrossadati di medsos. "Ini milik anak muda berusia 25 tahun yang tidak mungkin mendapat kekayaan seperti itu. Sementara orang-orang kesulitan memperoleh popok untuk anak mereka."

Para tokoh agama juga tidak luput menjadi sasaran kritik warga. Salah satunya adalah Mohammad Naghi Lotfi, imam masjid di kota Ilam. Ia pernah terekam dalam sebuah foto sedang keluar dari mobil mewah. Dalam kecaman di Facebook, ia disebut munafik karena dalam berbagai khotbah ia sering mengajak warga untuk bersabar dalam menghadapi krisis sementara dirinya menikmati kehidupan mewah. Kecaman di medsos itu membuatnya mengundurkan diri. Setelah pengunduran diri Lotfi, tiga tokoh agama lainnya ikut mundur.  Warganet menuding mereka hidup boros atau mempunyai kekayaan yang tidak wajar!

Perilaku munafik, bukan hanya terjadi di Iran. Gejala ini sangat umum terjadi di berbagai belahan dunia dan di sepanjang masa. Virus ini pun bisa saja menjangkiti Anda dan saya. Tentu saja kita tidak bisa menyamaratakan bahwa semua pejabat dan penguasa itu pasti korup. Atau setiap pemimpin keagamaan yang punya pengaruh dan banyak massa itu pasti munafik. Tentu tidak begitu! Demikian juga kita akan keliru kalau mengatakan bahwa semua ahli Taurat atau orang Farisi pada zaman Yesus itu adalah orang munafik. Pasti ada yang baik, ada yang setia dan jujur. Namun, perjumpaan Yesus dengan ahli Taurat atau orang Farisi sering digambarkan: Yesus berjumpa dengan orang-orang munafik! Penggambaran itu tidak lepas dari bingkai pengajaran agar para pengikut-Nya tidak menjadi orang yang munafik. Apa itu munafik dalam konteks ini? Tahu dan mengerti apa yang benar, tahu aturan dan hukum namun, tidak dipakai untuk diri sendiri. Melainkan hanya sebagai kebangaan diri dan dipakai untuk menuding orang lain!

Apa pesan Yesus menghadapi orang-orang munafik? Ia tidak meminta para pengikut-Nya menjauhi atau menolak orang-orang munafik, dalam hal ini ahli Taurat atau orang Farisi. Dalam pengajaran-Nya, Yesus berkata, "Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat yang suka...." (Markus 12:38, dst).  Yesus meminta para pengikut-Nya untuk "berhati-hati" atau waspada. Dalam kehati-hatian atau waspada terkandung sikap kritis. Tidak membenci orangnya, tetapi jangan sampai mencontoh prilaku buruk yang mereka lakukan. Apa saja yang menjadi prilaku buruk atau kemunafikan mereka?

Orang Yahudi percaya bahwa Allah telah menyatakan kehendak-Nya di dalam Hukum Taurat. Para ahli Taurat dipandang terhormat dalam masyarakat Yahudi. Mengapa? Sebab, mereka diyakini begitu dekat dengan Allah dan memahami kehendak-Nya. Dengan demikian mereka juga adalah orang-orang yang suci. Ucapan mereka memiliki otoritas sehingga orang-orang awam harus mendengarkan mereka. Status yang mulia itu juga tampak dalam pakai yang mereka kenakan. Para ahli Taurat mengenakan jubah yang panjang ketika sedang berjalan-jalan dan bertemu dengan banyak orang. Mereka "menikmati" penghormatan yang diberikan oleh orang banyak di tempat-tempat umum (seperti pasar). Di sinagoga, Hukum Taurat dibacakan, mereka duduk di tempat terbaik, mereka adalah orang-orang yang "paling tahu" dan menjadi yang paling dihormati karena pengetahuan mereka. Dalam pesta-pesta mereka duduk di tempat terhormat.

Benar, mereka tidak menerima bayaran dari pengajaran Taurat. Kehidupan mereka bergantung pada derma yang diberikan umat. Memberikan "subsidi" kepada para ahli Taurat dianggap sebagai salah satu bentuk kesalehan.  Namun, mereka mempergunakan status istimewa itu untuk memperkaya diri bahkan tidak segan "menindas" secara halus dan memakai syareat-syareat agama agar orang-orang memberikan milik mereka. Di sinilah gambaran ungkapan "mereka sampai hati "menelan rumah janda-janda". Tentu bukan dengan cara kasar. Cara kasar sudah dipakai oleh pemerintah penjajah Romawi dan pemungut cukai. Para ahli Taurat mengunakan dalil-dalil yang dibuat oleh mereka sendiri!

Para ahli Taurat memperdaya orang miskin atas nama kesalehan dengan mendorong mereka untuk merelakan harta miliknya untuk menyokong kehidupan para pemimpin agama itu. Mereka menyembunyikan kejahatan mereka di balik sandiwara kesalehan yang mereka pentaskan. mereka mengelabui mata orang dengan mengucapkan doa yang panjang-panjang. Panjangnya doa yang mereka ucapkan seolah-olah menunjukkan kedekatan mereka dengan Allah. Orang akan memandang mereka dengan rasa kagum dan hormat. Di hadapan mereka orang lain akan merasa kecil dan berdosa.  Sayangnya, mereka berdoa bukan untuk bertemu dengan Allah, melainkan untuk mencari penghormatan dari orang lain.

Dalam situasi banyak kemunafikan yang dibambarkan dalam figur ahli Taurat, Injil Markus mengkontraskan dengan si tertindas, yakni janda miskin yang hendak memberikan persembahan di rumah ibadat. Yesus duduk menghadap peti persembahan sambil memperhatikan orang-orang memasukkan ke dalam peti itu. banyak orang kaya memasukkan uang dalam jumlah besar ke dalam peti itu. Seorang janda miskin - mungkin ditandai dengan tampang dan pakaian kumal yang ia tampilkan. Janda itu memasukkan dua keping uang tembaga (harfiah: dua lepta, yakni sebuah kuadran). Lepta adalah mata uang tembaga terkecil di Palestina waktu itu. Pemberian dua keping mata uang tembaga itu ditegaskan Yesus sebagai seluruh nafkah janda untuk sehari itu. Hal ini tidak hanya menggambarkan kemiskinan ekstrim dari ibu janda ini. Tetapi lebih dari itu: kemurahan hati yang luar biasa. Ia tidak menahan bahkan ia tidak menahan salah satu saja, melainkan kedua keping itu ia persembahkan! Berbeda dengan banyak orang, ibu ini melakukan apa yang baru saja disebut Yesus sebagai perintah utama, yakni mengasihi Allah dengan bulat hati dan sekuat tenaga (Markus 12:30-31).

Orang miskin ini memberikan apa yang dibutuhkannya untuk hidup pada hari itu, dan dengan demikian memberikan hidupnya atau dirinya sendiri. Menurut midrash Yahudi, persembahan orang miskin diperhitungkan Allah seolah-olah ia mempersembahkan hidupnya sendiri: "Seorang ibu telah mempersembahkan segenggam tepung. Imam memandangnya hina dan berkata, 'Lihat, apa yang ia persembahkan! Dari padanya dapat dibuat makanan apa (untuk para imam)?' Tetapi ia ditegur dalam mimpi; jangan menghina dia. Sebab, ia seperti seorang yang telah mempersembahkan hidupnya sendiri" (Leviticus Rabba, III, 5). Sejalan dengan ini, kita mengingat apa yang diberikan oleh janda miskin di Sarfat kepada Elia. Ternyata, kerelaan itu membuahkan hasil luar biasa. Elia, janda dan anaknya terpelihara!

Memberi persembahan, tentu tidak asing bagi kita. Dalam ibadah-ibadah yang kita ikuti hampir selalu ada persembahan. GKI mengenal persembahan itu bukan hanya dalam bentuk uang. Selain uang, ada persembahan diri, waktu, tenaga dan pemikiran. Bagaimana sikap kita ketika memberikan persembahan itu? Apakah persembahan itu mewakili dan menggambarkan bahwa kita memberikan diri kita sepenuhnya kepada Tuhan? Ataukah persembahan itu hanya sebagai alat untuk popularitas kita? Apakah untuk memberikan persembahan itu kita menyisihkan atau menyisakan? Tuhan pasti tahu apa yang menjadi motivasi kita dalam memberi!

Jakarta, 08 November 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar