Dalam sebuah perjalanan,
beribu peristiwa bisa terjadi. Ada yang menggembirakan, canda tawa dan berbagi
makanan ringan. Bisa terjadi juga hal-hal yang mencengangkan, takjub dengan
keindahan pemandangan yang terlewati. Tidak tertutup kemungkinan perjalanan itu
diwarnai dengan hal-hal yang menegangkan. Tiba-tiba cuaca memburuk dan kemudian
menjadi badai. Atau bisa saja pengemudi ugal-ugalan membuat jantung berdebar
kencang.
Yesus bersama para murid
melanjutkan perjalanan dari Kaisarea Filipi melipir wilayah Galilea menuju
Yerusalem. Rupanya, Ia menyadari bahwa tugas-Nya di Yerusalem mendesak sehingga
tidak mungkin lagi melayani berlama-lama di Galilea. Untuk apa ke Yerusalem?
Jawaban itu bisa kita simak dari pengajaran-Nya di sepanjang jalan itu. Kali
ini, untuk kedua kalinya, Yesus memberitahukan kepada murid-murid bahwa akan Ia
diserahkan, dibunuh, dan sesudah hari ketiga Ia akan bangkit. "Anak manusia akan diserahkan ke dalam tangan
manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan
bangkit," kata-Nya (Markus 9:31).
Maksud perkataan Yesus bukan
cuma diserahkan oleh Yudas atau oleh para pemimpin Yahudi. Mereka itu cuma
syareat. Yudas dan para pemimpin Yahudi adalah mereka yang menjadi pelaksana
eksekusi itu - dan untuk itu mereka tidak bisa luput dari tanggung jawab.
Namun, pada saat yang sama Anak Manusia diserahkan oleh Allah ke dalam tangan
kekuasaan manusia. Kita mengingat bentuk pasif kata kerja
"diserahkan" dalam Alkitab sering menunjuk pada tindakan Allah.
Tindakan orang jahat yang membenci Yesus menjadi jalan bagi Allah untuk membawa
keselamatan kepada banyak orang. Namun pemahaman ini bukan berarti bahwa Allah
merancangkan rencana-Nya dengan menghalalkan kekejian yang dilakukan oleh
manusia. Bukan itu! Namun rancangan Allah tidak bisa digagalkan oleh tindakan
kejahatan manusia. Alih-alih mereka bisa menghentikan kasih karunia Allah dalam
diri Yesus yang telah mewujudkan kerajaan Allah dengan pelbagai pemulihan,
Allah memakai kejahatan manusia itu justru untuk lebih lagi menampakkan
kasih-Nya. Yesus melihat rancangan Allah itu dan oleh karenanya Ia taat terus
menelusuri jalan ke Yerusalem. Jalan kematian!
Sayangnya mereka tidak
memahami apa yang dikatakan Yesus. Mereka juga enggan bertanya. Mengapa tidak
mengerti dan tidak mau bertanya? Sesampainya di rumah di Kapernaum barulah
terungkap. Pikiran dan hasrat mereka sama sekali bertolak belakang dengan misi
Yesus. Hal ini terungkap ketika Yesus mengorek apa yang tadi menyibukkan
mereka. Mereka sibuk membicarakan kedudukan, ranking: siapa yang terbesar di antara mereka!
Dalam sebuah perjalanan, Anda
ingin bercerita tentang sebuah hal yang teramat penting, namun teman bicara
Anda sibuk dengan gawaynya atau sibuk berbicara sendiri. Kira-kira apa yang
Anda rasakan. Kecewa! Ya, mungkin kata itu yang paling tepat. Yesus sedang
berusaha membuka diri. Mengajarkan kepada para murid-Nya akan tugas utama
kemesiasan-Nya. Alih-alih serius, mereka sibuk berebut posisi. Yesus tentu saja
kecewa karena sekian lama para murid mengikuti-Nya tetap saja mereka sama
seperti ahli-ahli Taurat yang mencari tempat terdepan dalam rumah ibadah dan
tempat terhormat pada meja perjamuan (Markus 12:39). Apa bedanya anak-anak
Zebedeus dengan para ulama Yahudi yang nantinya akan mencari posisi kekuasaan
di sebelah kanan dan kiri raja Yesus (Markus 10:35-42)? Hasrat para murid masih
sama dengan nafsu para pemimpin Yahudi akan kekuasaan dan penghormatan.
Pertengkaran para murid yang
berebur ranking itu terjadi di tengah
perjalanan Yesus menuju Yerusalem. Jelas perjalanan ini diwarnai dengan
ketegangan dan tentu saja tidak menyenangkan! Sementara, Yesus berjalan menuju
tempat penderitaan dan kematian-Nya. Di sini menunjukkan kontras yang sangat
tajam antara hasrat para murid-murid dengan tugas yang sedang diemban oleh
Yesus. Jangan-jangan, potret para murid itu adalah gambaran kita juga sebagai
murid-murid masa kini. Kita meributkan dan bertengkar untuk hal-hal bukan apa
yang menjadi keprihatinan Yesus. Melainkan perkara-perkara yang dapat
menonjolkan diri sendiri, yang membuat kita merasa diakui dan disanjung. Sibuk
dengan pemuliaan dan kenyamanan diri sendiri mengakibatkan kita tidak memahami,
atau tidak mau mengerti dengan apa yang seharus dikerjakan!
Gereja dan kita yang ada di
dalamnya sibuk menata diri agar di mata orang terlihat baik dan saleh. Kita
menjadi mirip dengan ahli-ahli Taurat, suka untuk dilihat dan mendapat posisi
terhormat. Jika kita melakukan tindakan kesalehan tanpa diketahui oleh orang
lain, kita menjadi gelisah, karena tidak mendapatkan apa yang kita inginkan -
yakni pengakuan dan pujian. Mentalitas seperti ini segera berubah menjadi
kesombongan dan kesombongan adalah dosa yang paling tidak terlihat. Kesombongan
bersembunyi di balik kebaikan. Kesombongan adalah satu-satunya dosa yang
memerlukan kebaikan agar bisa terus eksis.
Dengan memeluk seorang anak
kecil, Yesus memberi contoh yang mengharukan tentang bagaimana seharus mencari "ranking" itu, yakni menjadi
yang terakhir dan pelayan bagi semua. Perlu disadari bahwa di dunia kuno,
seorang anak kecil (paidion) umumnya
kurang diberi tempat. Mereka tidak masuk dalam hitungan. Anak kecil yang
dipeluk Yesus adalah gambaran semua orang kecil yang tidak dipandang dan tidak
dihargai dalam masyarakat atau jemaat. Berbarengan dengan itu Yesus
mengungkapkan, "Siapa saja yang
menyambut seorang anak kecil seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku, dan
siapa saja yang menyambut Aku, bukan AKu yang disambutnya, tetapi Dia yang
mengutus Aku" (Markus 9:37). Yesus sedang mengajarkan kasih secara
nyata terhadap orang-orang kecil, hina dan terabaikan yang di mata-Nya sama
seperti diri-Nya sendiri. Dengan kata lain, mereka yang dipandang mulia dan
besar adalah mereka yang mampu melayani orang-orang yang sama sekali tidak
diperhitungkan, tanpa syarat, tanpa publikasi dan tanpa pujian!
Perjalanan menuju Yerusalem
memang belum selesai, baru pertengahan. Yesus mengajarkan tentang yang
"terbesar" itu sama sekali berlawanan dengan apa yang dikejar oleh
dunia ini. Ketaatan dan kerendahan hati mutlak menjadi landasan utama. Ia tidak
sekedar mengajarkan-Nya. Setidaknya, perjalanan ke Yerusalem itu merupakan
kesaksian hidup sesungguhnya. Ia taat kepada Bapa-Nya sekalipun Bapa-Nya
menyerahkan diri-Nya ke dalam tangan kekuasaan manusia.
Berulang kali Yesus
mengajarkan dan memberi contoh tetapi mereka sulit untuk menerimanya. Bahkan
ada kecenderungan mereka lebih suka untuk mengabaikannya. Manusia mempunyai
hasrat lain ketimbang menanggung penderitaan bersama dengan Tuhan. Kita lebih
suka menjadi "orang", pembesar, yang boleh mengatur yang lain.
Yesus menangkap hasrat manusia
itu dan menjadikannya bahan ajar, Ia mulai dengan, "...jika seorang ingin menjadi yang
pertama" (bukankah ini hasrat semua orang?) Yesus menjelaskan dengan
kata dan tindakan bagaimana kehidupan para murid-Nya harus dirombak secara
total. Yang mau menjadi orang terkemuka, diajak-Nya melakukan apa yang
tampaknya bertolak belakang dengan hasrat itu, yakni menjadi orang kecil yang
melayani kebutuhan semua saudara-Nya, khususnya mereka yang hina. Pelayanan
seperti itu memang tidak mudah. Bisa membawa pengorbanan dan penderitaan demi
orang yang seperti ditanggung oleh Yesus sendiri. Justeru dengan demikianlah
membuat si pengikut Yesus menjadi orang yang terkemuka. Siapa yang dengan
rendah hati dan semangat pengorbanan melayani kebutuhan orang kecil, menyambut
dan melayani Yesus dan Allah sendiri. "Ia
tidak akan kehilangan upahnya" (Markus 9:41).
Kita masih dalam perjalanan.
Apakah yang sedang sibuk kita pertengkarkan? Tidakkah kita belajar dari Yesus?
Sebagai murid-murid Yesus, mestinya kita mencontoh ketaatan-Nya kepada Sang
Bapa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar