Dalam bukunya A Beautiful Heart, Agus Santosa mengulas
Injelitan. Adalah Cyril Northcote
Parkinson, seorang Profesor Manajemen dari Universitas Cambridge, Inggris yang
mempopulerkan Injelitan untuk
menyebut orang-orang atau komunitas yang mengidap injelititis. Suatu penyakit
yang lahir dari perasaan rendah diri yang kronis, kemudian menjadi tidak
kompeten dan selanjutnya iri hati. Injelitan adalah orang yang tidak mampu
sekaligus iri hati. Ia alergi pada prestasi terbaik orang lain. Dan ia memusuhi
siapa pun yang lebih cerdas. Jika ia seorang pemimpin, ia adalah pemimpin nomor
dua yang memilih orang-orang kelas tiga atau empat, pokoknya anak buah yang
kemampuannya tidak boleh melebihi dirinya. Dan, akhirnya Injelitan terjerat
dalam serangkaian tindakan yang jahat dan curang, menyingkirkan siapa pun yang
atas nama kinerja lebih kompeten.
Suatu ketika ada seorang ayah membawa anaknya datang kepada Yesus. Anak itu
kerasukan roh jahat yang mengakibatkan anak itu menderita bisu. Setiap kali roh
itu menyerang dia, roh itu membantingnya ke tanah; lalu mulutnya berbusa,
giginya berkertakan dan tubuhnya menjadi kejang. Rupanya si bapak ini telah
berusaha meminta kepada para murid Yesus untuk mengusir roh itu. Namun, mereka
tidak dapat melakukannya (Markus 9:18). Yesus mengecam atas ketidak percayaan
mereka. Setelah Yesus berhasil mengusir roh jahat dan anak itu menjadi sembuh,
para murid bertanya, "Mengapa kami tidak dapat mengusir roh itu?"
Jawab Yesus kepada mereka "Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan
berdoa" (Markus 9:28,29).
Murid-murid Yesus gagal
mengusir roh jahat dan Yesus menyebutnya bahwa jenis roh itu tidak dapat diusir
kecuali dengan doa. Bisa saja para murid kurang berdoa atau tidak berdoa dan
hanya mengandalkan kekuatan sendiri sehingga gagal mengusir roh jahat itu. Atau
mereka tidak tahu doa seperti apa yang harus digunakan dalam upaya pengusiran
setan itu. Namun, betapa pun semua alasan dikemukakan tetap saja mereka tidak mampu
mengatasi persoalan karena mereka sibuk dengan mempersoalkan siapa yang
terbesar di antara mereka (Markus 9:33-37).
Kisah selanjutnya, kali ini
Yohanes, salah seorang murid terdekat Yesus protes, "Guru, kami lihat
seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah
orang itu, karena ia bukan pengikut kita" (Markus 9:38). Ayat ini tidak
menginformasikan apakah orang yang bukan murid Yesus itu berhasil mengusir
setan atau tidak. Namun, ayat ini berkisah tentang para murid yang sepertinya
terjangkit sindrome Injelitan. Mereka tidak mampu mengusir setan, giliran ada
orang lain yang melakukannya dihalang-halangi dan meminta Yesus melarangnya.
Mereka alergi jika orang lain bisa melakukannya. Mereka beranggapan hanya
kelompok merekalah yang boleh melakukan mujizat itu.
Dengan melaporkan kejadian ini
kepada Yesus, memerlihatkan bahwa Yohanes tidak memahami inti sari misi Yesus.
Misi Yesus baru saja mereka saksikan di Gerasa, Samaria, Galilea dan sekitarnya
yakni, melucuti kuasa Setan, menyatakan bahwa tahun rahmat Allah telah tiba.
Maka, logikanya apabila seseorang mengusir Setan demi nama Yesus, lalu ia
berhasil melakukannya, bukankah pada hakekatnya Yesus sendiri yang mengusir roh
jahat itu? Pada pihak lain, bukankah eksorsisme yang dilakukan oleh seseorang
di luar komunitas para murid Yesus menunjukkan bahwa orang itu tampaknya
memiliki keyakinan iman terhadap Yesus? Dengan menggunakan nama Yesus ia
sesungguhnya menundukkan dirinya kepada kehendak Yesus atau kehendak Allah dan
dengan demikian pada saat yang sama dia tidak mungkin "menjelekkan"
atau melecehkan nama Yesus (Markus 9:39).
Sama seperti sikap intoleransi
yang diperlihatkan Yosua. Ketika beberapa orang Israel yang tidak mengikuti
Musa ke Kemah Pertemuan, berbicara sebagai nabi yang dipenuhi Roh, Yosua
meminta Musa untuk mencegah mereka (Bilangan 11:27-29). Alih-alih Musa
mengindahkan permintaan Yosua, ia bersyukur kalau saja seluruh umat TUHAN
diberi Roh-Nya. Sikap ekslusivisme Yohanes pun dihadapi Yesus dengan
keterbukaan dan wawasan luas. Yohanes mau melarang orang di luar kelompoknya
mengusir roh jahat. Jelaslah di mata Yesus larangan seperti ini bukan wewenang
Yohanes, Petrus, Yakobus atau murid-murid lain, betapa pun mereka begitu dekat
dengan Yesus. Yesus justeru membenarkan eksorsis itu Orang tidak perlu
terdaftar sebagai pegikut Yesus untuk memusuhi dan mengusir Setan. Yesus
sendiri tidak mewajibkan orang ikut serta dalam kelompok murid-murid pertama
itu. Alih-alih diminta-Nya untuk mengikuti Dia, Yesus justeru menyuruh pulang
orang Gerasa yang telah dibebaskan dari kerasukan roh jahat itu (Markus 5:19).
Bagi Yesus, barangsiapa memusuhi Setan, dengan sendirinya ia berada di
pihak-Nya. Karya Allah tidak boleh dimonopoli atau dibatasi pada satu kelompok
saja!
Bagaimana pun tanggapan Yesus
atas keberatan Yohanes ini menunjukkan kepicikan sikap murid-murid. Mereka mau
memiliki bahkan mengekang Yesus untuk diri mereka sendiri. Mereka memang mau
menjadi yang terbesar (Markus 9:35). Padahal Yesus menginginkan mereka
melepaskan keinginan itu dan menjadi sama dengan diri-Nya. Merendahkan diri dan
taat sampai mati!
Bukankah kita juga sering
terperangkap sindrome Injelitan? Kita sering ingin memonopoli dan membatasi
karya Allah itu dalam lingkungan sendiri. Padahal, Allah dan karya-Nya tidak
dapat dibatasi oleh apa pun dan siapa pun. Pembatasan itu cerminan bahwa kita
tidak ingin orang lain mampu melakukan karya Allah. Ketika kita tidak bisa dan
tidak kompeten mengerjakan apa yang Allah kehendaki dan orang lain ternyata
bisa menjadi berkat, kita menjadi cemburu dan marah. Kita protes kepada Tuhan!
Dalam konteks kehidupan kita
saat ini, sebagai umat Kristen kita hidup berdampingan dengan mayoritas yang
bukan umat kita; bukan kelompok kita! Kita tidak boleh menutup mata, di samping
banyak orang yang tidak senang dengan kekristenan, tidak sedikit pula yang
menghargai, menghormati Yesus. Bahkan banyak di antara mereka yang hidup dan
perjuangannya diilhami oleh Yesus. Kita mengingat bagaimana Mahatma Gandhi yang
menerjemahkan Khotbah di Bukit dalam
prilaku hidupnya. Ahimsa, berjuang dengan tidak melakukan kekerasan. Ia
mengusir roh-roh kebencian, sekat-sekat pemisah kemanusiaan, menundukkan roh
tinggi hati dengan cara hidup bersahaja. Bukankah ini semua diinspirasi oleh
kehidupan Yesus?
Kita mungkin masih
terperangkap dengan cara berpikir Yohanes, yang menganggap karya keselamatan
dalam nama Yesus sebagai milik kita saja, sebagai monopoli gereja. Yesus tegas
menolak ekslusivisme seperti itu. Ia menjadi milik seluruh umat manusia; dan
karya keselamatan-Nya dapat diteruskan juga oleh orang-orang di luar gereja
kita. Siapa saja dan di mana saja, ketika seseorang diilhami oleh kehidupan
Yesus dan ajaran-Nya, ia meluhurkan nama Yesus, dan sudah seharusnya ia adalah
teman seperjuangan kita.
Selain mengajak kita untuk
terbuka terhadap karya keselamatan orang-orang lain, firman Tuhan kali ini
membuat kita harus waspada dan mampu mengoreksi diri sendiri, yakni keinginan
untuk menjadi besar dan ternama. Seorang Kristen pun dapat menjadi batu
sandungan ketika ia sibuk mencari kehormatan diri dan membatasi karya Allah
bagi kebaikan ciptaan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar