SØren
Kierkegaard, seorang teolog dan filsuf berkebangsaan Denmark (5 Mei 1813-11
November 1855), menyatakan bahwa kita menjalani hidup dengan menatap ke depan
dan memahaminya dengan cara menoleh ke belakang. Kedua persfektif: menoleh ke
belakang dan menatap ke depan tidak mesti saling eklusif dan dipertentangkan
satu dengan yang lain. Sasaran yang kita miliki akan menentukan fokus perhatian
kita. Jika kita ingin memahami apa yang sudah terjadi, mungkin kita perlu
kembali ke masa lalu. Di sana, kita sangat mungkin mendapatkan pelajaran
berharga dari masa lalu itu. Dan, tentu saja hal ini menjadi penting bagi hidup
kita masa kini. Sebagai contoh, anak yang kakinya terbakar karena menyentuh knalpot sepeda motor akan belajar untuk
tidak menyentuh lagi benda itu. Namun, perlu disadari mengingat masalalu itu
tidak selalu menyenangkan.
Jika hidup adalah tentang apa
yang ada di masa depan, ke sanalah tatapan mata kita harus diarahkan. Sebagai
sebuah spesies, kita dilengkapi kemampuan untuk menatap dan bergerak ke depan.
Kita punya mata di bagian depan kepala dan anatomi tubuh kita dibangun untuk
bergerak ke depan dengan mudah dan cepat. Sebaliknya, gerakan mundur kita
canggung dan tidak efisien. Fisiologi dan psikologi kita berinteraksi dengan erat
dalam perspektif ini. Jika kita menundukan kepala dan menatap ke bawah, kita
menjadi introspektif dan suasana hati kita bisa dengan mudah berputar ke arah
depresi. Ketika kita berdiri tegak, manatap ke depan, dan cita-cita kita
membentang di hadapan kita, kita merasa lebih baik dan bersemangat secara fisik
maupun emosi. Namun, hidup tidak melulu tertunduk melihat ke bawah dan tidak
selamanya tegak ke depan. Hidup adalah sekarang! Hidup adalah menikmati
masa-masa lalu sambil menentukan arah bagi masa depan.
Menjelang ajalnya dan ketika generasi
baru Israel siap menempati tanah perjanjian, Yosua mengumpulan segenap pemuka
Israel. Mereka diajak menerawang kembali ke masa lalu. “...Dahulu kala di seberang sungai Efrat, di situlah diam nenek moyangmu,
yakni Terah, ayah Abraham dan ayah Nahor, dan mereka beribadah kepada allah
lain. Tetapi Aku mengambil Abraham, bapamu itu, dari seberang sungai Efrat, dan
menyuruh dia menjelajahi seluruh tanah Kanaan. Aku membuat banyak keturunannya
dan memberikan Ishak kepadanya” (Yosua 24:2-3). Dari pemanggilan Abraham
itulah Allah berkarnya membentuk sejarah Israel dan keselamatan bagi umat
manusia. Pernyataan Yosua ini mengingatkan Israel bahwa leluhur meraka
sebelumnya beribadah kepada allah lain. Dengan demikian sebenarnya, tanpa
insiatif Allah, Israel tidaklah layak di hadapan Allah. Pernyataan itu pula
yang menyiratkan bahwa TUHAN adalah Allah yang berdaulat mutlak dan bertindak
berdasarkan kebebasan serta rakhmat-Nya.
Lalu, Yosua meneruskan dengan
kisah perjalanan panjang bangsa itu. Musa diutus untuk membebaskan mereka dari
perbudakan di Mesir. Berulang kali bangsa itu bersungut-sungut namun Allah
tetap setia menyertai umat-Nya itu. Kemenangan demi kemenangan diberikan-Nya
atas bangsa-bangsa lain hingga mereka memasuki tanah perjanjian itu. Jadi,
Israel berkembang dan kini menguasaan Kanaan bukan karena kekuatan sendiri,
Allahlah yang berperan di balik semua itu! Kini, Yosua sebelum mengakhiri
hidupnya dan melepas bangsanya untuk hidup di masa depan di tanah perjanjian, ia
meminta agar bangsa itu, “...takutlah akan TUHAN dan beribadahlah
kepada-Nya dengan tulus iklas dan setia. Jauhkanlah yang kepadanya nenek
moyangmu telah beribadah di seberang
sungai Efrat dan di Mesir dan beribadahlah kepada TUHAN.” (Yosua 24:14)
Yosua meminta bangsa itu
beribadah kepada TUHAN. Kata “beribadah” berasal dari kata Ibrani abd yang berarti bekerja, bekerja bagi
yang lain, dan melayani. Dengan demikian, pada hakekatnya kata abd (avodah atau ibadah) bukanlah melulu
pada suatu tindakan ritual keagamaan. Lebih jauh dari itu: prilaku, etos kerja
dan segala apa yang dikerjakan umat dalam kehidupan sehari-hari merupakan
manifestasi dari ibadah itu sendiri. Jadi, ketika Yosua meminta bangsa Israel
untuk beribadah kepada TUHAN, itu artinya seluruh prilaku, karya dan tindakan
serta pelayanan pada hakekatnya ditujukan untuk menyenangkan dan memuliakan
TUHAN.
Mengapa beribadah dan melayani
TUHAN? Bagi Yosua, sangat jelas dari pengalaman masa lalu tentang TUHAN yang memanggil leluhurnya lalu
membentuk jati diri bangsanya dan kemudian penyertaannya sampai pada masa
tuanya membuat dirinya tidak bisa mengatakan atau menunjuk allah lain yang
kepada-Nya ia dan seisi rumahnya beribadah! Yosua mengajak umat untuk
menghayati tugas beribadah dan melayani bukan sekedar kewajiban, aktualisasi
diri, menyalurkan bakan atau hobi melainkan menghayati seluruh karya
keselamatan Allah yang telah mereka alami. Itulah sumber spiritualitas.
Belajar dari kisah Yosua dan
bangsanya, kita hanya dapat beribadah dengan tulus dan iklah kepada Allah jika
kasih dan karya keselamatan-Nya nyata dalam pengalaman hidup kita. Sulit bagi
kita dapat beribadah dan melayani-Nya dengan benar, jika kasih-Nya yang besar
itu tidak pernah kita alami.
Teri, adalah sosok pria
atletis yang sangat bugar, gemar bersepeda, mendaki tebing, dan menjelasjah
gua. Akhir “hidupnya yang pertama” adalah ketika ia sedang menuruni sebuah
tebing terjal di mulut sebuah gua. Ia memegang sebuah tonjolan batu pada tebing
itu, tetapi tiba-tiba tonjolan tebing itu lepas. Sebelum pingsan, ia sempat
sadar bahwa ia sedang meluncur jatuh dari ketinggian 60 meter, dan terhembpas
di tanah seperti seonggok daging berlumuran darah dengan kedua lutut remuk,
kaki lengan, rusuk patah, paru-paru tertusuk benda tajam dan batok kepala
retak.
“Kehidupan kedua” Teri dimulai
di rumah sakit ketika ia siuman kembali dan sadar bahwa dirinya telah
“dilahirkan kembali”. Baginya, segala-sesuatu kini tampak lebih terang, lebih
berkesan, lebih bermakna. Sampai tiga puluh tahun kemudian Teri masih bercerita
bahwa “kehidupan kedua” telah mengubah sikap hidupnya sehari-hari secara
menyeluruh. Baginya, hidup setiap hari adalah sebuah karunia, maka ia
menjalaninya dengan menikmati setiap detik di dalamnya. Ia dikenal sebagai
orang yang penyayang dan penuh semangat kasih, ditambah bakat yang membuatnya
dapat menghibur orang lain dengan kemurahan hati dengan selera humorisnya.
Dengan kata-katanya sendiri, ia bertutur demikian, “Apabila Anda beruntung
diberi kesempatan kedua untuk hidup, itu akan membuat Anda memandang segala
sesuatu secara berbeda dan lebih menghargai apa pun yang Anda peroleh!”
“Kesempatan hidup kedua”,
“dilahirkan kembali”, rasanya prasa itu tidak asing bagi kita. Kristus yang
dapat memberikannya. Setiap orang yang menyadari dosa dan kehidupan lamanya
yang tidak beres kemudian datang kepadaNya, pasti selalu ada kesempatan.
Bukankah dengan barang fana Dia menebus dosa kita, tetapi dengan darah yang
mahal (1 Petrus 1:18).
Nah, sekarang masalahnya apakah kita dapat menggunakan
kesempatan “hidup kedua” itu dengan baik atau tidak. Seharusnya, setiap orang
yang mengenal Kristus ia akan mengalami dan merasakan cinta kasih-Nya.
Pengalaman itulah yang mendorong kita “dilahirkan kembali” sehingga dampaknya
apa yang kita lakukan adalah wujud dari ungkapan syukur dan terimakasih kita.
Kini, kita akan dapat beribadah dan melayani-Nya dengan tulus dan setia bukan
hanya di gereja dan di tempat-tempat pertemuan ibadah namun di seluruh hidup
kita. Sehingga, sama seperti Teri, hidup kita diubahkan: setiap hari adalah
sebuah karunia, setiap hari bahkan setiap saat adalah kesempatan untuk melayani-Nya melalui sesama yang hadir dalam
kehidupan kita. Setiap haris akan terasa kurang untuk melayanilah. Cobalah
rasakan dan alami kasih-Nya, niscaya hidup ini akan indah.
Jakarta, 16 Nov'2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar