Seorang Guru Sufi ditanya
tentang dua keadaan manusia: Manakah yang lebih baik apakah manusia yang rajin
sekali beribadah namun sombong, angkuh dan selalu merasa dirinya suci dan lebih
saleh ketimbang yang lain. Ataukah manusia yang tidak pernah beribadah, namun
mempunyai karakter mulia, rendah hati, santun, lembut dan mencintai sesama
seperti dirinya sendiri?
Sang Guru Sufi berpikir
sejenak kemudian sambil tersenyum, dia menjawab, "Keduanya baik! Sebab,
bisa saja suatu saat orang yang sangat rajin beribadah tetapi sombong, suatu
ketika akan menemukan kesadaran tentang karakternya yang buruk itu lalu ia
bertobat dan menjadi pribadi yang sangat baik lahir dan batin. Sebaliknya,
manusia yang tidak pernah beribadah namun ahlaknya baik, bisa jadi suatu saat
ia mendapat pencerahan dan ia menjadi seorang yang rajin beribadah, sebab
bagaimanapun ibadah yang benar harus menginspirasi tingkah laku orang yang
beribadah itu!"
Tampaknya orang tersebut tidak
puas dengan jawaban Sang Guru Sufi itu. Ia bertanya lagi, "Kalau semuanya
baik, lalu siapakah orang yang tidak baik itu?"
Tanpa membuang waktu panjang,
Sang Guru Sufi menjawab,"Yang tidak baik itu adalah orang seperti kita
ini: orang ketiga yang selalu mampu menilai orang lain, namun lalai dalam
menilai dan mengkritisi diri sendiri!"
Menilai orang lain selalu
mudah dilakukan. Kita mudah membicarakan kejelekan orang lain karena merasa
sudah lebih baik dari mereka. Ketika bercermin, terkadang merasa diri sudah
mulia, baik hati, sudah beribadah dengan menjalankan syareat agama dengan baik,
merasa paling agamis sedunia, tidak pernah bermaksiat, tidak pernah berzinah,
bukan perampok, bukan pembunuh, rajin bersedekah, berdoa dan berpuasa. Ya,
pendek kata selalu menjadi orang yang paling benar.
Bisa jadi orang Israel merasa
diri sebagai ahli ibadah ketika membandingkan mereka dengan orang-orang di luar
bangsa dan keyakinan mereka. Ya, tentu ada dasarnya mengapa mereka berbangga.
Ulangan 10:15 sering menjadi referensinya, "..., tetapi hanya oleh nenek moyangmulah hati TUHAN terpikat sehingga
Ia mengasihi mereka, dan keturunan merekalah, yakni kamu, yang dipilih-Nya dari
segala bangsa, seperti sekarang ini." Tak pelak lagi firman ini begitu ekslusif,
terasa Allah tidak tertarik dengan bangsa lain. Israel begitu spesial bagi
TUHAN. Dan inilah yang kemudian menjadikan Israel sangat yakin hanya merekalah
yang dipilih dan sangat disayangi TUHAN.
Benar aroma ekslusivitas
firman ini begitu menyengat. Namun, jangan lupa juga konteks di mana firman itu
diperdengarkan. Penulisan kitab Ulangan ditujukan untuk menegaskan kembali
Israel akan tugas panggilan mereka sebagai bangsa pilihan. Ulangan, di dalamnya
mengulang kembali kisah penyertaan Allah sekaligus respons bangsa itu terhadap
kasih karunia Allah. Kuatnya nada ekslusivitas yang didengungkan kitab Ulangan juga
berkaitan dengan sinkretisme yang larut dalam umat itu. Sinkretisme yang tidak
hanya terjadi pada ritus dan ritual ibadah tetapi juga dalam kehidupan kawin-mawin
dengan bangsa asing. Tentu saja ini sangat memengaruhi identitas mereka. Di
satu pihak, mereka masih memelihara hukum-hukum dan ritual. Namun, pada pihak
lain karakter mereka sama seperti bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal TUHAN.
Watak ekslusif tidak
sepenuhnya keliru. Alm. Pdt.Em. Eka Darmaputera pernah menyatakan bahwa gereja
harus fanatis, tanpa harus terjebak dalam fanatisme sempit. Kehidupan apa pun
(keluarga, komunitas, gereja, negara, dst) membutuhkan ranah ekslusif begitu
juga dengan iman. Namun, tidak harus kita terjerumus pada sikap ekslusivisme
sempit. Bayangkan, kalau kehidupan keluarga tidak ada ruang privasi dan
ekslusif? Semua terbuka dan "telanjang" tentu rumah kita bagaikan
mall. Bayangkan juga kalau sebuah komunitas, gereja atau negara tidak ada
ikatan-ikatan yang bersifat ekslusif yang menjadi identitas diri, tentu akan
terjadi kekacauan.
Belajar dari umat TUHAN,
Israel punya hubungan ekslusif dengan Allah dan itu tidak usah dipungkiri. TUHAN
menginginkan hubungan yang esklusif ini justeru dimaksudkan agar Israel menjadi
berkat bagi bangsa-bangsa lain. Bukan sebaliknya, membangun menara kebanggaan
semu sambil memandang rendah bangsa lain.
Ketika TUHAN menolong dan
terus mengasihi Israel, Ia tidak meminta banyak hal untuk mereka lakukan. TUHAN
hanya meminta mereka takut akan Dia, memuji dan beribadah kepada-Nya, serta
hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya. Hal ini, bukanlah perintah yang
berat. Israel juga harus menyadari bahwa bukan karena kebaikan mereka, tetapi
karena kasih TUHANlah sehingga mereka terpilih menjadi umat-Nya. Maka wajarlah
jika Ia meminta Israel untuk taat beribadah kepada-Nya. Namun, nyatanya dalam
perjalanan menuju negeri perjanjian, Israel kerap kali digambarkan sebagai umat
yang tegar tengkuk. Melakukan memisahan antara ritus ibadah dengan realita
kehidupan.
Allah tidak menghendaki
umat-Nya menggantikan kasih mereka yang sepenuh hati dengan upacara-upacara
agama yang formal. Untuk itu, TUHAN memerintahkan agar umat Israel melakukan
"sunat hati" yang dikontraskan dengan sikap tegar tengkuk (Ul.10:16).
Sunat menandakan ritual penting umat Israel yang membuat mereka memiliki
identitas berbeda dari bangsa lain. Namun, nyatanya mereka telah terjebak pada
identitas harfiah, hanya menyentuh bagian luar manusia. Mereka tetap saja tegar
tengkuk, hidup mengumbar ambisinya sendiri. Itulah sebabnya, TUHAN meminta
mereka menyunatkan hati. Hal ini berarti, Israel harus menjaga hati dalam
kekuduskan dan melembutkannya untuk dapat mendengar dan menaati TUHAN.
"Sunat hati" akan membuat mereka tahu suara kebenaran yang
sesungguhnya itu. Suara itu akan bermuara bahwa TUHAN Sang empunya langit,
bahkan langit yang mengatasi segala langit, dan bumi dengan segala isinya
adalah Allah sumber kasih, yang mengasihi seluruh ciptaan-Nya!
Sebuah hal menarik
diperlihatkan TUHAN kepada umat-Nya. Umat Allah pada waktu itu banyak
terpengaruh oleh kultus ibadah dan moralitas bangsa-bangsa di sekitarnya.
Logika sederhana untuk mengatasi dan menjaga kemurnian Israel mudah saja :
lenyapkan pengaruh-pengaruh buruk itu. Bukankah bagi Allah sangat mudah
menumpas musuh-musuh Israel? Namun, cara itu tidak dipakai Allah. Alih-alih
menyingkirkan bangsa asing yang telah memberikan pengaruh buruk, Allah meminta
umat-Nya untuk mengasihi mereka. Allah mengingatkan mereka kembali bahwa
dulunya pun mereka adalah bangsa asing di Mesir. Selain itu, tindakan kasih
yang TUHAN perintahkan adalah menegakkan keadilan (Ul.10:17,18). Sebutan
"hak anak yatim dan janda" menunjuk pada kalangan yang paling lemah.
Kepada merekalah umat Israel diminta untuk memperjuangkan hak-haknya. Semangat
untuk kembali memiliki identitas sebagai umat Allah justeru ditunjukkan Allah
bukan melalui formalitas ritual ibadah, korban-korban bakaran dan sunat, melainkan
melalui ritus sosial yang memberdayakan sesama, membela yang tertindas,
menderita dan terpinggirkan.
Kehidupan kita tidak jauh dari
kaum tertindas, miskin, menderita, terdampak bencana dan terpinggirkan. Ibadah
seperti apa yang mestinya terjadi dan dikembangkan dalam gereja?
Hari ini kita merayakan HUT
GKI ke-30. Tepatnya, penyatuan dari tiga sinode menjadi satu Sinode Gereja
Kristen Indonesia pada 26 Agustus 1988. Penyatuan tiga sinode dengan budaya
bergereja yang berbeda bukanlah perkara yang gampang. "Bersama mengukir
narasi cinta bangsa", itulah tema kita hari ini. Tema yang berbau
nasionalisme. Apakah GKI belakangan ini menjadi latah dengan eforia gerakan-gerekan
nasionalisme sebagai reaksi dari gerakan radikalisme yang berusaha menggerus
Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan NKRI?
GKI tidak mungkin dilepaskan
dari semangat cinta bangsa. Sejak semula para pendiri menamakan gereja kita
dengan Gereja Kristen Indonesia, bukan Gereja Kristen di Indonesia. Itu artinya, dengan sadar bahwa pendahulu kita - dan
kita saat ini - adalah bangsa Indonesia yang menghayati iman percaya kepada
Kristus. GKI mengakui bahwa dirinya adalah bagian dari bangsa Indonesia, layaknya
orang lain juga yang bersama-sama hadir dan berjuang di negeri ini. Maka
tidaklah keliru atau latah bahwa kita harus berjuang mempertahankan NKRI yang
sekarang terus digerogoti. Berjuang bersama, itu berarti kita mau bergandengan
tangan bersama-sama pihak lain dalam menyatakan cinta kasih Allah kepada bangsa
ini.
Jelas sebagai orang-orang
Kristen, GKI punya identitas, iman yang ekslusif terhadap Tuhan Yesus. Namun,
bukan berarti bahwa kita sibuk membentengi diri, merasa diri sebagai anak-anak
Tuhan yang berbeda dengan "mereka" yang lain. Di sinilah, keyakinan
iman, identitas, dan keintiman kita dengan Kristus diuji! Sama seperti Israel
dulu yang diminta untuk menyunatkan hati dan memberlakukan kasih Allah. Dalam
konteks kita pun, Yesus menginginkan kita berkarya dalam meneruskan cinta
kasih-Nya kepada dunia ini. Ibadah dan pelaksanaan ritual formal di gereja,
benar bisa menandakan identitas kita. Namun, yang jauh lebih penting dari itu
adalah menghidupkan cinta kasih Allah itu menjadi narasi konkrit. "Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan
dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi
sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari semua korban
bakaran dan korban sembelihan. Yesus melihat bagaimana bijaksananya jawab orang
itu, dan Ia berkata kepadanya: 'Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!'"
(Markus 12:33,34)
Bagaimana, GKI: Anda dan saya,
apakah kita jauh dari Kerajaan Allah? Ataukah Kerajaan Allah telah, sedang dan
akan ada dalam GKI di tengah-tengah bangsa ini?
SELAMAT MERAYAKAN HUT GKI
KE-30 TAHUN "BERSAMA MENGUKIR NARASI CINTA BANGSA"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar