Black box adalah bagian penting atau malah terpenting dalam sebuah
pesawat. Fungsi alat ini adalah untuk menentukan penyebab kecelakaan sebuah
pesawat terbang. Black box adalah
alat untuk merekam pembicaraan antara pilot dan pemandu lalu lintas udara atau air traffic control (ATC) bandara. Ada
dua alat perekam dalam black box, yakni:
fligth data recorder (FDR) dan cockpit voice recorder (CVR).
"Kotak Hitam" demikian kita menyebut black box sejatinya berwarna orange. Mengapa sekarang orange? Agar
mudah membedakan dari semua komponen elektronik ada dalam badan pesawat.
Mengapa harus beda dan warnanya ngejreng?
Kalau suatu saat pesawat mengalami kecelakaan, si kotak hitam yang orange itu mudah dikenali.
Kotak hitam, kini menjadi trending topic. Ramai dibicarakan orang
khususnya setelah pesawat canggih Boeing 737 Max 8 yang baru beroprasi beberapa
bulan mengalami kecelakaan dan jatuh di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat
pada Senin (29/10/2018) pagi. Semua orang tercengang nyaris tidak percaya
mengingat pesawat itu adalah pesawat baru dari generasi Boeing 737 seri terbaru yang dibekali dengan teknologi canggih
mutahir. Tentu saja semua pihak pemangku kepentingan, apalagi keluarga korban
ingin tahu apa sebenarnya yang menjadi penyebab terjadinya tragedi itu. Dan
jawabannya adalah kotak hitam!
Sejak menit-menit awal
hilangnya kontak Lion Air JT 610
dengan menara pengawas penerbangan, saat itu juga dikerahkan pencarian
koordinat pesawat. Dan ketika dipastikan pesawat jatuh, maka pencarian semakin
ditingkatkan intensitasnya. Pelbagai pesawat, kapal, helicopter, perahu nelayan
serta orang-orang yang berkompeten dikerahkan untuk mencari lokasi jatuhnya
pesawat. Tentu saja semua orang berharap agar para penumpang pesawat itu bisa
ditemukan. Tujuan utamanya jelas: menyelamatkan orang-orang yang berada dalam
pesawat itu! Namun, tujuan yang tidak kalah pentingnya adalah menemukan kotak
hitam itu.
Setelah lebih dari dua hari, kordinat
jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 mulai menemukan titik terang. Panglima TNI dan
Kepala Basarnas mendengar sendiri bunyi "Ping"
yang berasal dari kotak hitam itu. Lokasinya tidak jauh dari kordinat terakhir
pesawat itu last known position. Kapal
yang dilengkapi dengan alat sonar dan tim penyelam gabungan menyisir area itu.
Lokasi yang disebut "tidak jauh" itu ternyata tidak mudah untuk
ditemukan. Akhirnya, pada pukul 10.10 WIB (1 /11/2018) para penyelam berhasil
mengangkat "benda sakral"
itu yang letaknya sudah bergeser 400 meter dari patokan semula.
Walau perangkat teknologi
sonar canggih berbasis GPS dan lainnya telah menunjukkan posisi black box yang tidak jauh dari hilangnya
pesawat, tetap saja ada pelbagai kendala yang menghalangi untuk menemukannya.
Kendala yang paling besar adalah cuaca dan perubahan arus di dasar laut. Para
penyelam harus ekstra hati-hati ketika menyelam dengan arus kencang dan jarak
pandang yang tidak lebih dari 3 meter. Mereka harus dengan ketat menaati
prosedur-prosedur penyelaman. Selain itu, skil yang sudah mereka tempa lewat
berbagai pembelajaran dan pengalaman kini harus dikerahkan agar benda yang
mereka cari itu segera didapatkan.
Petunjuk, peralatan dan
teknologi adalah alat untuk menemukan sesuatu. Namun, tanpa upaya dan kerja
keras, keberanian dan pengharapan rasanya semua itu menjadi tidak berarti.
Dalam kehidupan beragama pun sering kali kita terjebak pada "alat"
untuk menunjukkan kedekatan kita dengan Sang Pencipta. Dalam dunia navigasi,
alat itu berupa sistem sonar, kompas, GPS, dan semacamnya. Sedangkan dalam
ranah agama alat itu adalah syareat atau hukum-hukum agama. Sebagaimana dunia
navigasi, kita tidak bisa dan tidak mungkin mengabaikan alat. Demikian juga
dalam dunia spiritualitas, hukum-hukum atau aturan dan ritual ibadah itu sangat
penting. Sayang, ada banyak kalangan yang menganggap saking pentingnya syareat
atau hukum agama itu kemudian mengubah fungsinya. Bukan lagi sebagai alat untuk
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta atau dalam bahasa Yesus Kerajaan Allah,
melainkan telah berubah menjadi tujuan!
Orang-orang Farisi pada zaman
Yesus mempunyai perangkat atau alat untuk menjalin keintiman dengan Allah.
Peraturan ibadah sangat kumplit. Para rabi Yahudi merinci Hukum Taurat menjadi
613 perintah dan larangan. Bagi mereka sudah sangat terbiasa hukum-hukum itu
menjadi wacana perdebatan. Kurban dan persembahan bukan lagi menjadi sarana,
melainkan berubah menjadi tujuan dari hidup spiritualitas mereka.
Suatu ketika ada seorang ahli
Taurat memerhatikan tanggapan Yesus terhadap kelompok Saduki yang tidak percaya
akan kebangkitan setelah kematian. Orang ini tentu saja tahu dan memahami seluk
beluk Taurat dan turunannya karena ia adalah pakarnya. Namun, kepakarannya
sedikit berbeda dari teman-teman yang lain. Jika kelompoknya menekankan pada
korban bakaran dan korban sembelihan. Ahli Taurat ini tidak! Ia menegaskan
bahwa mengasihi Allah dan sesama adalah jauh lebih penting ketimbang
korban-korban persembahan itu. Sehingga di sinilah ia perlu mengkonfirmasinya
kepada Yesus.
"Hukum yang
terutama", demikian LAI memberi judul percakapan Yesus dengan ahli Taurat
ini (Markus 12:28-34). Orang ini bertanya tentang hukum yang paling utama dari
sekian banyak hukum dalam aturan Yahudi. Yesus menjawab dengan mengutip "syema yisrael... (ulangan 6:4-6) tentang
mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan. Kemudian
Yesus juga mengutip Imamat 19:18 tentang mengasih sesama seperti diri sendiri.
Menariknya, perintah "Kasihilah
TUHAN, Allahmu.." tidak memakai kata Yunani "erao" (mencintai dengan mencari kepuasan untuk diri sendiri)
atau phileo (cinta persahabatan), melainkan
kata "agapo" yang berarti,
mengasihi tanpa pamrih, tanpa mencari imbalan. Melainkan mengutamakan yang
dicintai, memilih dan mencari dia lebih dari pada apa pun, dan memberikan diri
sepenuh-penuhnya kepada yang dicintainya itu.
Sang ahli Taurat ini
menanggapi jawaban Yesus, "Tepat
sekali, Guru, benar kata-Mu itu...." Sepintas mungkin kita berpikir
bahwa si penanya ini sama dengan kebanyakan orang Farisi lainnya. Ia bertanya
hanya untuk menguji dan menjebak Yesus saja. Namun ternyata tidak demikian! Ia
bertanya karena memerlukan konfirmasi atau penegasan dari pemahamannya bahwa
mengasihi Allah dan sesama itu jauh lebih penting ketiimbang upacara-upacara
korban persembahan. Bisa saja ia telah berdiskusi dengan sesama ahli Taurat dan
kemudian menganggapnya keliru. Dan kini, ia mendapatkan pembenaran dari Yesus
tentang lebih utama mengasihi ketimbang mencari kepuasan dalam ritual ibadah.
Selanjutnya, Yesus
mengapresiasi orang ini, "Engkau
tidak jauh dari Kerajaan Allah!" (Markus 12:34). Sama seperti
peralatan navigas dalam mencari titik kordinat pesawat yang hilang. Alat-alat
itu dapat menunjukkan posisi terdekat dari benda yang dicari. Namun, bukan
berarti benda itu sudah langsung bisa ketemu. Ahli Taurat ini dikatakan sudah
dekat dengan Kerajaan Allah. Namun, bukan berarti ia sekarang berada dalam
Kerajaan Allah. "Dekat" itu tidak sama dengan "menemukan"
apalagi "mengalami". Keyakinannya, menuntunnya begitu dekat dengan
Kerajaan Allah, yakni Yesus sendiri yang menghadirkan Allah dalam kasih itu.
Kini, ia tinggal selangkah lagi berada dalam Kerajaan Allah itu!
Banyak dari kita "tidak
juah" dari Kerajaan Allah. Artinya, begitu dekat! Kita memahami, tahu dan
mengerti serta sibuk dalam aktifitas gerejawi. Namun, perkara berada dan
mengalami Kerajaan Allah tidak selalu otomatis. Berada dan mengalami Kerajaan
Allah tidak cukup hanya dengan pemahaman dan pengetahuan. Melainkan butuh -
seperti penyelam mencari black box -
keberanian. Berani menanggalkan sifat dan sikap egosentri bahkan berani
menentang arus dalam melakukan apa yang kita pahami, yakni membuat
hukum-hukum-Nya itu hidup dalam kehidupan kita. Hukum-hukum Allah itu harus
dipandang bukan hanya sebagai tujuan, melainkan sumber inspirasi yang
memberdayakan kita untuk mengasihi Dia dan sesama.
Jakarta, 02 November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar