Perceraian semakin kemari
semakin banyak! Bisa iya tetapi juga bisa tidak. Pada masa kini, ketika kita
memasuki era keterbukaan informasi dan dunia sosial media yang nyaris tanpa
batas, segala sesuatu mudah diungkap bahkan diumbar ke ranah publik, termasuk
pernikahan. Di samping itu, orang-orang pada zaman now lebih pragmatis ketimbang berpikir moralis-idealis. Perceraian
tidak kalah maraknya pada zaman Musa. Sampai-sampai Musa kerepotan menetapkan
surat cerai. Pada dasarnya perceraian berakar pada egoisme dan ketidaksediaan
untuk menerima pasangan apa adanya. Selama kedua hal tersebut masih mendominasi
pikiran dan kehendak manusia, selama itu perceraian akan tetap ada.
Menarik untuk diperhatikan
pernikahan dalam konteks masyarakat Yahudi di era Musa. Masyarakat Yahudi
adalah komunitas patriakal, yakni mengutamakan dominasi kaum pria. Pernikahan
dipandang sebagai sebuah lembaga untuk mempertahankan garis keturunan atau
marga sang suami. Maka kemandulan seorang isteri merupakan sebuah alasan kuat
untuk menceraikannya. Perempuan, dalam hal ini isteri tidak memiliki hak apa
pun untuk memertahankan pernikahannya. Setelah ayah sang gadis menerima mas
kawin dari calon suami, mempelai perempuan menjadi milik sepenuhnya dari sang
suami. Maka segala sesuatu yang dilakukan sang isteri pada dasarnya akan
mempengaruhi kepemilikan dan harga diri dari sang suami. Perzinahan, misalnya.
Perzinahan yang dilakukan oleh sang isteri adalah tindakan melawan hak
kepemilikan dari sang suami. Seorang pria yang berzinah melakukan dosa melawan
si pria "pemilik" isteri yang bersangkutan saja; ia tidak berzinah
atau berdosa terhadap isterinya sendiri. Begitu kuatnya supremasi pria dalam
konteks pernikahan Yahudi membuat perempuan atau isteri hanya menerima saja
keputusan apa pun yang dilakukan oleh suaminya. Termasuk di dalamnya perceraian
tanpa sebab yang jelas.
Ulangan 24:1-4 adalah teks
kunci segala perdebatan para rabi Yahudi mengenai dasar-dasar perceraian. Semua
perdebatan itu selalu berpusat pada Ulangan 24:1, "Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan
kemudian jika ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang
tidak senonoh padanya..." Ternyata kata "tidak senonoh" (TB) atau "memalukan" (BIS) menimbulkan perbedaan tafsir di kalangan ahli
Yahudi. Para pendukung Rabi Syammai berpendapat bahwa maksud dari kata itu
adalah merujuk tentang apa saja yang memalukan secara moral, khususnya dosa
perzinahan. Para pendukung Rabi Hillel berbeda pendapat. Para suami dibenarkan
menceraikan isterinya karena hal-hal sepele. Misalnya, masak kurang garam atau
berbicara dengan pria lain yang berpapasan di jalan. Argumennya adalah bahwa si
isteri sudah kurang serius atau membuka peluang pada perzinahan.
Moralitas perkawinan Yahudi
terpusat pada kepentingan kaum laki-laki. Dalam budaya Yahudi terus-menerus ditekankan
hak-hak suami yang menjadi "majikan" dari si isteri. Dalam surat
cerai, tidak ada kewajiban dari si suami untuk menerangkan apa sebabnya ia
menceraikan isterinya. Baiklah, kalau mereka punya pandangan seperti itu. Ini
logikanya bahwa orang yang menceraikan isterinya itu berarti ia tidak menerima
"miliknya" sendiri dan kini ia ingin membuangnya. Nah, Yesus berhadapan dengan masyarakat yang
sepenuhnya dikuasai oleh kaum pria, yang terus-menerus berbicara tentang
kepemilikan, yang tentu saja mengeksploitasi kaum perempuan. Di sini kita
menemukan jawaban Yesus atas gugatan pertanyaan Farisi. Jawaban itu ternyata membela
kaum perempuan dan melarang perceraian. dengan demikian Yesus tampil sebagai
sosok revolusioner pada zaman-Nya.
Ketika ditanya "Apakah diperbolehkan orang menceraikan
isterinya?" Di sinilah Yesus berkesempatan membongkar apa yang menjadi
mentalitas di belakang pertanyaan itu. Orang-orang yang bertanya itu suka
memakai hukum untuk kepentingannya sendiri, termasuk dalam pertanyaan ini.
Namun, jika ditelaah, hukum Musa bukanlah berbicara tentang apa yang boleh atau
tidak. Melainkan tentang apa yang harus dilakukan ketika seseorang berkeras
hati untuk bercerai. Hukum Musa mengandung pengertian bahwa yang menceraikan
pasangannya - dalam hal ini si suami - wajib menyatakan hal itu secara tertulis
kepada yang diceraikannya, yakni sang isteri agar nasib mantan pasangannya itu
tidak terkatung-katung atau diterlantarkan tanpa masa depan. Mereka juga harus
menyadari bahwa konsekuensi dari perceraian itu bahwa kemudian hari sang suami
tidak dapat menuntutnya kembali.
Dengan cara demikian, jelaslah
perempuan itu tidak terikat lagi pada mantan suaminya. Kaum Farisi rupanya
luput memperhatikan kewajiban ini. Tetapi mereka suka membaca aturan hukum
tentang perceraian ini sebagai sebuah kelonggaran atau celah yang diberikan
kepada kaum pria. Padahal Yesus terus berbicara tentang perintah Musa yang
mewajibkan laki-laki untuk memberi surat cerai . Yesus memahami hukum Musa dari
sudut perlindungan bagi yang lemah kendati pun hal itu bukanlah apa yang
dikehendaki Allah.
Dalam konteks jawaban Yesus
tentang pertanyaan yang mencobai ini, Ia menggabungkan dua ayat (Kejadian 1:27;
dan Kej. 2:24). Dalam Kej. 2:24
laki-laki yang bersatu dengan isterinya disebut satu daging, satu manusia. Ini
mengingatkan bahwa dalam pernikahan yang satu merupakan sisi atau belahan dari
yang lain (tulang dari tulangku dan
daging dari dagingku). Kesatuan asali itu mengharuskan sang pria meninggalkan ikatan yang sebelumnya
paling kuat yakni ayah dan ibunya untuk bersatu dengan isterinya. Meski tetap
sebagai anak harus selalu menghormati orang tuanya. Namun kini punya
tanggungjawab dan ikatan yang lebih besar lagi, yakni keluarganya sendiri.
Kesatuan suami-isteri itu
dilandasi oleh tindakan Allah yang menciptakan manusia sebagai laki-laki dan
perempuan (Kej.1:27). Kesatuan yang berakar dalam tindakan penciptaan Allah itu
merupakan maksud dan kehendak Allah yang mula-mula atas lembaga pernikahan.
Yesus menyimpulkan bahwa jika kesatuan suami-isteri itu diciptakan oleh Allah
sendiri maka seharusnya tidak dapat dipisahkan oleh manusia. Dalam hal ini
pandangan Yesus sama radikalnya dengan komunitas Eseni di tepi Laut Mati
(Qumran) yang juga melarang perceraian (II
Q Temple; CD 4:19-5:2). Pasangan suami-isteri dipadukan, mirip dua kerbau
dipadukan oleh kuk (inilah arti kata asli Yunani :sunezeuxen). Mereka harus bekerja sama untuk melaksanakan tugas
mereka sampai maut memisahkan mereka.
Kalau sebagian masyarakat
tidak peka lagi terhadap suara TUHAN mengenai kesatuan dalam pernikahan, dan
sudah lazim dipraktekan - atas dasar suka atau tidak suka - masyarakat itu
memerlukan undang-undang yang mengatur praktik itu, kendati hal itu bukanlah
kehendak TUHAN. Tujuannya ialah agar pihak yang lemah - dalam hal ini isteri -
dapat dilindungi dan tidak dirugikan. Dengan
pernyataan-Nya itu, Yesus menyadarkan orang akan kekerasan hati untuk bercerai
dan Ia menghendaki agar manusia menjaga keutuhan perkawinan. Sebab, perceraian
adalah bertentangan dengan maksud manusia diciptakan, yakni sebagai laki-laki
dan perempuan yang dalam perkawinan menjadi satu manusia. Kesatuan antara suami
dan isteri bukan semata-mata prakarsa manusia berdua tetapi dalam kacamata iman
berakar pada tindakan ciptaan Allah.
Selanjutnya, Yesus menekankan
tidak adanya perbedaan derajat antara suami dan isteri. Masyarakat patriakal
cenderung menitikberatkan hak suami dan kewajiban isteri. Semua di mata TUHAN
sama. Jawab yang diberikan Yesus pada zamannya menyentak pandangan orang-orang
Yahudi tentang hak kepemilikan termasuk isteri yang dipandang sebagai
"salah satu dari milik"
mereka.
Umat Kristen mestinya tahu
bahwa Yesus bersikap sangat tegas dalam soal perceraian. Namun, sering kali
nilai-nilai yang tumbuh disekitarnya menjadikan mereka permisip. Boleh jadi,
apa yang ditanyakan oleh kaum Farisi adalah juga apa yang terus terjadi di sepanjang
zaman. Manusia mencari celah untuk memuluskan hasratnya! Teks Injil tentang
perceraian yang dijawab sendiri oleh Yesus sangat berharga untuk kehidupan
keluarga kita. Yesus menekankan inti sari hukum Allah. Ia mengembali kepada
relasi asali ketika manusia dipersatukan Allah dalam ikatan pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar