Jumat, 02 November 2018

HUKUM YANG MEMBERDAYAKAN, BUKAN MENINDAS


Black box adalah bagian penting atau malah terpenting dalam sebuah pesawat. Fungsi alat ini adalah untuk menentukan penyebab kecelakaan sebuah pesawat terbang. Black box adalah alat untuk merekam pembicaraan antara pilot dan pemandu lalu lintas udara atau air traffic control (ATC) bandara. Ada dua alat perekam dalam black box, yakni: fligth data recorder (FDR) dan cockpit voice recorder (CVR). "Kotak Hitam" demikian kita menyebut black box sejatinya berwarna orange. Mengapa sekarang orange? Agar mudah membedakan dari semua komponen elektronik ada dalam badan pesawat. Mengapa harus beda dan warnanya ngejreng? Kalau suatu saat pesawat mengalami kecelakaan, si kotak hitam yang orange itu mudah dikenali.

Kotak hitam, kini menjadi trending topic. Ramai dibicarakan orang khususnya setelah pesawat canggih Boeing 737 Max 8 yang baru beroprasi beberapa bulan mengalami kecelakaan dan jatuh di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat pada Senin (29/10/2018) pagi. Semua orang tercengang nyaris tidak percaya mengingat pesawat itu adalah pesawat baru dari generasi Boeing 737 seri terbaru yang dibekali dengan teknologi canggih mutahir. Tentu saja semua pihak pemangku kepentingan, apalagi keluarga korban ingin tahu apa sebenarnya yang menjadi penyebab terjadinya tragedi itu. Dan jawabannya adalah kotak hitam!

Sejak menit-menit awal hilangnya kontak Lion Air JT 610 dengan menara pengawas penerbangan, saat itu juga dikerahkan pencarian koordinat pesawat. Dan ketika dipastikan pesawat jatuh, maka pencarian semakin ditingkatkan intensitasnya. Pelbagai pesawat, kapal, helicopter, perahu nelayan serta orang-orang yang berkompeten dikerahkan untuk mencari lokasi jatuhnya pesawat. Tentu saja semua orang berharap agar para penumpang pesawat itu bisa ditemukan. Tujuan utamanya jelas: menyelamatkan orang-orang yang berada dalam pesawat itu! Namun, tujuan yang tidak kalah pentingnya adalah menemukan kotak hitam itu.

Setelah lebih dari dua hari, kordinat jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 mulai menemukan titik terang. Panglima TNI dan Kepala Basarnas mendengar sendiri bunyi "Ping" yang berasal dari kotak hitam itu. Lokasinya tidak jauh dari kordinat terakhir pesawat itu last known position. Kapal yang dilengkapi dengan alat sonar dan tim penyelam gabungan menyisir area itu. Lokasi yang disebut "tidak jauh" itu ternyata tidak mudah untuk ditemukan. Akhirnya, pada pukul 10.10 WIB (1 /11/2018) para penyelam berhasil mengangkat "benda sakral" itu yang letaknya sudah bergeser 400 meter dari patokan semula.

Walau perangkat teknologi sonar canggih berbasis GPS dan lainnya telah menunjukkan posisi black box yang tidak jauh dari hilangnya pesawat, tetap saja ada pelbagai kendala yang menghalangi untuk menemukannya. Kendala yang paling besar adalah cuaca dan perubahan arus di dasar laut. Para penyelam harus ekstra hati-hati ketika menyelam dengan arus kencang dan jarak pandang yang tidak lebih dari 3 meter. Mereka harus dengan ketat menaati prosedur-prosedur penyelaman. Selain itu, skil yang sudah mereka tempa lewat berbagai pembelajaran dan pengalaman kini harus dikerahkan agar benda yang mereka cari itu segera didapatkan.

Petunjuk, peralatan dan teknologi adalah alat untuk menemukan sesuatu. Namun, tanpa upaya dan kerja keras, keberanian dan pengharapan rasanya semua itu menjadi tidak berarti. Dalam kehidupan beragama pun sering kali kita terjebak pada "alat" untuk menunjukkan kedekatan kita dengan Sang Pencipta. Dalam dunia navigasi, alat itu berupa sistem sonar, kompas, GPS, dan semacamnya. Sedangkan dalam ranah agama alat itu adalah syareat atau hukum-hukum agama. Sebagaimana dunia navigasi, kita tidak bisa dan tidak mungkin mengabaikan alat. Demikian juga dalam dunia spiritualitas, hukum-hukum atau aturan dan ritual ibadah itu sangat penting. Sayang, ada banyak kalangan yang menganggap saking pentingnya syareat atau hukum agama itu kemudian mengubah fungsinya. Bukan lagi sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta atau dalam bahasa Yesus Kerajaan Allah, melainkan telah berubah menjadi tujuan!

Orang-orang Farisi pada zaman Yesus mempunyai perangkat atau alat untuk menjalin keintiman dengan Allah. Peraturan ibadah sangat kumplit. Para rabi Yahudi merinci Hukum Taurat menjadi 613 perintah dan larangan. Bagi mereka sudah sangat terbiasa hukum-hukum itu menjadi wacana perdebatan. Kurban dan persembahan bukan lagi menjadi sarana, melainkan berubah menjadi tujuan dari hidup spiritualitas mereka.

Suatu ketika ada seorang ahli Taurat memerhatikan tanggapan Yesus terhadap kelompok Saduki yang tidak percaya akan kebangkitan setelah kematian. Orang ini tentu saja tahu dan memahami seluk beluk Taurat dan turunannya karena ia adalah pakarnya. Namun, kepakarannya sedikit berbeda dari teman-teman yang lain. Jika kelompoknya menekankan pada korban bakaran dan korban sembelihan. Ahli Taurat ini tidak! Ia menegaskan bahwa mengasihi Allah dan sesama adalah jauh lebih penting ketimbang korban-korban persembahan itu. Sehingga di sinilah ia perlu mengkonfirmasinya kepada Yesus.

"Hukum yang terutama", demikian LAI memberi judul percakapan Yesus dengan ahli Taurat ini (Markus 12:28-34). Orang ini bertanya tentang hukum yang paling utama dari sekian banyak hukum dalam aturan Yahudi. Yesus menjawab dengan mengutip "syema yisrael... (ulangan 6:4-6) tentang mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan. Kemudian Yesus juga mengutip Imamat 19:18 tentang mengasih sesama seperti diri sendiri. Menariknya, perintah "Kasihilah TUHAN, Allahmu.." tidak memakai kata Yunani "erao" (mencintai dengan mencari kepuasan untuk diri sendiri) atau phileo (cinta persahabatan), melainkan kata "agapo" yang berarti, mengasihi tanpa pamrih, tanpa mencari imbalan. Melainkan mengutamakan yang dicintai, memilih dan mencari dia lebih dari pada apa pun, dan memberikan diri sepenuh-penuhnya kepada yang dicintainya itu.

Sang ahli Taurat ini menanggapi jawaban Yesus, "Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu...." Sepintas mungkin kita berpikir bahwa si penanya ini sama dengan kebanyakan orang Farisi lainnya. Ia bertanya hanya untuk menguji dan menjebak Yesus saja. Namun ternyata tidak demikian! Ia bertanya karena memerlukan konfirmasi atau penegasan dari pemahamannya bahwa mengasihi Allah dan sesama itu jauh lebih penting ketiimbang upacara-upacara korban persembahan. Bisa saja ia telah berdiskusi dengan sesama ahli Taurat dan kemudian menganggapnya keliru. Dan kini, ia mendapatkan pembenaran dari Yesus tentang lebih utama mengasihi ketimbang mencari kepuasan dalam ritual ibadah.

Selanjutnya, Yesus mengapresiasi orang ini, "Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!" (Markus 12:34). Sama seperti peralatan navigas dalam mencari titik kordinat pesawat yang hilang. Alat-alat itu dapat menunjukkan posisi terdekat dari benda yang dicari. Namun, bukan berarti benda itu sudah langsung bisa ketemu. Ahli Taurat ini dikatakan sudah dekat dengan Kerajaan Allah. Namun, bukan berarti ia sekarang berada dalam Kerajaan Allah. "Dekat" itu tidak sama dengan "menemukan" apalagi "mengalami". Keyakinannya, menuntunnya begitu dekat dengan Kerajaan Allah, yakni Yesus sendiri yang menghadirkan Allah dalam kasih itu. Kini, ia tinggal selangkah lagi berada dalam Kerajaan Allah itu!

Banyak dari kita "tidak juah" dari Kerajaan Allah. Artinya, begitu dekat! Kita memahami, tahu dan mengerti serta sibuk dalam aktifitas gerejawi. Namun, perkara berada dan mengalami Kerajaan Allah tidak selalu otomatis. Berada dan mengalami Kerajaan Allah tidak cukup hanya dengan pemahaman dan pengetahuan. Melainkan butuh - seperti penyelam mencari black box - keberanian. Berani menanggalkan sifat dan sikap egosentri bahkan berani menentang arus dalam melakukan apa yang kita pahami, yakni membuat hukum-hukum-Nya itu hidup dalam kehidupan kita. Hukum-hukum Allah itu harus dipandang bukan hanya sebagai tujuan, melainkan sumber inspirasi yang memberdayakan kita untuk mengasihi Dia dan sesama.

Jakarta, 02 November 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar