Dalam kajian sosiologis,
setiap komunitas punya "axis
mundi". Axis mundi merupakan
situs atau tempat yang diyakini oleh setiap anggota komunitas sebagai pusat
dunia, di situlah poros metafisik terhubung dengan kosmik: surga dan bumi
bertemu. Gunung Puji bagi orang Jepang, Ka'bah bagi setiap Muslim, Black Hill
bagi kaum Sioux, mungkin juga Keraton Jogja bagi orang Jawa merupakan axis mundi. Pusat bumi, tempat
berpadunya yang transenden dengan imanen dan dari situlah peradaban tersebar ke
pelbagai penjuru dunia.
Yerusalem merupakan kota axis mundi bagi setiap orang Yahudi. Di
situ ada Bait Allah. Bagi mereka, di sanalah Allah berkenan bersemanyam dan
dapat ditemui. Bait Allah adalah tempat surga dan bumi terhubung. Maka hal ini,
mewajibkan umat untuk memelihara ritus dan ritual. Persembahan dan
korban-korban bakaran harus terus ada. Paskah, Pentakosta, Pondok Daun
mewajibkan setiap orang Yahudi dewasa dalam radius tertentu wajib kembali ke axis mundi itu!
Axis mundi, Yerusalem itulah
tempat pertama yang dikunjungi Yesus, tempat di mana Yang Ilahi dengan yang
insani berpadu. Bagi Yesus, tempat itu adalah "rumah Bapa-Nya". Apa
yang dijumpai-Nya di sana? Jelas, ada pelbagai ritual dan segala macam
penunjangnya. Dalam pandangan Yesus, orang-orang telah mengubah rumah Bapa-Nya
itu menjadi tempat berdagang. Mereka bukan lagi menolong sesamanya untuk dapat
berjumpa dengan Sang Mahakudus, melainkan sebagai peluang bisnis! Mereka menjual
binatang korban dengan harga yang tidak wajar. Jika membawa hewan kurban
sendiri ada berbagai alasan untuk ditolak, tidak memenuhi kriteria "cap
halal" dari pejabat Bait Allah.
Para penukar uang mencari
keuntungan terlalu besar, membuat semakin miskin orang-orang yang sudah miskin
karena pajak Bait Allah mengharuskan orang-orang membayarnya dengan mata uang
Bait Suci (mata uang Tyria), bukan mata uang Romawi. Oleh karena itu banyak
pedagang valas. Para pedagang dan penukar uang ini tentu saja harus membayar
pajak kepada para penguasa Bait Allah. Imam besar dan keluarganya makmur dari
praktik bisnis seperti ini. Uang mendatangkan kuasa dan kuasa mendatangkan
uang. Inilah pernikahan dari penguasa dan pengusaha! Uang telah mengambil alih
posisi sentral Sang pemilik rumah.
Di sepanjang zaman manusia
dikepung oleh kultur uang. Uang tidak digunakan untuk menolong orang agar
berkembang dan memperoleh akses kepada sumber kehidupan dan memperbaiki
kualitas hidup mereka. Namun, dijadikan tujuan pada dirinya. Ancaman bagi dunia sekarang ini, dengan
ekonomi globalnya bukan hanya kapitalisme yang tidak terkendali, tetapi
komersialisasi yang keterlaluan. Iklan dan bidang hubungan masyarakat berusaha
untuk membentuk budaya, pikiran, imajinasi, dan hidup kita. Gambar-gambar dan
kata-kata klise yang menyesatkan dan dipelajari dengan sungguh-sungguh,
digunakan untuk menawarkan dan menjual barang-barang. Rumusan misi suatu
perusahaan menegaskan bahwa mereka harus menimbulkan keinginan dan kebutuhan
akan "barang-barang yang bukan kepentingan dasar: mudah dipakai, sulit
ditolak" Perusahaan-perusahaan tidak berusaha menjual yang paling baik
bagi perkembangan orang menuju kematangan pribadi sebagai manusia. Mereka
menjual apa saja yang dapat mendatangkan uang, apa saja yang dapat menambah
keuntungan bagi perusahaan dan pemegang saham...,lebih, lebih, dan lebih
lagi... (Jean Vanier). Uang telah menjadi yang paling penting dalam budaya di
seluruh dunia.
Di axis mundi yang telah mengubah Allah dan menggantikannya dengan
uang sebagai pusatnya, kita dapat memahami bagaimana kemarahan Sang Anak! Yesus
membuat cambuk, mengusir para pedagang, menghamburkan uang di tanah,
membalikkan meja-meja penukar uang itu, menyuruh para pedagang merpati untuk
mengambil jualan mereka dan pergi, serta untuk tidak menjadikan rumah Bapa-Nya
sebagai ladang mengeruk uang. Yesus bertindak sebagai seorang Anak yang ingin
mengembalikan rumah Bapa-Nya pada fungsi yang seharusnya.
Kita dapat membayangkan
keributan, teriakan, suara binatang, dan suara gemerincingnya koin-koin yang
jatuh ke lantai. Para penukar uang, pedagang binatang mencoba memertahankan
bisnis mereka dan berteriak marah. Pasti, semua kacau-balau di tempat pertemuan
Surga dan bumi itu. Dalam kemarahan mereka, para pedagang dan penukar uang itu
segera menemui para imam Bait Suci.
Para imam segera datang dan
menemui Yesus lalu menginterogasi-Nya. Mereka bertanya, "Dengan kuasa atau
wewenang dari mana Engkau bertindak seperti ini?" Yesus menjawab mereka,
"Rombak Bait Allah ini, dan dalam
tiga hari Aku akan mendirikannya kembali!" Mereka menanggapi jawaban
Yesus ini dengan mengejek-Nya, "Empat
puluh enam tahun orang mendirikan Bait ALlah ini dan Engkau dapat membangunnya
dalam tiga hari?" (Yoh.2:18-20). Yesus berbicara dalam tataran
spiritual, bukan bangunan fisik. Namun, para imam itu hanya memahami sebatas
harfiah. Yang dimaksud Yesus dengan membangun Bait Allah dalam tiga hari tidak
lain diri-Nya sendiri.
Para murid baru memahami
perkataan Yesus ini setelah kebangkitan-Nya. Yesus menggeser pembicaraan dari
kesucian bangunan fisik Bait Allah kepada kesucian tubuh-Nya sendiri. Axis
mundi sekarang bukan lagi Yerusalem dan Bait Suci yang ada di sana melainkan
diri-Nya. Di dalam Dia nyata bahwa hidup dan kasih, kesembuhan dan pengampunan,
damai sejahtera yang tidak berkesudahan akan terpancar terus. Di dalam Yesus,
Surga dan dunia bertemu; Yang Ilahi dan insani berpadu, Dialah sabda yang
menjadi daging! Yesus adalah pusat jalan hidup yang baru, bukan lagi Bait Suci
di Yerusalem.
Di dalam Yesus, Allah tidak
lagi jauh tak terjangkau di surga, yang dilambangkan oleh keindahan dan
keagungan Bait Suci di Yerusalem. Allah telah memasang kemah di antara kita.
Allah adalah kawan satu peziarahan dengan segala kelemahan manusia, berjalan
melewati padang gurun kehidupan bersama kita. Tempat suci ini tidak dibuat
dengan batu-batu yang berharga, tetapi dengan daging dan darah. Sosok suci ini memungkinkan
terjadinya perjumpaan, suatu kehadiran bagi manusia, kehadiran yang akan
menjadi relasi, persekutuan hati, suatu komunitas.
Yesus yang terluka dan menjadi
marah karena pelecehan terhadap Bait Allah di Yerusalem, pastilah juga akan
marah karena ketidakhormatan kita kepada tubuh kita - yang oleh Paulus dipahami
sebagai Bait Suci (1 Kor.6:19-20). Kita yang mengenal-Nya sebagai "Bait
Suci yang Hidup" seharusnya terpanggil juga untuk menjadikan diri, tubuh
dan hidup kita sebagai Bait Suci-Nya. Di mana setiap orang yang berjumpa dengan
kita akan merasakan perjumpaan dengan-Nya.
Etty Hillesum, seorang
perempuan Yahudi di Belanda yang dibunuh dalam rumah gas oleh Nazi di
Auschwitz, mempunyai kepekaan yang tajam akan arti setiap pribadi sebagai
"rumah" Allah. Pada suatu saat, ketika ia berada di Westerbork,
sambil menunggu saat deportasi terakhir ke Auschwitz bersama dengan orang
Yahudi lainnya, ia menulis dan menyatakan bahwa satu-satunya keinginannya
adalah membantu orang untuk menemukan kekayaan pribadi mereka masing-masing,
bahwa setiap pribadi dipanggil untuk menjadi "rumah Allah".
"Dan saya berjanji, ya saya
berjanji kepada-Mu, ya Allah, bahwa saya akan berusaha untuk menemukan "rumah" dan atap
bagi-Mu di sebanyak mungkin rumah. Ada begitu banyak rumah kosong. Ke tempat itu saya akan membawa-Mu sebagai tamu
kehormatan."
Banyak di antara kita yang
tidak sadar akan adanya ruang suci dalam diri kita, tempat di mana kita dapat
merenung dan berkontemplasi. Dari tempat itu dapat mengalir rasa kagum kalau
kita memandang gunung, langit, bunga-bunga, buah-buahan, dan semua yang indah
di dunia ini. Di tempat itu kita mengerti kebenaran, kepedulian, keadilan dan
cinta kasih. Tempat ini adalah batin kita yang paling dalam. Tempat di mana
Allah mau tinggal. Di tempat inilah kita menerima cahaya kehidupan dan bisikan
Roh-Nya. Di tempat itu pula kita menentukan pilihan-pilihan hidup kita, dari
tempat itulah mengalir kasih kita kepada orang lain.
Ruang ini bisa kehilangan
kesuciannya, dan menjadi seperti pasar, tempat belanja, yang dibanjiri dengan
segala macam keinginan yang tidak penting dan segala macam yang remeh-temeh.
Lebih parah lagi, kita dapat melenyapkan kesucian tubuh orang lain hanya karena
uang dan pementingan diri. Dalam pra-paskah ke-3 ini, biarlah hati nurani dan
mata bathin kita terus mau dibersihkan oleh-Nya. Jangan marah seperti para
pebisnis di Bait Allah, namun bersyukurlah sebab di ujungnya nanti, suara-Nya
akan jernih terdengan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar