Bayangkan dunia tanpa aturan.
Kacau balau! Orang akan bertindak semaunya, yang penting apa yang menjadi
kebutuhan dan keinginanku terpenuhi. Lalu lintas tanpa rambu dan aturan pasti
menimbulkan banyak kecelakaan. Angkutan darat, laut, udara tanpa peraturan
membuahkan petaka. Sebuah komunitas tanpa undang-undang pasti kacau balau.
Sebaliknya, menjadikan undang-undang atau peraturan sebagai tujuan dan di atas
segala-galanya merupakan sebuah penindasan terhadap kemanusiaan. Orang menjadi
tertekan hanya untuk memenuhi hukum-hukum tertentu.
Agama, tidak lepas dari
setumpuk peraturan. Bayangkan, jika sebuah agama tidak ada kaidah atau aturan
tentang ritual, ibadah, ataupun pedoman-pedoman dalam aplikasi hidup
sehari-hari. Apa jadinya jika semua orang bebas mengekspresikan sikap imannya.
Kacau! Sebaliknya, jika aturan itu terlalu rijid, kaku dan mutlak maka
kehidupan keagamaan terasa kaku dan beku.
Orang Farisi digambarkan
sebagai kelompok orang yang berusaha menaati hukum dan tradisi secara ketat
karena mereka yakin bahwa semua itu berasal dari Allah melalui Musa. Terdorong
oleh keinginan untuk setia pada hukum Tuhan, mereka berusaha untuk menjalaninya
seteliti mungkin. Untuk menjalankan Hukum Taurat, mereka pun menerima
peraturan-peraturan yang dibuat sebagai tuntunan untuk menjalankannya.
Dalam Injil, mereka digambarkan sebagai
orang-orang yang selalu menentang Yesus. Mereka melihat Yesus sebagai ancaman
karena secara terang-terangan justeru mengajarkan "pelanggaran" pada
Hukum Taurat. Misalnya, memetik gandum dan menyembuhkan orang pada Hari Sabat
serta menyatakan bahwa tidak ada makanan yang membuat orang menjadi najis. Selain
itu, Yesus mengutuk ajaran dan kemunafikan mereka karena mereka tidak melakukan
apa yang mereka ajarkan. Semua itu membuat orang Farisi marah dan memandang-Nya
sebagai orang yang melecehkan Hukum Taurat.
Peraturan Sabat dalam Injil
Markus menjadi pemicu konfliks pertama antara Yesus dan kalangan Farisi. Kata Sabat berarti "berhenti" atau
"beristirahat" (Kel.16:29-30; 23:12). Perintah untuk mengingat dan
menguduskan Hari Sabat disampaikan dalam Keluaran 20 dan Ulangan 5, namun
keduanya memberi motivasi berbeda. Kel. 20 mengacu pada karya penciptaan Allah.
Umat Israel harus beristirahat pada hari ketujuh karena pada hari itu Allah
juga beristirahat setelah enam hari menciptakan alam semesta. Sementara Ul. 5
mengacu kepada kenyataan bahwa mereka pernah mengalami hidup tanpa istirahat,
yakni ketika diperbudak di Mesir. Hari Sabat adalah hari istirahat yang
dianugerahkan Allah. Oleh karena itu mereka pun harus memberikan istirahat
kepada budak dan ternak mereka. Berdasarkan perintah untuk mengingatkan dan
menguduskan Sabat itu, para ahli hukum agama Yahudi memberikan rincian mengenai
kegiatan yang dilarang dan dianjurkan.
Kegiatan yang dilarang pada Hari Sabat
Berdasarkan Misnah (catatan
hukum lisan yang merupakan penjelasan Hukum Taurat) terdapat 39 kegiatan yang
tidak boleh dilakukan pada Hari Sabat. Ke-39 kegiatan itu dibagi menjadi empat
kelompok.
Kelompok I
menyangkut kegiatan yang
diperlukan untuk membuat roti: 1. Menabur, 2. Membajak, 3. Menuai, 4. Mengikat
berkas, 5. Mengirik, 6. Menampi, 7. Memilih, 8. menggiling, 9. Mengayak tepung,
10. Membuat adonan, 11. Membakar/memanggang.
Kelompok II
menyangkut kegiatan yang
diperlukan untuk membuat pakaian: 12. Menggunting wol, 13. Mencuci wol, 14.
Memukuli wol, 15. Mewarnai wol, 16. Memintal, 17. Menenun, 18. Membuat dua
simpul, 19. Menenun dua lembar benang, 20. memisahkan dua lembar benang, 21.
Mengikat, 22. Melepaskan ikatan, 23. Menjahit, 24. Merobek.
Kelompok III
menyangkut kegiatan yang diperlukan
untuk barang-barang dari kulit: 25. Memasang jerat, 26. Menyembelih, 27.
Menguliti, 28. Menyamak kulit, 29. Menggosok kulit, 30. Menandai kulit, 31.
Memotong kulit, 32. Menulis dua huruf atau lebih, 33. Menghapus dua huruf atau
lebih.
Kelompok IV
menyangkut kegiatan yang
diperlukan untuk membuat bangunan: 34. Membangun, 35. Membongkar, 36.
Memadamkan api, 37. Menyalakan apii, 38. Memberikan sentuhan terakhir kepada
sebuah benda, 39. Memindahkan benda dari tempat pribadi ke tempat umum, atau
sejauh dua meter di tempat umum.
Kegiatan yang dianjurkan pada Hari Sabat
Kegiatan yang dianjurkan pada
Hari Sabat, antara lain: 1. Merayakan Hari Sabat bersama dengan anggota
keluarga terdekat, 2. Menghadiri kegiatan doa di sinagoge, 3. Mengunjungi
keluarga atau sahabat (yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki), 4. Menerima
tamu, 5. Menyanyikan lagu-lagu khusus untuk Hari Sabat, 6. Membaca,
mempelajari, mendiskusikan Taurat (dan tafsirnya).
Dalam suatu perjalanan pada
Hari Sabat, murid-murid Yesus memetik bulir gandum (Markus 2:23) untuk dimakan
pada saat itu juga. Menurut Hukum Taurat (Ul.23:25), orang lapar ketika
melewati ladang orang lain boleh memetik bulir gandum dengan tangan (tanpa
memakai sabit) asalkan langsung dimakan. Akan tetapi menurut tafsir Taurat kaum
Farisi, sebulir pun tidak boleh dipetik pada
Hari Sabat, sebab hal itu dapat dipandang sebagai pekerjaan penuaian yang
dilarang pada Hari Sabat. Bila hal itu dilakukan dengan sengaja, hukumannya
harus dilempar dengan batu (Misnah,
Sanhedrin 7:4).
Yesus menangggapi keberatan
orang farisi itu dengan mengingatkan mereka pada kasus Daud dan para
pengikutnya dalam 1 Samuel 21:1-6. Daud
bersama para pengikutnya melarikan diri dari kejaran Saul. Dalam pelarian itu
Daud dan para pengikutnya sampai di Nob, tempat Abyatar bertugas sebagai imam.
Mereka kelaparan dan memerlukan makanan supaya dapat bertahan hidup. Daud pun
mendatangi sang imam di rumah Allah untuk meminta makanan bagi dirinya sendiri
dan para pengikutnya. Ternyata tidak ada makanan di tempat itu, selain roti
sajian yang hanya boleh dimakan oleh para imam. Daud tahu bahwa drinya bukan
imam, tetapi demi keselamatan diri dan pengikutnya, Daud memakan roti sajian
itu dan memberikannya kepada para pengikutnya. Yesus mengingatkan jika Daud dan
Abyatar lebih memerhatikan pertimbangan kemanusiaan ketimbang peraturan. Bagi
mereka keselamatan manusia lebih penting daripada ketaatan terhadap peraturan.
Karena alasan yang sama, Yesus tidak melarang para murid-Nya memetik gandum
sekali pun itu dilakukan pada Hari Sabat.
Yesus mengakhiri jawaban-Nya
dengan sebuah sabda "Kristologi". Anak
Manusia adalah Tuhan atas Hari Sabat (Mrk.2:28). Gelar Anak Manusia di sini
- seperti dalam 2:10 berkaitan dengan kuasa mengampuni dosa. Sekarang Tuhan
atas Hari Sabat itu menyatakan kembali hakikat Sabat semula, yaitu: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan
bukan manusia untuk Hari Sabat."(ay.27).
Konflik selanjutnya berkenaan
dengan Sabat terjadi di dalam rumah ibadat. Ada orang sakit disembuhkan Yesus.
Tindakan penyembuhan sama dengan profesi seorang tabib - menurut tradisi kaum
Farisi dilarang keras pada Hari Sabat, kecuali dalam keadaan bahaya maut (Mishna, Yoma 8:6). Nah, di sini orang
itu hanya sakit mati sebelah tangannya, bukan berhadapan dengan bahaya maut.
Oleh karena itu untuk kasus ini Yesus bisa dihadapkan ke pengadilan dan dihukum
mati (Kel.31:14). Lalu Yesus menjawab, "Manakah yang diperbolehkan pada Hari Sabat, berbuat baik atau berbuat
jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang? (3:4). Petanyaan
retoris Yesus ini menyingkapkan kedok para lawan-Nya yang jelas-jelas bertindak
bertolak belakang dengan maksud penyelamatan Allah. Kekerasan hati mereka tidak
mau mengakui pelanggaran mereka terhadap maksud penyelamatan Hari Sabat,
membuat Yesus sedih, bahkan marah (3:5).
Tanpa membatalkan Hukum
Taurat, Yesus membebaskan kita dari belenggu hurufiah. Ia menjaga agar
keselamatan manusia, yang menjadi tujuan dari Hari Sabat dan hukum Allah pada
umumnya, tidak menjadi korban penerapan hukum secara harafiah, bahkan kejam.
Ukuran Yesus untuk menerapkan sebuah hukum menurut maksud Allah ialah
"berbuat baik dan menyelamatkan orang". Cara itu sudah ditunjukkan oleh Daud kepada
para pengikutnya. Demikian juga dilakukan Yesus bagi murid-murid-Nya ketika lapar.
Penerapan hukum hendaknya membawa damai sejahtera bukan saja untuk si pemegang
otoritas hukum, melainkan untuk semua orang dan meringankan penderitaan orang
yang berkesusahan. Sudah seharusnya, gereja tidak menjadi kaku dan beku dengan
hukum, melainkan - sama seperti Yesus - menolong orang berjumpa dengan kasih
Allah dan menjadikan damai sejahtera di atas huruf-huruf hukum itu.
Jakarta, Sabat untuk Semua 31
Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar