Kamis, 16 Agustus 2018

MERDEKA DALAM KETAATAN


"Orang yang bebas adalah orang yang mengendalikan dirinya sendiri."
(Epictetus)

Dalam bukunya All You need is love: A live management wisdom, Pongki Pamungkas dalam salah bab membahas tentang "Kebebasan" (freedom). Ia memulai dengan pemandangan sehari-hari di jalanan:

Ini suatu realita. Lalu lintas di negara kita sangat kacau. Satu aspek dari kekacauan itu adalah ketidakdisiplinan para pengendara kendaraaan, di samping masih banyak persoalan yang lainnya seperti soal infrastruktur yang mampet, soal aparat yang "diam" dan penerapan aturan yang fleksibel.

Para pengendara cenderung semaunya sendiri. Jalan satu arah diterabas menjadi dua arah berlawanan. Ada aturan dilarang berputar, diterabas. Ada lampu lalu-lintas, diterabas. Semua aturan cenderung diterabas. Semua orang cenderung ingin bebas. Dengan kebebasan total berlalu-lintas, Anda dapat membayangkan bila itu diterapkan, apa yang akan terjadi. Kendaraan akan bertabrakan satu dengan yang lain, lalu-lintas macet total dan pelbagai akibat buruk lebih lanjut bisa terjadi, semua orang marah dengan segala tindak lanjut kemarahannya. Sangat mungkin terjadi amuk massa. Alih-alih meneikmati kebebasan yang ada kacau balau. Tepatlah apa yang dikatakan Cullen Hightower, seorang penulis terkemuka pada masa Perang Dunia II, "Disiplin tanpa kebebasan adalah tirani; kebebasan tanpa disiplin adalah kekacauan."

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, momen pernyataan kemerdekaan suatu negara dari penjajahan oleh suatu negara lain, adalah awal dari ketidakmerdekaan negara eks terjajah sebagai bagian dari komunitas dunia. Mengapa? Sebab komunitas dunia memiliki perangkat tata tertib dan tatanan organisasi yang dibentuk dan disepakati bersama seluruh warga dunia, agar masing-masing negara mempunyai hak tetapi juga kewajiban yang dituangkan dalam bentuk tanggungjawab menjaga harmoni di dunia ini. Tidak ada negara yang boleh bebas semau-maunya sendiri! "Menjadi merdeka bukanlah semata-mata melempar jauh-jauh rantai belenggu diri sendiri. Menjadi merdeka berarti hidup dengan menghormati dan meneguhkan kemerdekaan orang lain." (Nelson Mandela). Jadi, menjadi sebuah negara merdeka berarti siap juga menghormati bahkan melindungi hak-hak negara lain. Jika merasa bebas melakukan apa saja (baca: merdeka menurut diri sendiri) maka yang terjadi kita sedang membangun tirani yang mengancam kebebasan atau kemerdekaan pihak lain!

"Tanggung jawab adalah harga yang harus dibayar oleh kebebasan," kata Elbert Hubbard. Meraih kebebasan berarti bersedia mengemban tanggung jawab. Sebab, tidak ada kebebasan yang absolut yang dimiliki oleh manusia. "Kebebasan adalah hak untuk mendisiplinkan diri kita agar kita tidak didisiplinkan oleh orang lain." (George Benjamin Clemenceau). Tidak ada kebebasan absolut. Yang ada hanya kebebasan relatif. Kebebasan relatif itu pun memiliki persyaratannya sendiri. Sebutlah Lionel Messi, pemain bola terbaik di dunia. Ia bebas memainkan bola dan memenangkan timnya karena dalam kesehariannya ia tidak bebas dari kewajiban untuk berlatih secara ketat. Demikian juga dengan Jim Petrucci, gitaris legendaris dari grup rock Dream Theatre, sangat bebas memainkan senar-senar gitarnya. Ia sangat bebas menyuarakan nada-nada indah karena kesehariaannya ia tidak bebas untuk terus berlatih. Bagi Messi dan Petrucci, sudah menjadi rumus: tidak ada hari tanpa latihan. Kebebasan tidak dapat diraih dengan melepaskan emosi diri, melainkan sebaliknya, kebebasan hanya akan mampu diraih dengan pengendalian diri.

Bagaimana dalam tatran iman atau spiritualitas tentang kebebasan? Pada zaman Yesus, para rasul dan khususnya Paulus hukum Taurat telah begitu rupa mengikat dan membelenggu kehidupan umat. Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi menggunakannya bagaikan kuk yang menekan berat. Sementara esensi hukum itu terabaikan. Baik Yesus maupun Paulus banyak bersinggungan dengan Hukum Taurat ini. Kalau kita mengetik "Hukum Taurat" pada mesin pencari dalam Alkitab elektronik kita maka yang paling banyak muncul ada di surat Paulus kepada jemaat di kota Roma. Mulai dari pasal dua dan seterusnya kita akan menjumpai uraian Paulus tentang Hukum Taurat. Dan salah satu ayat yang paling terkenal khususnya untuk orang-orang Protestan adalah "Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat." (Roma 3:28). Dari sini munculah doktrin sola gratia, sola fide, sola scriptura.

Lantas apa yang kemudian terjadi ketika manusia "dibebaskan" dari hukum Taurat? Eporia merdeka! Bebas melakukan apa pun karena keselamatan adalah soal penebusan melalui Yesus. Jadi kalau dalam hidup keseharian melakukan pelanggaran moral, berdosa sekarang jadi simpel: tinggal mengaku dosa dan Tuhan Yesus yang Mahakasih itu akan mengampuni. Inilah yang menyedihkan! Celakanya, Paulus menjumpai di Roma ada banyak pengajar yang merasa bebas dan merdeka mengajarakan ajaran semaunya. Bahkan mengatasnamakan melayani Kristus padahal melayani diri sendiri. Paulus mengecam, "Sebab orang-orang yang demikian tidak melayani Kristus, Tuhan kita, tetapi melayani perut mereka sendiri. Dan dengan kata-kata mereka yang muluk-muluk dan bahasa yang manis mereka menipu orang-orang yang tulus hati" (Roma16:18).

Padahal, pembebasan dari belenggu Taurat oleh Kristus bukan berarti hidup semau gue melainkan hidup mengikatkan diri pada norma nilai yang diteladanajarkan oleh Kristus. Kebebasannya sekarang adalah kebebasan bersama dengan Kristus. Kebebasan bukanlah kebablasan melainkan hidup dalam ketaatan kepada Kristus. Paulus memuji jemaat di Roma, Kabar tentang ketaatanmu telah terdengar oleh semua orang. Sebab itu aku bersukacita tentang kamu..." (Roma 16:19a). Namun, tampaknya ketaatan saja tidak cukup menghadapi banyaknya orang yang dengan bebas mengajarkan ajaran yang berbeda itu. Paulus melanjutkan, "Tetapi aku ingin supaya kamu bijaksana terhadap apa yang baik, dan bersih terhadap apa yang jahat" (Roma 16:19b).

Ketaatan kepada Kristus dan sikap hikmat bijaksana itulah yang dibutuhkan dalam kita mengisi kemerdekaan. Di dalam Kristus kita telah dimerdekakan dari belenggu dosa dan segala tuntutan Taurat namun pada saat yang sama kita menjadi hamba-hamba Kristus. Hamba yang harus taat dan setia dalam mengikut-Nya dengan sukacita. Tetapi juga bijaksana memilah mana yang baik, benar dan pantas untuk dipilih dan dikerjakan.

Sama seperti Messi dan Petrucci, yang bebas memainkan bola dan gitar mereka. Namun, setiap hari tidak membebaskannya dari latihan yang ketat. Kita bebas mengekspresikan iman kita dengan bersukacita tetapi tidak membebaskan kita untuk setiap hari taat, setia dan tinggal bersama dengan-Nya.


Jakarta, HUT RI 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar