Jumat, 16 November 2018

MENGAPA MELAYANI?


SØren Kierkegaard, seorang teolog dan filsuf berkebangsaan Denmark (5 Mei 1813-11 November 1855), menyatakan bahwa kita menjalani hidup dengan menatap ke depan dan memahaminya dengan cara menoleh ke belakang. Kedua persfektif: menoleh ke belakang dan menatap ke depan tidak mesti saling eklusif dan dipertentangkan satu dengan yang lain. Sasaran yang kita miliki akan menentukan fokus perhatian kita. Jika kita ingin memahami apa yang sudah terjadi, mungkin kita perlu kembali ke masa lalu. Di sana, kita sangat mungkin mendapatkan pelajaran berharga dari masa lalu itu. Dan, tentu saja hal ini menjadi penting bagi hidup kita masa kini. Sebagai contoh, anak yang kakinya terbakar karena menyentuh knalpot sepeda motor akan belajar untuk tidak menyentuh lagi benda itu. Namun, perlu disadari mengingat masalalu itu tidak selalu menyenangkan.

Jika hidup adalah tentang apa yang ada di masa depan, ke sanalah tatapan mata kita harus diarahkan. Sebagai sebuah spesies, kita dilengkapi kemampuan untuk menatap dan bergerak ke depan. Kita punya mata di bagian depan kepala dan anatomi tubuh kita dibangun untuk bergerak ke depan dengan mudah dan cepat. Sebaliknya, gerakan mundur kita canggung dan tidak efisien. Fisiologi dan psikologi kita berinteraksi dengan erat dalam perspektif ini. Jika kita menundukan kepala dan menatap ke bawah, kita menjadi introspektif dan suasana hati kita bisa dengan mudah berputar ke arah depresi. Ketika kita berdiri tegak, manatap ke depan, dan cita-cita kita membentang di hadapan kita, kita merasa lebih baik dan bersemangat secara fisik maupun emosi. Namun, hidup tidak melulu tertunduk melihat ke bawah dan tidak selamanya tegak ke depan. Hidup adalah sekarang! Hidup adalah menikmati masa-masa lalu sambil menentukan arah bagi masa depan.

Menjelang ajalnya dan ketika generasi baru Israel siap menempati tanah perjanjian, Yosua mengumpulan segenap pemuka Israel. Mereka diajak menerawang kembali ke masa lalu. “...Dahulu kala di seberang sungai Efrat, di situlah diam nenek moyangmu, yakni Terah, ayah Abraham dan ayah Nahor, dan mereka beribadah kepada allah lain. Tetapi Aku mengambil Abraham, bapamu itu, dari seberang sungai Efrat, dan menyuruh dia menjelajahi seluruh tanah Kanaan. Aku membuat banyak keturunannya dan memberikan Ishak kepadanya” (Yosua 24:2-3). Dari pemanggilan Abraham itulah Allah berkarnya membentuk sejarah Israel dan keselamatan bagi umat manusia. Pernyataan Yosua ini mengingatkan Israel bahwa leluhur meraka sebelumnya beribadah kepada allah lain. Dengan demikian sebenarnya, tanpa insiatif Allah, Israel tidaklah layak di hadapan Allah. Pernyataan itu pula yang menyiratkan bahwa TUHAN adalah Allah yang berdaulat mutlak dan bertindak berdasarkan kebebasan serta rakhmat-Nya.

Lalu, Yosua meneruskan dengan kisah perjalanan panjang bangsa itu. Musa diutus untuk membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Berulang kali bangsa itu bersungut-sungut namun Allah tetap setia menyertai umat-Nya itu. Kemenangan demi kemenangan diberikan-Nya atas bangsa-bangsa lain hingga mereka memasuki tanah perjanjian itu. Jadi, Israel berkembang dan kini menguasaan Kanaan bukan karena kekuatan sendiri, Allahlah yang berperan di balik semua itu! Kini, Yosua sebelum mengakhiri hidupnya dan melepas bangsanya untuk hidup di masa depan di tanah perjanjian, ia meminta  agar bangsa itu, “...takutlah akan TUHAN dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus iklas dan setia. Jauhkanlah yang kepadanya nenek moyangmu telah beribadah di  seberang sungai Efrat dan di Mesir dan beribadahlah kepada TUHAN.” (Yosua 24:14)

Yosua meminta bangsa itu beribadah kepada TUHAN. Kata “beribadah” berasal dari kata Ibrani abd yang berarti bekerja, bekerja bagi yang lain, dan melayani. Dengan demikian, pada hakekatnya kata abd (avodah atau ibadah) bukanlah melulu pada suatu tindakan ritual keagamaan. Lebih jauh dari itu: prilaku, etos kerja dan segala apa yang dikerjakan umat dalam kehidupan sehari-hari merupakan manifestasi dari ibadah itu sendiri. Jadi, ketika Yosua meminta bangsa Israel untuk beribadah kepada TUHAN, itu artinya seluruh prilaku, karya dan tindakan serta pelayanan pada hakekatnya ditujukan untuk menyenangkan dan memuliakan TUHAN.

Mengapa beribadah dan melayani TUHAN? Bagi Yosua, sangat jelas dari pengalaman masa lalu  tentang TUHAN yang memanggil leluhurnya lalu membentuk jati diri bangsanya dan kemudian penyertaannya sampai pada masa tuanya membuat dirinya tidak bisa mengatakan atau menunjuk allah lain yang kepada-Nya ia dan seisi rumahnya beribadah! Yosua mengajak umat untuk menghayati tugas beribadah dan melayani bukan sekedar kewajiban, aktualisasi diri, menyalurkan bakan atau hobi melainkan menghayati seluruh karya keselamatan Allah yang telah mereka alami. Itulah sumber spiritualitas.

Belajar dari kisah Yosua dan bangsanya, kita hanya dapat beribadah dengan tulus dan iklah kepada Allah jika kasih dan karya keselamatan-Nya nyata dalam pengalaman hidup kita. Sulit bagi kita dapat beribadah dan melayani-Nya dengan benar, jika kasih-Nya yang besar itu tidak pernah kita alami.

Teri, adalah sosok pria atletis yang sangat bugar, gemar bersepeda, mendaki tebing, dan menjelasjah gua. Akhir “hidupnya yang pertama” adalah ketika ia sedang menuruni sebuah tebing terjal di mulut sebuah gua. Ia memegang sebuah tonjolan batu pada tebing itu, tetapi tiba-tiba tonjolan tebing itu lepas. Sebelum pingsan, ia sempat sadar bahwa ia sedang meluncur jatuh dari ketinggian 60 meter, dan terhembpas di tanah seperti seonggok daging berlumuran darah dengan kedua lutut remuk, kaki lengan, rusuk patah, paru-paru tertusuk benda tajam dan batok kepala retak.

“Kehidupan kedua” Teri dimulai di rumah sakit ketika ia siuman kembali dan sadar bahwa dirinya telah “dilahirkan kembali”. Baginya, segala-sesuatu kini tampak lebih terang, lebih berkesan, lebih bermakna. Sampai tiga puluh tahun kemudian Teri masih bercerita bahwa “kehidupan kedua” telah mengubah sikap hidupnya sehari-hari secara menyeluruh. Baginya, hidup setiap hari adalah sebuah karunia, maka ia menjalaninya dengan menikmati setiap detik di dalamnya. Ia dikenal sebagai orang yang penyayang dan penuh semangat kasih, ditambah bakat yang membuatnya dapat menghibur orang lain dengan kemurahan hati dengan selera humorisnya. Dengan kata-katanya sendiri, ia bertutur demikian, “Apabila Anda beruntung diberi kesempatan kedua untuk hidup, itu akan membuat Anda memandang segala sesuatu secara berbeda dan lebih menghargai apa pun yang Anda peroleh!”

“Kesempatan hidup kedua”, “dilahirkan kembali”, rasanya prasa itu tidak asing bagi kita. Kristus yang dapat memberikannya. Setiap orang yang menyadari dosa dan kehidupan lamanya yang tidak beres kemudian datang kepadaNya, pasti selalu ada kesempatan. Bukankah dengan barang fana Dia menebus dosa kita, tetapi dengan darah yang mahal (1 Petrus 1:18).

Nah, sekarang masalahnya apakah kita dapat menggunakan kesempatan “hidup kedua” itu dengan baik atau tidak. Seharusnya, setiap orang yang mengenal Kristus ia akan mengalami dan merasakan cinta kasih-Nya. Pengalaman itulah yang mendorong kita “dilahirkan kembali” sehingga dampaknya apa yang kita lakukan adalah wujud dari ungkapan syukur dan terimakasih kita. Kini, kita akan dapat beribadah dan melayani-Nya dengan tulus dan setia bukan hanya di gereja dan di tempat-tempat pertemuan ibadah namun di seluruh hidup kita. Sehingga, sama seperti Teri, hidup kita diubahkan: setiap hari adalah sebuah karunia, setiap hari bahkan setiap saat adalah kesempatan untuk  melayani-Nya melalui sesama yang hadir dalam kehidupan kita. Setiap haris akan terasa kurang untuk melayanilah. Cobalah rasakan dan alami kasih-Nya, niscaya hidup ini akan indah.


Jakarta, 16 Nov'2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar