Apa yang paling banyak
dikeluhkan dalam pelayanan kesehatan versi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS)? Setidaknya survey yang dilakukan oleh Perkumpulan Prakarsa di 11
kabupaten/kota dengan 1.334 orang reponden menjadi gambaran umum (data dirilis
pada 23/05/2017). Hasilnya, 50,57%
responden merasa dokter kurang peduli, 14,94% merasa tenaga medis kurang
komunikatif, dan 12,64% dokter tidak datang tepat waktu dan pasien harus
menunggu lama. Di samping itu keluhan yang banyak kita dengar adalah tentang antrian
yang sangat panjang dan melelahkan.
Bagaimana jika Anda atau
anggota keluarga Anda mengalami sakit serius, lalu akses untuk mendapatkan
layanan kesehatan yang memadai terhalang oleh pelbagai aturan dan antrian
sesama penderita, sedangkan kondisi si sakit tidak bisa kompromi lagi dengan
waktu. Sangat manusiawi jika Anda jengkel, marah, dan kecewa. Harapan yang
semula menyala-nyala, kian lama kian memudar bahkan padam sama sekali.
Peristiwa dua mukjizat yang
terekam dalam Markus 5:21-43 memang bukan layanan BPJS. Namun, dilihat dari
makna esensi singkatan BPJS dan orang-orang yang menaruh tumpuan terhadap
layanan lembaga tersebut sedikit banyak ada tali persinggungan. Yesus, yang
beberapa kisah sebelumnya digambarkan telah banyak melakukan mukzijat
penyembuhan, pengusiran setan dan menaklukan badai taufan jelas dapat
diandalkan menjadi jaminan pengharapan untuk mengatasi pelbagai kesulitan yang
dihadapi orang-orang pada masa itu. Kuasanya sungguh terbukti! Namun sayangnya,
akses untuk memperoleh jaminan kuasa itu ternyata tidak mudah. Dalam bacaan
minggu ini tergambar jelas, ada dua sosok yang sangat membutuhkan kuasa Yesus
itu. Mereka adalah Yairus yang anak perempuannya sedang sakit sekarat dan
seorang perempuan yang sudah dua belas tahun menderita pendarahan. Akses kepada
Yesus terhalang oleh banyaknya orang yang berbondong-bondong berada di
sekeliling Yesus. Mereka itu bisa saja orang-orang yang membutuhkan pertolongan
Yesus, namun tampaknya lebih banyak sebagai penonton.
Siapa pun orang tua, jika
anaknya sakit - apalagi sakit serius - pasti akan melakukan apa saja untuk
memulihkan anaknya. Demikian juga dengan Yairus. Ia adalah orang penting,
kepala rumah ibadat yang mengatur segala peribadahan di sinagoge, dan tentunya
dekat dengan orang-orang Farisi yang seringkali menentang apa yang dilakukan
Yesus. Hari itu, tanpa sungkan - orang terhormat ini - mau sujud di hadapan
Yesus untuk memohon bantuannya agar putrinya dipulihkan. Kita dapat membayangkan,
ketika mendapat akses langsung dengan Yesus, maunya Yairus, Yesus segera sampai
ke rumahnya agar putrinya dapat segera tertolong. Bukankah begitu, setiap orang
yang merasa diri atau anggota keluarganya bermasalah, khususnya sakit serius,
meminta diutamakan atau didahulukan. Banyak kericuhan terjadi di rumah
puskesmas, IGD rumah sakit, atau pun layanan kesehatan lainnya oleh karena
keluarga tidak sabar meminta diprioritaskan.
Orang banyak yang
berbondong-bondong itu ternyata tidak bisa membuat langkah Yesus lebih cepat.
Dan kini, langkah itu benar-benar terhenti! Ada insiden, seorang perempuan yang
dua belas tahun menderita pendarahan menghentikan langkah Yesus itu. Ia
menjamah jubah Yesus. Padahal, menurut hukum Musa, perempuan yang pendarahan
adalah najis (Imamat 15:25). Ia tidak boleh disentuh atau menyentuh dan tidak
boleh hadir di tengah-tengah peribadatan umat. Sakitnya sudah lama, dari sudut
medis tidak ada lagi pengharapan. Perempuan ini sudah banyak menghabiskan harta
bendanya untuk dapat pulih. Kini, harapan satu-satunya adalah Yesus.
Perempuan ini menunjukkan
kenekatannya. Ia menerobos kerumunan orang banyak. Ia juga mendobrak rintangan
sosial-agama, lalu mendekati Yesus dari belakang dan menyentuh-Nya. Dalam
tradisi, orang-orang sakit sering mencoba menyentuh sang penyembuh dan sang
penyembuh diharapkan menyentuh orang yang sakit. Yairus tadi meminta Yesus
meletakkan tangan-Nya atas putrinya (Mrk.5:23). Tampaknya, ada keyakinan bahwa
sentuhan itu mengandung kekuatan pemulihan (dunamis,
ay.30), kekuatan itu akan mengalir kepada yang sakit sehingga akan mendatangkan
kesembuhan. Namun, dalam kisah ini ada sesuatu yang lebih. Kata "menyentuh jubah-Nya" diulang
samapai empat kali. Perempuan ini sungguh percaya bahwa sentuhan yang
"terlarang" itu akan membawa keselamatan bagi dirinya. Dan benar,
ternyata dia sembuh!
Yesus merasakan ada tenaga
yang keluar dari diri-Nya. Ia berpaling mencari tahu. Akhirnya, perempuan itu
maju dan sujud di hadapan-Nya dan menceritakan semua yang terjadi. Kini, ia
dihadapkan dengan rasa takut. Ketakutannya (phobos)
bersifat ketakjuban atas pengalaman penyembuhan itu. Ia sujud dan mengakui
kuasa ilahi yang bekerja melalui Yesus. Yesus melihat iman perempuan itu karena
ia percaya dengan sungguh-sungguh, perempuan itu dinyatakan bukan hanya sembuh
tetapi juga selamat. Dia yang tadinya menderita dan dikucilkan karena
penyakitnya, kini karena imannya pulang dengan sembuh dan selamat. Ia mengalami
syalom! Ia ditolong Yesus secara
utuh: jiwa dan raganya.
Bagaimana dengan Yairus? Tentu
hatinya begitu gundah. Sakit sang putri serius dan kini langkah yang semula
penuh harapan harus terhenti. Yesus berhenti terlalu lama! Dan, benar saja,
sementara Yesus masih berbicara datanglah orang yang diutus dari rumah Yairus.
Ia mengabarkan bahwa, "Anakmu sudah
meninggal, untuk apalagi engkau menyusahkan Guru?" (ay.35). Semua
sudah terlambat, tidak ada lagi harapan!
Kita dapat merasakan betapa
hancurnya perasaan Yairus ditambah lagi dengan suasana duka yang terjadi di
rumah Yairus yang meratapi putrinya yang sudah meninggal. Bagaimana tanggapan
Yesus? "Jangan takut, percaya
saja!" Yesus meneguhkan kembali harapan sang ayah. Ia meneguhkan
Yairus supaya tidak putus asa dan memandang kematian sebagai penghapus segala
pengharapan itu. Justeru dengan berita duka ini, Yairus ditantang untuk
mempercayakan diri pada kuasa Allah, sama seperti perempuan yang percaya tadi.
"Anak ini tidak mati, tetapi
tidur!" Dengan menggunakan kiasan "tidur", Yesus
mengungkapkan kematian bukanlah sesuatu yang definitif, final mengubur semua
pengharapan. Tetapi, ibarat "tidur" Ia berkuasa membangunkannya
kembali.
Banyak hal bisa membuat kita
kehilangan pengharapan. Sakit dan kematian sering menjadi faktor utama
rontoknya pengharapan. Hal utama yang dibutuhkan untuk menopang pengharapan itu
adalah sebuah keyakinan, itulah yang dinamakan iman. Iman seperti apa? Seperti
perempuan yang menjamah jubah Yesus dan seperti Yairus. Mereka berusaha bahkan
mendobrak dan menerobos rintangan sosial-agama. Iman mereka disambut Yesus
bahwa sekalipun - menurut ukuran manusia, dalam hal ini kematian - tidak ada
lagi pengharapan, Yesus mampu memenuhi harapan mereka.
Pengalaman yang sama terlukis
dalam bacaan pertama minggu ini (Ratapan 3: 22-33). Namanya kitab Ratapan, jelas
sebagian besar isinya adalah kesedihan luar biasa dengan kehancuran umat Allah.
Kini, mereka berada dalam penguasaan bangsa lain, Babel. Bait Allah dihancurkan
dan Yerusalem porak-poranda serta mereka kehilangan segala-galanya. Namun, di
tangah-tengah ketiadaan pengharapan itu, sang nabi masih melihat kasih setia
TUHAN, "Tak berkesudahan kasih setia
TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru setiap pagi; besar
kesetiaan-Mu!" (Rat.3:22,23).
Saat ini bisa saja kita sedang
berada dalam fase yang tidak mudah. Tawar hati dan pengharapan yang memudar.
Ingatlah bahwa TUHAN peduli dan Ia mau memulihkan. Hanya saja jangan berhenti
berharap dan percaya. Tidak mustahil, apa yang sekarang kita alami sebagai
kepedihan "kematian" kelak akan menjadi sebuah sukacita. Mereka yang
telah dipulihkan akan bernyanyi seperti pemazmur, "Aku yang meratap telah Kaubah menjadi orang yang menari-nari, kain
kabungku telah Kaubuka, pinggangku Kauikat dengan sukacita, supaya jiwaku
menyanyikan mazmur bagi-Mu dan jangan berdiam diri. TUHAN, Allahku, untuk
selama-lamanya aku mau menyanyikan syukur bagi-Mu" (Mzm.30:12,13).
Jakarta, 28 Juni 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar