"Living Long, Living Good" sebuah buku best seller yang terjula lebih dari 1,2
juta kopi. Adalah Shigeaki Hinohara, sang dokter berusia 104 tahun (2015).
dokter Hinohara telah menulis lebih dari 150 buku. Namun, Living Long, Living Good mendapat apresiasi luar biasa oleh karena
penulisannya berangkat dari pengalamannya sendiri. Sebelum dr. Hinohara menulis
dan mengajarkannya kepada orang lain, ia telah melakukan dan membuktikannya
sendiri sehingga bisa hidup sehat dan panjang umur. Jadi karyanya itu sangat
berbeda dari buku panduan kesehatan pada umumnya, karena di dalamnya bukan
sekedar berisi teori tapi sudah menjadi gaya hidupnya sehari-hari.
Dokter Shigeaki Hinohara mampu
memertahankan berat badannya pada angka 60 kg sejak ia berusia 30 tahun sampai
usianya sekarang. Menginjak usianya yang ke-65, Hinohara bekerja sebagai
sukarelawan. Dia masih aktif bekerja 18 jam sehari, tujuh hari seminggu.
"Saya sangat menikmati setiap menit yang saya lalui, "Ujarnya,
meskipun usianya sudah menginjak lebih dari seratus tahun, hampir seluruh
hidupnya didedikasikan untuk bekerja di bidang sosial! Dan saat ini, ia sangat
optimis untuk bisa menghadiri acara Olimpiade Tokyo 2020.
Integritas! Barangkali kata
itu tepat disematkan kepada dokter Shigeaki Hinohara. Apa yang diyakininya
sebagai kebenaran dalam bidang kesehatan ia praktikan terlebih dulu. Antara
kata dan perbuatan tidak ada jarak yang memisahkan. Sayangnya, tidak semua
orang bergelut dan bahkan menjadi ahli dalam suatu bidang, namun tidak
menghidupinya. Ada kesenjangan antara ucap dan lampah. Contohnya banyak, percis
seperti tulisan Paulus dalam bacaan ke-2 minggu lalu, "Engkau mengajar: 'Jangan mencuri,' mengapa
engkau sendiri mencuri? Engkau berkata: 'Jangan berzinah,' mengapa engkau
sendiri berzinah? Engkau yang jijik akan segala berhala, mengapa engkau sendiri
merampok rumah berhala? Engkau bermegah atas hukum Taurat, mengapa engkau
sendiri menghina Allah dengan melanggar hukum Taurat itu?" (Roma
2:21-23). Itulah kemunafikan! Kemunafikan tidak hanya terjadi pada era
Perjanjian Baru saja. Ia ada setua peradaban manusia. Mengapa? Sederhana:
mengucapkan itu selalu lebih mudah dari pada melakukan.
Yesus pun tidak luput
berhadapan dengan orang-orang munafik. Benar, tidak semua orang Yahudi,
kelompok Farisi atau mereka yang ahli Taurat adalah orang munafik. Saya kira
tidak fair menyamaratakan mereka
semua kaum "munafikun". Namun, tidak dapat dipungkiri, perjumpaan
Yesus dengan kelompok Farisi dan ahli Taurat sering digambarkan sebagai perjumpaan
dengan orang-orang munafik! Mereka tidak bosan-bosannya mengikuti gerak-gerik
Yesus bukan untuk belajar, melainkan mencari-cari celah yang dapat digunakan
untuk mendakwa Yesus. Dengan begitu, mereka bisa memprovokasi orang banyak dan
menyeret Yesus ke pengadilan dengan tuduhan pelecehan agama!
Dalam bacaan Injil hari ini
(Markus 7:1-8) dikisahkan kedatangan kelompok Farisi dan ahli Taurat dalam
rangka memersoalkan pelanggaran terhadap kekudusan yang dilakukan oleh para
murid Yesus. Mereka melihat beberapa murid Yesus tidak mencuci tangan sebelum
makan. Kita semua tentu setuju, demi hieginitas kesehatan, cuci tangan sebelum
makan hukumnya wajib, apalagi setelah seharian beraktifitas di keramaian,
pasar. Namun, dalam kisah ini, membasuh tangan masuk dalam ranah ritual yakni, untuk
menjaga ketahiran yang diperintahkan Musa. Tidak hanya peraturan Sabat, para
pakar Taurat rupanya telah membuat juga rincian aneka macam peraturan tentang
pembasuhan tubuh, tangan, ataupun benda-benda suci. Orang-orang Yahudi sangat
yakin bahwa mereka adalah umat pilihan Allah, umat yang kudus, maka bila mereka
bersentuhan dengan sesuatu yang nazis, misalnya bersenggolan dengan orang asing
di pasar, maka untuk menjaga kesucian, mereka harus membasuh diri. Nah, dalam
hal ini justeru murid-murid Yesus tidak melakukannya. Kemudian para pakar
Taurat ini menggugat Guru mereka.
Tak pelak lagi, hukum ini
telah membelah dunia ciptaan Tuhan: Sebagian makhluk ciptaan Tuhan dinilai
tahir dan layak di hadapan-Nya, dan yang lain dipandang nazis, dilarang
bersentuhan dan harus dijauhi. Alasannya sangat lahiriah dan harfiah. Pembelahan dunia semacam ini
menimbulkan masalah dalam peradaban manusia: memecah belah manusia. Yesus tidak
menjauhi orang-orang yang dalam hukum Taurat dipandang nazis. Bagi-Nya, tidak
ada makhluk yang nazis dari dirinya sendiri. Makanan pun tidak nazis dan tidak
dapat menaziskan orang sebab tidak menyentuh hati orang, tetapi melewati perut
dan dibuang di jamban. Menjauhi makanan, barang, dan orang tertentu karena dipandang
nazis dan menaziskan, bagi Yesus termasuk ibadat lahiriah yang tidak melibatkan
hati, dan itu praktik perbuatan manusia yang bukan kehendak Allah.
Bagaimana reaksi Yesus?
Jawaban Yesus kepada mereka menunjukkan bahwa di mata Yesus ada masalah serius dengan
peraturan yang sudah mengurat daging itu. Adat-istiadat yang terdiri dari
banyak peraturan yang diturunkan dari Taurat, lalu dijadikan tradisi telah
mendorong ke arah pelaksanaan hukum secara harfiah
dan sama sekali tidak menyentuh esensi dari apa yang diinginkan Allah.
Sambil mengutip nubuat Yesaya,
Yesus mengkritik dua hal: Pertama, adat-istiadat yang mereka pertahankan cuma
menyentuh hal-hal yang lahiriah, dengan bibir dan bukan dengan hati. Kedua,
adat-istiadat itu hanya aturan atau ajaran tambahan dari manusia, bukan
perintah Allah sendiri. Bagi Yesus, perintah Allah itu bukanlah huruf hukum Taurat, melainkan maksudnya
atau apa yang sesungguhnya diinginkan oleh Allah melalui hukum itu. Bagi Yesus,
yang membuat nazis seseorang itu bukanlah makanan, yang masuk melalui mulut
atau bersentuhan dengan orang asing. Bukan itu! Yesus memberi arti baru kepada
kata nazis, yakni segala niat jahat yang timbul dari hati manusia dan
melahirkan tindakan kejahatan. Itulah yang menaziskan seseorang dan yang membuatnya
tidak layak di hadapan Tuhan sebab meretakkan hubungan antarmanusia,
antargolongan, antarbangsa dengan menolak ukuran lahiriah tentang kenazisan.
Sebaliknya, Yesus menghendaki
manusia mengerti dan memahami maksud kehendak Allah yang tidak hanya terletak
dalam rincian huruf melainkan mewujud dalam merangkul semua manusia untuk dapat
mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, akal budi dan kekuatan dan mengasihi
manusia seperti diri sendiri; berbuat baik untuk menyelamatkan nyawa orang,
memeberlakukan keadilan, berbela rasa dalam kesetiaan.
Indonesia dikenal sebagai
negara agamis. Tempat-tempat ibadah baru setiap tahun terus dibangun, makin
hari makin megah. Simbol-simbol agama tidak lepas dari kesehari hidup kita.
Perhelatan manakah di negeri ini pasti diawali dengan ritual dan doa? Doa selalu
dibawa dalam ranah studi, hukum, ekonomi, olah raga, bahkan politik. Namun,
apakah dengan demikian ranah-ranah itu serta-merta menjadi medan spiritualitas
yang menjunjung tinggi moralitas? Jawabnya: belum tentu! Lihat saja, semua
sekolah ketika memulai aktifitasnya pasti dimulai dengan doa, namun tetap saja
nyontek dan bullying terus terjadi.
Ketika gelar perkara dipengadilan pasti mengundang Nama Yang Mahakuasa untuk
menolong keadilan diberlakukan dengan seadil-adilnya. Nyatanya, masih saja
hukum tidak selalu berpihak pada yang lemah. Kegiatan ekomoni? Jelas, kasat
mata kita saksikan kompetitor tidak lagi dipandang sebagai parter bisnis
melainkan lawan yang harus dienyahkan! Olah raga, seorang natizen menuliskan
komentar, "Lihat, China, Jepang, Korena, mereka tidak berdoa sebelum
bertanding, namun koq banyak menangnya? Bagaimana dengan politik? Semua partai
berazaskan Pancasila dan sudah tentu beragama. Bahkan Tuhan pun diajak
berpolitik! Nyatanya? Anda bisa jawab sendiri.
Jika doa dan ibadah kita tidak
pernah memberi warna bahkan menggarami kehidupan aspek sosial kita, maka kita
telah menjadi bagian dari orang-orang yang munafik! Mestinya sebagai murid-muid
Yesus, kita berada di garda paling depan untuk menampilkan integritas yakni,
satunya kata dan perbuatan; satunya keyakinan iman dan praktik hidup
sehari-hari!
Makasih sudah disetujui komen saya. Infokan saya bila anda berkenan untuk tukar link. Terima kasih lagi sebelumnya. Tuhan Menawarkan Hidup Yang Benar-Benar Merdeka Untuk Anda
BalasHapus