Dalam paradigma kehidupan yang
menjunjung tinggi kepemilikan, hal memberi terasa ganjil. Apalagi memberi diri!
Jangankan memberi diri, memberi sebagaian yang ada pada kita pun mungkin sebuah
perjuangan. Memberi merupakan kebalikan dari memiliki dan mendapatkan. Manusia
memakai parameter kesuksesan hidup dengan kepemilikan dan prestasi kuasa dalam
capaian di pelbagai bidang kehidupan. Tidak ada yang steril dari virus
kepemilikan dan haus kekuasaan dan gila hormat dapat memapari siapa saja.
Bahkan, murid-murid terdekat Yesus sekali pun. Kisah ini terekam dalam
perjalanan Yesus menuju Yerusalem.
Perjalanan itu terus
berlangsung. Yerusalem semakin dekat! Ketegangan semakin memuncak. Tiga kali
sudah Yesus mengingatkan para murid bahwa di kota itu Ia akan dihakimi,
dianiaya dan dijatuhi hukuman mati. Hal ini dijalani sebagai bukti ketaatan-Nya
kepada Sang Bapa. Di Yerusalem, narasi Hamba
yang menderita itu kelak menjadi lengkap (Yesaya 52:13 - 53:12). Di sana Ia
akan ditolak dan dianiaya, orang-orang menyangka bahwa penderitaan yang
dialami-Nya akibat hukuman yang ditimpakan Allah kepada-Nya sebagai pendosa dan
penghujat kekudusan Allah. Kematian-Nya akan terhitung di tengah-tengah para
penjahat. Padahal, Dia melakukan itu semua untuk menanggung dosa mereka. Mesias
harus menderita demi penebusan umat manusia. Ia harus menyerahkan hidup dan
nyawa-Nya di sana!
Kita bisa membayangkan kalau
berada pada posisi Yesus. Yerusalem yang di depan mata itu kian mendebarkan. Di
pihak lain juga, murid-murid semakin tegang. Tentu debar ketengangan yang
berbeda dari Guru mereka. Mereka telah mengikut dan menyaksikan kehebatan Guru mereka yang bisa
menyembuhkan pelbagai penyakit, mengusir setan, dan perkara-perkara ajaib
lainnya. Kini, Yerusalem selangkah lagi. Yerusalem bagi mereka adalah puncak
keemasan, kedigdayaan dan kemenangan gilang-gemilang dari Mesias, sang Guru
mereka. Mereka membayangkan, penaklukan si penindas umat Allah kini hanya
tinggal menunggu hitungan hari saja. Takhta Daud segera akan kembali! Sensasi
kekuasaan dan kemenangan telah merasuki benak dan sendi-sendi otot mereka.
Inilah saatnya berkuasa!
Tidaklah mengherankan, sebelum
semuanya terjadi para murid berebut posisi siapa yang paling terbesar di antara
mereka. Meski, berkali-kali Yesus mengingatkan agar mereka mengikuti alur
pikiran-Nya. Tampaknya, syahwat untuk berkuasa jauh lebih besar. Bahkan
anak-anak Zebedeus berani inden untuk posisi di sebelah kiri dan kanan Yesus.
Itu artinya, mereka sedang membayangkan kedudukan di sebelah raja, tidak hanya
merupakan tempat kehormatan tetapi juga posisi kekuasaan. Posisi super menteri
yang mengambil bagian dalam kuasa raja dan membawahi semua orang yang lain.
Makin dekat Yerusalem makin
kentara perbedaan fokus antara Yesus dan murid-murid-Nya. Permohonan yang
disampaikan oleh keponakan-keponakan Yesus - setidaknya itu yang tercatat dalam
tradisi kuno untuk menelusuri hubungan Yakobus dan Yohanes - membenarkan bahwa
mereka sama sekali tidak peduli akan tiga kali pemberitahuan yang disampaikan
Yesus.
Bagaimana reaksi Yesus
terhadap permintaan mereka? Yesus menanggapi mereka dengan mengajukan sebuah
pertanyaan, "...Dapatkah kamu
meminum cawan yang harus Kuminum atau dibaptis dengan baptisan yang harus
Kuterima?" (Markus 10:38) kurang lebih perkataan Yesus sederhananya
begini, "Yakinkah kamu bahwa diri-Ku bagi kamu begitu bernilai sehingga
kamu mau berbagi hidup, bahkan kematian-Ku, dengan membayar harga apa-pun?"
Kedua orang itu langsung menjawab "Ya!", tanpa menyadari apa
kansekuensi di balik jawaban itu. Kemudian Yesus menyimpulkan, "Kamu tidak tahu apa yang kamu minta."
Tanpa mengerti apa yang
diminta Yesus, mereka segera menyatakan diri sanggup meminum cawan dan dibaptis dalam baptisan yang Yesus terima sebab,
mereka menyangka bahwa dengan demikian kedudukan terjamin bagi mereka. Salah
sangka itu dibongkar oleh jawaban Yesus atas pertanyaan di awal yakin, mereka
memang akan ikut menempuh jalan penderitaan bersama Yesus, tetapi hal itu sama
sekali tidak menjamin penerimaan kursi tertinggi dari tangan Yesus. Hal itu
tetap sepenuhnya ada di tangan Allah Bapa.
Yakobus dan Yohanes ada
hubungan dekat dengan Yesus. Bisa dimaklumi kalau mereka meminta hal yang
sangat spesial dari Yesus. Namun, bagaimana reaksi murid yang lain? Apakah
mereka membiarkan saja dan melihatnya sebagai permintaan yang wajar? Ternyata
tidak! Mereka menjadi marah. Kemarahan mereka menunjukkan hasrat yang sama,
yakni menginginkan posisi yang mulia, terhormat dan berkuasa itu.
Pertikaian itu memaksa Yesus
memberi pelajaran tentang menjadi yang
terbesar. Ia mengajarkan cara menjadi "besar". Yesus menolak pola
kekuasaan politik, dan mengajarkan hal yang sebaliknya, "Siapa yang ingin menjadi besar, hendaklah ia
menjadi pelayan dan yang ingin menjadi terkemuka hendaklah menjadi
pelayan." Seorang pelayan mengikuti kehendak mereka yang dilayani dan
tidak menjadikan orang lain sebagai pelayan kehendaknya. Kuasa tidak
bertentangan dengan pelayanan. Yesus juga memandang diri sebagai orang yang
memiliki kuasa untuk mengampuni dosa, mengajar, menyembuhkan, dan mengusir
setan. Namun, Ia memahami bahwa kuasa itu diberikan oleh Allah, Bapa-Nya untuk
melayani manusia. Bukan untuk kepuasan sendiri! Yesus mengajarkan hal ini
kepada para murid-Nya karena Ia sendiri datang bukan untuk dilayani, melainkan
untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak
orang.
Penjungkirbalikkan paham
manusia untuk memperoleh kuasa dan kebesaran terjadi pada saat Yesus datang
sebagai orang yang melayani, tidak untuk dilayani. Mengapa penjungkirbalikkan?
Ya, karena naluri manusia selalu ingin dilayani, ingin penghormatan, kekuasaan
dan kebesaran. Namun, Yesus dengan rela menyembunyikan identitas-Nya. Ia
memilih tampil sebagai Anak Manusia
dan mengenakan wujud hamba yang menderita untuk melayani sampai mati. Yesus
sendiri menjelaskan alasan pelayanan yang dilakukan-Nya dengan kesetiaan dan
kerelaan itu, yakni perendahan diri Allah sendiri. Inilah alasan dasariah mengapa
kuasa kekerasan dan eksploitasi manusia oleh manusia harus ditolak. Pelayanan
dalam komunitas umat Tuhan yang kemudian seharusnya dilanjutkan dalam kehidupan
masyarakat pada umumnya, adalah partisipasi aktif dalam kasih Allah kepada
manusia.
Sekali lagi, Yesus berusaha
mengarahkan sensasi kuasa dan kemuliaan para murid ini kepada rel yang benar.
Yesus menunjuk pada jalan sengsara dan kematian yang bukan merupakan
kesia-siaan, tetapi memiliki makna bagi keselamatan umat manusia.
Mestinya, setiap pengikut
Yesus harus hidup seperti Yesus, yaitu membuang jauh godaan untuk menjadi
besar, menguasai orang lain, memaksa apalagi menindas. Sebaliknya, semakin mau
memahami dan mengerti kebutuhan dan penderitaan orang lain, semakin tergerak
untuk berbuat kebajikan dan memberdayakan orang lain dan semakin ingin hidup
ini berarti: memberi diri sebagai korban persembahan yang hidup dan berkenan
kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar