Kamis, 04 Oktober 2018

PENERIMAAN DIRI MENGUATKAN IKATAN PERNIKAHAN

Perceraian semakin kemari semakin banyak! Bisa iya tetapi juga bisa tidak. Pada masa kini, ketika kita memasuki era keterbukaan informasi dan dunia sosial media yang nyaris tanpa batas, segala sesuatu mudah diungkap bahkan diumbar ke ranah publik, termasuk pernikahan. Di samping itu, orang-orang pada zaman now lebih pragmatis ketimbang berpikir moralis-idealis. Perceraian tidak kalah maraknya pada zaman Musa. Sampai-sampai Musa kerepotan menetapkan surat cerai. Pada dasarnya perceraian berakar pada egoisme dan ketidaksediaan untuk menerima pasangan apa adanya. Selama kedua hal tersebut masih mendominasi pikiran dan kehendak manusia, selama itu perceraian akan tetap ada.

Menarik untuk diperhatikan pernikahan dalam konteks masyarakat Yahudi di era Musa. Masyarakat Yahudi adalah komunitas patriakal, yakni mengutamakan dominasi kaum pria. Pernikahan dipandang sebagai sebuah lembaga untuk mempertahankan garis keturunan atau marga sang suami. Maka kemandulan seorang isteri merupakan sebuah alasan kuat untuk menceraikannya. Perempuan, dalam hal ini isteri tidak memiliki hak apa pun untuk memertahankan pernikahannya. Setelah ayah sang gadis menerima mas kawin dari calon suami, mempelai perempuan menjadi milik sepenuhnya dari sang suami. Maka segala sesuatu yang dilakukan sang isteri pada dasarnya akan mempengaruhi kepemilikan dan harga diri dari sang suami. Perzinahan, misalnya. Perzinahan yang dilakukan oleh sang isteri adalah tindakan melawan hak kepemilikan dari sang suami. Seorang pria yang berzinah melakukan dosa melawan si pria "pemilik" isteri yang bersangkutan saja; ia tidak berzinah atau berdosa terhadap isterinya sendiri. Begitu kuatnya supremasi pria dalam konteks pernikahan Yahudi membuat perempuan atau isteri hanya menerima saja keputusan apa pun yang dilakukan oleh suaminya. Termasuk di dalamnya perceraian tanpa sebab yang jelas.

Ulangan 24:1-4 adalah teks kunci segala perdebatan para rabi Yahudi mengenai dasar-dasar perceraian. Semua perdebatan itu selalu berpusat pada Ulangan 24:1, "Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan kemudian jika ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya..." Ternyata kata "tidak senonoh" (TB) atau "memalukan" (BIS) menimbulkan perbedaan tafsir di kalangan ahli Yahudi. Para pendukung Rabi Syammai berpendapat bahwa maksud dari kata itu adalah merujuk tentang apa saja yang memalukan secara moral, khususnya dosa perzinahan. Para pendukung Rabi Hillel berbeda pendapat. Para suami dibenarkan menceraikan isterinya karena hal-hal sepele. Misalnya, masak kurang garam atau berbicara dengan pria lain yang berpapasan di jalan. Argumennya adalah bahwa si isteri sudah kurang serius atau membuka peluang pada perzinahan.

Moralitas perkawinan Yahudi terpusat pada kepentingan kaum laki-laki. Dalam budaya Yahudi terus-menerus ditekankan hak-hak suami yang menjadi "majikan" dari si isteri. Dalam surat cerai, tidak ada kewajiban dari si suami untuk menerangkan apa sebabnya ia menceraikan isterinya. Baiklah, kalau mereka punya pandangan seperti itu. Ini logikanya bahwa orang yang menceraikan isterinya itu berarti ia tidak menerima "miliknya" sendiri dan kini ia ingin membuangnya.  Nah, Yesus berhadapan dengan masyarakat yang sepenuhnya dikuasai oleh kaum pria, yang terus-menerus berbicara tentang kepemilikan, yang tentu saja mengeksploitasi kaum perempuan. Di sini kita menemukan jawaban Yesus atas gugatan pertanyaan Farisi. Jawaban itu ternyata membela kaum perempuan dan melarang perceraian. dengan demikian Yesus tampil sebagai sosok revolusioner pada zaman-Nya.

Ketika ditanya "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya?" Di sinilah Yesus berkesempatan membongkar apa yang menjadi mentalitas di belakang pertanyaan itu. Orang-orang yang bertanya itu suka memakai hukum untuk kepentingannya sendiri, termasuk dalam pertanyaan ini. Namun, jika ditelaah, hukum Musa bukanlah berbicara tentang apa yang boleh atau tidak. Melainkan tentang apa yang harus dilakukan ketika seseorang berkeras hati untuk bercerai. Hukum Musa mengandung pengertian bahwa yang menceraikan pasangannya - dalam hal ini si suami - wajib menyatakan hal itu secara tertulis kepada yang diceraikannya, yakni sang isteri agar nasib mantan pasangannya itu tidak terkatung-katung atau diterlantarkan tanpa masa depan. Mereka juga harus menyadari bahwa konsekuensi dari perceraian itu bahwa kemudian hari sang suami tidak dapat menuntutnya kembali.

Dengan cara demikian, jelaslah perempuan itu tidak terikat lagi pada mantan suaminya. Kaum Farisi rupanya luput memperhatikan kewajiban ini. Tetapi mereka suka membaca aturan hukum tentang perceraian ini sebagai sebuah kelonggaran atau celah yang diberikan kepada kaum pria. Padahal Yesus terus berbicara tentang perintah Musa yang mewajibkan laki-laki untuk memberi surat cerai . Yesus memahami hukum Musa dari sudut perlindungan bagi yang lemah kendati pun hal itu bukanlah apa yang dikehendaki Allah.

Dalam konteks jawaban Yesus tentang pertanyaan yang mencobai ini, Ia menggabungkan dua ayat (Kejadian 1:27; dan Kej. 2:24). Dalam  Kej. 2:24 laki-laki yang bersatu dengan isterinya disebut satu daging, satu manusia. Ini mengingatkan bahwa dalam pernikahan yang satu merupakan sisi atau belahan dari yang lain (tulang dari tulangku dan daging dari dagingku). Kesatuan asali itu mengharuskan sang pria meninggalkan ikatan yang sebelumnya paling kuat yakni ayah dan ibunya untuk bersatu dengan isterinya. Meski tetap sebagai anak harus selalu menghormati orang tuanya. Namun kini punya tanggungjawab dan ikatan yang lebih besar lagi, yakni keluarganya sendiri.

Kesatuan suami-isteri itu dilandasi oleh tindakan Allah yang menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan (Kej.1:27). Kesatuan yang berakar dalam tindakan penciptaan Allah itu merupakan maksud dan kehendak Allah yang mula-mula atas lembaga pernikahan. Yesus menyimpulkan bahwa jika kesatuan suami-isteri itu diciptakan oleh Allah sendiri maka seharusnya tidak dapat dipisahkan oleh manusia. Dalam hal ini pandangan Yesus sama radikalnya dengan komunitas Eseni di tepi Laut Mati (Qumran) yang juga melarang perceraian (II Q Temple; CD 4:19-5:2). Pasangan suami-isteri dipadukan, mirip dua kerbau dipadukan oleh kuk (inilah arti kata asli Yunani :sunezeuxen). Mereka harus bekerja sama untuk melaksanakan tugas mereka sampai maut memisahkan mereka.

Kalau sebagian masyarakat tidak peka lagi terhadap suara TUHAN mengenai kesatuan dalam pernikahan, dan sudah lazim dipraktekan - atas dasar suka atau tidak suka - masyarakat itu memerlukan undang-undang yang mengatur praktik itu, kendati hal itu bukanlah kehendak TUHAN. Tujuannya ialah agar pihak yang lemah - dalam hal ini isteri - dapat dilindungi dan tidak dirugikan.  Dengan pernyataan-Nya itu, Yesus menyadarkan orang akan kekerasan hati untuk bercerai dan Ia menghendaki agar manusia menjaga keutuhan perkawinan. Sebab, perceraian adalah bertentangan dengan maksud manusia diciptakan, yakni sebagai laki-laki dan perempuan yang dalam perkawinan menjadi satu manusia. Kesatuan antara suami dan isteri bukan semata-mata prakarsa manusia berdua tetapi dalam kacamata iman berakar pada tindakan ciptaan Allah.

Selanjutnya, Yesus menekankan tidak adanya perbedaan derajat antara suami dan isteri. Masyarakat patriakal cenderung menitikberatkan hak suami dan kewajiban isteri. Semua di mata TUHAN sama. Jawab yang diberikan Yesus pada zamannya menyentak pandangan orang-orang Yahudi tentang hak kepemilikan termasuk isteri yang dipandang sebagai "salah satu dari  milik" mereka.

Umat Kristen mestinya tahu bahwa Yesus bersikap sangat tegas dalam soal perceraian. Namun, sering kali nilai-nilai yang tumbuh disekitarnya menjadikan mereka permisip. Boleh jadi, apa yang ditanyakan oleh kaum Farisi adalah juga apa yang terus terjadi di sepanjang zaman. Manusia mencari celah untuk memuluskan hasratnya! Teks Injil tentang perceraian yang dijawab sendiri oleh Yesus sangat berharga untuk kehidupan keluarga kita. Yesus menekankan inti sari hukum Allah. Ia mengembali kepada relasi asali ketika manusia dipersatukan Allah dalam ikatan pernikahan.

Jakarta, 04 Oktober 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar