Kamis, 24 Mei 2018

MENGIMANI TRINITAS, MEMBANGUN KOMUNITAS


Hari Minggu sesudah Pentakosta biasanya disebut Minggu Trinitas. Gereja mengingat, merayakan dan mensyukuri kasih Allah yang mau menyatakan diri dalam cara yang unik, lugas, tegas sekaligus eksistensial. Trinitas: Bapa, Anak, Roh Kudus. Ketiga-Nya adalah satu namun pada saat yang sama berbeda dalam cara menyapa dan mengasihi kita.

Bapa, demikian kita memanggil-Nya, oleh karena Dialah Allah yang menciptakan segala yang ada. Tidak hanya itu - seperti halnya sifat dasariah orang tua - Bapa adalah Allah yang memelihara kehidupan. Anak, yang dimaksudkan adalah Yesus Kristus. Melalui Dia-lah kita mengenal kasih sayang dan kehendak Sang Bapa. Yesuslah yang sempurna menerjemahkan kasih dan kehendak Bapa dalam hidup-Nya. Sehingga Firman itu telihat, teraba, terasa dan nyata. Suatu ketika Filipus bertanya, "Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami." Lalu Yesus menjawabnya, "Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat AKu, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. Tidak percayakah engkau, bahwa AKu di dalam Bapa dan Bapa di dalam AKu? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak AKu katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya. Percayalah kepada-Ku, bahwa AKu di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku;.." (Yohanes 14:8-11). Figur yang berikut adalah Roh Kudus. Melalui karya Roh Kudus kita mengenal kebenaran. Kita dituntun untuk melihat karya kasih Bapa di dalam diri Yesus Kristus sehingga kita dapat memercayai-Nya sebagai Firman yang hidup dan menghidupkan. Roh Kudus juga adalah Allah yang menolong memberi kekuatan dan penghiburan dalam masa-masa sulit kehidupan kita terutama ketika kita menjawab panggilan sebagai saksi-saksi-Nya. Sederhananya, Bapa kita mengenal Allah yang di atas. Anak adalah Allah yang menjadi manusia dan bersahabat dengan kita. Roh Kudus adalah Allah yang ada dan bekerja di dalam diri kita.

Tampaknya pemahaman ini tidak sederhana ketika kita mengatakan bahwa Allah itu Esa namun, nyatanya Yang Esa itu mengungkapkan eksistensi-Nya dengan tiga cara dan figur yang berbeda. Lalu bagaimana menjelaskannya?

Masih segar dalam ingatan saya ketika mengikuti kelas katekisasi. Pada saat itu pendeta yang mengajar kami menjelaskan konsep Trinitas menggunakan analogi matahari. Allah diibaratkan sebagai matahari sebagai sumber terang yang dapat dilihat. Anak diumpamakan sebagai sinar - bagaikan perantara dari Bapa kepada umat manusia di bumi, sedangkan Roh Kudus menjadi energi dan panas yang dapat membakar, menguatkan dan membantu manusia untuk mengerjakan kesaksian sesuai dengan firman Allah. Allah Tritugal itu meski secara fungsi berbeda, tetapi ketiga-Nya merupakan satu identitas yang tidak dapat dipisahkan satu terhadap yang lain.

Dalam aspek-aspek "fungsional" atau peran/cara Allah menyapa dan mengasihi kita, penggambaran itu tentu sangat menolong kita untuk mengerti. Namun, masalahnya penjelasan konsep Trinitas memakai analogi matahari akan menemui kesulitan manakala keberadaan Allah Tritunggal yang kita kenal dalam kesaksian Alkitab itu ternyata saling berelasi satu dengan yang lain. Contoh, salah satu frase doa Yesus dalam Yohanes 17:21, "..., sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan AKu di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita,supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang mengutus Aku." Di sini terdapat dialog antara si pendoa (Yesus) dan yang dituju dalam doa itu (Bapa). Dalam doa ini tergambar hubungan Sang Bapa dengan Sang Anak saling berganting dan saling mengisi. Ketika "Bapa di dalam Aku", berarti peran Yesus yang terlihat dari luar. Namun, ketika "Aku (Yesus) di dalam Engkau (Bapa), itu berarti peran Bapa lah yang menonjol.

Hubungan Yesus dengan Bapa-Nya merupakan hubungan yang saling melengkapi, mengisi, tetapi juga memberi ruang antara yang satu dengan yang lainnya. Ada kalanya peran Allah Bapa terlihat begitu dominan, misalnya pada kisah-kisah penciptaan dan pemeliharaan atas umat-Nya dalam peristiwa keluaran atau pembuangan. Tetapi di waktu yang lain peran Yesus begitu kuat. Contoh di sepanjang hidup-Nya sehingga tepatlah Dia disebut Firman yang hidup. Demikian juga dengan peran Roh Kudus, Ia begitu tampak luar biasa dalam peristiwa Pentakosta dan sesudahnya. Roh Kudus jugalah yang menolong gereja di segala abad untuk dapat bersaksi. Namun, meski begitu, ketiga-Nya dapat hadir dalam waktu bersamaan sehingga kita sangat sulit untuk mengurainya.

Melihat karya Allah dalam Trinitas yang tidak statis namun dinamis ini, maka bapa-bapa Gereja di abad-abad pertama mencoba mencari  analogi untuk menjelaskan konsep Trinitas dengan bahasa yang mudah dimengerti. Adalah Gregory dari Nazianus sekitar tahun 390 memakai   istilah perichoresis untuk menjelaskan konsep tentang Trinitas.

Perichoresis berasal dari dua kata Yunani yang digabungkan, yakni peri dan chorein. Peri merupakan sebuah kata awalan (prefix) yang mengandung pengertian "berputar" atau "memutar" bisa juga bermakna "berada di sekeliling" atau "mengelilingi" dan yang serupa dengan itu. Sedangkan chorein yang merupakan akar kata choreo. Hari ini kita mengenal pengembangan dari kata ini choreography (Ind: koreografi).

Perichoresis merupakan sebuah tarian berkelompok yang setidaknya berjumlah tiga orang atau lebih dan secara umum dilakukan pada posisi melingkar. Tarian ini merupakan tarian yang diawali dengan gerakan lembut, akan tetapi perlahan tapi pasti semakin cepat. Seiring dengan naiknya tempo tarian, maka akan ada satu titik ketika sang penari tidak dapat diidentifikasi lagi dengan baik secara personal - melainkan sebagai sebuah keterpaduan gerak dari sekelompok orang. Namun, di sela-sela gerakan yang cepat ini, terdapat waktu yang singkat ketika seorang individu muncul secara menonjol, meski tidak dapat dilihat secara utuh (mungkin hanya warna pakaiannya ataupun sebagian anggota tubuhnya). Keberadaan individu yang dapat diamati ini akan silih berganti dengan cepat, begitu seterusnya.

Gregory dari Nazianus memakai istilah perichoresis sebagai gerakan memutar yang saling mengisi dan memberi ruang. Disertai dengan pergantian identitas yang silih berganti menjadi gambaran yang cocok untuk menjelaskan peran dan relasi antara Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

JIka Trinitas itu digambarkan dengan perichoresis, sebuah tarian melingkar, tarian sukacita yang dinamis, tarian yang mentranformasi manusia "lama" menjadi ciptaan baru, maka mestinya, "tarian" itu sedapat-dapatnya harus dirasakan oleh sebanyak mungkin orang. Bukankah hal ini juga yang menjadi kerinduan Yesus dalam doa-Nya. Ia menghendaki "tarian" (baca: persekutuan yang saling mengisi dan memberi ruang) ini dapat dirasakan juga oleh para murid-Nya, "...supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti engkau ya Bapa, di dalam AKu dan AKu di dalam Engkau..." (Yoh.17:21) dan tentu saja ujungnya adalah "tarian" perichoresis ini akan menyentuh dunia. Dunia yang membenci mereka harus dihadapi bukan dengan cara dunia (kejahatan dibalas dengan kejahatan atau kekerasan dibalas dengan kekerasan), melainkan dengan cara perichoresis (sama seperti relasi Bapa, Anak, Roh Kudus). Pertama-tama, Yesus menghendaki para murid mewujudkannya dalam sebuah komunitas yang indah.  Selanjutnya, komunitas yang telah dibangun berdasarkan iman terhadap Trinitas inilah yang diutus menjadi saksi-saksi-Nya.



Iman percaya kepada Trinitas itu berarti kita diajak dan mau memasuki "tarian": perichoresis. Ketika kita masuk ke dalam relasi dengan Yesus dan mengikuti-Nya, kita menerima hidup yang ada dalam diri-Nya, yaitu hidup yang berelasi begitu erat dengan Bapa-Nya. Ketika kita bertumbuh dalam persahabatan dan kesatuan dengan Yesus, kita mulai mengenali hidup kekal. Dalam kisah percakapan dengan Nikodemus, Yesus menyatakan bahwa kalau kita percaya kepada-Nya, kita akan mempunyai hidup kekal. Hidup kekal yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan sesuatu sesudah kematian. Hidup kekal adalah ketika kita terhisab dalam perichoresis. Dalam "tarian" itu, kita akan melihat orang lain seperti Yesus melihat mereka. Kita mulai mencintai mereka seperti Yesus mencintai mereka. Hidup beriman kepada Trinitas membuat kita tinggal dalam Yesus dan Yesus dalam diri kita. Inilah perichoresis kita. Apa yang kita lakukan seperti yang Yesus lakukan, terkadang orang tidak lagi melihat diri kita, melainkan Yesus yang ada di dalam kita. Semakin dalam persekutuan perichoresis itu, semakin larut dan tenggelam maka kita akan mengalami pembaruan hidup. 

Dan sesudah dibarui, hidup kita - seperti yang dikatakan Paulus (Roma 8) - akan dipimpin oleh Roh sehingga dapat mengerjakan hal-hal yang menurut perhitungan manusiawi tidak mungkin dilakukan dengan kekuatan sendiri yakni, mencintai musuh, mengampuni dengan pengampunan tanpa batas, murah hati seperti Bapa yang murah hati.

Jakarta, Minggu Trinitas 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar