Jumat, 06 Juli 2018

BEN ADAM


Seorang sales sepatu boots mengungkapkan keluhan kepada temannya. Baru-baru ini sang manajer menugasi dirinya memasarkan sepatu ke sebuah daerah terpencil yang penduduknya sama sekali tidak terbiasa memakai sepatu. "Bagaimana mungkin memenuhi target yang diharapkan, ada yang mau beli sepasang saja sudah syukur. Sungguh ini sebuah tugas gila yang tidak masuk akal!" Begitu kira-kira inti keluhannya. Ya, sangat wajar kalau kehadiran sang sales sepatu ini ditolak alias jualannya tidak laku. Bagaimana mungkin penduduk itu berminat membeli sepatu booth sedangkan cara memakai dan kegunaannya saja tidak tahu. Padahal, sepatu itu sangat berguna menghindarkan mereka dari gigitan ular berbisa.

Apa yang kita bayangkan dalam mengerjakan pelbagai tugas? Kebanyakan, melihat faktor yang menyulitkan, tantangan ancaman atau penolakan ketimbang peluang dan harapan yang besar. Seperti si sales sepatu boots itu. Hal ini justeru berbeda dengan teman curhat si sales itu. "Oke, tantangannya tidak bisa dipungkiri, berat. Namun, aku melihat ini adalah kesempatan emas. Mereka tidak tahu apa itu sepatu boots, jangankan manfaatnya, cara memakainya pun tidak tahu. Izinkan saya pergi ke tempat itu. Di sana saya akan mengajarkan dengan memberikan contoh sejelas-jelasnya tentang apa manfaatnya sepatu boots dan bagaimana cara memakainya," jawab teman sales sepatu dengan penuh antusias, "bukankah setelah mereka mengerti manfaat sepatu itu, ini merupakan pangsa pasar yang besar buat kita?"   

Yehezkiel bukan sales sepatu boots yang pesimis. Namun, aora pesimis itu pasti telah menguasainya. Mengapa? Ia sangat mengenal bangsanya. Amos tidak mereka hiraukan, Yesaya tidak digubris, Yeremia dianggap sebagai penghianat yang tidak punya jiwa nasionalis, Daniel dan teman-temannya - yang oleh Nebukadnezar dijadikan penasehat - tidak mereka hiraukan. Sungguh, bangsanya adalah umat pemberontak. Bahkan hal itu ditegaskan oleh Allah sendiri, "Hai anak manusia, Aku mengutus engkau kepada orang Israel, kepada bangsa pemberontak yang telah memberontak melawan AKu. Mereka dan nenek moyang mereka telah mendurhaka terhadap Aku sampai hari ini juga" (Yeh.2:3). Kepada bangsanya yang demikian itu, Yehezkiel diutus TUHAN. 

TUHAN menyapa Yehezkiel "Hai anak manusia" (ben adam). Ya, Yehezkiel adalah seorang anak manusia; anak bapak dan ibu Busi. Namun, sebutan ini hendak menekankan sisi kerapuhan dari seorang manusia. Allah yang mengutus Yehezkiel tahu percis kelemahan dan kerapuhannya. Justeru untuk itulah ia harus sepenuhnya bergantung kepada Roh Allah. Sesuai dengan arti namanya Yehezkiel "Allah menguatkan", demikianlah nantinya Allah yang sepenuhnya memberi kekuatan. Kini yang diminta dari Yehezkiel adalah kesiapan untuk menyambut tugas perutusan itu. Percaya akan pimpinan Allah dan tidak gentar dengan reaksi pembangkangan dan penolakan bangsa itu.. Selanjutnya, kita dapat melihat bagaimana Yehezkiel berkarya. Tidak hanya dengan ucapan tetapi seluruh hidupnya dia peragakan agar umat mengerti bahwa Allah berdaulat penuh dan mengerti kehendak-Nya.

Tantangan penolakan serupa dialami oleh "Anak Manusia", Yesus. Di Nazaret, kampung tempat Dia dibesarkan, mula-mula mereka mendengarkan khotbah Yesus dan takjub. Tetapi kemudian, mereka mempertanyakan diri Yesus maupun ajaran-Nya. Dari mana Yesus menimba segala kelebihan-Nya? Bukankah selama Ia ada di Nazaret, Ia tidak pernah tamat "sekolah teologi" Yahudi seperti para ahli Taurat? Bukankah selama sekian tahun Ia hanya bekerja sebagai tukang saja? Keluarga-Nya mereka kenal dengan baik. Orang-orang Nazaret tidak melihat sesuatu yang istimewa pada keluarga itu, khususnya pada Yesus sendiri, yang dapat menjadikan-Nya begitu terkenal secara mendadak. Maka dengan gencar mereka mulai mempertanyakan sumber segala kelebihan Yesus. Dan seperti biasanya dalam pikiran waarga Nazaret muncul dua kemungkinan saja, yaitu: sumbernya ialah Allah atau Iblis. Justeru karena sumber itu tidak diketahui dengan jelas, para penduduk Nazaret merasa terhina oleh kenyataan bahwa tiba-tiba Yesus muncul di hadapan mereka sebagai guru. Selanjutnya, mereka tidak peduli lagi akan isi ajaran Yesus. Mereka sibuk dengan identitas Yesus sendiri serta dengan asal-usulnya.

Berhadapan dengan situasi penolakan ini, Yesus membatasi pelayanan-Nya pada penyembuhan beberapa orang saja. Kuasa Yesus sebagai Juruselamat memang tidak terbatas, tetapi orang-orang yang menerima pemberitaan-Nya bisa membatasi-Nya. Penolakan yang dialami Yesus di Nazaret berhubung erat dengan perikop selanjutnya, yakni Yesus mengutus kedua belas murid untuk memberitakan Injil. Setiap pemberitaan Injil selalu menimbulkan ketegangan antara menerima dan menolak. Setiap pemberitaan Injil harus siap atas kemungkinan ditolak.

"Ia memanggil kedua belas murid itu dan mulai mengutus mereka..." (Markus 6:7). Walau Yesus pernah ditolak dan Ia tahu betul arti penolakan itu. Namun, Injil tidak boleh berhenti. Yesus mengambil prakarsa dan bertanggung jawab penuh atas misi pemberitaan Injil itu. Para murid yang diutus ini melakukan tugas yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Yesus. Mereka diutus tidak dengan "tangan hampa", melainkan diberi kuasa untuk mengusir setan, menyembuhkan orang sakit dan memberitakan pertobatan. Para murid meneruskan misi Yesus, yakni pewartaan tentang kedatangan Kerajaan Allah yang harus ditanggapi orang yang mendengarnya dengan percaya dan mengubah hidupnya.

Mereka diutus berdua-dua, sebab tradisi yang demikian berlaku dalam masyarakat Yehudi. Tradisi itu dihubungkan dengan Musa sendiri. Kitab Ulangan 17:6 berbicara tentang pentingnya dua atau tiga dalam memutuskan perkara penting. Berdua-dua, mereka bisa saling menguatkan dan menopang satu dengan yang lainnya. Selanjutnya, Yesus menyampaikan pesan-pesan kepada mereka, "Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan mereka, kecuali tongkat saja..." (Mrk.6:8). Ini menegaskan kepada mereka untuk senantiasa bergantung dan mempercayakan diri kepada Allah. Sebagaimana Allah mengerti kerapuhan Yehezkiel, Yesus pun tahu kelemahan dan kerapuhan para murid-Nya. Mereka diutus mengerjakan dan meneruskan misi-Nya sekaligus juga mereka diajak percaya dan bergantung kepada-Nya. Supaya dengan demikian nyatalah bahwa dalam kelemahan mereka kuasa Allah bekerja.

Hal ini senada dengan apa yang dialami oleh Paulus dalam 2 Korintus 12 :9-10. Paulus menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa. Manusia yang lemah dan rapuh bagai bejana dari tanah liat. Namun, justeru dalam kelemahannya kuasa Allah bekerja dengan sempurna.

Sebagaimana murid-murid Yesus yang pertama, mereka dipanggil untuk mengikuti-Nya. Belajar kehidupan, pelayanan, dan kasih bersama-sama dengan-Nya. Ada saatnya mereka diutus untuk memberitakan Injil itu. Demikian juga dengan kita: ada saatnya kita dipanggil, dibekali dengan pelbagai pemahaman tentang kasih Tuhan. Mengalami dan merasakan jamahan kasih itu, maka seharusnya kita menyadari ada saatnya juga kasih Tuhan itu kita sebarkan kepada orang-orang di sekitar kita. Penolakan pasti ada, ketidak sukaan itu sudah jelas. Sangat mungkin juga penganiayaan, fitnah, dan kebencian kita alami. Namun, justeru memang ke tempat dan situasi seperti itulah Tuhan mengutus kita!

Benar, kita adalah ben adam, manusia dalam segala kerentanannya. Benar juga, bahwa orang-orang yang mungkin kita hadapi tidak mudah. Namun, percayalah Tuhan telah memperlengkapi kita dengan kuasa dan penyertaan-Nya. Kini, yang diharapkan dari kita adalah kesiapan, ketaatan, optimisme, dan kecerdasan kita dalam mengerjakan misi itu.

Meminjam kisah sales sepatu boots. Jadilah seperti teman yang optimis itu, dia bersedia diutus untuk tidak sekedar membujuk orang-orang membeli sepatu botts. Tetapi mengajarkan manfaatnya, bahwa dengan memakai sepatu itu, mereka dapat terhindar dari bahaya. Ia juga mencontohkan pemakaiannya dengan benar, sehingga menyadari bahwa mereka membutuhkan sepatu itu. Kita dipanggil bukan hanya bercerita tentang manisnya surga yang dijanjikan dalam Injil. Melainkan, jauh dari itu: mengajarkan apa yang diajarkan Yesus; mengasihi seperti Yesus mengasihi; mengampuni seperti pengampunan yang diberikan Yesus; berpengharapan seperti pengharapan yang ada di dalam Yesus; bersukacita, hidup dalam damai, pendek kata Kerajaan Allah itu benar-benar hadir dalam hidup kita sehingga orang lain benar-benar memerlukan Injil itu.

Jakarta, 06 Juli 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar