Jumat, 23 November 2018

KRISTUS RAJA

Ia tidak tampan, berpakaian sangat sederhana, tanpa alas kaki berkeliling mendatangi masyarakat untuk menyapa dan berdiskusi. Tidak sungkan baginya untuk mendatangi orang per orang yang diangap bijak oleh masyarakat untuk bertanya, belajar dan berdiskusi. Dia selalu mengejar definisi absolut tentang suatu pokok masalah kepada orang-orang yang dianggapnya tahu dan bijak, meskipun kerap kali orang yang diberi pertanyaan gagal menjelaskan dan melahirkan sebuah definisi.

Socrates, demikian kota Athena mengenal sosok ini. Pada akhirnya, setelah banyak berdiskusi dengan orang-orang yang dianggap berpengetahuan dan bijak oleh masyarakat, ia membenarkan sebuah pengertian bahwa dirinya adalah orang yang paling bijak karena ia tahu bahwa dirinya tidak bijaksana. Sedangkan, mereka yang merasa berpengetahuan dan bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana. Masyarakat menyanjung mereka yang merasa bijak, padahal sesungguhnya mereka tidak mengetahui apa yang selama ini mereka ketahui. Cara berfilsafat seperti inilah yang memunculkan sakit hati orang-orang yang menganggap diri filsuf. Socrates telah menelanjangi mereka! Ujung dari sakit hati ini membawa Sokrates pada pengadilan rekayasa. Ia dituduh merusak generasi muda. Sebuah tuduhan yang sebenarnya dapat dengan mudah ditepis Socrates. Namun, ia tidak menggunakan haknya. Pada 15 Februari 399 SM Socrates dihukum mati oleh kota Athena karena dinilai merusak pikiran pemuda kota dan tidak memiliki rasa hormat. Ia mati dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolak!

Dalam sejarah peradaban manusia, pengadilan sering digunakan bukan untuk menegakkan kebenaran, apalagi membela yang benar. Melainkan, disalahgunakan sebagai alat kekuasaan untuk memberangus mereka yang berpotensi mengancam kekuasaan itu.

Yesus berada di praetorium (ruang pengadilan). Ia berhadapan dengan Pilatus. Kepada-Nya dikenakan tuduhan makar, mengaku diri sebagai raja! Tentu, aroma rekayasa begitu kuat menyengat. Betapa tidak, kini para pemuka agama Yahudi merasa perlu dengan segera menyingkirkan Yesus. Niat pembunuhan itu (versi Injil Yohanes) mengkristal sejak Yesus membangkitkan Lazarus. Inilah tanda atau mukjizat yang sulit ditandingi oleh rabi mana pun. Dan pastilah mereka membayangkan bagaimana nantinya orang-orang Yahudi akan meninggalkan mereka dan beralih mengikut Yesus. Mereka tidak akan lagi menerima penghormatan di pasar, tidak lagi dapat duduk di tempat terhormat dalam jamuan pesta dan sinagoge. Bagaimana dan dengan cara apapun, Yesus harus disingkirkan!

Bak gaung bersambut, Yesus memasuki Yerusalem dengan mengendarai keledai. Orang banyak berbondong-bondong menyambut dan mengarak Dia. Peristiwa ini menimbulkan kegaduhan luar biasa. Banyak orang mulai percaya bahwa Yesus adalah Mesias. "Hosana! Diberkatilah Dia yang datang di dalam nama Tuhan, Raja Israel!" Orang banyak menyebut-Nya Raja, bukankah ini sudah lebih dari cukup untuk mempidanakan Yesus. Ya, Dia telah melakukan makar terhadap pemerintahan kekaisaran Romawi dan dengan itu Ia dapat dihukum mati.

 "Engkau inikah Raja orang Yahudi?" Tanya Pilatus. Yesus menjawab, "Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi." (Yohanes 18:36).

"Jadi Engkau adalah raja?" Pilatus melanjutkan pertanyaannya.
"Engkau mengatakan, bahwa AKu adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberikan kesaksian tentang kebenaran." (Yoh.18:37)

Ketika Yesus membuat mukjizat penggandaan roti dan ikan, orang banyak ingin segera menjadikan-Nya raja. Mungkin mereka berpikir, "Jika kami mempunyai raja seperti ini, maka tidak usah capek-capek menyiapkan lahan, menabur benih, memeliharanya, hingga menuai. Atau, tidak usahlah repot-repot pergi melaut menangkap ikan. Toh, Dia yang akan menyediakan makanan dengan melimpah. Apa yang terjadi? Yesus menolak dan kemudian Ia raib dari harapan orang banyak itu. Jelas, bukan raja seperti ini yang Dia maksudkan.

Demikian pula ketika Yesus mengusir Setan-setan, membangkitkan Lazurus yang sudah empat hari mati. Orang banyak berpikir, benar-benar Dia ini Mesias. Kuasa Setan dan kematian saja takluk kepada-Nya, apalagi Kaisar dan antek-anteknya, bukan perkara sulit untuk ditaklukan. Namun, sayangnya Yesus tidak datang sebagai raja yang seperti itu. Yesus datang tidak untuk menjalankan kekuasaan duniawi. Namun, Ia datang untuk menyatakan kebenaran Allah. Ia datang untuk menunjukkan bahwa Allah itu kasih adanya.

Kini, Raja itu terbelenggu, Raja yang rentan, Raja tanpa kekuasaan duniawi. Ia adalah Raja kasih yang ingin meneruskan kasih-Nya dalam dan melalui kerentanan dan kerapuhan-Nya. Ia adalah Raja yang merindukan hati yang terbuka menerima-Nya. Inilah kebenaran yang ingin Ia wartakan. Bukan kekuasaan yang menghegemoni dan menindas sesama manusia atau ciptaan yang lainnya. Melainkan untuk membangun dunia dengan landasan dan bercirikan cinta kasih demi terjadinya kedamaian yang utuh dengan kekuatan cinta kasih. Dengan belarasa yang menyembuhkan, memerdekakan dan memberi kehidupan yang baru, yang mengundang semua orang untuk hidup dalam kasih dengan-Nya.

Kristus Raja, Raja yang mengundang kita semua untuk masuk ke dalam persahabatan yang utuh dan mendalam dengan-Nya. Itulah sebabnya Yesus datang untuk berada bersama dengan kita. Namun, sering kali kita ingin berada pada pihak yang menang, dan menghendaki raja yang jaya, kekristenan yang unggul, gereja yang berada di atas segalanya, yang memaksakan peraturan dan mempunyai pengaruh seluas dunia. Seperti Yakobus dan Yohanes, kita mau duduk berkuasa di sebelah kanan dan kiri, yang dapat mengatur orang-orang lain tunduk dan melayani. Seperti Petrus, kita juga bisa merasa malu terhadap Raja kita sendiri yang direndahkan. Selama kita mempunyai niat dan semangat menguasai dan keinginan dilayani maka selama itu pula kita tidak mungkin mengerti Raja yang sekarang ini menjadi pesakitan, terbelenggu dan dalam kerapuhan. Yang membiarkan diri dalam kehinaan, pelecehan dan ejekan. Yang tidak memberontak dan setia sampai mati.

Namun, seperti Dia, kita juga dapat belajar rendah hati dan merendahkan diri. Mungkin hanya mereka yang sekarang sedang direndahkan dan dikucilkan dapat memandang Raja yang direndahkan ini sebagai sahabat dan penyelamat mereka.

Seperti raja apakah kita meyakini Yesus? Periksalah doa dan permohonan kita kepada-Nya. Selama doa dan permohonan kita berisi pemuasan dan kenyamanan diri sendiri, kita tidak akan berjumpa dengan Raja yang terbelenggu karena menghidupkan cinta kasih Bapa-Nya. Selama kita masih punya niat dan semangat membangun kekuasaan dan menaklukan orang lain, kita tidak akan pernah sungguh-sungguh berjumpa dengan Yesus Kristus sebagai Raja yang sebenarnya.

Jakarta, November 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar