Siapa yang tidak kagum
terhadap orang yang taat dalam kehidupan beragama dan sekaligus kaya raya.
Tentu, setiap orang menginginkan kondisi seperti ini. Pertanyaanya, apakah
orang dengan kondisi seperti ini cukup bahagia? Atau tidak ada yang kurang
lagi? Belum tentu!
Suatu ketika ada seseorang
berlari-lari dan berlutut di hadapan Yesus. Ia berlutut seraya berkata, "Guru yang baik!" Entah karena
sapaan itu basa-basi atau orang tersebut tidak mengerti dari arti yang
sebenarnya di balik ucapannya itu. Yang jelas Yesus menolak sapaan itu.
Sekarang Yesus mengarahkan perhatian orang itu kepada Allah. Hanya Dialah
satu-satunya yang baik dan patut disembah. Pada saat yang sama, Yesus menantang
orang itu untuk membuka mata bagi kehadiran dan kebaikan Allah di dalam diri
Anak-Nya. Orang kaya nan saleh ini merasa masih ada yang kurang, yakni
kehidupan yang kekal. Maka ia bertanya kepada Yesus, "....apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
(Markus 10:17).
Yesus menanggapi pertanyaan
orang itu. Ia mengutip beberapa perintah dari sepuluh Hukum Taurat sebagai
syarat untuk memperoleh kehidupan yang kekal. "Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan memberi
kesaksian palsu, jangan menipu orang, hormatilah ayah dan ibumu!"
Jawab Yesus. Dengan mengacu kepada
perintah-perintah Taurat itu, Yesus menuntut ketaatan nyata pada hukum itu.
Ketaatan itu pasti dilakukan manusia apabila manusia mengakui Allahlah pemegang
otoritas tertinggi dalam kehidupannya.
Dengan penuh percaya diri,
orang itu menyatakan bahwa sejak masa mudanya ia telah melaksanakan
perintah-perintah itu. Ini berarti sebetulnya ia yakin memperoleh jaminan
kehidupan yang kekal. Namun, rupanya Yesus belum tuntas berbicara. Yesus
menunjukkan satu syarat yang lain yang harus dipenuhi oleh orang itu, yakni
menjual seluruh harta miliknya, membagi-bagikannya kepada orang miskin, lalu
datang dan mengikuti-Nya. Hanya dengan cara itulah orang kaya yang saleh itu
akan memperoleh apa yang diingininya, yakni kehidupan yang kekal.
Saya bisa membayangkan
terkejutnya orang kaya itu mendengar persyaratan ini. Bukankah cukup hanya
sepersepuluh atau paling banyak setengah hartanya saja yang harus dijual dan
dibagikan kepada orang miskin? Bagaimana kehidupannya nanti setelah seluruh
hartanya dijual. Siapa yang akan menjaminnya kelak? Bagimana pula pandangan
orang-orang di sekitarnya kalau dirinya mendadak miskin dan gembel? Inikan
tidak realistis! Namun, apa sebenarnya yang membuat ia begitu sedih? Bukankah
sedari muda ia telah belajar taat kepada Allah? Mestinya ia berani membayar
harga!
Alkitab mencatat reaksi orang
kaya itu. "....mukanya muram, lalu
ia pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya" (Markus 10:22). Kita
dapat banyangkan kalau harta kita banyak lalu diminta untuk dijual seluruhnya
pastilah kita juga akan muram dan sedih. Mungkin sekali protes! Kita bergantung
kepada harta itu. Yesus pernah berkata bahwa di mana hartamu berada, di situ
hatimu juga berada. Itu tandanya hati kita melekat pada harta milik kita.
Kemelekatan itu yang membuat kita sedih jika harus dipisahkan. Namun, apakah hal
ini juga yang terjadi dengan orang kaya ini?
Orang Yahudi berpandangan
bahwa kekayaan, keturunan, dan umur panjang merupakan ganjaran yang diberikan
Allah atas segala ketaatan seseorang dalam menuruti perintah-perintah-Nya.
Kesejahteraan hidup di dunia yang mereka nikmati itu adalah pendahuluan dari
kesejahteraan abadi yang akan mereka terima dalam kehidupan kekal sesungguhnya.
Namun, kali ini justeru Yesus meminta orang itu untuk menjual seluruh miliknya.
Baginya, perintah Yesus ini sama dengan perintah untuk membuang ganjaran dari Allah,
yang menjadikan legitimasi atau bukti bahwa dia adalah orang yang saleh dan
bahwa hidupnya itu berkenan kepada Allah.
Bagi orang kaya yang saleh
ini, harta benda memiliki makna religius atau ada kaitannya dengan kesalehan,
tetapi sekarang Yesus mencampakkannya. Orang itu pergi karena tidak dapat
menerima pandangan Yesus mengenai kekayaan. Ia tidak dapat membuang kekayaannya
yang dipandang sebagai bukti kebaikan hidupnya. Orang itu sulit melepaskan
bukan harta miliknya, melainkan legitimasi bahwa saya orang baik dan tidak
layak untuk menderita. Masalah utamanya di sini bukanlah soal uang atau harta
benda, melainkan hati yang merasa layak dan berhak mendapatkan hidup yang kekal
karena saya telah membayarnya dengan melakukan detil hukum Taurat.
Sekali lagi masalahnya bukan
uang atau harta benda, melainkan hati kita. Bisa saja Anda tidak punya apa-apa
alias miskin tetapi berpikir dan mengugat Tuhan, "Mengapa saya sudah taat
melakukan perintah-Mu, namun Engkau tidak mengganjariku dengan kesejahteraan
hidup? Mengapa hidupku terus miskin? Bukankah dengan kondisiku begini, Engkau
akan malu? Namun, sebaliknya, bisa saja Anda sekarang berkelimpahan dengan
harta benda, namun memiliki hati Kerajaan Allah. Tidak menganggapnya sebagai
sebuah prestasi kesalehan rohani. Melainkan, sebagai kesempatan untuk
menyatakan Kerajaan Allah bagi sesama.
Percakapan dengan si kaya
telah berlalu. Dan kini, Yesus menjadikannya sebagai bahan pelajaran buat para
murid-Nya. "Amat sulit bagi seorang kaya, yang memiliki banyak harta,
untuk masuk dalam Kerajaan Allah. Sedemikian sulitnya sehingga lebih mudah bagi
seekor unta masuk dalam lubang jarum ketimbang orang kaya masuk dalam Kerajaan
Surga. Mendengar pernyataan Yesus, sepontan murid-murid tercengan dan berkata,
Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?" Mungkin saja dalam
benak, mereka berpikir, "Kalau orang yang tadi itu: Saleh dan karena itu
dilimpahi Allah dengan kekayaan yang banyak, sulit untuk diselamatkan, lalu
siapakah yang dapat masuk dalam Kerajaan Surga?"
Tentang kekayaan, rupanya para
murid berpandangan sama dengan orang yang saleh tadi. Kekayaan adalah ganjaran
dari Allah untuk orang yang benar dan merupakan "anugerah pendahuluan".
Bagi mereka, Allah masih akan memberikan ganjaran kehidupan yang kekal.
Persoalan sebenarnya bukan terletak pada milik yang harus dijual karena
menghalangi keselamatan, melainkan sikap dan penilaian terhadap harta kekayaan
itu. Yesus mengingatkan bahwa kekayaan itu (atau kemiskinan) tidaklah mempunyai
inplikasi religius. Kekayaan itu bukanlah "upah" yang diterima
seseorang setelah ia melakukan kesalehan dalam ketaatan. Sebaliknya, kemiskinan
bukanlah ketidaksukaan atau pembalasan Allah terhadap orang yang tidak setia.
Bukan itu!
Kalau kekayaan dianggap
sebagai ganjaran pendahuluan dari perbuatan baik, kehidupan kekal pun dianggap
sebagai upah yang diberikan kepada orang yang bekerja keras untuk berbuat baik.
Bagi Yesus, kelas sosial, tinggi atau rendah, bukanlah jaminan keselamatan.
Keselamatan atau kehidupan kekal bukan hasil kerja keras manusia, melainkan
anugerah Allah yang nyata dalam diri Kristus.
Tidak mudah untuk mengikuti
pola pikir dan ajaran Yesus, ya seperti ungkapan-Nya, "bagai unta masuk
lubang jarum!" Namun, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil. "Bagi
manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala
sesuatu mungkin bagi Allah" (Markus 10:27). Yesus menyatakan bahwa
keselamatan sepenuhnya di luar jangkauan manusia. Setiap usaha masuk dalam Kerajaan
Allah dengan mengandalkan jasa kesalehan sendiri pastilah tidak mungkin alias
mustahil. Sebab, segala yang berkaitan dengan keselamatan adalah wewenang Allah
sendiri. Hidup kekal, keselamatan, atau masuk kedalam Kerajaan Surga adalah
realitas yang datang berdasarkan kasih karunia. Dengan demikian Yesus sekali
lagi menegaskan kemampuan dan kebaikan Allah yang ditegaskan-Nya pada awal
kisah ini, "Tak seorang pun yang
baik selain Allah saja! (ay.18).
Alih-alih membenarkan kekayaan
sebagai upah perbuatan baik, Yesus meinginkan agar kekayaan itu didistribusikan
untuk kebaikan bersama. Memberdayakan orang-orang miskin. Dengan demikian
kebaikan Allah bukanlah perkara yang hanya dikuasai oleh diri sendiri, melainkan
dirasakn oleh orang-orang yang ada di sekitar kita. Sehingga kesalehan bukan
semata urusan pribadi, apalagi dipakai untuk mengklaim berkat-Nya. Melainkan
Kerajaan Allah itu harus mempunyai dampak bagi kesejahteraan bersama!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar