Secara psikis ada dua hal
paling menyakitkan dalam kehidupan manusia. Pertama, kehilangan dan yang
lainnya ditolak. Perasaan sakit akan segera muncul apabila kita kehilangan
orang yang terhubung dengan kita. Rasa sakit itu semakin mendalam sebanding
dengan seberapa dekatnya kita dengan orang tersebut. Begitu juga halnya ketika
kita ditolak. Seberapa dekat hubungan dengan orang yang menolak akan sebanding
dengan sakitnya yang kita terima. Ditolak musuh dan pembenci, banyak orang
tegar menghadapinya. Namun, ditolak oleh orang yang dikasihi, keluarga atau
sahabat hanya sedikit orang yang dapat bertahan. Sudah tak terbilang lagi
cerita orang menjadi nekad atau rela menghabisi nyawa oleh karena tertolak.
Ada banyak bentuk dari
penolakan. Bisa melalui tutur kata - biasanya ini yang paling banyak -,
mendiamkan, bahasa tubuh, atau sikap. Tentu, ada pelbagai alasan pembenaran bagi
orang yang menolak keberadaan kerabatnya. Umumnya ada dua hal. Pertama, tidak
mau menanggung kerugian atau risiko yang membahayakan. Kedua, tidak mau
dipermalukan.
Seorang ayah tidak lagi mampu
menasihati anaknya yang sering melakukan tindakan kriminal. Akhirnya, ia menulis
iklan di surat kabar yang bunyinya mulai tanggal terbitnya harian itu hubungan
dirinya dengan sang anak terputus. Segala perbuatan yang dilakukan si anak
bukan lagi merupakan tanggung jawabnya. Jelas, si ayah tidak mau mengambil
risiko dari perbuatan anaknya. Lain lagi dengan Ibu B. Ia punya tiga orang anak.
Si sulung berkebutuhan khusus, sejak kecil anak ini dititipkan di sebuah panti yang
merawat anak-anakk berkebutuhan khusus itu. Setiap orang yang bertanya
kepadanya tentang berapa anak yang ada padanya, ia selalu menjawab, "Saya
punya dua orang anak." Anaknya yang sulung tidak pernah diakuinya,
belakangan ia mengatakan, "Belum siap." Ibu B, belum siap menerima
kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus pada pihak lain, si anak merasa
ditolak oleh orang tuannya sendiri yang merasa malu. Penolakan bisa juga dalam
bentuk lebih halus. Ketika orang tua lebih banyak menceritakan keberhasilan
salah satu anaknya yang berprestasi tapi ia menutup rapat kisah kegagalan
anaknya yang lain, pada dasarnya orang tua tersebut menolak sang anak yang
kurang berhasil itu.
Setelah konflik dengan kaum
Farisi lantaran Yesus dianggap melanggar kekudusan Sabat, semua gerak-gerik-Nya
selalu diamati. Bahkan, kali ini tidak hanya diamati atau dikritik melainkan
dituduh bersekutu dengan Setan. Sangat mudah bagi kaum Farisi dan kroni mereka
untuk membangun opini negatif tentang Yesus. Alasan pelanggaran Sabat dan
penghujatan merupakan isu seksi untuk digoreng. Kini, gorengan itu bertambah
lezat dengan pelintiran bahwa kuasa-Nya berasal dari Setan! Perlawanan terhadap
Yesus dilakukan dalam pelbagai lini, Injil Markus mencatat ada yang melawan
secara terbuka, ada yang tidak setia dan tidak mengerti apa yang aiajarkan
Yesus. Namun, secara khusus Markus menegaskan bahwa sikap tidak baik terhadap
Yesus itu datang bukan hanya dari kelompok Farisi, ahli-ahli Taurat, para
pendukung Herodes, penduduk Nazaret, dan pemimpin di Yerusalem, melainkan juga
khalayak, bahkan dari keluarga-Nya sendiri.
Sikap tidak ramah terhadap
Yesus tentu saja tidak sama rata. Sikap penduduk Nazaret - kampun Yesus - tidak
dapat disamakan dengan sikap permusuhan orang-orang Farisi atau imam-imam
kepala dan para ahli Taurat atau pun dengan ketegaran hati para murid Yesus
sendiri. Tidak semua ahli Taurat dan tidak semua anggota Mahkamah Agama
memusuhi Yesus. Sikap keluarga Yesus tidak dapat disamakan juga dengan para
penuduh Yesus yang diperkenalkan dalam Markus 3:22. Meski demikian, apa yang
akan kita rasakan seandainya kita ada pada posisi Yesus? Bayangkan Anda digugat,
dituduh oleh musuh, tidak difahami oleh para sahabat, dan dianggap tidak waras
oleh keluarga? Menyakitkan!
Setelah konfliks
"Sabat" Yesus pulang ke Kapernaum dan berada di rumah yang
terus-menerus dikerumuni orang banyak sehingga makan pun tidak sempat (Markus
3:20). Sangat mungkin kerabat keluarga Yesus terpengaruh dengan opini hoax yang disebarkan oleh orang-orang
yang menolak-Nya. Opini itu begitu kuat sehingga keluarga-Nya beranggapan bahwa
Yesus sudah lupa diri, kehilangan reverensi Yudaisme. Yesus sudah tidak waras!
Otoritas tertinggi dari
ibukota telah menunuh Yesus sudah kerasukan setan. Ia melakukan
pengusiran-pengusiran roh-roh jahat dengan kuasa Beelzebul, pemimpin roh-roh
setan itu. Padahal, Yesus justeru melarang mereka berbicara. Perjuangan Yesus
melawan kuasa roh-roh jahat melalui eksorsisme, penyembuhan orang sakit, dan
pemberian pengampunan kepada orang yang berdosa, semuanya dideskriditkan
sebagai tindakan sihir yang bersekutu dengan kuasa gelap. Apa yang Yesus
lakukan dalam Kuasa Roh Kudus, oleh kaum penentang-Nya ditolak dan dipandang
sebagai perbuatan setan. Menyakitkan!
Perbuatan orang baik tidak
jarang disalahkan oleh mereka yang iri hati dan membencinya. Apa yang dilakukan
Yesus dalam kuasa Roh Allah dituding oleh pemuka masyarakat sebagai karya
setan. Perbuatan yang membebaskan orang dari belenggu kejahatan, difitnah
sebagai perbuatan Iblis. Roh Kudus yang mendorong seluruh pelayanan Yesus
disalahkan sebagai roh jahat. Dosa Roh Kudus seperti itu tidak dapat diampuni,
karena si pendosa telah menutup diri terhadap segala karunia Allah, termasuk
penyesalan, belas kasihan, dan pengampunan, dengan menolak Roh Allah.
Seandainya Yesus memang
mengusir setan dengan kuasa penghulu setan, kerajaan iblis terpecah dan
mestinya tidak bertahan. Padahal, dari dulu sampai sekarang kekuatan setan
masih bertahan dan tetap mampu meraik manusia ke dalam genggamannya. Dalam
bahasa perumpamaan, Yesus menjelaskan mengapa kuasa iblis kini mulai
digoyangkan. Sebagai orang yang lebih kuat, Yesus telah mengikat pemilik rumah
(Beel - zebul = "tuan
rumah") dan dengan bebas dapat merampas isi rumahnya. Pemilik rumah yang
kuat dalam perumpamaan ini adalah Beelzebul, dan harta bendanya adalah semua
orang yang ada dalam genggamannya, yakni orang-orang yang kerasukan roh jahat,
berdosa, sakit, dan seterusnya. Mereka dapat dilepaskan dengan kuasa-Nya.
Inilah keturunan Hawa yang membebaskan manusia dari belenggu dosa (bacaan
pertama Minggu biasa ke-10 tahun B: Kej. 3:9-15).
Yesus bukan seperti kebanyakan
orang. Meski mengalami pelbagai penolakan yang menyakitkan, termasuk dalam
keluarga-Nya sendiri, Ia terus melanjutkan misi pembebasan-Nya. Kini, Yesus
bukanlah milik dari keluarga fisik-Nya dan saudara-saudara-Nya yang lahiriah.
Sebaliknya, Ia menegaskan kitalah saudara-saudari-Nya yang sesungguhnya bila
sama seperti Dia - melakukan kehendak Bapa-Nya. Kita ini menjadi keluarga-Nya
yang baru. Kita akan disebut "ibu
Yesus" - sama seperti yang dikatakan Fransiskus dari Asisi - kita
"melahirkan kembali" kepada
dunia melalui tindakan-tindakan yang bercahaya bagi orang lain (Surat I Kepada Kaum Beriman, 10).
John Calvin melihat gereja
sebagai bentuk feminis. Calvin
melihat bahwa Gereja yang sebenarnya adalah ibu
yang membina dan memelihara anak-anaknya
dalam iman. Iman itulah yang seharus berbuah. Buahnya tidak tergantung dari
sikap atau perlakuan pihak lain. Namun, bersumber dan bertumbuh dalam Kristus. Gereja
harus melanjutkan misi Kristus. Meski ada banyak penolakan, fitnah, perlakuan
tidak ramah gereja - yang adalah juga sebagai tubuh Kristus - tidak boleh
"sakit hati " atau mutung. Jadi
"Bila ditolak dan dilukai", berlakulah seperti Yesus.
Gereja adalah kita : Anda dan
saya! Gereja tidak boleh menolak siapa pun yang datang kepadanya. Ia harus
merangkul dengan cinta kasih Allah. Ia harus bagai ibu yang dalam dekapannya semua anak manusia menjadi tenang dan
teduh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar