Nilai tukar dollar Amerika
Serikat sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Apalagi, pada masa
menjelang pemilu seperti sekarang ini. Minggu yang lalu, nilai tukar rupiah
terhadap dollar menembus Rp. 15.000,-. Syukurlah tidak terus melorot. Hari-hari
ini rupiah kembali menggeliat. Di Indonesia kenaikan dollar terhadap rupiah
sepanjang tahun ini tidak lebih dari 10% namun telah begitu ramai
dipergunjingkan. Di Iran nilai tukar rial terjun bebas lebih dari 300%. Kini, 1
dollar AS dihargai 149.000 rial, melonjak tajam dari rata-rata 40.000 rial pada
2017. Dampaknya, keadaan perekonomian Iran terus memburuk ditambah lagi
pemberlakuan sanksi baru oleh AS yang efektif berlaku pada 5 November 2018 yang
lalu.
Di tengah keterpurukan dan ancaman
kebangkrutan ekonomi Iran, banyak warganya menyoroti dan marah terhadap gaya
hidup dan prilaku kelompok orang kaya dan berkuasa, termasuk tokoh agama. Kompas hari ini (08/11/18) memberitakan
tentang kemarahan warga Iran itu. Salah satu kemarahan itu diperlihatkan Sayed
Mahdi Sadrossadari, salah seorang tokoh agama yang memiliki 256.000 follower pada akun instagram-nya. Ia
mengunggah beberapa pesan, yang ditujukan kepada anak-anak kelompok elite negerinya. Dalam salah satu pesan
unggahan terbarunya, ia mengecam kehidupan mewah salah seorang komandan Garda
Revolusi Iran (IRGC) dan putranya. Dalam swafoto yang diunggah daring, anak
komandan itu terlihat berfoto di depan seekor harimau di rumah mewah.
"Seekor harimau di rumah?" Apa yang sedang terjadi?" Tulis
Sadrossadati di medsos. "Ini milik anak muda berusia 25 tahun yang tidak
mungkin mendapat kekayaan seperti itu. Sementara orang-orang kesulitan
memperoleh popok untuk anak mereka."
Para tokoh agama juga tidak
luput menjadi sasaran kritik warga. Salah satunya adalah Mohammad Naghi Lotfi,
imam masjid di kota Ilam. Ia pernah terekam dalam sebuah foto sedang keluar
dari mobil mewah. Dalam kecaman di Facebook,
ia disebut munafik karena dalam berbagai khotbah ia sering mengajak warga untuk
bersabar dalam menghadapi krisis sementara dirinya menikmati kehidupan mewah.
Kecaman di medsos itu membuatnya mengundurkan diri. Setelah pengunduran diri
Lotfi, tiga tokoh agama lainnya ikut mundur.
Warganet menuding mereka hidup boros atau mempunyai kekayaan yang tidak
wajar!
Perilaku munafik, bukan hanya
terjadi di Iran. Gejala ini sangat umum terjadi di berbagai belahan dunia dan
di sepanjang masa. Virus ini pun bisa saja menjangkiti Anda dan saya. Tentu
saja kita tidak bisa menyamaratakan bahwa semua pejabat dan penguasa itu pasti
korup. Atau setiap pemimpin keagamaan yang punya pengaruh dan banyak massa itu
pasti munafik. Tentu tidak begitu! Demikian juga kita akan keliru kalau
mengatakan bahwa semua ahli Taurat atau orang Farisi pada zaman Yesus itu
adalah orang munafik. Pasti ada yang baik, ada yang setia dan jujur. Namun,
perjumpaan Yesus dengan ahli Taurat atau orang Farisi sering digambarkan: Yesus
berjumpa dengan orang-orang munafik! Penggambaran itu tidak lepas dari bingkai
pengajaran agar para pengikut-Nya tidak menjadi orang yang munafik. Apa itu
munafik dalam konteks ini? Tahu dan mengerti apa yang benar, tahu aturan dan
hukum namun, tidak dipakai untuk diri sendiri. Melainkan hanya sebagai
kebangaan diri dan dipakai untuk menuding orang lain!
Apa pesan Yesus menghadapi
orang-orang munafik? Ia tidak meminta para pengikut-Nya menjauhi atau menolak
orang-orang munafik, dalam hal ini ahli Taurat atau orang Farisi. Dalam
pengajaran-Nya, Yesus berkata, "Hati-hatilah
terhadap ahli-ahli Taurat yang suka...." (Markus 12:38, dst). Yesus meminta para pengikut-Nya untuk
"berhati-hati" atau waspada. Dalam kehati-hatian atau waspada
terkandung sikap kritis. Tidak membenci orangnya, tetapi jangan sampai
mencontoh prilaku buruk yang mereka lakukan. Apa saja yang menjadi prilaku
buruk atau kemunafikan mereka?
Orang Yahudi percaya bahwa
Allah telah menyatakan kehendak-Nya di dalam Hukum Taurat. Para ahli Taurat
dipandang terhormat dalam masyarakat Yahudi. Mengapa? Sebab, mereka diyakini
begitu dekat dengan Allah dan memahami kehendak-Nya. Dengan demikian mereka
juga adalah orang-orang yang suci. Ucapan mereka memiliki otoritas sehingga
orang-orang awam harus mendengarkan mereka. Status yang mulia itu juga tampak
dalam pakai yang mereka kenakan. Para ahli Taurat mengenakan jubah yang panjang
ketika sedang berjalan-jalan dan bertemu dengan banyak orang. Mereka
"menikmati" penghormatan yang diberikan oleh orang banyak di
tempat-tempat umum (seperti pasar). Di sinagoga, Hukum Taurat dibacakan, mereka
duduk di tempat terbaik, mereka adalah orang-orang yang "paling tahu"
dan menjadi yang paling dihormati karena pengetahuan mereka. Dalam pesta-pesta
mereka duduk di tempat terhormat.
Benar, mereka tidak menerima
bayaran dari pengajaran Taurat. Kehidupan mereka bergantung pada derma yang
diberikan umat. Memberikan "subsidi" kepada para ahli Taurat dianggap
sebagai salah satu bentuk kesalehan.
Namun, mereka mempergunakan status istimewa itu untuk memperkaya diri
bahkan tidak segan "menindas" secara halus dan memakai
syareat-syareat agama agar orang-orang memberikan milik mereka. Di sinilah
gambaran ungkapan "mereka sampai hati "menelan rumah janda-janda". Tentu bukan dengan cara kasar.
Cara kasar sudah dipakai oleh pemerintah penjajah Romawi dan pemungut cukai.
Para ahli Taurat mengunakan dalil-dalil yang dibuat oleh mereka sendiri!
Para ahli Taurat memperdaya
orang miskin atas nama kesalehan dengan mendorong mereka untuk merelakan harta
miliknya untuk menyokong kehidupan para pemimpin agama itu. Mereka
menyembunyikan kejahatan mereka di balik sandiwara kesalehan yang mereka
pentaskan. mereka mengelabui mata orang dengan mengucapkan doa yang
panjang-panjang. Panjangnya doa yang mereka ucapkan seolah-olah menunjukkan
kedekatan mereka dengan Allah. Orang akan memandang mereka dengan rasa kagum
dan hormat. Di hadapan mereka orang lain akan merasa kecil dan berdosa. Sayangnya, mereka berdoa bukan untuk bertemu
dengan Allah, melainkan untuk mencari penghormatan dari orang lain.
Dalam situasi banyak kemunafikan
yang dibambarkan dalam figur ahli Taurat, Injil Markus mengkontraskan dengan si
tertindas, yakni janda miskin yang hendak memberikan persembahan di rumah
ibadat. Yesus duduk menghadap peti persembahan sambil memperhatikan orang-orang
memasukkan ke dalam peti itu. banyak orang kaya memasukkan uang dalam jumlah
besar ke dalam peti itu. Seorang janda miskin - mungkin ditandai dengan tampang
dan pakaian kumal yang ia tampilkan. Janda itu memasukkan dua keping uang
tembaga (harfiah: dua lepta, yakni sebuah
kuadran). Lepta adalah mata uang tembaga terkecil di Palestina waktu itu.
Pemberian dua keping mata uang tembaga itu ditegaskan Yesus sebagai seluruh nafkah janda untuk sehari itu.
Hal ini tidak hanya menggambarkan kemiskinan ekstrim dari ibu janda ini. Tetapi
lebih dari itu: kemurahan hati yang luar biasa. Ia tidak menahan bahkan ia
tidak menahan salah satu saja, melainkan kedua keping itu ia persembahkan!
Berbeda dengan banyak orang, ibu ini melakukan apa yang baru saja disebut Yesus
sebagai perintah utama, yakni mengasihi Allah dengan bulat hati dan sekuat
tenaga (Markus 12:30-31).
Orang miskin ini memberikan
apa yang dibutuhkannya untuk hidup pada hari itu, dan dengan demikian
memberikan hidupnya atau dirinya sendiri. Menurut midrash Yahudi, persembahan orang miskin diperhitungkan Allah
seolah-olah ia mempersembahkan hidupnya sendiri: "Seorang ibu telah mempersembahkan segenggam tepung. Imam memandangnya
hina dan berkata, 'Lihat, apa yang ia persembahkan! Dari padanya dapat dibuat
makanan apa (untuk para imam)?' Tetapi ia ditegur dalam mimpi; jangan menghina
dia. Sebab, ia seperti seorang yang telah mempersembahkan hidupnya sendiri"
(Leviticus Rabba, III, 5). Sejalan dengan ini, kita mengingat apa yang
diberikan oleh janda miskin di Sarfat kepada Elia. Ternyata, kerelaan itu
membuahkan hasil luar biasa. Elia, janda dan anaknya terpelihara!
Memberi persembahan, tentu
tidak asing bagi kita. Dalam ibadah-ibadah yang kita ikuti hampir selalu ada
persembahan. GKI mengenal persembahan itu bukan hanya dalam bentuk uang. Selain
uang, ada persembahan diri, waktu, tenaga dan pemikiran. Bagaimana sikap kita
ketika memberikan persembahan itu? Apakah persembahan itu mewakili dan
menggambarkan bahwa kita memberikan diri kita sepenuhnya kepada Tuhan? Ataukah
persembahan itu hanya sebagai alat untuk popularitas kita? Apakah untuk
memberikan persembahan itu kita menyisihkan atau menyisakan? Tuhan pasti tahu
apa yang menjadi motivasi kita dalam memberi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar