Hari ini saya membaca surat
kabar, tentu saja ada pelbagai macam berita. Namun, yang mendominasi adalah
berita tentang politik. Ketua pembina salah satu partai politik dengan tegas
mengatakan kurang lebih begini, "Kali ini sudah jelas pilihan partai kami,
tidak akan mendukung Joko Widodo sebagai presiden. Memang ada seorang dari
partai kami yang sekarang duduk sebagai menteri namun, itu bukan koalisi yang
benar. Kalau pun ketua umum partai kami menyatakan pendapat bahwa partai kami
terbuka untuk berkoalisi dengan petahana, itu hanya sandiwara saja!"
Ketika bapak ketua pembina yang sudah tidak muda lagi ini ditanya tentang
mengapa punya sikap seperti itu. Ia menjawab, "Karena tidak sesuai dengan
harapan partai kami!"
Dalam dunia politik, transaksi
itu begitu vulgar dipertontonkan: Kalau saya mendukung, lalu saya dapat apa?
Moralitas, integritas sering diminta parkir dulu di belakang. Akibatnya,
nilai-nilai luhur politik terkubur oleh kepentingan pragmatis. Tidaklah heran,
di satu tempat partai A bisa berkoalisi dengan partai B untuk menjadi musuh
partai C yang bergabung dengan partai D. Namun, di tempat lain partai C justeru
bekerja sama dengan A dan memusuhi partai B. Transaksi selalu mensyaratkan saya
memberi apa dan mendapatkan apa. Transaksi selalu pragmatis!
Bagaimana dalam
lembaga-lembaga pelayanan, gereja atau keluarga? Mestinya kita sepakat: lembaga
pelayanan, gereja atau keluarga bukan lembaga politik. Oleh karenanya yang
dikembangkan seharusnya relasi bukanlah transaksi. Namun nyatanya? Kita bisa
melihat dan merasakan sendiri. Ada kalanya relasi itu begitu hangat, mesra dan
menggembirakan. Namun, tidak sedikit dalam dunia yang seharus pelayanan
diletakkan di atas segalanya, justeru tidak lebih baik dari dunia bisnis bahkan
politik. Lebih buruk, oleh karena lembaga-lembaga yang seharusnya mengusung
kasih itu, suka menggunakan kasih sebagai bemper
atau alat untuk mencapai ambisi. Hal ini seperti apa yang menjadi teguran
Yohanes, "Jikalau seseorang berkata,
'Aku mengasihi Allah,' dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta,
karena barang siapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin
mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya." (1Yoh.1:20).
Relasi, adalah sebuah kata yang berkaitan dengan
"hubungan". Relasi adalah gambaran atau cara bagaimana dua
orang/pihak atau lebih berhubungan satu dengan yang lainnya. Dalam kata relasi terserap makna keterikatan.
Contoh, saya berelasi dengan Anda, maka saya punya ikatan yang bukan hanya
transaksi melainkan Anda adalah bagian dari hidup dan kehidupan saya. Kalau
seseorang merupakan bagian dari hidup kita maka kita tidak mungkin memperlakukan
orang tersebut dengan semaunya.
Yesus mengajarkan relasi itu
dengan cara tinggal bersama-sama dengan-Nya. Ketika Ia memanggil sejumlah orang
untuk menjadi murid-Nya, Ia mengajak mereka tinggal dengan-Nya. Mereka menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari diri-Nya. Apa artinya tinggal (menein) dalam Yesus? Kita masih
mengingat pemanggilan para murid Yesus yang pertama versi Injil Yohanes. Dua
murid yang pertama bertanya, "Rabi,
di manakah Engkau tinggal?" Lalu Sang Guru itu menjawab mereka
katanya, "Marilah dan kamu akan
melihatnya." Mereka pergi untuk tinggal bersama-sama dengan Dia.
Kita dapat membayangkan relasi
yang dibangun Yesus bersama-sama murid-murid ibarat tinggal dalam sebuah rumah.
Kita merasakan kebersamaan dengan-Nya rumah itu adalah tempat damai. dan damai
itu merupakan sumber kreativitas. Dengan tinggal bersama-Nya, kita dapat
menghasilkan buah. Dan buah itu adalah cinta kasih yang mengalir, dapat dilihat
dan dinikmati orang lain.
Yesus menggambarkan cara
berelasi atau tinggal bersama-Nya melalui gambaran pohon anggur (Yohanes
15:1-8). Dalam Perjanjian Lama, kebun anggur kerap dipakai sebagai kiasan untuk
bangsa Israel yang sangat diperhatikan Allah. Namun, dalam beberapa kali
penggambaran itu, Israel tidak menghasilkan buah. Alih-alih melakukan kehendak
Allah, mereka hidup tak ubahnya seperti orang yang tidak mengenal Allah (bnd.
Hos.10:1; Yer.6:9; Yeh.15; 17:5-10; 19:10-14). Mereka tidak menghasilkan buah!
Kini, Yesus menggunakan kiasan yang serupa yakni "pokok anggur".
Kalau Perjanjian Lama mengisahkan tanaman anggur dari sisi negatif, Yesus
menyatakan diri-Nya, "pokok anggur yang benar". Murid-murid sebagai
ranting-ranting dari pokok itu. Hal ini bermakna, Yesus bersama para murid-Nya
tampil sebagai "Israel yang benar" yang menanggapi segala usaha Allah
dengan menghasilkan buah.
Bagaimana menghasilkan
"buah anggur yang baik"? Kisah ini bertolak dari pengusaha kebun
anggur. Ia akan memotong cabang dan ranting yang mati, alias tidak berbuah agar
pokok anggur menghasilkan banyak buah. Tidak hanya itu, ia juga mencomot
pucuk-pucuk yang berlebihan supaya buah-buah yang masih kecil itu bertumbuh
menjadi buah yang berkualitas. Kegiatan itu melambangkan pemeliharaan Bapa
terhadap "Israel baru" yang diharapkan berbuah banyak dan
berkualitas.
Dalam tindakan pemeliharaan
itu ada kata "dibersihkan-Nya"
(ay.2), kata ini untuk menyatakan kepada para murid sekali lagi supaya mereka benar-benar
bersih. Benar mereka yang sudah bersih karena pembasuhan (13:10), sekarang
dinyatakan bersih oleh karena firman-Nya yang menyatakan rahasia Bapa kepada mereka
dengan syarat firman itu harus dipegang dan dilakukan (14:23), dengan cara itu
mereka benar-benar tinggal dalam Yesus (ay.7). Mereka sudah bersih dan dapat
berbuah.
Setiap orang yang mengaku
murid Yesus mestinya tinggal di dalam Yesus merupakan pengalaman nyata. Ia akan
bergaul karib bersama Yesus. Benar, sekarang Yesus tidak hadir lagi secara
fisik seperti ketika Ia tinggal bersama-sama dengan para murid-Nya. Namun hal
ini bukan mustahil bahwa sekarang pun kita dapat tinggal dan merasakan kehadiran-Nya.
Tinggal di dalam Yesus sekarang dapat kita alami dengan cara bergaul karib
dengan firman-Nya, membiarkan firman itu tinggal dalam diri kita, memenuhi akal
budi dan hati kita, lalu kemudian meresap, mengalir dalam sendi-sendi tubuh
kita. Firman itu membersihkan kita: Pikiran dan hati kita menjadi bersih. Kini,
pikiran dan hati kita tidak hanya memikirkan perkara-perkara yang duniawi saja.
Namun, dapat menangkap dengan jernih suara-Nya. Ya, suara Sang Gembala yang
baik itu. Mata kita dibersihkan, dari yang selama ini dimanjakan dengan
tontonan-tontonan yang memuaskan nafsu. Kini, mata kita celik, dapat melihat
keagungan Tuhan melalui ciptaan-Nya. Mata kita tidak dibutakan dengan silaunya
kekayaan dan kuasa. Namun, mampu melihat di balik penderitaan sesama anak
manusia ada wajah Kristus. Telinga kita menjadi sembuh, kita akan mampu
mendengar jerit tangis saudara-saudara kita yang haus dan lapar. Mulut kita
tidak lagi busuk dengan caci maki dan gosip, tetapi kini semerbak harum dengan
pujian, apresiasi dan ucapan syukur. Kaki dan tangan kita akan bergerak
mengerjakan pekerjaan yang bukan lagi untuk kepuasan diri sendiri. Melainkan
memberdayakan orang lain, menyalurkan cinta kasih Bapa. Itulah karakteristik ranting
yang sudah dibersihkan dan berbuah!
Dengan cara itulah Bapa (sang
pengusaha kebun anggur) dimuliakan. Israel baru itu kini benar-benar hadir di
muka bumi. Murid-murid Yesus bukan sekedar pengakuan diri atau label saja
tetapi menjadi nyata apabila kita berbuah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar