Kamis, 03 Mei 2018

KAMU ADALAH SAHABAT-KU


Yesus mengatakan, ὑμεῖς φίλοι μού ἐστε, "Kamu adalah sahabat-sahabat-Ku..." (Yoh. 15:14a). Kata Yunani φίλοι (philos) diterjemahkan dalam bahasa Inggris 'dear' dan dialihbahasakan menjadi 'teman' atau 'sahabat', kata kerjanya philein (to love). Dalam kata philein memiliki berbagai arti termasuk ramah, sayang, suka, dan mencintai. Ketika Yesus menyatakan bahwa murid-murid-Nya adalah philos itu berarti bahwa mereka disayangi, dikasihi, Yesus sangat memperhatikan dan peduli terhadap mereka. Yesus menempatkan murid-murid dalam relasi baru dengan diri-Nya. Ia tidak lagi menyebut mereka hamba (doulos). Jelas, kedudukan sahabat pada waktu itu jauh lebih terhormat ketimbang hamba.

Yesus menyatakan bahwa kasih sayang-Nya terhadap para sahabat itu akan dibuktikan dengan memberikan nyawa-Nya. "Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya." (Yoh.15:13). Mati demi sahabat merupakan nilai tertinggi dalam dunia Yunani-Romawi. Yesus melakukannya bagi murid-murid, dengan begitu, ketika Ia menyebut mereka sahabat bukan sebuah basa-basi. Konteks pembicaraan Yesus adalah saat kepergian-Nya yang semakin dekat. Yesus mengartikan peristiwa kematian-Nya itu sebagai saat di mana Ia menyerahkan nyawa-Nya untuk para sahabat-Nya. Tentu saja maksudnya bukanlah Yesus menyerahkan nyawa ke tangan sahabat-sahabat-Nya. Ia hanya bisa menyerahkan nyawa kepada Bapa-Nya yang menjadi asal dan tujuan-Nya, tetapi nyawa itu diserahkan demi sahabat-sahabat-Nya. Nyawa-Nya adalah tebusan bagi para sahabat-Nya.

Persahabatan itu juga ditunjukkan Yesus dengan memberitahu segala sesuatu kepada mereka (ay.15). Hal ini mirip seperti tokoh-tokoh dalam Perjanjian Lama. "Tuhan berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya" (Keluaran 33:11). Allah juga berbicara terang-terangan kepada Abraham (Kejadian 18:17), yang dikenal sebagai "sahabat Allah" (2 Tawarikh 20:7). Dan sekarang Yesus membuka diri terhadap murid-murid-Nya dalam apa yang Ia dengar sendiri dari Bapa-Nya. Sekali lagi para murid bukanlah hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang menjadi rencana strategis dari tuannya.

Meskipun menggunakan terminologi yang umum dipakai, yakni sahabat. Namun, relasi persahabatan dengan Yesus bukan seperti apa yang terjadi di dunia ini. Pada umunya, ketika menjalin pertemanan, apalagi meningkat menjadi persahabatan, kitalah yang menentukan pilihan mau berteman dengan siapa dan mau membuka diri bersahabat dengan siapa. Persahabatan dengan Yesus bukan berawal dari diri saya, bukan saya yang menentukan melainkan, dari Dia. Dialah yang memilih dan menentukan siapa-siapa yang menjadi sahabat-Nya. Para murid - selanjutnya kita - masuk dalam kesatuan dengan Bapa dan Anak bukan karena jasa mereka/kita sendiri. Atau karena kita sudah melakukan sejumlah persyaratan. Bukan! Kesatuan kita dengan Bapa dan Anak terjadi karena Yesus memasukkan kita ke dalamnya. Dengan demikian inisiatif datang dari Yesus Kristus. Inilah apa yang disebut anugerah, "Bukan kamu yang memilih AKu, tetapi Akulah yang memilih kamu..." (ay.16).Kalau tidak dipilih (dipanggil) oleh Yesus, para murid tidak mampu datang kepada Yesus dan dengan demikian tidak akan mampu datang kepada Bapa karena tidak seorang pun bisa sampai kepada Bapa kalau tidak melalui Yesus.

Lalu bagaimana kita merespon panggilan Yesus yang membuka diri menjadi sahabat kita? Kalimat yang diucapkan Yesus dalam ayat 14 belum selesai, sambungannya, "...jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu." Jadi, sebagaimana Yesus mencontohkannya bahwa pengakuan persahabatan itu ditandai dengan bukti nyata, maka Ia pun menginginkan setiap orang yang menyatakan diri sebagai sahabat-Nya bukan sekedar ucapan di bibir saja. Perintah apa yang dimaksud oleh Yesus? Tentu saja perintah untuk saling mengasihi seperti yang terkandung dari makna kata sahabat itu sendiri. Perintah itu eksplisit, "Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita." (1 Yoh.3:16). Menuruti perintah dan model Yesus haruslah dipahami bahwa hal itu bukan syarat untuk menjadi sahabat Yesus melainkan dampak dari kondisi tinggal bersama Yesus yang digambarkan dengan hubungan pokok anggur dan ranting yang menghasilkan buah (dalam perikop sebelumnya). Jadi menyalurkan kasih, melakukan seperti apa yang Yesus lakukan itu sekali lagi bukan syarat, melainkan buah atau dampak dari hubungan yang indah dengan Yesus. Dari sinilah kita akan mengetahui mana sahabat Yesus sejati dan mana yang bukan.

Seorang anak remaja mau melakukan apa saja yang diminta oleh kelompoknya asalkan dirinya diterima menjadi bagian dari kelompok itu - ini adalah contoh syarat. Ia mau merokok, minum minuman keras, menggunakan narkoba, bertato, menodong, menganiaya, merampok, melawan orang tuanya, bahkan bertaruh nyawa, asalkan bisa diterima menjadi "sahabat" dalam kelompok itu. Apa yang dikatakan Yesus (yang tampak sebagai syarat) bukanlah seperti yang berlaku dalam komunitas atau tepatnya gang anak-anak muda itu. Jadi ketika kita diminta untuk "...wajib menyerahkan nyawa kita..." hal ini jelas bukan berarti kita mencari-cari cara agar kehilangan nyawa lalu kemudian merasa telah memenuhi tuntutan firman Tuhan. Bukan itu! Saling mengasihi satu terhadap yang lain bahkan kalau perlu sampai menderita dan kehilangan nyawa mestinya  merupakan keniscayaan. Inilah buah kemelekatan itu. Namun, sayang tidak banyak orang yang dapat melakukannya. Seolah ada benteng besar yang menghalangi. Ya, tak salah lagi, benteng itu adalah egois; sifat yang mementingkan diri sendiri.

Sebuah kisah yang diceritakan oleh Jalaluddin Rumi (penyair sufi - Turki) mengajak kita untuk meruntuhkan benteng ego itu:

Dulu kala ada seorang pemuda kehausan berdiri di atas benteng yang tinggi. Benteng itu terbuat dari batu bata yang disusun sedemian rupa. Di bawah benteng itu mengalir sungai yang airnya sangat jernih. Pemuda itu ingin sekali meneguk air itu. Tetapi bagaimana caranya? Benteng itu terlalu tinggi sehingga tangannya tidak bisa menjangkau sungai.

Kini, pemuda itu melakukan sesuatu untuk bisa menyentuh sungai. Caranya? Ia mencopot batu bata itu satu per satu dan membuangnya ke sungai. Entah kenapa suara batu bata yang jatuh ke air membuatnya terdengar begitu indah, lebih dari kabar indah yang pernah ia dengar selama ini. Lebih indah dari seorang napi yang mendengar hari kebebasannya. Semakin mendengarkan suara indah itu, semakin bersemangat pemuda itu menjatuhkan batu bata ke sungai itu.

Kini, ia sudah semakin dekat dengan sungai. Ia mendengar sungai itu bertanya, "Pemuda, mengapa engkau jatuhkan batu bata itu?" Lalu pemuda yang kehausan itu menjawab, "Karena dua sebab, wahai sungai. Yang pertama, karena aku menikmati suara ceburan batu bata ke airmu. Kedua, dengan membuang batu bata itu, aku semakin dekat denganmu."

Air sungai adalah simbol dari kesucian Tuhan, dan apa yang dilakukan oleh pemuda yang kehausan itu adalah upaya untuk membuang satu per satu ego yang menjadi benteng penghalang dengan Tuhan. Semakin dekat dengan-Nya, semakin jernih kita tahu apa yang harus dilakukan. Semakin besar kita merasakan cinta kasih Tuhan berbanding lurus dengan upaya kita untuk membuang sikap pementingan diri sendiri. Semakin lama kita melekat dengan-Nya maka semakin lebatlah kita berbuah.

Jakarta, Paskah VI 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar