Kamis, 20 September 2018

MURID-MURID KRISTUS YANG TAAT

Dalam sebuah perjalanan, beribu peristiwa bisa terjadi. Ada yang menggembirakan, canda tawa dan berbagi makanan ringan. Bisa terjadi juga hal-hal yang mencengangkan, takjub dengan keindahan pemandangan yang terlewati. Tidak tertutup kemungkinan perjalanan itu diwarnai dengan hal-hal yang menegangkan. Tiba-tiba cuaca memburuk dan kemudian menjadi badai. Atau bisa saja pengemudi ugal-ugalan membuat jantung berdebar kencang.

Yesus bersama para murid melanjutkan perjalanan dari Kaisarea Filipi melipir wilayah Galilea menuju Yerusalem. Rupanya, Ia menyadari bahwa tugas-Nya di Yerusalem mendesak sehingga tidak mungkin lagi melayani berlama-lama di Galilea. Untuk apa ke Yerusalem? Jawaban itu bisa kita simak dari pengajaran-Nya di sepanjang jalan itu. Kali ini, untuk kedua kalinya, Yesus memberitahukan kepada murid-murid bahwa akan Ia diserahkan, dibunuh, dan sesudah hari ketiga Ia akan bangkit. "Anak manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit," kata-Nya (Markus 9:31).

Maksud perkataan Yesus bukan cuma diserahkan oleh Yudas atau oleh para pemimpin Yahudi. Mereka itu cuma syareat. Yudas dan para pemimpin Yahudi adalah mereka yang menjadi pelaksana eksekusi itu - dan untuk itu mereka tidak bisa luput dari tanggung jawab. Namun, pada saat yang sama Anak Manusia diserahkan oleh Allah ke dalam tangan kekuasaan manusia. Kita mengingat bentuk pasif kata kerja "diserahkan" dalam Alkitab sering menunjuk pada tindakan Allah. Tindakan orang jahat yang membenci Yesus menjadi jalan bagi Allah untuk membawa keselamatan kepada banyak orang. Namun pemahaman ini bukan berarti bahwa Allah merancangkan rencana-Nya dengan menghalalkan kekejian yang dilakukan oleh manusia. Bukan itu! Namun rancangan Allah tidak bisa digagalkan oleh tindakan kejahatan manusia. Alih-alih mereka bisa menghentikan kasih karunia Allah dalam diri Yesus yang telah mewujudkan kerajaan Allah dengan pelbagai pemulihan, Allah memakai kejahatan manusia itu justru untuk lebih lagi menampakkan kasih-Nya. Yesus melihat rancangan Allah itu dan oleh karenanya Ia taat terus menelusuri jalan ke Yerusalem. Jalan kematian!

Sayangnya mereka tidak memahami apa yang dikatakan Yesus. Mereka juga enggan bertanya. Mengapa tidak mengerti dan tidak mau bertanya? Sesampainya di rumah di Kapernaum barulah terungkap. Pikiran dan hasrat mereka sama sekali bertolak belakang dengan misi Yesus. Hal ini terungkap ketika Yesus mengorek apa yang tadi menyibukkan mereka. Mereka sibuk membicarakan kedudukan, ranking: siapa yang terbesar di antara mereka!

Dalam sebuah perjalanan, Anda ingin bercerita tentang sebuah hal yang teramat penting, namun teman bicara Anda sibuk dengan gawaynya atau sibuk berbicara sendiri. Kira-kira apa yang Anda rasakan. Kecewa! Ya, mungkin kata itu yang paling tepat. Yesus sedang berusaha membuka diri. Mengajarkan kepada para murid-Nya akan tugas utama kemesiasan-Nya. Alih-alih serius, mereka sibuk berebut posisi. Yesus tentu saja kecewa karena sekian lama para murid mengikuti-Nya tetap saja mereka sama seperti ahli-ahli Taurat yang mencari tempat terdepan dalam rumah ibadah dan tempat terhormat pada meja perjamuan (Markus 12:39). Apa bedanya anak-anak Zebedeus dengan para ulama Yahudi yang nantinya akan mencari posisi kekuasaan di sebelah kanan dan kiri raja Yesus (Markus 10:35-42)? Hasrat para murid masih sama dengan nafsu para pemimpin Yahudi akan kekuasaan dan penghormatan.

Pertengkaran para murid yang berebur ranking itu terjadi di tengah perjalanan Yesus menuju Yerusalem. Jelas perjalanan ini diwarnai dengan ketegangan dan tentu saja tidak menyenangkan! Sementara, Yesus berjalan menuju tempat penderitaan dan kematian-Nya. Di sini menunjukkan kontras yang sangat tajam antara hasrat para murid-murid dengan tugas yang sedang diemban oleh Yesus. Jangan-jangan, potret para murid itu adalah gambaran kita juga sebagai murid-murid masa kini. Kita meributkan dan bertengkar untuk hal-hal bukan apa yang menjadi keprihatinan Yesus. Melainkan perkara-perkara yang dapat menonjolkan diri sendiri, yang membuat kita merasa diakui dan disanjung. Sibuk dengan pemuliaan dan kenyamanan diri sendiri mengakibatkan kita tidak memahami, atau tidak mau mengerti dengan apa yang seharus dikerjakan!

Gereja dan kita yang ada di dalamnya sibuk menata diri agar di mata orang terlihat baik dan saleh. Kita menjadi mirip dengan ahli-ahli Taurat, suka untuk dilihat dan mendapat posisi terhormat. Jika kita melakukan tindakan kesalehan tanpa diketahui oleh orang lain, kita menjadi gelisah, karena tidak mendapatkan apa yang kita inginkan - yakni pengakuan dan pujian. Mentalitas seperti ini segera berubah menjadi kesombongan dan kesombongan adalah dosa yang paling tidak terlihat. Kesombongan bersembunyi di balik kebaikan. Kesombongan adalah satu-satunya dosa yang memerlukan kebaikan agar bisa terus eksis.

Dengan memeluk seorang anak kecil, Yesus memberi contoh yang mengharukan tentang bagaimana seharus mencari "ranking" itu, yakni menjadi yang terakhir dan pelayan bagi semua. Perlu disadari bahwa di dunia kuno, seorang anak kecil (paidion) umumnya kurang diberi tempat. Mereka tidak masuk dalam hitungan. Anak kecil yang dipeluk Yesus adalah gambaran semua orang kecil yang tidak dipandang dan tidak dihargai dalam masyarakat atau jemaat. Berbarengan dengan itu Yesus mengungkapkan, "Siapa saja yang menyambut seorang anak kecil seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku, dan siapa saja yang menyambut Aku, bukan AKu yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku" (Markus 9:37). Yesus sedang mengajarkan kasih secara nyata terhadap orang-orang kecil, hina dan terabaikan yang di mata-Nya sama seperti diri-Nya sendiri. Dengan kata lain, mereka yang dipandang mulia dan besar adalah mereka yang mampu melayani orang-orang yang sama sekali tidak diperhitungkan, tanpa syarat, tanpa publikasi dan tanpa pujian!

Perjalanan menuju Yerusalem memang belum selesai, baru pertengahan. Yesus mengajarkan tentang yang "terbesar" itu sama sekali berlawanan dengan apa yang dikejar oleh dunia ini. Ketaatan dan kerendahan hati mutlak menjadi landasan utama. Ia tidak sekedar mengajarkan-Nya. Setidaknya, perjalanan ke Yerusalem itu merupakan kesaksian hidup sesungguhnya. Ia taat kepada Bapa-Nya sekalipun Bapa-Nya menyerahkan diri-Nya ke dalam tangan kekuasaan manusia.

Berulang kali Yesus mengajarkan dan memberi contoh tetapi mereka sulit untuk menerimanya. Bahkan ada kecenderungan mereka lebih suka untuk mengabaikannya. Manusia mempunyai hasrat lain ketimbang menanggung penderitaan bersama dengan Tuhan. Kita lebih suka menjadi "orang", pembesar, yang boleh mengatur yang lain.

Yesus menangkap hasrat manusia itu dan menjadikannya bahan ajar, Ia mulai dengan, "...jika seorang ingin menjadi yang pertama" (bukankah ini hasrat semua orang?) Yesus menjelaskan dengan kata dan tindakan bagaimana kehidupan para murid-Nya harus dirombak secara total. Yang mau menjadi orang terkemuka, diajak-Nya melakukan apa yang tampaknya bertolak belakang dengan hasrat itu, yakni menjadi orang kecil yang melayani kebutuhan semua saudara-Nya, khususnya mereka yang hina. Pelayanan seperti itu memang tidak mudah. Bisa membawa pengorbanan dan penderitaan demi orang yang seperti ditanggung oleh Yesus sendiri. Justeru dengan demikianlah membuat si pengikut Yesus menjadi orang yang terkemuka. Siapa yang dengan rendah hati dan semangat pengorbanan melayani kebutuhan orang kecil, menyambut dan melayani Yesus dan Allah sendiri. "Ia tidak akan kehilangan upahnya" (Markus 9:41).

Kita masih dalam perjalanan. Apakah yang sedang sibuk kita pertengkarkan? Tidakkah kita belajar dari Yesus? Sebagai murid-murid Yesus, mestinya kita mencontoh ketaatan-Nya kepada Sang Bapa!

Jakarta, 21 September 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar