Senin, 18 Juni 2018 pukul
17.30 Wib kapal kayu KM Sinar Bangun bertolak dari pelabuhan Simanindo,
Kabupaten Samosir menuju Tigaras Parapat, Kabupaten Simalungun. Kapal kayu itu
diperkirakan mengangkut lebih dari seratus orang. Ya, dapat diduga: hari itu banyak
wisatawan yang menikmati liburan bergegas pulang karena hari sudah senja dan KM Sinar
Bangun merupakan kapal terakhir yang mengangkut penumpang. Namun, siapa sangka
perairan yang semula tenang berubah seiring cuaca yang tidak bersahabat. Angin
kencang memicu riak air yang siang tadi bisa dinikmati keindahannya, berubah
menjadi ombak besar. Muatan yang jauh melebihi kapasitas angkut memperburuk
keadaan sehingga, tali kemudi putus dan Sinar Bangun tidak dapat terus
"bangun". Ia oleng, perlahan-lahan rebah dan akhirnya tenggelam di
perairan Simanindo itu.
Dalam beberapa tayangan video
amatir yang diberitakan berulang-ulang, kita menyaksikan tragedi memilukan itu.
Ada adegan orang-orang panik berlarian di atas kapal yang perlahan tapi pasti
menuju tenggelam. Dalam kepanikan itu mereka tidak tahu lagi harus lari ke
mana. Jalan satu-satunya adalah menyeburkan diri ke air danau itu. Sebab kalau
tidak, mereka akan tenggelam bersama dengan Sinar Bangun ke dasar danau yang
paling dalam di dunia.
Kita tarik ke belakang
sebentar, beberapa menit sebelum KM SInar Bangun itu tidak berdaya menghadapi
perairan Toba yang bergejolak. Bayangkanlah kita ada bersama mereka. Saya dapat
menduga, kita akan mengalami kepanikan luar bisa. Sangat mungkin prosedur
keamanan dan penyelamatan yang sering diperdengarkan tidak lagi bisa dilakukan.
Apalagi, di kapal itu hanya tersedia 40 pelampung. Kematian di depan mata!
Sepertinya tidak jauh berbeda,
kecemasan dan kepanikan yang dialami oleh murid-murid Yesus ketika perahu
mereka dihantam badai. Sepanjang pagi sampai menjelang sore Yesus mengajar
orang banyak di tepi danau itu (Markus 4:1). Kini, sesudah petang, Yesus
mengajak mereka untuk bertolak ke seberang (4:35). Namun, apa yang terjadi?
Danau itu bergejolak! Taufan yang sangat dasyat dan ombak menyembur masuk ke
dalam perahu sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Paling tidak ada empat
orang nelayan di antara para murid Yesus. Mereka tentu amat berpengalaman
menghadapi danau yang juga menjadi sumber penghidupan mereka. Walau demikian,
mereka tidak dapat mengatasi bahaya angin ribut itu. Hal ini menunjukkan bahwa
ombak yang menyerang perahu mereka itu sungguh dasyat dan mereka sungguh dalam
keadaan bahaya besar. Kematian di depan mata!
Sementara mereka berjuang
antara hidup dan mati, Yesus tidur nyenyak di buritan. Para murid kemudian membangunkan
Dia. Mereka heran bagaimana mungkin Yesus tidur pulas di tengah badai dasyat
dan membiarkan para murid dicengkram ketakutan luar biasa. Saya kira kita
sepakat dengan para murid yang berkata kepada Yesus, "Guru, tidak pedulikah Engkau kalau kita binasa?" (ay.38).
Yesus bangun, namun tidak
menjawab pertanyaan yang ditujukan kepada-Nya. Ia justeru menghardik badai
dasyat itu dan menyuruh danau itu tenang. Angin pun reda dan danau itu kembali
tenang teduh. Setelah itu, Yesus menanggapi perkataan para murid-Nya tadi.
Alih-alih menjawab, Yesus justeru balik bertanya, "Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?"
(ay.40).
Mengapa kamu begitu takut?
Maengapa kamu tidak percaya? Apakah salah bila mereka takut. Ya, ketika
berhadapan dengan badai dasyat yang mematikan itu! Bukankah orang tidak dapat
dilarang untuk merasa takut? Bukankah ketakutan itu datangnya tidak diundang,
ia tiba-tiba saja ada. Tidak dapat dicegah! Mengapa Yesus menuduh mereka tidak
percaya? Selama ini memang mereka telah melihat kuasa Yesus untuk menyembuhkan
orang sakit dan untuk mengusir setan-setan, tetapi situasi yang mereka hadapi
di danau ini sama sekali berbeda. Mereka tidak sedang berhadapan dengan orang
yang kerasukan setan atau orang yang sakit, tetapi dengan badai yang nyaris
menenggelamkan perahu dan membunuh mereka. Para murid percaya bahwa Yesus dapat
mengusir setan dan menyembuhkan orang sakit karena memang telah melihatnya.
Tetapi, mereka sama sekali belum pernah melihat Yesus mengatasi badai dan
ombak.
Belajar percaya dan memercayakan
diri tidaklah mudah. Benar, mengusir setan dan menyembuhkan kelemahan manusia tidaklah
sama dengan menaklukkan badai dan gelora danau itu. Namun, itu semua dilakukan
oleh kuasa dan figur yang sama yakni, Yesus! Yang menjadi permasalahan sesungguhnya adalah bahwa selama ini para
murid hanya menjadi "penonton". Bukankah orang yang kerasukan setan
sama berbahayanya dengan orang yang sedang berhadapan dengan badai? Demikian
juga orang yang sakit kusta, lumpuh, buta dan seterusnya, mereka juga
menghadapi badai kehidupannya masing-masing!
Para murid selama ini belum
pernah berada dalam situasi genting; situasi di tengah badai. Di sinilah
kepercayaan mereka diuji. Bisa saja kondisi demikian dialami oleh kita. Selama
"badai" itu tidak menerpa kita, sangat mudah untuk mengatakan kepada
orang lain, "Percaya saja, Gusti
Allah boten sare!", "Serahkanlah segala kekuatiranmu, maka Dia
akan bertindak!", "Yakin saja, dan jangan meragukan pertolongan
Tuhan!" dan seterusnya. Namun, ketika badai itu menerpa kita, kita
mengeluh, mempertanyakan pertolongan Tuhan - sama seperti para murid yang menegur
Yesus.
Yesus menegur para murid bukan
tanpa alasan. Menurut Yesus para murid sebenarnya tidak perlu takut karena Dia
bersama dengan mereka. Apa yang selama ini mereka lihat mengenai Yesus
seharusnya sudah cukup membuat mereka yakin bahwa Allah bekerja dan menyatakan
kuasa-Nya dalam diri Yesus. Namun, ternyata mereka belum percaya juga.
Apa yang terjadi dengan para
murid setelah mereka ditegur Yesus? Mereka sangat
takut! Namun, takut di sini berbeda, bukan takut dalam arti tawar hati (deilos) terhadap badai, tetapi takut
karena segan (phobos) terhadap Yesus.
Hal ini tampak dalam pertanyaan mereka, "Siapa
gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?". Ya,
kuasa yang mengherankan dan itu hanya dapat dilakukan oleh Allah sendiri,
"Siapa telah membendung laut dengan
pintu ketika membual ke luar dari dalam rahim?...ketika Aku berfirman: Samapai
di sini boleh engkau datang, jangan lewat, di sinilah gelombang-gelombangmu
yang congkak akan dihentikan!" (Ayub 38:8-11). Di sinilah kita percaya
bahwa di dalam Yesus, kepenuhan kuasa Allah bekerja!
Badai tidak hanya diartikan
secara harafiah. Badai harafiah berpotensi menjadi badai kehidupan. Badai di
danau Toba jelas menjadi badai kehidupan bagi setiap keluarga korban tragedi
itu. Badai identik dengan kesulitan hidup, pergumulan dan penderitaan. Badai
tidak pandang bulu, dia bisa melanda siapa pun, tanpa kecuali orang beriman
sekali pun. Di sinilah kita memerlukan iman yang lebih dasyat untuk menyikapi
badai itu. Iman yang bagaimana? Iman yang bersandar pada kuasa Tuhan. Dia pasti
bertindak! Dialah Sang Penyelamat yang dapat dipercayai. Ia hadir dan peduli,
berkuasa melebihi kekuatan-kekuatan yang mengancam. Ia menyertai Anda dan saya
dalam badai sekalipun. Ia tidak membiarkan kekacauan yang mengancam itu
menenggelamkan bahtera umat-Nya.
Tuhan menolong murid-murid dan
kita bukan hanya dengan melindungi terhadap bahaya dari luar, tetapi juga
dengan teguran atas kelemahan bathiniah, dan kekurangan iman kita. Teguran
Tuhan ini pun menunjukkan kehadiran dan kepedulian-Nya. Bahkan dalam badai
sekali pun Dia sanggup menopang hidup anak-anak-Nya menjadi kesaksian yang
indah. Itulah juga yang dialam kemudian oleh para murid dan juga rasul Paulus
(lihat bacaan ke-2, 2 Korintus 6:1-13).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar