Jumat, 07 September 2018

BERKARYA MELAMPAUI SEKAT DUNIAWI


Rasa aman merupakan kebutuhan kedua dalam piramida Maslow setalah fisiologis (makanan, minuman, pakaian, tidur, dan sebangsanya). Salah satu cara untuk memperolehnya, manusia menciptakan sekat atau benteng. Bisa kita lihat dalam bangunan fisik rumah-rumah orang kaya. Biasanya bertembok tinggi dan dijaga oleh satuan pengamanan. Tidak puas dengan itu, dipasang juga alat-alat elektronik pemantau situasi real time.

Salahkah manusia membangun sekat atau tembok agar keamanan terjaga? Tentu, tidak ada yang salah dengan niat ini. Bayangkan, hampir setiap menit kejahatan terjadi. Perampokan, pencurian yang disertai tindakan kekerasan kian hari makin bertambah jumlah dan kesadisannya. Wajar kalau kita melindungi hak milik dan orang-orang tercinta kita supaya aman. Ketika berinvestasi, pastilah selain kemampuan finansial, kita juga mempertimbangkan faktor keamanan. Kita tidak mau uang kita raib begitu saja. Dalam melakukan perjalanan, sudah barang tentu kita tidak akan memilih maskapai atau biro perjalanan yang punya reputasi buruk dalam faktor keamanan. Demikian pula dengan memilih rekan bisnis, teman bergaul, sahabat, apalagi pasangan hidup, pasti ada kriteria tertentu yang kita gunakan meski tidak tertulis, yang tujuannya adalah untuk kemanan dan kenyamanan.

Sekat, tembok, dinding, apa pun juga namanya pasti ada gunanya. Kita tidak perlu naif dan alergi dengan itu. Bayangkan, kalau rumah kita sampai kamar tidur tidak usah pakai sekat atau dinding? Bayangkan juga kalau sebuah negara tanpa ada tapal batas yang jelas atau agama tanpa adanya aturan-aturan yang menandai identitas pemeluknya? Tentu saja kekacauan yang akan terjadi!

Meski bukan hal keliru manusia membangun "tembok" dan berusaha menciptakan rasa aman, haruslah juga kita sadari bahwa sekat itu berpotensi membatasi ruang gerak kita. Kita hanya memikirkan diri sendiri, keamanan dan kenyamanan sendiri. Lebih jauh dari itu kita akan bangga dengan "milik" kita dan cenderung memandang sebelah mata kepentingan dan milik orang lain. Lebih jauh kita sulit mengembangkan relasi yang baik sebagai sesama ciptaan Tuhan. Dalam kenyataan sehari-hari sekat, dinding atau teralis bisa membahayakan si pemilik. Dalam banyak peristiwa kebakaran, sering kali korban tidak bisa menyelamatkan diri oleh karena ketat dan rumitnya sistem pengamanan itu.

Ketat dan rumit, barang kali itulah sistem sosial dalam tradisi Yahudi. Setelah Yesus mendobrak batasan yang tahir dan yang nazis yang selama ini menghambat pergaulan antara orang Yahudi dengan bangsa lain (Markus 7:1-23). Kini, tidak ada lagi batasan pelayanan Yesus. Ia berjalan menembus batas menuju wilayah-wilayah bukan Yahudi. Ia lebih dahulu mengunjungi daerah Tirus dan berjumpa dengan seorang perempuan Siro-Fenisia yang memohon kepada-Nya agar Yesus mengusir setan yang merasuki anaknya. Di sini, lagi-lagi sekat Yahudi - non Yahudi begitu tajam. "Biarlah anak-abak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." (Markus 7:27). Yesus meminjam ungkapan primordial yang beredar dalam masyarakat Yahudi. Siapa yang disebut "anak-anak"? Ya, jelaslah orang-orang Yahudi. Sebaliknya, "anjing" itu siapa? Walau sering penafsir menyatakan bahwa kata "anjing" yang dimaksud adalah bukan anjing liar tetapi anjing kesayangan. Tetap saja ada kesenjangan.

Namun, sang perempuan Siro-Fenisia ini tidak menyerah dengan sekat yang dibangun oleh komunitas umat pilihan Allah itu. Ia tahu diri, tetapi juga percaya bahwa Yesus tidak membedakan orang. "Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak." Kata perempuan yang sekaligus menunjukkan imannya dan membuahkan hasil yang manis. Setan itu keluar dari tubuh anaknya.

Selanjutnya, Yesus meneruskan perjalanan ke daerah Dekapolis. Jalan menuju ke sana tidak mudah, berbelat-belit: dari daerah Tirus ke utara dulu, Sidon, lalu ke arah tenggara melalui pantai timur Danau Galilea. Sangat mungkin, Yesus sengaja melakukan pelayanan ke luar tapal batas orang Yahudi. Daerah tujuan Yesus disebut Dekapolis karena terdiri dari sepuluh kota (deka - polis) yang terletak di daerah tenggara Danau Galilea yang penduduknya berkebudayaan Yunani.

Pembaca awal Injil Markus yang akrab dengan nubuat Yesaya 35, akan menangkap cerita Yesus yang berkarya di luar komunitas Yahudi dan melakukan pelbagai pemulihan, akan segera memahami bahwa karya Yesus ini sebagai permulaan ciptaan baru di zaman akhir, seperti yang dijanjikan Allah melalui nubuat nabi Yesaya, "Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: 'Kuatkanlah hati, jangan takut!...Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai, sebab mata air memancar di padang gurun,...tanah gersang menjadi sumber-sumber air..." (Yesaya 35:4-7).

Jemaat Markus, sama seperti penduduk Dekapolis, kebanyakan bukan orang Yahudi. Bagi mereka, karya Yesus yang diceritakan Markus dengan cara yang itu mudah dimengerti. Yesus digambarkan bertindak seperti layaknya tabib-tabib Yunani. Namun, demikian pembaca yang beriman kepada Yesus akan melihat perbedaannya. Yesus bukan seorang dukun yang memakai mantera dan sarana gaibnya sendiri, melainkan seorang utusan Bapa yang tidak suka pamer kesaktiannya sendiri tetapi menengadah ke langit dan memperoleh kekuatan dari Allah.

Yesus bukan saja membuka telinga dan mulut satu orang saja tetapi telinga dan mulut banyak orang Dekapolis pun dipulihkan oleh Yesus sehingga mereka mampu mendengar dan menangkap berita tentang tindakan penyelamatan itu dan mereka memumuji Tuhan. Mereka ini mewakili jemaat Markus dan pendengar Injil sekarang yang semuanya dimampukan untuk mendengar kabar baik dan menanggapinya dengan pujian serta mewartakannya kepada orang lain. Hal ini terjadi karena Tuhan sendirilah yang telah membuka telinga dan melepaskan lidah. Itulah mukjizat zaman akhir yang dinubuatkan Yesaya dan diwujudkan melalui Yesus turun-temurun sampai sekarang.

Apakah Anda dan saya merasakan juga kasih dan jamahan Yesus itu? Telinga kita dibuka-Nya sehingga dapat mendengar suara-Nya. Ya, suara Gembala yang baik itu, yang memberikan kehidupan dan pengharapan yang baru. Jika pengalaman hidup beriman kita merasakan itu maka mau tidak mau lidah kita pun akan "lepas" untuk menyaksikan kemuliaan-Nya. Kini, tugas kita adalah terus-menerus, turun-temurun melanjutkan karya-Nya. Sebagaimana dulu Yesus berkarya melampaui sekat-sekat yang dibangun oleh manusia, maka saat ini sekat-sekat apa pun tidak boleh menjadi hambatan kita untuk meneruskan karya Kristus itu.

Idealnya seperti itu! Namun, nyatanya sama seperti orang-orang Yahudi pada zaman Yesus kita sibuk kembali membangun sekat itu. Sekat antar anak Tuhan dan bukan anak Tuhan, bahkan dalam gereja sendiri sekat-sekat itu pun terus dilanggengkan. Ada sekat Katolik-Protestan; Ortodoks-Liberal; Pentakosta-Karismatik, dan sebagainya Anda dapat menambahkannya. Tidak hanya itu, di dalam satu jemaat sendiri kadang sekat itu begitu kuat: Saya hanya mau melayani di komisi atau badan pelayanan Perlawatan, Pemuda, Remaja, Anak, dan sebagainya. Benar, Tuhan menitipkan kepada kita talenta tertentu dan menempatkannya pada bidang pelayanan tertentu pula. Namun, kita juga harus mengingat dengan talenta dan spesifikasi bidang tertentu bukan berarti di situ hanya memikirkan dan berbangga dengan diri sendiri. Bukan itu! Tuhan mau agar kita serius sama seperti Yesus juga serius dalam tugas dan panggilan-Nya yang mampu berkarya melampaui batas primordial yang diciptakan manusia.

Jakarta, 07 September 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar