Suatu hari, seorang lelaki
menonton suatu pertandingan tenis. Ia mendapat tempat duduk yang paling tidak
nyaman karena terlambat membeli ticket pertandingan besar hari itu. Begitu
pertandingan dimulai, ia melihat satu tempat duduk yang masih kosong, yang lebih
baik posisinya. Ia segera beranjak ke tempat duduk itu dan bertanya kepada
lelaki yang duduk di sebelah bangku yang kosong itu, "Tempat ini
kosong?" Pria itu menjawab singkat, "Ya, silahkan kalau mau
duduk."
Percakapan singkat dimulai,
"Anda sendiri juga?" tanya lelaki yang girang karena mendapat tempat
duduk yang lebih nyaman. Pria itu menjawab, "Seharusnya saya bersama
dengan isteri saya yang meninggal. Ini pertandingan pertama yang tidak kami
saksikan bersama setelah bertahun-tahun."
"Ooh, saya ikut bersedih,
tetapi apa tidak ada saudara atau kerabat lain yang bisa Anda ajak
nonton?" tanya lelaki yang sekarang menempati tempat duduk isteri dari
pria itu. "Tidak ada," lelaki itu dengan cepat memberi jawaban sambil
matanya tetap tertuju pada lapangan tenis, "Semua sedang menghadiri
pemakaman isteri saya."
Kisah ini unik. Unik karena
pria itu salah dalam menempatkan prioritas. Padahal prioritas adalah salah satu
kunci utama keberhasilan mengarungi waktu. Kepandaian memilih prioritas adalah
suatu, sebagaimana dikatakan oleh William James, "Seni menjadi bijaksana
adalah seni mengetahu apa-apa yang harus diabaikan."
Dalam keseharian peradaban
moderen, kita tidak bisa lepas dari gawai dan perangkat-perangkat penunjangnya.
Gadget itu telah banyak menyita
bahkan merampas waktu kita. Pelbagai keriuhan media sosial, sangat berpotensi
mengalihkan kita dari apa yang seharusnya kita tekuni. Beragam permintaan chatting dan ajakan untuk berkomunikasi,
ataupun godaan untuk memerhatikan sebuah topik, bisa membuat kita terhanyut
melakukan hal-hal yang sebenarnya sama sekali tidak genting dan penting.
Bayangkan, jika dikalkulasikan berapa jam setiap hari kita bergulat dengan
hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan, berapa energi yang terbuang dalam
sebulan? Berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk membeli kuota internet
setiap tahun?
"Waktu adalah hal penting
yang paling berharga dalam kehidupan Anda. Anda sendirilah yang menentukan
bagaimana waktu itu akan Anda habiskan. Hati-hatilah jangan sampai orang lain
menghabiskan waktu Anda!" Mungkin nasihat Carl Sandburg ini sangat relevan
pada zaman now ini. Betapa tidak, ada banyak hal di sekitar kita yang bisa
menghabiskan waktu kita. Gadget,
hiburan, hobi dan lainnya tanpa kita menyadari, mereka semua berpotensi menyeret
kita untuk menghabiskan waktu yang Tuhan berikan kepada kita.
"Waktu adalah kehidupan.
Sia-siakan waktu Anda dan Anda menyia-nyiakan kehidupan," kata Alan
Lakien. Hal senada dikatakan oleh Michael LeBoeuf, "Sia-siakan uang Anda,
dan Anda hanya akan kehilangan uang. Namun, sia-siakan waktu, Anda akan
kehilangan kehidupan." Waktu adalah kehidupan. Menyikapi waktu berarti
menyikapi kehidupan.
Waktu adalah kehidupan!
Demikian pentingnya waktu, Paulus mengingatkan kepada orang-orang di Efesus
untuk serius, "Karena itu,
perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang
bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena
hari-hari ini adalah jahat" (Efesus 5:15,16). Sepintas kita menangkap
nasihat Paulus ini bahwa seorang yang arif itu akan mengunakan waktu dengan
sebaik-baiknya.
Pada umumnya ada dua cara
orang memanfaatkan waktu. Pertama, dengan mengikuti aliran kehidupan secara
alamiah. Waktu dipandang sebagai kronos.
Kronologi, ada kelahiran dan kemudian berakhir dengan kematian. Mengikuti
aliran kehidupan berarti membiarkan semua mengalir, menikmati hidup apa adanya
dan seadanya. Tidak perlu usaha berlebihan. Tansah
ngoyo! Tidak perlu berlebihan. Sementara cara kedua, harus dengan usaha
keras mengarungi kehidupan. Waktu dipandang sebagai kesempatan, kairos maka harus membuat perencanaan,
menyusun tujuan, merumuskan strategi, membagi-bagi tahapan pencapaian,
melakukan eksekusi. Karena waktu adalah kesempatan maka harus dikelola dengan
sebaik-baiknya.
Tampaknya, Paulus memandang
cara kedua yang harus dimiliki oleh setiap orang percaya. Mereka harus serius
terhadap diri sendiri "perhatikan
dengan saksama, bagaimana kamu hidup..." Sungguh-sungguh memerhatikan
diri sendiri bukannya sibuk dengan urusan orang lain. Sayangnya, kita lebih
seirus dengan urusan orang lain dan sangat permisif dengan diri sendiri! Mereka
harus memandang waktu sebagai kesempatan berharga yang tidak boleh diabaikan
begitu saja. Tidak boleh mengumbar hawa nafsu dengan hal-hal yang memabukkan.
Melainkan harus senantiasa dipenuhi dengan Roh.
Waktu adalah kehidupan.
Kehidupan yang bagaimana yang Anda inginkan? Hal itu sangat bergantung kepada
pemanfaatan waktu yang Tuhan berikan kepada kita. Dalam waktu yang singkat ini,
Tuhan melengkapi kita dengan hikamt. Dia juga menawarkan kepada kita kehidupan
yang kekal. Caranya? "Barang siapa
makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup kekal dan Aku akan
membangkitkan dia pada akhir zaman" (Yohanes 6:54).
Yesus mengatakan bahwa tujuan
makan daging-Nya dan minum darah-Nya adalah supaya orang tidak sekedar hidup,
melainkan mempunyai hidup kekal, dan akan dibangkitkan pada akhir zaman.
Kata-kata daging dan darah mengungkapkan bahwa makanan yang
memberi mereka hidup tidak lain daripada Anak yang telah hidup dalam daging dan
menyerahkan diri-Nya: daging dan darah-Nya dalam kematian yang penuh kekerasan.
Kata-kata ini tidak mudah dimengerti, sesungguhnya tidak mungkin mengerti
kata-kata ini lepas dari Perjamuan Tuhan, sebab lepas dari konteks itu
"makan daging" merupakan ungkapan prilaku kebencian (Zakharia 11:9),
dan "minum darah" hanya mengungkapkan pembantaian yang mengerikan
(Yeremia 46:10). Arti serupa itu justeru bertolak belakang dengan pesan Injil
Yohanes.
Ayat selanjutnya menjelaskan
apa yang dimaksudkan dengan "makan daging" dan "minum
darah" yakni, "Barang siapa
makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam
dia" (Yohanes 6:56). Tinggal
dalam Yesus, inilah kata kunci Injil Yohanes. Di sini menjadi jelas bahwa hidup
yang kekal itu hidup yang mempunyai relasi mendalam dengan Yesus. Dengan tepat
Paulus mengatakan "bukan lagi aku
sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku" (Galatia
2:20). Daging dan Darah Kristus dalam Perjamuan Tuhan, bukanlah obat mujarab
atau anggur kuat yang melestarikan hidup manusia. Namun, hidup yang kekal itu
diberikan dalam persekutuan yang intim dengan Kristus.
Yesus Kristus adalah Firman
Allah yang menjadi Manusia (daging dan darah), hendaknya diterima sebagai
manusia yang menyerahkan diri-Nya untuk hidup dunia. Dalam hubungan dengan
Yesus yang nyata itu, kita diberi bagian dalam hidup ilahi yang Yesus terima
dari Bapa. Bila melalui perjamuan Tuhan, Dia menyerahkan daging dan darah-Nya
untuk hidup dunia, hidup di dalam kita, dan kita hidup di dalam Dia, hidup kita
yang fana diubah menjadi hidup kasih ilahi, sejati, dan kekal.
Jadi, pergunakanlah waktu yang
singkat ini untuk meraih kehidupan yang kekal dengan cara "memakan
daging" dan "meminum darah-Nya", yakni hidup dalam persekutuan
intim dengan-Nya. Sehingga teladan, ajaran, dan karakter Kristus benar-benar
mendarah-daging dalam kehidupan kita. Dari sinilah kehidupan kita semakin lama
semakin serupa dengan Kristus karena "daging-Nya" ada dalam daging
kita, "darah-Nya" mengalir dalam darah kita. Itulah manusia yang
menghidupi Sang Firman yang hidup sehingga ia sendiri akan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar