Yesus mengatakan, ὑμεῖς φίλοι μού ἐστε, "Kamu
adalah sahabat-sahabat-Ku..." (Yoh. 15:14a). Kata Yunani φίλοι (philos)
diterjemahkan dalam bahasa Inggris 'dear' dan dialihbahasakan menjadi 'teman'
atau 'sahabat', kata kerjanya philein
(to love). Dalam kata philein
memiliki berbagai arti termasuk ramah,
sayang, suka, dan mencintai. Ketika Yesus menyatakan bahwa murid-murid-Nya
adalah philos itu berarti bahwa
mereka disayangi, dikasihi, Yesus sangat memperhatikan dan peduli terhadap
mereka. Yesus menempatkan murid-murid dalam relasi baru dengan diri-Nya. Ia
tidak lagi menyebut mereka hamba (doulos).
Jelas, kedudukan sahabat pada waktu itu jauh lebih terhormat ketimbang hamba.
Yesus menyatakan bahwa kasih
sayang-Nya terhadap para sahabat itu
akan dibuktikan dengan memberikan nyawa-Nya.
"Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan
nyawanya demi sahabat-sahabatnya." (Yoh.15:13). Mati demi sahabat
merupakan nilai tertinggi dalam dunia Yunani-Romawi. Yesus melakukannya bagi
murid-murid, dengan begitu, ketika Ia menyebut mereka sahabat bukan sebuah
basa-basi. Konteks pembicaraan Yesus adalah saat kepergian-Nya yang semakin
dekat. Yesus mengartikan peristiwa kematian-Nya itu sebagai saat di mana Ia
menyerahkan nyawa-Nya untuk para sahabat-Nya. Tentu saja maksudnya bukanlah
Yesus menyerahkan nyawa ke tangan sahabat-sahabat-Nya. Ia hanya bisa
menyerahkan nyawa kepada Bapa-Nya yang menjadi asal dan tujuan-Nya, tetapi
nyawa itu diserahkan demi sahabat-sahabat-Nya. Nyawa-Nya adalah tebusan bagi
para sahabat-Nya.
Persahabatan itu juga
ditunjukkan Yesus dengan memberitahu segala sesuatu kepada mereka (ay.15). Hal
ini mirip seperti tokoh-tokoh dalam Perjanjian Lama. "Tuhan berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang
berbicara kepada temannya" (Keluaran 33:11). Allah juga berbicara
terang-terangan kepada Abraham (Kejadian 18:17), yang dikenal sebagai "sahabat
Allah" (2 Tawarikh 20:7). Dan sekarang Yesus membuka diri terhadap
murid-murid-Nya dalam apa yang Ia dengar sendiri dari Bapa-Nya. Sekali lagi
para murid bukanlah hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang menjadi rencana
strategis dari tuannya.
Meskipun menggunakan
terminologi yang umum dipakai, yakni sahabat. Namun, relasi persahabatan dengan
Yesus bukan seperti apa yang terjadi di dunia ini. Pada umunya, ketika menjalin
pertemanan, apalagi meningkat menjadi persahabatan, kitalah yang menentukan
pilihan mau berteman dengan siapa dan mau membuka diri bersahabat dengan siapa.
Persahabatan dengan Yesus bukan berawal dari diri saya, bukan saya yang
menentukan melainkan, dari Dia. Dialah yang memilih dan menentukan siapa-siapa
yang menjadi sahabat-Nya. Para murid - selanjutnya kita - masuk dalam kesatuan
dengan Bapa dan Anak bukan karena jasa mereka/kita sendiri. Atau karena kita
sudah melakukan sejumlah persyaratan. Bukan! Kesatuan kita dengan Bapa dan Anak
terjadi karena Yesus memasukkan kita ke dalamnya. Dengan demikian inisiatif
datang dari Yesus Kristus. Inilah apa yang disebut anugerah, "Bukan kamu yang memilih AKu, tetapi Akulah
yang memilih kamu..." (ay.16).Kalau tidak dipilih (dipanggil) oleh
Yesus, para murid tidak mampu datang kepada Yesus dan dengan demikian tidak
akan mampu datang kepada Bapa karena tidak seorang pun bisa sampai kepada Bapa
kalau tidak melalui Yesus.
Lalu bagaimana kita merespon
panggilan Yesus yang membuka diri menjadi sahabat kita? Kalimat yang diucapkan
Yesus dalam ayat 14 belum selesai, sambungannya, "...jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu." Jadi,
sebagaimana Yesus mencontohkannya bahwa pengakuan persahabatan itu ditandai
dengan bukti nyata, maka Ia pun menginginkan setiap orang yang menyatakan diri
sebagai sahabat-Nya bukan sekedar ucapan di bibir saja. Perintah apa yang
dimaksud oleh Yesus? Tentu saja perintah untuk saling mengasihi seperti yang
terkandung dari makna kata sahabat itu sendiri. Perintah itu eksplisit, "Demikianlah kita ketahui kasih Kristus,
yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib
menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita." (1 Yoh.3:16). Menuruti
perintah dan model Yesus haruslah dipahami bahwa hal itu bukan syarat untuk
menjadi sahabat Yesus melainkan dampak dari kondisi tinggal bersama Yesus yang digambarkan dengan hubungan pokok anggur
dan ranting yang menghasilkan buah (dalam perikop sebelumnya). Jadi menyalurkan
kasih, melakukan seperti apa yang Yesus lakukan itu sekali lagi bukan syarat,
melainkan buah atau dampak dari hubungan yang indah dengan Yesus. Dari sinilah
kita akan mengetahui mana sahabat Yesus sejati dan mana yang bukan.
Seorang anak remaja mau
melakukan apa saja yang diminta oleh kelompoknya asalkan dirinya diterima
menjadi bagian dari kelompok itu - ini adalah contoh syarat. Ia mau merokok,
minum minuman keras, menggunakan narkoba, bertato, menodong, menganiaya,
merampok, melawan orang tuanya, bahkan bertaruh nyawa, asalkan bisa diterima
menjadi "sahabat" dalam kelompok itu. Apa yang dikatakan Yesus (yang
tampak sebagai syarat) bukanlah seperti yang berlaku dalam komunitas atau
tepatnya gang anak-anak muda itu.
Jadi ketika kita diminta untuk "...wajib
menyerahkan nyawa kita..." hal ini jelas bukan berarti kita mencari-cari
cara agar kehilangan nyawa lalu kemudian merasa telah memenuhi tuntutan firman
Tuhan. Bukan itu! Saling mengasihi satu terhadap yang lain bahkan kalau perlu
sampai menderita dan kehilangan nyawa mestinya merupakan keniscayaan. Inilah buah kemelekatan
itu. Namun, sayang tidak banyak orang yang dapat melakukannya. Seolah ada
benteng besar yang menghalangi. Ya, tak salah lagi, benteng itu adalah egois;
sifat yang mementingkan diri sendiri.
Sebuah kisah yang diceritakan
oleh Jalaluddin Rumi (penyair sufi - Turki) mengajak kita untuk meruntuhkan
benteng ego itu:
Dulu kala ada seorang pemuda
kehausan berdiri di atas benteng yang tinggi. Benteng itu terbuat dari batu
bata yang disusun sedemian rupa. Di bawah benteng itu mengalir sungai yang airnya
sangat jernih. Pemuda itu ingin sekali meneguk air itu. Tetapi bagaimana
caranya? Benteng itu terlalu tinggi sehingga tangannya tidak bisa menjangkau
sungai.
Kini, pemuda itu melakukan
sesuatu untuk bisa menyentuh sungai. Caranya? Ia mencopot batu bata itu satu
per satu dan membuangnya ke sungai. Entah kenapa suara batu bata yang jatuh ke
air membuatnya terdengar begitu indah, lebih dari kabar indah yang pernah ia
dengar selama ini. Lebih indah dari seorang napi yang mendengar hari
kebebasannya. Semakin mendengarkan suara indah itu, semakin bersemangat pemuda
itu menjatuhkan batu bata ke sungai itu.
Kini, ia sudah semakin dekat
dengan sungai. Ia mendengar sungai itu bertanya, "Pemuda, mengapa engkau
jatuhkan batu bata itu?" Lalu pemuda yang kehausan itu menjawab,
"Karena dua sebab, wahai sungai. Yang pertama, karena aku menikmati suara
ceburan batu bata ke airmu. Kedua, dengan membuang batu bata itu, aku semakin
dekat denganmu."
Air sungai adalah simbol dari
kesucian Tuhan, dan apa yang dilakukan oleh pemuda yang kehausan itu adalah
upaya untuk membuang satu per satu ego yang menjadi benteng penghalang dengan
Tuhan. Semakin dekat dengan-Nya, semakin jernih kita tahu apa yang harus
dilakukan. Semakin besar kita merasakan cinta kasih Tuhan berbanding lurus
dengan upaya kita untuk membuang sikap pementingan diri sendiri. Semakin lama
kita melekat dengan-Nya maka semakin lebatlah kita berbuah.
Jakarta, Paskah VI 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar