Perayaan Pentakosta tahun ini
bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, Minggu, 20 Mei 2018. Kebangkitan
Nasional tidak dapat dipisahkan dari berdirinya organisasi Boedi Oetomo (20 Mei
1908) yang digagas oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo yang menanamkan kesadaran
semangat nasionalisme, persatuan dan kesatuan serta kesadaran sebagai sebuah
bangsa. Kesadaran itu terus berlanjut: jika Indonesia ingin merdeka, maka tidak
ada jalan lain kecuali bersatu. Kesatuan merupakan benang merah yang membuat
Indonesia bangkit dan merdeka. Namun, hari-hari belakangan ini, dengan eskalasi
politik, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seakan digugat kembali. Ada
kelompok dan pihak-pihak tertentu yang merasa paling berhak atas tanah air ini.
Istilah pribumi dan asing, yang sudah dikubur dalam-dalam,
kini digali lagi untuk meneguhkan politik identitas yang sudah ditinggalkan
oleh negara-negara maju bahkan oleh Malaysia, tetangga kita.
Kita tidak habis pikir,
bukankah sejarah mengajarkan kepada kita bahwa politik identitas dan semangat
primordial (menganggap diri sendiri paling benar) adalah sumber kehancuran
suatu bangsa? Lihatlah, negara-negara yang terus berkecamuk dalam peperangan: perang
saudara mengatasnamakan ideologi tertentu. Tidak ada yang baik, bahkan
kehancuran dan kematian yang mereka harus bayar. Tuhan tentu tidak ingin
manusia yang diciptakan seturut dengan gambar dan rupa-Nya saling membinasakan.
Peristiwa Pentakosta menunjukkan rahmat dan kasih Allah itu berlaku untuk semua
orang, segala etnis dan bangsa! Peristiwa Pentakosta bukan hanya mengokokohkan
keberagaman, melainkan juga menciptakan keberagaman itu sebagai sebuah
keniscayaan dan keindahan. Bila Allah begitu menghargai keanekaragaman bahasa,
mestinya setiap murid Kristus juga dapat menghargai dan memakai bahasa serta
budaya manusia agar Injil dapat didengar dan diterima.
Pentakosta merupakan peristiwa
penggenapan janji Yesus sebelum Ia kembali kepada Bapa-Nya. Para murid dipenuhi
oleh Roh Kudus. Sekarang mereka kudus dan penuh keberanian untuk menjadi saksi
Tuhan. Dengan kuasa Roh Kudus, mereka mulai berkata-kata dalam bahasa lain,
selain bahasa mereka sendiri. Mereka tidak berbicara tentang percakapan
sehari-hari, melainkan tentang firman Tuhan, dan puji-pujian bagi nama-Nya,
seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya (apophtengesthai: perkataan-perkataan
yang penting dan berbobot).
Para murid adalah “alat” di
tangan Tuhan supaya semua orang – yang hadir pada peristiwa itu – dari pelbagai
bangsa dan bahasa mendengar serta mengerti karya kasih Allah. Allah tidak
menuntut mereka untuk memahami “bahasa”-Nya, melainkan memakai bahasa-bahasa
mereka sendiri. Hal ini menandakan bahwa Allah mau menyapa dan menghargai
bahasa-bahasa manusia.
Peristiwa Pentakosta
ditampilkan dalam suasana amat resmi. Dalam suasana itu terasa ada ketegangan
antara menanti dan terpenuhinya rencana yang sudah lama dinantikan. Begitu juga
ketegangan jemaat perdana dalam menatap janji Yesus Kristus yang akan segera terpenuhi
dengan kehadiran Roh-Nya dalam peristiwa ini.
Pentakosta merupakan suatu
pesta iman. Dirayakan pada hari kelima puluh setelah Paskah. Sering juga
disebut pesta tujuh pekan. Awalnya pesta itu adalah pesta syukur atas panen
raya. Tetapi lambat-laun pesta itu dijadikan kesempatan perayaan iman untuk
mengenangkan kembali peristiwa Sinai, ketika Allah menyampaikan hukum-hukum-Nya
(Taurat) kepada Musa. Pesta Pentakosta berkembang menjadi pembaruan janji setia
akan hukum Musa. Mereka mau setia karena Allah memenuhi janji-Nya, bukan hanya
dengan keberhasilan panen, melainkan juga dengan menganugerahkan Roh-Nya.
Dalam peristiwa Sinai itu
perwahyuan hukum-hukum Allah disertai oleh gejala-gejala alam yang menakutkan:
api, asap dan gempa (Kel.19: 18 dst.).
Kini, Pentakosta dalam Perjanjian Baru juga disertai dengan tanda-tanda luar
biasa. Tanda-tanda itu adalah lidah-lidah api dan angin yang memampukan para
murid menjadi saksi kekaguman dan kegembiraan iman. Mereka juga dimampukan
memahami segala yang dipesankan Yesus untuk keselamatan umat manusia. Dengan
cara itu, Lukas menerjemahkan kembali tradisi Pentakosta yang menunjukkan bahwa
penatua Israel akhirnya juga mampu memahami apa yang menjadi pesan Allah kepada
Musa agar mereka setia kepada perjanjian dengan Allah. Kesetiaan itu tampak
dalam ketertiban dalam melaksanakan hukum-hukum Allah yang diwartakan oleh Musa
kepada Israel. Kini “Musa Baru”, yakni Yesus Kristus, mengutus Roh-Nya untuk
mendampingi para murid-Nya mengenali apa yang menjadi pesan dan perintah-Nya
bagi kehidupan. Mereka berhasil “menerjemahkan” dalam bahasa yang dimengerti
oleh setiap orang yang datang dari pelbagai peloksok negeri.
Pastilah dalam peristiwa itu
mereka mengingat kembali apa yang disampaikan Yesus ketika Ia masih ada bersama-sama
mereka.
Kisah Pentakosta ini juga menampilkan
sejumlah saksi peristiwa tersebut. Banyak peziarah datang dari berbagai
peloksok daerah pada perayaan itu (ingat peristiwa Pentakosta dalam Perjanjian
Lama mewajibkan orang-orang Yahudi yang tinggal dipelbagai wilayah untuk datang
ke Yerusalem untuk mengucap syukur pada pesta panen dan sekaligus merayakan
turunnya Taurat Tuhan kepada Musa). Para peziarah inilah yang ikut hanyut dalam
saksi kegembiraan dan gairah baru yang dianugerahkan Roh Kudus terhadap segala
bangsa. Itulah yang kemudian akan menjadi “ladang” para murid Yesus
menyampaikan Injil sampai ke ujung-ujung bumi. Berita itu menjadi berita
sukacita antar lintas bangsa.
Daftar bangsa-bangsa yang
dicatat Lukas ini menunjukkan bahwa Injil bukan hanya diperuntukkan satu bangsa
dengan satu bahasa saja. Kisah ini menegaskan keanekaragaman dan kebhinekaan
saksi peristiwa Pentakosta yang baru tersebut. Ayat-ayat ini menyebutkan 15
bangsa dan negeri. Dari wilayah-wilayah itu hadir orang-orang Yahudi dan proselit. Daftar itu mula-mula
menyebutkan bangsa-bangsa yang diam di sebelah timur Palestina, di wilayah
Efrat dan Tigris, kemudian wilayah sebelah barat dan di provinsi koloni Romawi,
Asia Kecil dan menyusul di daerah-daerah Selatan (Mesir dan Libia) dan akhirnya
disebut pusat Kerajaan Romawi. Pada masa itu di setiap daerah yang disebutkan
terdapat pemukiman-pemukiman Yahudi. Mereka yang sudah berdiam turun-temurun di
luar Palestina, tentu sudah terbiasa menggunakan bahasa di mana mereka tinggal.
DI samping orang Yahudi dan keturunan Yahudi, ada juga dari pelbagai wilayah
itu yang orang-orang lokal yang menganut Yudaisme atau proselit. Terakhir, disebutkan orang-orang Kreta (di Laut Tengah)
dan orang-orang Arab.
Pada saat itu mereka
dikejutkan oleh tiupan angin keras dan lidah-lidah api. Kemudian orang-orang
Galilea itu berbicara kepada mereka. Semakin besarlah keheranan orang-orang
yang berkumpul di Yerusalem yang berasal dari pelbagai peloksok negeri itu
karena ternyata mereka mendengar orang-orang Galilea itu berbicara menggunakan
bahasa mereka sendiri! Kita dapat membayangkan, mereka adalah peziarah dari
pelbagai negeri, mereka ada di Yerusalem sebagai “orang asing”. Namun kini,
mereka diajak bicara dadengan bahasa ibu mereka masing-masing. Hal tersebut
pastinya memberi kesan yang mendalam. Apalagi, yang mereka dengar adalah berita
yang teramat dasyat. Berita tentang keselamatan!
Isi dari warta gembira
dirumuskan dengan singkat, yakni karya Allah yang menakjubkan. Pentakosta
adalah pesta kegembiraan yang membebaskan orang untuk menyerukan karya-karya
agung Allah dalam kehidupan, terutama tentang peristiwa Yesus Kristus dalam
bahasa yang dapat dimengerti. Dalam pesta ini kesempatan untuk mewartakan
kegembiraan itu secara penuh sudah tiba, dan para rasul mendapatkan tugas
meneruskan warta gembira itu kepada segala bangsa. Roh Kudus menolong menjamin
bahwa mereka yang mendengarnya mengerti dan memahami pesan yang disampaikan
para rasul itu.
Jelaslah Alkitab menyatakan
bahwa bahasa mereka bisa dimengerti oleh orang-orang yang datang dari pelbagai
peloksok itu bukan karena mereka sebelumnya ahli atau telah fasih menggunakan
bahasa-bahasa itu. Allahlah, melalui kuasa Roh Kudus yang telah dicurahkan itu
yang memampukan mereka untuk berbicara dan dimengerti oleh para pendengarnya. Allah
yang menyapa dengan perantaraan para murid – orang-orang Galilea itu – tidak
menuntut pendengarnya untuk terlebih dahulu belajar atau bisa berkomunikasi
dalam bahasa Yahudi. Semejak dari awal, Allah tidak menuntuk manusia untuk
mengerti bahasa-Nya. Melainkan Dia sendiri yang merendahkan diri-Nya menjadi
manusia agar manusia mengerti bahasa cinta Bapa. Rasanya tidak berlebihan kalau
Pentaskosta dipahami sebagai pesta keberagaman atau kebhinekaan yang dihargai
dan diakui oleh Allah sendiri. Kini, marilah kita bergandengan tangan dengan
siapa pun untuk kembali menebarkan cinta kasih dan membangun NKRI...
Jakarta, Hari Pentakosta dan Kebangkitan
Nasional 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar