Jumat, 30 November 2018

BERJAGA SAMBIL BERDOA

Malapetaka, perang dan penderitaan selalu punya makna untuk ditafakuri. Para nabi Perjanjian Lama kerap memakai fenomena sosial ini sebagai bahan rujukan dari peringatan ilahi. Dalam Perjanjian Lama, para nabi adalah orang-orang pertama yang mengakui bahwa Bait Suci Yerusalem tidak akan bertahan untuk selama-lamanya walaupun keyakinan fundamental mereka, bangunan itu adalah tempat bersemayam Allah Yang Mahatinggi. Sion sebagai takhta Allah akan dibajak seperti ladang, dan Yerusalem akan menjadi timbunan puing, dan gunung Bait Suci akan menjadi bukit yang berhutan (Mikha 3:12). Yeremia, yang sering disebut "nabi malapetaka", menyetujui, "Beginilah firman TUHAN: Jika kamu tidak mau mendengarkan Aku, tidak mau mengikuti Taurat-Ku. ... Maka Aku akan membuat rumah ini seperti Silo,...dan kota ini menjadi kutuk bagi segala bangsa di dunia (Yer. 26:4-6). Akhirnya, Yesus sendiri, sambil duduk di atas Bukit Zaitun, melihat di depan-Nya rumah Bapa yang megah, Bait Suci Yerusalem, dan menangis. Pikiran-Nya melayang ke masa depan dan melihat sebelumnya apa yang terjadi empat puluh tahun kemudian, pada tahun 70 M, ketika pasukan Romawi menjadi timbunan puing. Sebelum itu semua terjadi, Ia mengingatkan, "Apabila kamu melihat Yerusalem dikepung oleh tentara-tentara, ketahuilah bahwa keruntuhannya sudah dekat..." (Lukas 21:20).

Saat itu ternyata tiba! Pasukan Romawi yang bermarkas di Siria membasmi kaum pemberontak tanpa ampun. Pasukan itu berjalan ke Selatan, melintasi daerah Galilea dan akhirnya mencapai Yerusalem. Flavius Yosephus - sejarawan Yahudi (37 - 100 M) - menjadi saksi mata atas pembunuhan massal sangat kejam yang terjadi di Yerusalem. Sebagai saksi mata, ia melukiskannya dengan sangat hidup:

Pembunuhan besar-besaran dan pengungsian  terjadi di mana-mana. Kebanyakan orang yang dipenggal kepalanya adalah penduduk kota yang lemah dan tak bersenjata. Mereka langsung dibunuh di tempat mereka ditangkap. Tumpukan mayat-mayat menggunung makin tinggi di sekitar altar. Aliran darah mengalir dari anak-anak tangga Bait Suci dan mayat orang-orang yang dibunuh di anak tangga atas tergelincir ke anak tangga bawah. Kaisar gagal untuk menahan kemarahan serdadu-serdadunya yang menggila. ... Pada waktu Bait Suci terbakar penyerang-penyerang menjarahnya, dan tidak terbilang banyaknya orang yang dibunuh. Tidak ada belas kasihan terhadap umur dan tak ada rasa hormat terhadap jabatan: anak-anak dan orang tua, orang awam dan imam, dibunuh; setiap kelompok dikejar dan dihancurkan di tengah peperangan, entah mereka berteriak memohon belas kasihan entah mereka memberikan perlawanan. ...

Puncak Bait Suci, di mana-mana tertutup oleh nyala apai, tampak seperti mendidih dari dasarnya. Namun, darah jauh lebih banyak dari pada nyala api, dan jumlah orang-orang yang dibunuh lebih besar dari pada orang-orang yang membunuh. Tak terlihat tanah di antara mayat-mayat. Ketika memburu orang-orang yang melarikan diri ...  serdadu mendaki tumpukan mayat, serdadu-serdadu memenuhi gang-gang, dengan pedang di tangan, membunuh secara membabi buta semua orang yang mereka jumpaiu, dan membakar rumah bersama orang-orang yang mengungsi di dalamnya .... Namun rasa iba terhadap orang-orang yang dibunuh kalah oleh perasaan terhadap mereka yang masih hidup yang lari menerobos siapa saja yang mereka jumpai. Mereka memenuhi gang-gang dengan mayat-mayat yang membanjiri kota dengan darah kental sehingga banyak ai padam karena darah orang-orang yang dibunuh. Mereka berhenti membunuh pada waktu fajar.... (Josephus, The Jewish War).

Kini, sebuah pertanyaan besar menyeruak kalbu: "Bagaimana mungkin Yerusalem Kota Allah itu akan hancur lebur?" Bahkan, Bait Allah yang diyakini sebagai takhta dan kehadiran Allah bukan hanya terbakar dan hancur, lebih jauh dari itu sekarang bagaikan neraka dan tempat kematian. Ini akhir dari semua harapan. Ini malapetaka! Melihat bencana mengerikan yang akan menimpa (pada waktu Yesus mengatakannya) atau yang kini menimpa Israel (saat Injil-injil ditulis), tampaknya tidak ada lagi pengharapan bagi mereka. Apa yang bisa lagi dikatakan? Di tempat Allah bertakhta justeru di situ terdapat kehancuran!

Baik Yeremia maupun Yesus sama-sama telah memberitakan kehancuran Bait Suci dan umat TUHAN. Namun, apakah Yeremia dan Yesus hanya berhenti pada berita pesimistis? Ternyata tidak! Mereka juga menerbitkan sebuah pengharapan. Di tengah ketiadaan pengharapan, Allah sanggup memberi pengharapan! Yeremia dan Yesus menggunakan kata yang sama untuk pengharapan itu, "Tunas". Yeremia menyebutnya Tunas keadilan dan Yesus mengatakan Tunas pohon ara.

Tunas berkaitan dengan pohon yang hidup, terus tumbuh dan memberi serta menjamin kehidupan. Pohon ara dengan daun-daunnya yang hijau besar membeikan tempat berteduh selama musim panas. Sementara jenis pohon lain berganti daun, pohon ara masih bertahan dengan cabang-cabang yang tanpa daun sampai awal musim panas. Kemudian getah tumbuh-tumbuhan itu mulai mengalir, kuncup-kuncup semakin besar dan dalam beberapa hari akan muncul daun-daun muda. Yesus mengajarkan perumpamaan tentang pohon ara yang bersemi pada minggu pertama bulan April, tepat pada saat itu mulai tampak tanda-tanda kehidupan.

Gambaran tentang tunas pohon ara biasanya dihubungkan dengan masa turunnya berkat (Yoel 2:22). Hampir tidak pernah dihubungkan dengan masa penghancuran atau malapetaka. Oleh karena itu pengajaran tentang pohon ara, walapun dalam konteks kehancuran Yerusalem dan Bait Suci tidak boleh membuat orang percaya kehilangan pengharapan. Kesengsaraan yang dialami jangan sampai mengurangi kesabaran dan runtuhnya iman. Malahan dalam kondisi seperti ini umat harus meneguhkan pengharapan mereka dengan bertekun dalam doa. Tetapi doa dan ibadah itu juga bukan sebagai cara pelarian menghindar dari kenyataan hidup yang pahit. Ketekunan ibada dan doa harus menghantar umat menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya. Bukan dengan "aji mumpung". Mumpung masih hidup dan sebentar lagi mati, lalu memanfaatkannya dengan pesta pora. Bukan itu! Melainkan dengan cara ikut menghadirkan "tunas" atau harapan itu dalam konteks di mana kita berada.

Lalu apa yang dapat kita lakukan dalam kondisi menyesakan dan menyongsong kehadiran-Nya itu?

Yeremia, sang nabi malapetaka ternyata tidak hanya menyampaikan berita seram. "Pada waktu itu dan pada masa itu Aku akan menumbuhkan Tunas keadilan bagi Daud. Ia akan melaksanakan keadilan dan kebenaran di negeri. (Yeremia 33:15). Dalam kondisi kritis Allah memberikan janji pemulihan. Bagaimanakah pemulihan janji itu terjadi? Ada dua hal yang pertama-tama menjadi alat pemulihan umat TUHAN pada masa itu.  Pertama, Tuhan akan meneguhkan janji-Nya melalui keturunan Daud. Itu artinya, pemulihan ini melalui kerajaan. Sebuah bangsa dapat hidup tentram dan damai jika mereka dipimpin oleh penguasa yang adil dan benar, tidak serakah dan mengasihi rakyatnya.

Kedua, pemulihan itu terjadi dengan membangkitkan lagi pelayanan suku Lewi sebagai perawat ibadah dan spiritualitas umat. Kehidupan ibadah dan keagamaan harus dipulihkan sehingga bukan hanya berhenti pada tataran ritual formal belaka. Melainkan nilai-nilai luhur ibadah itu merembes menjadi karakter umat yang sesungguhnya. Umat tidak munafik, melainkan punya integritas moral yang sesungguhnya.

Ada banyak alasan kita menjadi cemas setidaknya melewati tahun politik kali ini. Apa saja dapat digoreng menjadi isu atau jualan politik, termasuk sentimen agama, suku, ras, dan antar golongan. Berkaca dari pesan Ilahi melalui Yeremia, saatnya kini kita ikut berpartisipasi memujudkan pemerintahaan yang baik dengan memilih orang-orang yang baik, punya integritas, dan menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Kini, saatnya pula kita membenahi institusi-institusi keagamaan. Bukan hanya sekedar label dan identitas, melainkan harus menggarami dan menerangi umat di manapun umat itu berkarya. Doa dan ibadah akan menjadi berkat bagi bangsa dan negara apabila tidak hanya sekedar mengagungkan syareat dan simbol-simbol lahiriah saja, melainkan melanjutkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Selamat memasuki Adven 1, Tuhan menolong kita untuk hidup dalam penantian kedatangan-Nya kembali dengan terus berjaga dan berdoa.

Surabaya, 30 November 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar