Ia tidak tampan, berpakaian
sangat sederhana, tanpa alas kaki berkeliling mendatangi masyarakat untuk
menyapa dan berdiskusi. Tidak sungkan baginya untuk mendatangi orang per orang
yang diangap bijak oleh masyarakat untuk bertanya, belajar dan berdiskusi. Dia
selalu mengejar definisi absolut tentang suatu pokok masalah kepada orang-orang
yang dianggapnya tahu dan bijak, meskipun kerap kali orang yang diberi
pertanyaan gagal menjelaskan dan melahirkan sebuah definisi.
Socrates, demikian kota Athena
mengenal sosok ini. Pada akhirnya, setelah banyak berdiskusi dengan orang-orang
yang dianggap berpengetahuan dan bijak oleh masyarakat, ia membenarkan sebuah
pengertian bahwa dirinya adalah orang yang paling bijak karena ia tahu bahwa
dirinya tidak bijaksana. Sedangkan, mereka yang merasa berpengetahuan dan bijak
pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak
bijaksana. Masyarakat menyanjung mereka yang merasa bijak, padahal sesungguhnya
mereka tidak mengetahui apa yang selama ini mereka ketahui. Cara berfilsafat
seperti inilah yang memunculkan sakit hati orang-orang yang menganggap diri
filsuf. Socrates telah menelanjangi mereka! Ujung dari sakit hati ini membawa
Sokrates pada pengadilan rekayasa. Ia dituduh merusak generasi muda. Sebuah
tuduhan yang sebenarnya dapat dengan mudah ditepis Socrates. Namun, ia tidak
menggunakan haknya. Pada 15 Februari 399 SM Socrates dihukum mati oleh kota
Athena karena dinilai merusak pikiran pemuda kota dan tidak memiliki rasa
hormat. Ia mati dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang
diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan
220 menolak!
Dalam sejarah peradaban
manusia, pengadilan sering digunakan bukan untuk menegakkan kebenaran, apalagi
membela yang benar. Melainkan, disalahgunakan sebagai alat kekuasaan untuk
memberangus mereka yang berpotensi mengancam kekuasaan itu.
Yesus berada di praetorium (ruang pengadilan). Ia
berhadapan dengan Pilatus. Kepada-Nya dikenakan tuduhan makar, mengaku diri
sebagai raja! Tentu, aroma rekayasa begitu kuat menyengat. Betapa tidak, kini
para pemuka agama Yahudi merasa perlu dengan segera menyingkirkan Yesus. Niat
pembunuhan itu (versi Injil Yohanes) mengkristal sejak Yesus membangkitkan
Lazarus. Inilah tanda atau mukjizat yang sulit ditandingi oleh rabi mana pun.
Dan pastilah mereka membayangkan bagaimana nantinya orang-orang Yahudi akan
meninggalkan mereka dan beralih mengikut Yesus. Mereka tidak akan lagi menerima
penghormatan di pasar, tidak lagi dapat duduk di tempat terhormat dalam jamuan
pesta dan sinagoge. Bagaimana dan dengan cara apapun, Yesus harus disingkirkan!
Bak gaung bersambut, Yesus
memasuki Yerusalem dengan mengendarai keledai. Orang banyak berbondong-bondong
menyambut dan mengarak Dia. Peristiwa ini menimbulkan kegaduhan luar biasa.
Banyak orang mulai percaya bahwa Yesus adalah Mesias. "Hosana! Diberkatilah Dia yang datang di
dalam nama Tuhan, Raja Israel!" Orang banyak menyebut-Nya Raja,
bukankah ini sudah lebih dari cukup untuk mempidanakan Yesus. Ya, Dia telah melakukan
makar terhadap pemerintahan kekaisaran Romawi dan dengan itu Ia dapat dihukum
mati.
"Engkau
inikah Raja orang Yahudi?" Tanya Pilatus. Yesus menjawab, "Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika
kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku
jangan diserahkan kepada orang Yahudi." (Yohanes 18:36).
"Jadi Engkau adalah raja?" Pilatus melanjutkan pertanyaannya.
"Engkau mengatakan, bahwa AKu adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan
untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberikan kesaksian
tentang kebenaran." (Yoh.18:37)
Ketika Yesus membuat mukjizat
penggandaan roti dan ikan, orang banyak ingin segera menjadikan-Nya raja.
Mungkin mereka berpikir, "Jika kami mempunyai raja seperti ini, maka tidak
usah capek-capek menyiapkan lahan, menabur benih, memeliharanya, hingga menuai.
Atau, tidak usahlah repot-repot pergi melaut menangkap ikan. Toh, Dia yang akan
menyediakan makanan dengan melimpah. Apa yang terjadi? Yesus menolak dan kemudian
Ia raib dari harapan orang banyak itu. Jelas, bukan raja seperti ini yang Dia
maksudkan.
Demikian pula ketika Yesus
mengusir Setan-setan, membangkitkan Lazurus yang sudah empat hari mati. Orang
banyak berpikir, benar-benar Dia ini Mesias. Kuasa Setan dan kematian saja
takluk kepada-Nya, apalagi Kaisar dan antek-anteknya, bukan perkara sulit untuk
ditaklukan. Namun, sayangnya Yesus tidak datang sebagai raja yang seperti itu.
Yesus datang tidak untuk menjalankan kekuasaan duniawi. Namun, Ia datang untuk
menyatakan kebenaran Allah. Ia datang untuk menunjukkan bahwa Allah itu kasih
adanya.
Kini, Raja itu terbelenggu,
Raja yang rentan, Raja tanpa kekuasaan duniawi. Ia adalah Raja kasih yang ingin
meneruskan kasih-Nya dalam dan melalui kerentanan dan kerapuhan-Nya. Ia adalah
Raja yang merindukan hati yang terbuka menerima-Nya. Inilah kebenaran yang
ingin Ia wartakan. Bukan kekuasaan yang menghegemoni dan menindas sesama
manusia atau ciptaan yang lainnya. Melainkan untuk membangun dunia dengan
landasan dan bercirikan cinta kasih demi terjadinya kedamaian yang utuh dengan kekuatan
cinta kasih. Dengan belarasa yang menyembuhkan, memerdekakan dan memberi kehidupan
yang baru, yang mengundang semua orang untuk hidup dalam kasih dengan-Nya.
Kristus Raja, Raja yang
mengundang kita semua untuk masuk ke dalam persahabatan yang utuh dan mendalam
dengan-Nya. Itulah sebabnya Yesus datang untuk berada bersama dengan kita.
Namun, sering kali kita ingin berada pada pihak yang menang, dan menghendaki
raja yang jaya, kekristenan yang unggul, gereja yang berada di atas segalanya,
yang memaksakan peraturan dan mempunyai pengaruh seluas dunia. Seperti Yakobus
dan Yohanes, kita mau duduk berkuasa di sebelah kanan dan kiri, yang dapat
mengatur orang-orang lain tunduk dan melayani. Seperti Petrus, kita juga bisa
merasa malu terhadap Raja kita sendiri yang direndahkan. Selama kita mempunyai
niat dan semangat menguasai dan keinginan dilayani maka selama itu pula kita
tidak mungkin mengerti Raja yang sekarang ini menjadi pesakitan, terbelenggu
dan dalam kerapuhan. Yang membiarkan diri dalam kehinaan, pelecehan dan ejekan.
Yang tidak memberontak dan setia sampai mati.
Namun, seperti Dia, kita juga
dapat belajar rendah hati dan merendahkan diri. Mungkin hanya mereka yang
sekarang sedang direndahkan dan dikucilkan dapat memandang Raja yang
direndahkan ini sebagai sahabat dan penyelamat mereka.
Seperti raja apakah kita
meyakini Yesus? Periksalah doa dan permohonan kita kepada-Nya. Selama doa dan
permohonan kita berisi pemuasan dan kenyamanan diri sendiri, kita tidak akan
berjumpa dengan Raja yang terbelenggu karena menghidupkan cinta kasih Bapa-Nya.
Selama kita masih punya niat dan semangat membangun kekuasaan dan menaklukan
orang lain, kita tidak akan pernah sungguh-sungguh berjumpa dengan Yesus
Kristus sebagai Raja yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar