Hari Minggu sesudah Pentakosta
biasanya disebut Minggu Trinitas. Gereja mengingat, merayakan dan mensyukuri
kasih Allah yang mau menyatakan diri dalam cara yang unik, lugas, tegas
sekaligus eksistensial. Trinitas: Bapa, Anak, Roh Kudus. Ketiga-Nya adalah satu
namun pada saat yang sama berbeda dalam cara menyapa dan mengasihi kita.
Bapa, demikian kita memanggil-Nya,
oleh karena Dialah Allah yang menciptakan segala yang ada. Tidak hanya itu -
seperti halnya sifat dasariah orang tua - Bapa adalah Allah yang memelihara
kehidupan. Anak, yang dimaksudkan adalah Yesus Kristus. Melalui Dia-lah kita
mengenal kasih sayang dan kehendak Sang Bapa. Yesuslah yang sempurna
menerjemahkan kasih dan kehendak Bapa dalam hidup-Nya. Sehingga Firman itu
telihat, teraba, terasa dan nyata. Suatu ketika Filipus bertanya, "Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami,
itu sudah cukup bagi kami." Lalu Yesus menjawabnya, "Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus,
namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat AKu, ia telah
melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami.
Tidak percayakah engkau, bahwa AKu di dalam Bapa dan Bapa di dalam AKu? Apa
yang Aku katakan kepadamu, tidak AKu katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa
yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya. Percayalah
kepada-Ku, bahwa AKu di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku;.." (Yohanes
14:8-11). Figur yang berikut adalah Roh Kudus. Melalui karya Roh Kudus kita
mengenal kebenaran. Kita dituntun untuk melihat karya kasih Bapa di dalam diri
Yesus Kristus sehingga kita dapat memercayai-Nya sebagai Firman yang hidup dan
menghidupkan. Roh Kudus juga adalah Allah yang menolong memberi kekuatan dan
penghiburan dalam masa-masa sulit kehidupan kita terutama ketika kita menjawab
panggilan sebagai saksi-saksi-Nya. Sederhananya, Bapa kita mengenal Allah yang
di atas. Anak adalah Allah yang menjadi manusia dan bersahabat dengan kita. Roh
Kudus adalah Allah yang ada dan bekerja di dalam diri kita.
Tampaknya pemahaman ini tidak
sederhana ketika kita mengatakan bahwa Allah itu Esa namun, nyatanya Yang Esa
itu mengungkapkan eksistensi-Nya dengan tiga cara dan figur yang berbeda. Lalu
bagaimana menjelaskannya?
Masih segar dalam ingatan saya
ketika mengikuti kelas katekisasi. Pada saat itu pendeta yang mengajar kami
menjelaskan konsep Trinitas menggunakan analogi matahari. Allah diibaratkan
sebagai matahari sebagai sumber terang yang dapat dilihat. Anak diumpamakan
sebagai sinar - bagaikan perantara dari Bapa kepada umat manusia di bumi,
sedangkan Roh Kudus menjadi energi dan panas yang dapat membakar, menguatkan
dan membantu manusia untuk mengerjakan kesaksian sesuai dengan firman Allah.
Allah Tritugal itu meski secara fungsi berbeda, tetapi ketiga-Nya merupakan
satu identitas yang tidak dapat dipisahkan satu terhadap yang lain.
Dalam aspek-aspek
"fungsional" atau peran/cara Allah menyapa dan mengasihi kita,
penggambaran itu tentu sangat menolong kita untuk mengerti. Namun, masalahnya
penjelasan konsep Trinitas memakai analogi matahari akan menemui kesulitan
manakala keberadaan Allah Tritunggal yang kita kenal dalam kesaksian Alkitab
itu ternyata saling berelasi satu dengan yang lain. Contoh, salah satu frase
doa Yesus dalam Yohanes 17:21, "...,
sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan AKu di dalam Engkau, agar mereka
juga di dalam Kita,supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang mengutus
Aku." Di sini terdapat dialog antara si pendoa (Yesus) dan yang dituju
dalam doa itu (Bapa). Dalam doa ini tergambar hubungan Sang Bapa dengan Sang
Anak saling berganting dan saling mengisi. Ketika "Bapa di dalam
Aku", berarti peran Yesus yang terlihat dari luar. Namun, ketika "Aku
(Yesus) di dalam Engkau (Bapa), itu berarti peran Bapa lah yang menonjol.
Hubungan Yesus dengan Bapa-Nya
merupakan hubungan yang saling melengkapi, mengisi, tetapi juga memberi ruang
antara yang satu dengan yang lainnya. Ada kalanya peran Allah Bapa terlihat
begitu dominan, misalnya pada kisah-kisah penciptaan dan pemeliharaan atas
umat-Nya dalam peristiwa keluaran atau pembuangan. Tetapi di waktu yang lain
peran Yesus begitu kuat. Contoh di sepanjang hidup-Nya sehingga tepatlah Dia
disebut Firman yang hidup. Demikian juga dengan peran Roh Kudus, Ia begitu
tampak luar biasa dalam peristiwa Pentakosta dan sesudahnya. Roh Kudus jugalah
yang menolong gereja di segala abad untuk dapat bersaksi. Namun, meski begitu,
ketiga-Nya dapat hadir dalam waktu bersamaan sehingga kita sangat sulit untuk
mengurainya.
Melihat karya Allah dalam
Trinitas yang tidak statis namun dinamis ini, maka bapa-bapa Gereja di
abad-abad pertama mencoba mencari
analogi untuk menjelaskan konsep Trinitas dengan bahasa yang mudah
dimengerti. Adalah Gregory dari Nazianus sekitar tahun 390 memakai istilah perichoresis
untuk menjelaskan konsep tentang Trinitas.
Perichoresis berasal dari dua
kata Yunani yang digabungkan, yakni peri
dan chorein. Peri merupakan sebuah kata awalan (prefix) yang mengandung pengertian "berputar" atau
"memutar" bisa juga bermakna "berada di sekeliling" atau
"mengelilingi" dan yang serupa dengan itu. Sedangkan chorein yang merupakan akar kata choreo. Hari ini kita mengenal
pengembangan dari kata ini choreography (Ind:
koreografi).
Perichoresis merupakan sebuah tarian berkelompok yang setidaknya
berjumlah tiga orang atau lebih dan secara umum dilakukan pada posisi
melingkar. Tarian ini merupakan tarian yang diawali dengan gerakan lembut, akan
tetapi perlahan tapi pasti semakin cepat. Seiring dengan naiknya tempo tarian,
maka akan ada satu titik ketika sang penari tidak dapat diidentifikasi lagi
dengan baik secara personal - melainkan sebagai sebuah keterpaduan gerak dari
sekelompok orang. Namun, di sela-sela gerakan yang cepat ini, terdapat waktu
yang singkat ketika seorang individu muncul secara menonjol, meski tidak dapat
dilihat secara utuh (mungkin hanya warna pakaiannya ataupun sebagian anggota
tubuhnya). Keberadaan individu yang dapat diamati ini akan silih berganti
dengan cepat, begitu seterusnya.
Gregory dari Nazianus memakai
istilah perichoresis sebagai gerakan
memutar yang saling mengisi dan memberi ruang. Disertai dengan pergantian
identitas yang silih berganti menjadi gambaran yang cocok untuk menjelaskan
peran dan relasi antara Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus.
JIka Trinitas itu digambarkan
dengan perichoresis, sebuah tarian
melingkar, tarian sukacita yang dinamis, tarian yang mentranformasi manusia
"lama" menjadi ciptaan baru, maka mestinya, "tarian" itu
sedapat-dapatnya harus dirasakan oleh sebanyak mungkin orang. Bukankah hal ini
juga yang menjadi kerinduan Yesus dalam doa-Nya. Ia menghendaki
"tarian" (baca: persekutuan yang saling mengisi dan memberi ruang)
ini dapat dirasakan juga oleh para murid-Nya, "...supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti engkau ya Bapa, di
dalam AKu dan AKu di dalam Engkau..." (Yoh.17:21) dan tentu saja
ujungnya adalah "tarian" perichoresis
ini akan menyentuh dunia. Dunia yang membenci mereka harus dihadapi bukan dengan
cara dunia (kejahatan dibalas dengan kejahatan atau kekerasan dibalas dengan
kekerasan), melainkan dengan cara perichoresis
(sama seperti relasi Bapa, Anak, Roh Kudus). Pertama-tama, Yesus menghendaki
para murid mewujudkannya dalam sebuah komunitas yang indah. Selanjutnya, komunitas yang telah dibangun
berdasarkan iman terhadap Trinitas inilah yang diutus menjadi saksi-saksi-Nya.
Iman percaya kepada Trinitas
itu berarti kita diajak dan mau memasuki "tarian": perichoresis. Ketika kita masuk ke dalam
relasi dengan Yesus dan mengikuti-Nya, kita menerima hidup yang ada dalam diri-Nya,
yaitu hidup yang berelasi begitu erat dengan Bapa-Nya. Ketika kita bertumbuh
dalam persahabatan dan kesatuan dengan Yesus, kita mulai mengenali hidup kekal.
Dalam kisah percakapan dengan Nikodemus, Yesus menyatakan bahwa kalau kita
percaya kepada-Nya, kita akan mempunyai hidup kekal. Hidup kekal yang dimaksud
tidak hanya berkaitan dengan sesuatu sesudah kematian. Hidup kekal adalah
ketika kita terhisab dalam perichoresis.
Dalam "tarian" itu, kita akan melihat orang lain seperti Yesus
melihat mereka. Kita mulai mencintai mereka seperti Yesus mencintai mereka.
Hidup beriman kepada Trinitas membuat kita tinggal dalam Yesus dan Yesus dalam
diri kita. Inilah perichoresis kita.
Apa yang kita lakukan seperti yang Yesus lakukan, terkadang orang tidak lagi
melihat diri kita, melainkan Yesus yang ada di dalam kita. Semakin dalam
persekutuan perichoresis itu, semakin
larut dan tenggelam maka kita akan mengalami pembaruan hidup.
Dan sesudah dibarui, hidup
kita - seperti yang dikatakan Paulus (Roma 8) - akan dipimpin oleh Roh sehingga
dapat mengerjakan hal-hal yang menurut perhitungan manusiawi tidak mungkin
dilakukan dengan kekuatan sendiri yakni, mencintai musuh, mengampuni dengan
pengampunan tanpa batas, murah hati seperti Bapa yang murah hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar