Jumat, 19 Oktober 2018

HIDUP MEMBERI DIRI

Dalam paradigma kehidupan yang menjunjung tinggi kepemilikan, hal memberi terasa ganjil. Apalagi memberi diri! Jangankan memberi diri, memberi sebagaian yang ada pada kita pun mungkin sebuah perjuangan. Memberi merupakan kebalikan dari memiliki dan mendapatkan. Manusia memakai parameter kesuksesan hidup dengan kepemilikan dan prestasi kuasa dalam capaian di pelbagai bidang kehidupan. Tidak ada yang steril dari virus kepemilikan dan haus kekuasaan dan gila hormat dapat memapari siapa saja. Bahkan, murid-murid terdekat Yesus sekali pun. Kisah ini terekam dalam perjalanan Yesus menuju Yerusalem.

Perjalanan itu terus berlangsung. Yerusalem semakin dekat! Ketegangan semakin memuncak. Tiga kali sudah Yesus mengingatkan para murid bahwa di kota itu Ia akan dihakimi, dianiaya dan dijatuhi hukuman mati. Hal ini dijalani sebagai bukti ketaatan-Nya kepada Sang Bapa. Di Yerusalem, narasi Hamba yang menderita itu kelak menjadi lengkap (Yesaya 52:13 - 53:12). Di sana Ia akan ditolak dan dianiaya, orang-orang menyangka bahwa penderitaan yang dialami-Nya akibat hukuman yang ditimpakan Allah kepada-Nya sebagai pendosa dan penghujat kekudusan Allah. Kematian-Nya akan terhitung di tengah-tengah para penjahat. Padahal, Dia melakukan itu semua untuk menanggung dosa mereka. Mesias harus menderita demi penebusan umat manusia. Ia harus menyerahkan hidup dan nyawa-Nya di sana!

Kita bisa membayangkan kalau berada pada posisi Yesus. Yerusalem yang di depan mata itu kian mendebarkan. Di pihak lain juga, murid-murid semakin tegang. Tentu debar ketengangan yang berbeda dari Guru mereka. Mereka telah mengikut dan menyaksikan kehebatan Guru mereka yang bisa menyembuhkan pelbagai penyakit, mengusir setan, dan perkara-perkara ajaib lainnya. Kini, Yerusalem selangkah lagi. Yerusalem bagi mereka adalah puncak keemasan, kedigdayaan dan kemenangan gilang-gemilang dari Mesias, sang Guru mereka. Mereka membayangkan, penaklukan si penindas umat Allah kini hanya tinggal menunggu hitungan hari saja. Takhta Daud segera akan kembali! Sensasi kekuasaan dan kemenangan telah merasuki benak dan sendi-sendi otot mereka. Inilah saatnya berkuasa!

Tidaklah mengherankan, sebelum semuanya terjadi para murid berebut posisi siapa yang paling terbesar di antara mereka. Meski, berkali-kali Yesus mengingatkan agar mereka mengikuti alur pikiran-Nya. Tampaknya, syahwat untuk berkuasa jauh lebih besar. Bahkan anak-anak Zebedeus berani inden untuk posisi di sebelah kiri dan kanan Yesus. Itu artinya, mereka sedang membayangkan kedudukan di sebelah raja, tidak hanya merupakan tempat kehormatan tetapi juga posisi kekuasaan. Posisi super menteri yang mengambil bagian dalam kuasa raja dan membawahi semua orang yang lain.  

Makin dekat Yerusalem makin kentara perbedaan fokus antara Yesus dan murid-murid-Nya. Permohonan yang disampaikan oleh keponakan-keponakan Yesus - setidaknya itu yang tercatat dalam tradisi kuno untuk menelusuri hubungan Yakobus dan Yohanes - membenarkan bahwa mereka sama sekali tidak peduli akan tiga kali pemberitahuan yang disampaikan Yesus.

Bagaimana reaksi Yesus terhadap permintaan mereka? Yesus menanggapi mereka dengan mengajukan sebuah pertanyaan, "...Dapatkah kamu meminum cawan yang harus Kuminum atau dibaptis dengan baptisan yang harus Kuterima?" (Markus 10:38) kurang lebih perkataan Yesus sederhananya begini, "Yakinkah kamu bahwa diri-Ku bagi kamu begitu bernilai sehingga kamu mau berbagi hidup, bahkan kematian-Ku, dengan membayar harga apa-pun?" Kedua orang itu langsung menjawab "Ya!", tanpa menyadari apa kansekuensi di balik jawaban itu. Kemudian Yesus menyimpulkan, "Kamu tidak tahu apa yang kamu minta."

Tanpa mengerti apa yang diminta Yesus, mereka segera menyatakan diri sanggup meminum cawan dan dibaptis dalam baptisan yang Yesus terima sebab, mereka menyangka bahwa dengan demikian kedudukan terjamin bagi mereka. Salah sangka itu dibongkar oleh jawaban Yesus atas pertanyaan di awal yakin, mereka memang akan ikut menempuh jalan penderitaan bersama Yesus, tetapi hal itu sama sekali tidak menjamin penerimaan kursi tertinggi dari tangan Yesus. Hal itu tetap sepenuhnya ada di tangan Allah Bapa.

Yakobus dan Yohanes ada hubungan dekat dengan Yesus. Bisa dimaklumi kalau mereka meminta hal yang sangat spesial dari Yesus. Namun, bagaimana reaksi murid yang lain? Apakah mereka membiarkan saja dan melihatnya sebagai permintaan yang wajar? Ternyata tidak! Mereka menjadi marah. Kemarahan mereka menunjukkan hasrat yang sama, yakni menginginkan posisi yang mulia, terhormat dan berkuasa itu.

Pertikaian itu memaksa Yesus memberi pelajaran tentang menjadi yang terbesar. Ia mengajarkan cara menjadi "besar". Yesus menolak pola kekuasaan politik, dan mengajarkan hal yang sebaliknya, "Siapa yang ingin menjadi besar, hendaklah ia menjadi pelayan dan yang ingin menjadi terkemuka hendaklah menjadi pelayan." Seorang pelayan mengikuti kehendak mereka yang dilayani dan tidak menjadikan orang lain sebagai pelayan kehendaknya. Kuasa tidak bertentangan dengan pelayanan. Yesus juga memandang diri sebagai orang yang memiliki kuasa untuk mengampuni dosa, mengajar, menyembuhkan, dan mengusir setan. Namun, Ia memahami bahwa kuasa itu diberikan oleh Allah, Bapa-Nya untuk melayani manusia. Bukan untuk kepuasan sendiri! Yesus mengajarkan hal ini kepada para murid-Nya karena Ia sendiri datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.

Penjungkirbalikkan paham manusia untuk memperoleh kuasa dan kebesaran terjadi pada saat Yesus datang sebagai orang yang melayani, tidak untuk dilayani. Mengapa penjungkirbalikkan? Ya, karena naluri manusia selalu ingin dilayani, ingin penghormatan, kekuasaan dan kebesaran. Namun, Yesus dengan rela menyembunyikan identitas-Nya. Ia memilih tampil sebagai Anak Manusia dan mengenakan wujud hamba yang menderita untuk melayani sampai mati. Yesus sendiri menjelaskan alasan pelayanan yang dilakukan-Nya dengan kesetiaan dan kerelaan itu, yakni perendahan diri Allah sendiri. Inilah alasan dasariah mengapa kuasa kekerasan dan eksploitasi manusia oleh manusia harus ditolak. Pelayanan dalam komunitas umat Tuhan yang kemudian seharusnya dilanjutkan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, adalah partisipasi aktif dalam kasih Allah kepada manusia.

Sekali lagi, Yesus berusaha mengarahkan sensasi kuasa dan kemuliaan para murid ini kepada rel yang benar. Yesus menunjuk pada jalan sengsara dan kematian yang bukan merupakan kesia-siaan, tetapi memiliki makna bagi keselamatan umat manusia.

Mestinya, setiap pengikut Yesus harus hidup seperti Yesus, yaitu membuang jauh godaan untuk menjadi besar, menguasai orang lain, memaksa apalagi menindas. Sebaliknya, semakin mau memahami dan mengerti kebutuhan dan penderitaan orang lain, semakin tergerak untuk berbuat kebajikan dan memberdayakan orang lain dan semakin ingin hidup ini berarti: memberi diri sebagai korban persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah.

Jakarta 19 Oktober 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar