Kamis, 17 Mei 2018

ROH KUDUS MENGOKOHKAN KEBHINEKAAN


Perayaan Pentakosta tahun ini bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, Minggu, 20 Mei 2018. Kebangkitan Nasional tidak dapat dipisahkan dari berdirinya organisasi Boedi Oetomo (20 Mei 1908) yang digagas oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo yang menanamkan kesadaran semangat nasionalisme, persatuan dan kesatuan serta kesadaran sebagai sebuah bangsa. Kesadaran itu terus berlanjut: jika Indonesia ingin merdeka, maka tidak ada jalan lain kecuali bersatu. Kesatuan merupakan benang merah yang membuat Indonesia bangkit dan merdeka. Namun, hari-hari belakangan ini, dengan eskalasi politik, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seakan digugat kembali. Ada kelompok dan pihak-pihak tertentu yang merasa paling berhak atas tanah air ini. Istilah pribumi dan asing, yang sudah dikubur dalam-dalam, kini digali lagi untuk meneguhkan politik identitas yang sudah ditinggalkan oleh negara-negara maju bahkan oleh Malaysia, tetangga kita.


Kita tidak habis pikir, bukankah sejarah mengajarkan kepada kita bahwa politik identitas dan semangat primordial (menganggap diri sendiri paling benar) adalah sumber kehancuran suatu bangsa? Lihatlah, negara-negara yang terus berkecamuk dalam peperangan: perang saudara mengatasnamakan ideologi tertentu. Tidak ada yang baik, bahkan kehancuran dan kematian yang mereka harus bayar. Tuhan tentu tidak ingin manusia yang diciptakan seturut dengan gambar dan rupa-Nya saling membinasakan. Peristiwa Pentakosta menunjukkan rahmat dan kasih Allah itu berlaku untuk semua orang, segala etnis dan bangsa! Peristiwa Pentakosta bukan hanya mengokokohkan keberagaman, melainkan juga menciptakan keberagaman itu sebagai sebuah keniscayaan dan keindahan. Bila Allah begitu menghargai keanekaragaman bahasa, mestinya setiap murid Kristus juga dapat menghargai dan memakai bahasa serta budaya manusia agar Injil dapat didengar dan diterima.

Pentakosta merupakan peristiwa penggenapan janji Yesus sebelum Ia kembali kepada Bapa-Nya. Para murid dipenuhi oleh Roh Kudus. Sekarang mereka kudus dan penuh keberanian untuk menjadi saksi Tuhan. Dengan kuasa Roh Kudus, mereka mulai berkata-kata dalam bahasa lain, selain bahasa mereka sendiri. Mereka tidak berbicara tentang percakapan sehari-hari, melainkan tentang firman Tuhan, dan puji-pujian bagi nama-Nya, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya (apophtengesthai: perkataan-perkataan yang penting dan berbobot).

Para murid adalah “alat” di tangan Tuhan supaya semua orang – yang hadir pada peristiwa itu – dari pelbagai bangsa dan bahasa mendengar serta mengerti karya kasih Allah. Allah tidak menuntut mereka untuk memahami “bahasa”-Nya, melainkan memakai bahasa-bahasa mereka sendiri. Hal ini menandakan bahwa Allah mau menyapa dan menghargai bahasa-bahasa manusia.

Peristiwa Pentakosta ditampilkan dalam suasana amat resmi. Dalam suasana itu terasa ada ketegangan antara menanti dan terpenuhinya rencana yang sudah lama dinantikan. Begitu juga ketegangan jemaat perdana dalam menatap janji Yesus Kristus yang akan segera terpenuhi dengan kehadiran Roh-Nya dalam peristiwa ini.

Pentakosta merupakan suatu pesta iman. Dirayakan pada hari kelima puluh setelah Paskah. Sering juga disebut pesta tujuh pekan. Awalnya pesta itu adalah pesta syukur atas panen raya. Tetapi lambat-laun pesta itu dijadikan kesempatan perayaan iman untuk mengenangkan kembali peristiwa Sinai, ketika Allah menyampaikan hukum-hukum-Nya (Taurat) kepada Musa. Pesta Pentakosta berkembang menjadi pembaruan janji setia akan hukum Musa. Mereka mau setia karena Allah memenuhi janji-Nya, bukan hanya dengan keberhasilan panen, melainkan juga dengan menganugerahkan Roh-Nya.

Dalam peristiwa Sinai itu perwahyuan hukum-hukum Allah disertai oleh gejala-gejala alam yang menakutkan: api, asap dan gempa  (Kel.19: 18 dst.). Kini, Pentakosta dalam Perjanjian Baru juga disertai dengan tanda-tanda luar biasa. Tanda-tanda itu adalah lidah-lidah api dan angin yang memampukan para murid menjadi saksi kekaguman dan kegembiraan iman. Mereka juga dimampukan memahami segala yang dipesankan Yesus untuk keselamatan umat manusia. Dengan cara itu, Lukas menerjemahkan kembali tradisi Pentakosta yang menunjukkan bahwa penatua Israel akhirnya juga mampu memahami apa yang menjadi pesan Allah kepada Musa agar mereka setia kepada perjanjian dengan Allah. Kesetiaan itu tampak dalam ketertiban dalam melaksanakan hukum-hukum Allah yang diwartakan oleh Musa kepada Israel. Kini “Musa Baru”, yakni Yesus Kristus, mengutus Roh-Nya untuk mendampingi para murid-Nya mengenali apa yang menjadi pesan dan perintah-Nya bagi kehidupan. Mereka berhasil “menerjemahkan” dalam bahasa yang dimengerti oleh setiap orang yang datang dari pelbagai peloksok negeri.

Pastilah dalam peristiwa itu mereka mengingat kembali apa yang disampaikan Yesus ketika Ia masih ada bersama-sama mereka.

Kisah Pentakosta ini juga menampilkan sejumlah saksi peristiwa tersebut. Banyak peziarah datang dari berbagai peloksok daerah pada perayaan itu (ingat peristiwa Pentakosta dalam Perjanjian Lama mewajibkan orang-orang Yahudi yang tinggal dipelbagai wilayah untuk datang ke Yerusalem untuk mengucap syukur pada pesta panen dan sekaligus merayakan turunnya Taurat Tuhan kepada Musa). Para peziarah inilah yang ikut hanyut dalam saksi kegembiraan dan gairah baru yang dianugerahkan Roh Kudus terhadap segala bangsa. Itulah yang kemudian akan menjadi “ladang” para murid Yesus menyampaikan Injil sampai ke ujung-ujung bumi. Berita itu menjadi berita sukacita antar lintas bangsa.

Daftar bangsa-bangsa yang dicatat Lukas ini menunjukkan bahwa Injil bukan hanya diperuntukkan satu bangsa dengan satu bahasa saja. Kisah ini menegaskan keanekaragaman dan kebhinekaan saksi peristiwa Pentakosta yang baru tersebut. Ayat-ayat ini menyebutkan 15 bangsa dan negeri. Dari wilayah-wilayah itu hadir orang-orang Yahudi dan proselit. Daftar itu mula-mula menyebutkan bangsa-bangsa yang diam di sebelah timur Palestina, di wilayah Efrat dan Tigris, kemudian wilayah sebelah barat dan di provinsi koloni Romawi, Asia Kecil dan menyusul di daerah-daerah Selatan (Mesir dan Libia) dan akhirnya disebut pusat Kerajaan Romawi. Pada masa itu di setiap daerah yang disebutkan terdapat pemukiman-pemukiman Yahudi. Mereka yang sudah berdiam turun-temurun di luar Palestina, tentu sudah terbiasa menggunakan bahasa di mana mereka tinggal. DI samping orang Yahudi dan keturunan Yahudi, ada juga dari pelbagai wilayah itu yang orang-orang lokal yang menganut Yudaisme atau proselit. Terakhir, disebutkan orang-orang Kreta (di Laut Tengah) dan orang-orang Arab.

Pada saat itu mereka dikejutkan oleh tiupan angin keras dan lidah-lidah api. Kemudian orang-orang Galilea itu berbicara kepada mereka. Semakin besarlah keheranan orang-orang yang berkumpul di Yerusalem yang berasal dari pelbagai peloksok negeri itu karena ternyata mereka mendengar orang-orang Galilea itu berbicara menggunakan bahasa mereka sendiri! Kita dapat membayangkan, mereka adalah peziarah dari pelbagai negeri, mereka ada di Yerusalem sebagai “orang asing”. Namun kini, mereka diajak bicara dadengan bahasa ibu mereka masing-masing. Hal tersebut pastinya memberi kesan yang mendalam. Apalagi, yang mereka dengar adalah berita yang teramat dasyat. Berita tentang keselamatan!

Isi dari warta gembira dirumuskan dengan singkat, yakni karya Allah yang menakjubkan. Pentakosta adalah pesta kegembiraan yang membebaskan orang untuk menyerukan karya-karya agung Allah dalam kehidupan, terutama tentang peristiwa Yesus Kristus dalam bahasa yang dapat dimengerti. Dalam pesta ini kesempatan untuk mewartakan kegembiraan itu secara penuh sudah tiba, dan para rasul mendapatkan tugas meneruskan warta gembira itu kepada segala bangsa. Roh Kudus menolong menjamin bahwa mereka yang mendengarnya mengerti dan memahami pesan yang disampaikan para rasul  itu.

Jelaslah Alkitab menyatakan bahwa bahasa mereka bisa dimengerti oleh orang-orang yang datang dari pelbagai peloksok itu bukan karena mereka sebelumnya ahli atau telah fasih menggunakan bahasa-bahasa itu. Allahlah, melalui kuasa Roh Kudus yang telah dicurahkan itu yang memampukan mereka untuk berbicara dan dimengerti oleh para pendengarnya. Allah yang menyapa dengan perantaraan para murid – orang-orang Galilea itu – tidak menuntut pendengarnya untuk terlebih dahulu belajar atau bisa berkomunikasi dalam bahasa Yahudi. Semejak dari awal, Allah tidak menuntuk manusia untuk mengerti bahasa-Nya. Melainkan Dia sendiri yang merendahkan diri-Nya menjadi manusia agar manusia mengerti bahasa cinta Bapa. Rasanya tidak berlebihan kalau Pentaskosta dipahami sebagai pesta keberagaman atau kebhinekaan yang dihargai dan diakui oleh Allah sendiri. Kini, marilah kita bergandengan tangan dengan siapa pun untuk kembali menebarkan cinta kasih dan membangun NKRI...

Jakarta, Hari Pentakosta dan Kebangkitan Nasional 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar