Rasa aman merupakan kebutuhan
kedua dalam piramida Maslow setalah fisiologis (makanan, minuman, pakaian,
tidur, dan sebangsanya). Salah satu cara untuk memperolehnya, manusia
menciptakan sekat atau benteng. Bisa kita lihat dalam bangunan fisik
rumah-rumah orang kaya. Biasanya bertembok tinggi dan dijaga oleh satuan
pengamanan. Tidak puas dengan itu, dipasang juga alat-alat elektronik pemantau
situasi real time.
Salahkah manusia membangun
sekat atau tembok agar keamanan terjaga? Tentu, tidak ada yang salah dengan
niat ini. Bayangkan, hampir setiap menit kejahatan terjadi. Perampokan,
pencurian yang disertai tindakan kekerasan kian hari makin bertambah jumlah dan
kesadisannya. Wajar kalau kita melindungi hak milik dan orang-orang tercinta
kita supaya aman. Ketika berinvestasi, pastilah selain kemampuan finansial, kita
juga mempertimbangkan faktor keamanan. Kita tidak mau uang kita raib begitu
saja. Dalam melakukan perjalanan, sudah barang tentu kita tidak akan memilih
maskapai atau biro perjalanan yang punya reputasi buruk dalam faktor keamanan.
Demikian pula dengan memilih rekan bisnis, teman bergaul, sahabat, apalagi
pasangan hidup, pasti ada kriteria tertentu yang kita gunakan meski tidak
tertulis, yang tujuannya adalah untuk kemanan dan kenyamanan.
Sekat, tembok, dinding, apa
pun juga namanya pasti ada gunanya. Kita tidak perlu naif dan alergi dengan itu. Bayangkan, kalau rumah kita sampai kamar
tidur tidak usah pakai sekat atau dinding? Bayangkan juga kalau sebuah negara
tanpa ada tapal batas yang jelas atau agama tanpa adanya aturan-aturan yang
menandai identitas pemeluknya? Tentu saja kekacauan yang akan terjadi!
Meski bukan hal keliru manusia
membangun "tembok" dan berusaha menciptakan rasa aman, haruslah juga
kita sadari bahwa sekat itu berpotensi membatasi ruang gerak kita. Kita hanya
memikirkan diri sendiri, keamanan dan kenyamanan sendiri. Lebih jauh dari itu
kita akan bangga dengan "milik" kita dan cenderung memandang sebelah
mata kepentingan dan milik orang lain. Lebih jauh kita sulit mengembangkan relasi
yang baik sebagai sesama ciptaan Tuhan. Dalam kenyataan sehari-hari sekat, dinding
atau teralis bisa membahayakan si pemilik. Dalam banyak peristiwa kebakaran,
sering kali korban tidak bisa menyelamatkan diri oleh karena ketat dan rumitnya
sistem pengamanan itu.
Ketat dan rumit, barang kali
itulah sistem sosial dalam tradisi Yahudi. Setelah Yesus mendobrak batasan yang
tahir dan yang nazis yang selama ini menghambat pergaulan antara orang Yahudi
dengan bangsa lain (Markus 7:1-23). Kini, tidak ada lagi batasan pelayanan
Yesus. Ia berjalan menembus batas menuju wilayah-wilayah bukan Yahudi. Ia lebih
dahulu mengunjungi daerah Tirus dan berjumpa dengan seorang perempuan
Siro-Fenisia yang memohon kepada-Nya agar Yesus mengusir setan yang merasuki
anaknya. Di sini, lagi-lagi sekat Yahudi - non Yahudi begitu tajam. "Biarlah anak-abak kenyang dahulu, sebab
tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya
kepada anjing." (Markus 7:27). Yesus meminjam ungkapan primordial yang
beredar dalam masyarakat Yahudi. Siapa yang disebut "anak-anak"? Ya, jelaslah orang-orang Yahudi. Sebaliknya,
"anjing" itu siapa? Walau
sering penafsir menyatakan bahwa kata "anjing" yang dimaksud adalah
bukan anjing liar tetapi anjing kesayangan. Tetap saja ada kesenjangan.
Namun, sang perempuan Siro-Fenisia
ini tidak menyerah dengan sekat yang dibangun oleh komunitas umat pilihan Allah
itu. Ia tahu diri, tetapi juga percaya bahwa Yesus tidak membedakan orang.
"Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di
bawah juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak." Kata
perempuan yang sekaligus menunjukkan imannya dan membuahkan hasil yang manis.
Setan itu keluar dari tubuh anaknya.
Selanjutnya, Yesus meneruskan
perjalanan ke daerah Dekapolis. Jalan menuju ke sana tidak mudah,
berbelat-belit: dari daerah Tirus ke utara dulu, Sidon, lalu ke arah tenggara
melalui pantai timur Danau Galilea. Sangat mungkin, Yesus sengaja melakukan
pelayanan ke luar tapal batas orang Yahudi. Daerah tujuan Yesus disebut
Dekapolis karena terdiri dari sepuluh kota (deka
- polis) yang terletak di daerah tenggara Danau Galilea yang penduduknya
berkebudayaan Yunani.
Pembaca awal Injil Markus yang
akrab dengan nubuat Yesaya 35, akan menangkap cerita Yesus yang berkarya di
luar komunitas Yahudi dan melakukan pelbagai pemulihan, akan segera memahami
bahwa karya Yesus ini sebagai permulaan ciptaan baru di zaman akhir, seperti
yang dijanjikan Allah melalui nubuat nabi Yesaya, "Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: 'Kuatkanlah hati, jangan
takut!...Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga
orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti
rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai, sebab mata air memancar di
padang gurun,...tanah gersang menjadi sumber-sumber air..." (Yesaya
35:4-7).
Jemaat Markus, sama seperti
penduduk Dekapolis, kebanyakan bukan orang Yahudi. Bagi mereka, karya Yesus
yang diceritakan Markus dengan cara yang itu mudah dimengerti. Yesus
digambarkan bertindak seperti layaknya tabib-tabib Yunani. Namun, demikian
pembaca yang beriman kepada Yesus akan melihat perbedaannya. Yesus bukan
seorang dukun yang memakai mantera dan sarana gaibnya sendiri, melainkan
seorang utusan Bapa yang tidak suka pamer kesaktiannya sendiri tetapi
menengadah ke langit dan memperoleh kekuatan dari Allah.
Yesus bukan saja membuka
telinga dan mulut satu orang saja tetapi telinga dan mulut banyak orang
Dekapolis pun dipulihkan oleh Yesus sehingga mereka mampu mendengar dan
menangkap berita tentang tindakan penyelamatan itu dan mereka memumuji Tuhan.
Mereka ini mewakili jemaat Markus dan pendengar Injil sekarang yang semuanya
dimampukan untuk mendengar kabar baik dan menanggapinya dengan pujian serta
mewartakannya kepada orang lain. Hal ini terjadi karena Tuhan sendirilah yang
telah membuka telinga dan melepaskan lidah. Itulah mukjizat zaman akhir yang
dinubuatkan Yesaya dan diwujudkan melalui Yesus turun-temurun sampai sekarang.
Apakah Anda dan saya merasakan
juga kasih dan jamahan Yesus itu? Telinga kita dibuka-Nya sehingga dapat
mendengar suara-Nya. Ya, suara Gembala yang baik itu, yang memberikan kehidupan
dan pengharapan yang baru. Jika pengalaman hidup beriman kita merasakan itu
maka mau tidak mau lidah kita pun akan "lepas" untuk menyaksikan
kemuliaan-Nya. Kini, tugas kita adalah terus-menerus, turun-temurun melanjutkan
karya-Nya. Sebagaimana dulu Yesus berkarya melampaui sekat-sekat yang dibangun
oleh manusia, maka saat ini sekat-sekat apa pun tidak boleh menjadi hambatan
kita untuk meneruskan karya Kristus itu.
Idealnya seperti itu! Namun,
nyatanya sama seperti orang-orang Yahudi pada zaman Yesus kita sibuk kembali
membangun sekat itu. Sekat antar anak Tuhan dan bukan anak Tuhan, bahkan dalam
gereja sendiri sekat-sekat itu pun terus dilanggengkan. Ada sekat
Katolik-Protestan; Ortodoks-Liberal; Pentakosta-Karismatik, dan sebagainya Anda
dapat menambahkannya. Tidak hanya itu, di dalam satu jemaat sendiri kadang
sekat itu begitu kuat: Saya hanya mau melayani di komisi atau badan pelayanan
Perlawatan, Pemuda, Remaja, Anak, dan sebagainya. Benar, Tuhan menitipkan
kepada kita talenta tertentu dan menempatkannya pada bidang pelayanan tertentu
pula. Namun, kita juga harus mengingat dengan talenta dan spesifikasi bidang
tertentu bukan berarti di situ hanya memikirkan dan berbangga dengan diri sendiri.
Bukan itu! Tuhan mau agar kita serius sama seperti Yesus juga serius dalam
tugas dan panggilan-Nya yang mampu berkarya melampaui batas primordial yang
diciptakan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar