Kamis, 11 Oktober 2018

MENYATAKAN KERAJAAN ALLAH DALAM HIDUP BERSAMA

Siapa yang tidak kagum terhadap orang yang taat dalam kehidupan beragama dan sekaligus kaya raya. Tentu, setiap orang menginginkan kondisi seperti ini. Pertanyaanya, apakah orang dengan kondisi seperti ini cukup bahagia? Atau tidak ada yang kurang lagi? Belum tentu!

Suatu ketika ada seseorang berlari-lari dan berlutut di hadapan Yesus. Ia berlutut seraya berkata, "Guru yang baik!" Entah karena sapaan itu basa-basi atau orang tersebut tidak mengerti dari arti yang sebenarnya di balik ucapannya itu. Yang jelas Yesus menolak sapaan itu. Sekarang Yesus mengarahkan perhatian orang itu kepada Allah. Hanya Dialah satu-satunya yang baik dan patut disembah. Pada saat yang sama, Yesus menantang orang itu untuk membuka mata bagi kehadiran dan kebaikan Allah di dalam diri Anak-Nya. Orang kaya nan saleh ini merasa masih ada yang kurang, yakni kehidupan yang kekal. Maka ia bertanya kepada Yesus, "....apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" (Markus 10:17).

Yesus menanggapi pertanyaan orang itu. Ia mengutip beberapa perintah dari sepuluh Hukum Taurat sebagai syarat untuk memperoleh kehidupan yang kekal. "Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan memberi kesaksian palsu, jangan menipu orang, hormatilah ayah dan ibumu!" Jawab Yesus.  Dengan mengacu kepada perintah-perintah Taurat itu, Yesus menuntut ketaatan nyata pada hukum itu. Ketaatan itu pasti dilakukan manusia apabila manusia mengakui Allahlah pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupannya.

Dengan penuh percaya diri, orang itu menyatakan bahwa sejak masa mudanya ia telah melaksanakan perintah-perintah itu. Ini berarti sebetulnya ia yakin memperoleh jaminan kehidupan yang kekal. Namun, rupanya Yesus belum tuntas berbicara. Yesus menunjukkan satu syarat yang lain yang harus dipenuhi oleh orang itu, yakni menjual seluruh harta miliknya, membagi-bagikannya kepada orang miskin, lalu datang dan mengikuti-Nya. Hanya dengan cara itulah orang kaya yang saleh itu akan memperoleh apa yang diingininya, yakni kehidupan yang kekal.

Saya bisa membayangkan terkejutnya orang kaya itu mendengar persyaratan ini. Bukankah cukup hanya sepersepuluh atau paling banyak setengah hartanya saja yang harus dijual dan dibagikan kepada orang miskin? Bagaimana kehidupannya nanti setelah seluruh hartanya dijual. Siapa yang akan menjaminnya kelak? Bagimana pula pandangan orang-orang di sekitarnya kalau dirinya mendadak miskin dan gembel? Inikan tidak realistis! Namun, apa sebenarnya yang membuat ia begitu sedih? Bukankah sedari muda ia telah belajar taat kepada Allah? Mestinya ia berani membayar harga!

Alkitab mencatat reaksi orang kaya itu. "....mukanya muram, lalu ia pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya" (Markus 10:22). Kita dapat banyangkan kalau harta kita banyak lalu diminta untuk dijual seluruhnya pastilah kita juga akan muram dan sedih. Mungkin sekali protes! Kita bergantung kepada harta itu. Yesus pernah berkata bahwa di mana hartamu berada, di situ hatimu juga berada. Itu tandanya hati kita melekat pada harta milik kita. Kemelekatan itu yang membuat kita sedih jika harus dipisahkan. Namun, apakah hal ini juga yang terjadi dengan orang kaya ini?

Orang Yahudi berpandangan bahwa kekayaan, keturunan, dan umur panjang merupakan ganjaran yang diberikan Allah atas segala ketaatan seseorang dalam menuruti perintah-perintah-Nya. Kesejahteraan hidup di dunia yang mereka nikmati itu adalah pendahuluan dari kesejahteraan abadi yang akan mereka terima dalam kehidupan kekal sesungguhnya. Namun, kali ini justeru Yesus meminta orang itu untuk menjual seluruh miliknya. Baginya, perintah Yesus ini sama dengan perintah untuk membuang ganjaran dari Allah, yang menjadikan legitimasi atau bukti bahwa dia adalah orang yang saleh dan bahwa hidupnya itu berkenan kepada Allah.

Bagi orang kaya yang saleh ini, harta benda memiliki makna religius atau ada kaitannya dengan kesalehan, tetapi sekarang Yesus mencampakkannya. Orang itu pergi karena tidak dapat menerima pandangan Yesus mengenai kekayaan. Ia tidak dapat membuang kekayaannya yang dipandang sebagai bukti kebaikan hidupnya. Orang itu sulit melepaskan bukan harta miliknya, melainkan legitimasi bahwa saya orang baik dan tidak layak untuk menderita. Masalah utamanya di sini bukanlah soal uang atau harta benda, melainkan hati yang merasa layak dan berhak mendapatkan hidup yang kekal karena saya telah membayarnya dengan melakukan detil hukum Taurat.

Sekali lagi masalahnya bukan uang atau harta benda, melainkan hati kita. Bisa saja Anda tidak punya apa-apa alias miskin tetapi berpikir dan mengugat Tuhan, "Mengapa saya sudah taat melakukan perintah-Mu, namun Engkau tidak mengganjariku dengan kesejahteraan hidup? Mengapa hidupku terus miskin? Bukankah dengan kondisiku begini, Engkau akan malu? Namun, sebaliknya, bisa saja Anda sekarang berkelimpahan dengan harta benda, namun memiliki hati Kerajaan Allah. Tidak menganggapnya sebagai sebuah prestasi kesalehan rohani. Melainkan, sebagai kesempatan untuk menyatakan Kerajaan Allah bagi sesama.

Percakapan dengan si kaya telah berlalu. Dan kini, Yesus menjadikannya sebagai bahan pelajaran buat para murid-Nya. "Amat sulit bagi seorang kaya, yang memiliki banyak harta, untuk masuk dalam Kerajaan Allah. Sedemikian sulitnya sehingga lebih mudah bagi seekor unta masuk dalam lubang jarum ketimbang orang kaya masuk dalam Kerajaan Surga. Mendengar pernyataan Yesus, sepontan murid-murid tercengan dan berkata, Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?" Mungkin saja dalam benak, mereka berpikir, "Kalau orang yang tadi itu: Saleh dan karena itu dilimpahi Allah dengan kekayaan yang banyak, sulit untuk diselamatkan, lalu siapakah yang dapat masuk dalam Kerajaan Surga?"

Tentang kekayaan, rupanya para murid berpandangan sama dengan orang yang saleh tadi. Kekayaan adalah ganjaran dari Allah untuk orang yang benar dan merupakan "anugerah pendahuluan". Bagi mereka, Allah masih akan memberikan ganjaran kehidupan yang kekal. Persoalan sebenarnya bukan terletak pada milik yang harus dijual karena menghalangi keselamatan, melainkan sikap dan penilaian terhadap harta kekayaan itu. Yesus mengingatkan bahwa kekayaan itu (atau kemiskinan) tidaklah mempunyai inplikasi religius. Kekayaan itu bukanlah "upah" yang diterima seseorang setelah ia melakukan kesalehan dalam ketaatan. Sebaliknya, kemiskinan bukanlah ketidaksukaan atau pembalasan Allah terhadap orang yang tidak setia. Bukan itu!

Kalau kekayaan dianggap sebagai ganjaran pendahuluan dari perbuatan baik, kehidupan kekal pun dianggap sebagai upah yang diberikan kepada orang yang bekerja keras untuk berbuat baik. Bagi Yesus, kelas sosial, tinggi atau rendah, bukanlah jaminan keselamatan. Keselamatan atau kehidupan kekal bukan hasil kerja keras manusia, melainkan anugerah Allah yang nyata dalam diri Kristus.

Tidak mudah untuk mengikuti pola pikir dan ajaran Yesus, ya seperti ungkapan-Nya, "bagai unta masuk lubang jarum!" Namun, hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil. "Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu mungkin bagi Allah" (Markus 10:27). Yesus menyatakan bahwa keselamatan sepenuhnya di luar jangkauan manusia. Setiap usaha masuk dalam Kerajaan Allah dengan mengandalkan jasa kesalehan sendiri pastilah tidak mungkin alias mustahil. Sebab, segala yang berkaitan dengan keselamatan adalah wewenang Allah sendiri. Hidup kekal, keselamatan, atau masuk kedalam Kerajaan Surga adalah realitas yang datang berdasarkan kasih karunia. Dengan demikian Yesus sekali lagi menegaskan kemampuan dan kebaikan Allah yang ditegaskan-Nya pada awal kisah ini, "Tak seorang pun yang baik selain Allah saja! (ay.18).
 
Alih-alih membenarkan kekayaan sebagai upah perbuatan baik, Yesus meinginkan agar kekayaan itu didistribusikan untuk kebaikan bersama. Memberdayakan orang-orang miskin. Dengan demikian kebaikan Allah bukanlah perkara yang hanya dikuasai oleh diri sendiri, melainkan dirasakn oleh orang-orang yang ada di sekitar kita. Sehingga kesalehan bukan semata urusan pribadi, apalagi dipakai untuk mengklaim berkat-Nya. Melainkan Kerajaan Allah itu harus mempunyai dampak bagi kesejahteraan bersama!

Jakarta, 11 Oktober 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar