Seorang sales sepatu boots mengungkapkan keluhan kepada
temannya. Baru-baru ini sang manajer menugasi dirinya memasarkan sepatu ke
sebuah daerah terpencil yang penduduknya sama sekali tidak terbiasa memakai
sepatu. "Bagaimana mungkin memenuhi target yang diharapkan, ada yang mau
beli sepasang saja sudah syukur. Sungguh ini sebuah tugas gila yang tidak masuk akal!" Begitu kira-kira inti keluhannya.
Ya, sangat wajar kalau kehadiran sang sales sepatu ini ditolak alias jualannya
tidak laku. Bagaimana mungkin penduduk itu berminat membeli sepatu booth sedangkan
cara memakai dan kegunaannya saja tidak tahu. Padahal, sepatu itu sangat
berguna menghindarkan mereka dari gigitan ular berbisa.
Apa yang kita bayangkan dalam
mengerjakan pelbagai tugas? Kebanyakan, melihat faktor yang menyulitkan,
tantangan ancaman atau penolakan ketimbang peluang dan harapan yang besar.
Seperti si sales sepatu boots itu.
Hal ini justeru berbeda dengan teman curhat
si sales itu. "Oke, tantangannya tidak bisa dipungkiri, berat. Namun, aku
melihat ini adalah kesempatan emas. Mereka tidak tahu apa itu sepatu boots, jangankan manfaatnya, cara
memakainya pun tidak tahu. Izinkan saya pergi ke tempat itu. Di sana saya akan
mengajarkan dengan memberikan contoh sejelas-jelasnya tentang apa manfaatnya
sepatu boots dan bagaimana cara
memakainya," jawab teman sales sepatu dengan penuh antusias,
"bukankah setelah mereka mengerti manfaat sepatu itu, ini merupakan pangsa
pasar yang besar buat kita?"
Yehezkiel bukan sales sepatu boots yang pesimis. Namun, aora pesimis
itu pasti telah menguasainya. Mengapa? Ia sangat mengenal bangsanya. Amos tidak
mereka hiraukan, Yesaya tidak digubris, Yeremia dianggap sebagai penghianat
yang tidak punya jiwa nasionalis, Daniel dan teman-temannya - yang oleh
Nebukadnezar dijadikan penasehat - tidak mereka hiraukan. Sungguh, bangsanya
adalah umat pemberontak. Bahkan hal itu ditegaskan oleh Allah sendiri, "Hai anak manusia, Aku mengutus engkau kepada
orang Israel, kepada bangsa pemberontak yang telah memberontak melawan AKu.
Mereka dan nenek moyang mereka telah mendurhaka terhadap Aku sampai hari ini
juga" (Yeh.2:3). Kepada bangsanya yang demikian itu, Yehezkiel diutus
TUHAN.
TUHAN menyapa Yehezkiel "Hai anak manusia" (ben adam). Ya, Yehezkiel adalah seorang
anak manusia; anak bapak dan ibu Busi. Namun, sebutan ini hendak menekankan
sisi kerapuhan dari seorang manusia. Allah yang mengutus Yehezkiel tahu percis
kelemahan dan kerapuhannya. Justeru untuk itulah ia harus sepenuhnya bergantung
kepada Roh Allah. Sesuai dengan arti namanya Yehezkiel "Allah
menguatkan", demikianlah nantinya Allah yang sepenuhnya memberi kekuatan.
Kini yang diminta dari Yehezkiel adalah kesiapan untuk menyambut tugas
perutusan itu. Percaya akan pimpinan Allah dan tidak gentar dengan reaksi
pembangkangan dan penolakan bangsa itu.. Selanjutnya, kita dapat melihat
bagaimana Yehezkiel berkarya. Tidak hanya dengan ucapan tetapi seluruh hidupnya
dia peragakan agar umat mengerti bahwa Allah berdaulat penuh dan mengerti
kehendak-Nya.
Tantangan penolakan serupa
dialami oleh "Anak Manusia", Yesus. Di Nazaret, kampung tempat Dia
dibesarkan, mula-mula mereka mendengarkan khotbah Yesus dan takjub. Tetapi
kemudian, mereka mempertanyakan diri Yesus maupun ajaran-Nya. Dari mana Yesus
menimba segala kelebihan-Nya? Bukankah selama Ia ada di Nazaret, Ia tidak
pernah tamat "sekolah teologi" Yahudi seperti para ahli Taurat?
Bukankah selama sekian tahun Ia hanya bekerja sebagai tukang saja? Keluarga-Nya
mereka kenal dengan baik. Orang-orang Nazaret tidak melihat sesuatu yang
istimewa pada keluarga itu, khususnya pada Yesus sendiri, yang dapat
menjadikan-Nya begitu terkenal secara mendadak. Maka dengan gencar mereka mulai
mempertanyakan sumber segala kelebihan Yesus. Dan seperti biasanya dalam pikiran
waarga Nazaret muncul dua kemungkinan saja, yaitu: sumbernya ialah Allah atau
Iblis. Justeru karena sumber itu tidak diketahui dengan jelas, para penduduk
Nazaret merasa terhina oleh kenyataan bahwa tiba-tiba Yesus muncul di hadapan
mereka sebagai guru. Selanjutnya, mereka tidak peduli lagi akan isi ajaran
Yesus. Mereka sibuk dengan identitas Yesus sendiri serta dengan asal-usulnya.
Berhadapan dengan situasi
penolakan ini, Yesus membatasi pelayanan-Nya pada penyembuhan beberapa orang
saja. Kuasa Yesus sebagai Juruselamat memang tidak terbatas, tetapi orang-orang
yang menerima pemberitaan-Nya bisa membatasi-Nya. Penolakan yang dialami Yesus
di Nazaret berhubung erat dengan perikop selanjutnya, yakni Yesus mengutus
kedua belas murid untuk memberitakan Injil. Setiap pemberitaan Injil selalu
menimbulkan ketegangan antara menerima dan menolak. Setiap pemberitaan Injil
harus siap atas kemungkinan ditolak.
"Ia memanggil kedua belas murid itu dan mulai mengutus mereka..."
(Markus 6:7). Walau Yesus pernah ditolak dan Ia tahu betul arti penolakan itu.
Namun, Injil tidak boleh berhenti. Yesus mengambil prakarsa dan bertanggung
jawab penuh atas misi pemberitaan Injil itu. Para murid yang diutus ini
melakukan tugas yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Yesus. Mereka
diutus tidak dengan "tangan hampa", melainkan diberi kuasa untuk
mengusir setan, menyembuhkan orang sakit dan memberitakan pertobatan. Para
murid meneruskan misi Yesus, yakni pewartaan tentang kedatangan Kerajaan Allah
yang harus ditanggapi orang yang mendengarnya dengan percaya dan mengubah
hidupnya.
Mereka diutus berdua-dua,
sebab tradisi yang demikian berlaku dalam masyarakat Yehudi. Tradisi itu
dihubungkan dengan Musa sendiri. Kitab Ulangan 17:6 berbicara tentang
pentingnya dua atau tiga dalam memutuskan perkara penting. Berdua-dua, mereka
bisa saling menguatkan dan menopang satu dengan yang lainnya. Selanjutnya,
Yesus menyampaikan pesan-pesan kepada mereka, "Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan mereka, kecuali tongkat
saja..." (Mrk.6:8). Ini menegaskan kepada mereka untuk senantiasa
bergantung dan mempercayakan diri kepada Allah. Sebagaimana Allah mengerti
kerapuhan Yehezkiel, Yesus pun tahu kelemahan dan kerapuhan para murid-Nya.
Mereka diutus mengerjakan dan meneruskan misi-Nya sekaligus juga mereka diajak
percaya dan bergantung kepada-Nya. Supaya dengan demikian nyatalah bahwa dalam
kelemahan mereka kuasa Allah bekerja.
Hal ini senada dengan apa yang
dialami oleh Paulus dalam 2 Korintus 12 :9-10. Paulus menyadari bahwa dirinya
adalah manusia biasa. Manusia yang lemah dan rapuh bagai bejana dari tanah liat.
Namun, justeru dalam kelemahannya kuasa Allah bekerja dengan sempurna.
Sebagaimana murid-murid Yesus
yang pertama, mereka dipanggil untuk mengikuti-Nya. Belajar kehidupan,
pelayanan, dan kasih bersama-sama dengan-Nya. Ada saatnya mereka diutus untuk
memberitakan Injil itu. Demikian juga dengan kita: ada saatnya kita dipanggil,
dibekali dengan pelbagai pemahaman tentang kasih Tuhan. Mengalami dan merasakan
jamahan kasih itu, maka seharusnya kita menyadari ada saatnya juga kasih Tuhan
itu kita sebarkan kepada orang-orang di sekitar kita. Penolakan pasti ada,
ketidak sukaan itu sudah jelas. Sangat mungkin juga penganiayaan, fitnah, dan
kebencian kita alami. Namun, justeru memang ke tempat dan situasi seperti
itulah Tuhan mengutus kita!
Benar, kita adalah ben adam, manusia dalam segala
kerentanannya. Benar juga, bahwa orang-orang yang mungkin kita hadapi tidak
mudah. Namun, percayalah Tuhan telah memperlengkapi kita dengan kuasa dan
penyertaan-Nya. Kini, yang diharapkan dari kita adalah kesiapan, ketaatan,
optimisme, dan kecerdasan kita dalam mengerjakan misi itu.
Meminjam kisah sales sepatu boots. Jadilah seperti teman yang
optimis itu, dia bersedia diutus untuk tidak sekedar membujuk orang-orang
membeli sepatu botts. Tetapi
mengajarkan manfaatnya, bahwa dengan memakai sepatu itu, mereka dapat terhindar
dari bahaya. Ia juga mencontohkan pemakaiannya dengan benar, sehingga menyadari
bahwa mereka membutuhkan sepatu itu. Kita dipanggil bukan hanya bercerita
tentang manisnya surga yang dijanjikan dalam Injil. Melainkan, jauh dari itu:
mengajarkan apa yang diajarkan Yesus; mengasihi seperti Yesus mengasihi;
mengampuni seperti pengampunan yang diberikan Yesus; berpengharapan seperti
pengharapan yang ada di dalam Yesus; bersukacita, hidup dalam damai, pendek
kata Kerajaan Allah itu benar-benar hadir dalam hidup kita sehingga orang lain
benar-benar memerlukan Injil itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar