Apa yang terbaik untuk menjual
koran, majalah atau berita? Mainkan rasa takut masyarakat, tetapi dalam batasan
yang masih bertanggung jawab. Anda mungkin pernah mendengar, "Tahi lalat
di lengan Anda suatu waktu akan menjadi bom waktu yang dapat menghancurkan
hidup Anda." Atau, "Jika tidak memilih saya, bencana akan melanda
daerah Anda!"
Media mempermainkan rasa takut
kita untuk meningkatkan rating pembaca atau penonton dan akhirnya berujung pada
onzet penjualan. Uang! Scott Bader- Saye (pengajar etika dan teologi moral di
Southwest Seminary) menyebut manipulasi ini sebagai sindrom "ketakutan
demi keuntungan". Pemilik media, pengiklan, dan politisi mengunakan rasa
takut untuk memotivasi atau tepatnya memanipulasi publik demi apa yang disebut
keuntungan. Barry Glasner (sosiolog Amarika Serikat) menjelaskan lebih vulgar,
"Berita televisi hidup melalui rasa takut. Dalam berita lokal, para
produser menggunakan diktum, 'jika ada darah, tayangkan!' begitu juga berita
narkoba, kriminal, dan bencana mengisi sebagian besar ceruk tayangan
berita." Bad news is good news!
Dalam sorotan sosiologis,
agama sering memainkan hal serupa yang disebut oleh Scott Bader - Saye atau
Barry Glasner, mainkan ketakutan dan kami menjual penawarnya! Mainkan ketakutan
dan ancaman, maka kami akan mendapatkan keuntungan. Bukankah ini yang terjadi,
ada banyak orang yang merasa diri sebagai pemuka agama menebarkan ketakutan dan
ancaman untuk menjaring pengikutnya. Neraka, hidup tidak diberkati, bencana,
penderitaan, sakit penyakit - bukankah itu semacam senjata ancaman bila
seseorang tidak mau menjadi pengikut faham mereka. Sebaliknya, janji-janji
surga, hidup sukses, lepas dari persoalan, hidup bahagia, diberkati, dan
sederet lagi kata-kata manis dijanjikan bagi siapa saja yang mau mengikuti
ajaran mereka. Hidup mudah dan simpel: asal berdoa saja, rajin perpuluhan, giat
melayani maka kehidupan yang menyenangkan menjadi imbalannya. Simpel!
Agama, atau lebih tepatnya
orang yang sedang mengajarkan faham seperti ini tidak lebih dari bandar narkoba
yang sedang merayu calon korbannya. Agama sebagai candu! Jelas hidup ini, tidak
sesederhana berdoa atau mengucapkan sebuah ikrar bagai mantera! Hidup ini harus
dihadapi dengan pergulatan dan perjuangan yang tidak hanya membutuhkan
keberanian tetapi juga stamina.
Yesus yang diwartakan sebagai
Mesias seringkali direduksi oleh para pewartanya menjadi sosok sang adi jaya,
adi luhung, adi kuasa, ksatria sakti mandraguna. Bagi orang Kristen, lebih daripada
manusia biasa, lebih daripada seorang nabi. Ia adalah Mesias yang diutus Allah
untuk membuka zaman keselamatan. Ia adalah seorang Mesias pembebas, penyembuh,
pengusir setan, seperti yang digambarkan dalam paruh pertama Injil Markus.
Tidak salah, namun belum lengkap!
Orang suka membayangkan Mesias
menurut pikiran, keinginan, dan bayangannya sendiri. Gelar-gelar dalam rumusan
ajaran dan pengakuan iman kita bisa tepat. Namun, pemahaman kita terhadap ajaran
dan pengakuan iman itu bisa saja tidak jauh berbeda dengan faham orang banyak
dan Petrus dalam bacaan Injil Pra-paskah ke-2 ini (Markus 8:31-38). Karena itu,
Yesus tidak ingin segera diri-Nya diumumkan sebagai Mesias.
Bukankah tidak berlebihan
memandang Yesus sebagai sosok ideal, Mesias yang diimpikan umat Israel itu?
Dalam paruh pertama Injil Markus, setidaknya sampai Markus 8:26 mencatat
kehebatan Yesus yang ditunjukkan lewat pelbagai tanda dan mujizat. Maka wajarlah
kalau kemudian Petrus berkesimpulan bahwa Yesus adalah Mesias (Mrk.8:29) ketika
Yesus bertanya tentang siapakah diri-Nya. Namun, mengapa setelah pernyataan
Petrus ini, Ia melarang untuk mempublikasikannya (ay.30)?
Markus 8:32 menyatakan, untuk
pertama kalinya Yesus berbicara secara terus terang mengapa kemesiasan-Nya
tidak boleh dibicarakan kepada orang lain. Alasannya ialah: Pekerjaan Yesus
belum selesai! Ia masih harus banyak menanggung penderitaan, ditolak oleh
tua-tua, imam-iman kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit
sesudah hari ketiga. Ini jelas berbeda dari harapan bangsa Yahudi tentang
Mesias termasuk harapan para murid yang diwakil oleh Petrus. Yesus, seolah-olah
mau berkata, "Tadi Aku melarang kalian membicarakan identitas-Ku. Sebab,
Aku sendiri selama ini belum memperkenalkan diri-Ku yang sebenarnya. Kalau
kalian tidak tahu siapa Aku, apa yang mau atau dapat kalian katakan kepada
orang lain tentang diri-Ku. Tetapi, ada hal yang sangat penting yakni, Allah
mau menyelamatkan manusia. Adakah yang mampu memahami rencana ini?"
Yesus dan para murid-Nya hidup
dalam tradisi Yahudi, pastilah juga mereka belajar dari Kita Suci tentang
kedatangan Mesias. Nabi Yesaya sejak dahulu menggambarkan Mesias sebagai hamba
Tuhan yang akan dibunuh dengan keji demi menyelamatkan manusia (Yesaya 53).
Namun, anehnya orang-orang Yahudi tidak pernah membicarakan kemungkinan bahwa
Mesias akan dibunuh oleh bangsa-Nya sendiri. Keanehan ini ditunjukkan oleh
keterkejutan para murid dengan pernyataan Yesus yang menegaskan bahwa dirinya
harus menderita, tertolak dan dibunuh. Mereka kehilangan referensi tentang
Mesias yang begini. Oleh karena itu segeralah Petrus menegur Yesus dengan keras
memakai kata-kata yang biasa ditujukan ketika seseorang mengusir setan.
Bagaimana reaksi Yesus? Bukan
Guru yang harus mengikuti murid, tetapi murid yang harus mengikuti Guru. Reaksi
tegas Yesus menunjukkan betapa seriusnya perbedaan pendapat-Nya dengan Petrus.
Kesengsaraan, penolakan dan pembunuhan terhadap diri-Nya adalah rangkaian
ketaatan kepada kehendak Bapa. Itu semua bukan untuk dihindari. Mencoba
menghindarkan dan membalikkan dari via
dolorosa searti dengan menggoda Dia supaya tidak taat kepada Allah. Sumber
godaan seperti ini tidak lain berasal dari Iblis yang dulu pernah mencobai-Nya
di padang gurun. Lewat cobaan itu, murid-murid mengganggu kedatangan Kerajaan
Allah. Selain itu, mereka juga mungkin ketakutan bahwa nasib serupa akan
menimpa mereka, sehingga mereka marah ketika Yesus menyatakan hal itu.
Reaksi Petrus membuka selubung
keyakinan para murid. Selama ini kriteria duniawi menentukan pola pikir,
keinginan, dan langkah hidup mereka. Mereka sama sekali tidak peduli terhadap
pikiran dan rencana Allah. Petrus menjadi juru bicara musuh terbesar Allah.
Teguran keras tidak tertuju kepadanya saja tetapi kepada semua murid, bahkan
kepada semua orang yang ingin mengikut Yesus (ayat 34).
Dari awal bagian kedua Injil
Markus (Stefan Leks) terlihat suatu garis pemisah yang jelas. Yesus, Sang
Mesias menanggung sengsara dan kematian dalam melaksanakan kehendak Allah.
Akibatnya, murid-murid sampai akhir menolak mengakui Yesus sebagai Mesias.
Sikap mereka itu secara khusus akan menjadi nyata dalam kisah sengsara. Bukan
hanya Yudas Iskaryot, melainkan Petrus juga, Yakobus dan Yohanes, akhirnya
semua murid meninggalkan Yesus sendirian. Dari sudut ini, para murid tidak
tampak lebih baik dari orang-orang biasa lainnya.
Bila seseorang tidak mau
menerima Juruselamat yang menderita, maka ia menolak kehendak Allah,
satu-satunya pribadi yang berhak menetapkan cara untuk mengatasi dosa dan
kedurhakaan manusia. Yesus begitu yakin akan hal ini, sehingga Ia tidak merasa
perlu menjelaskan rencana Allah lebih lanjut. Ia hanya membenarkan bahwa jalan
salib adalah kehendak Allah.
Yesus menolak orang mengenal
diri-Nya hanya sepenggel, yakni cerita tentang keperkasaan dan kehebatan-Nya
dalam menaklukkan kuasa jahat. Masih ada serangkaian kisah pahit yang harus
dijalani-Nya melalui via dolorosa
itu. Yesus ingin orang mengenal dan mengikuti-Nya secara utuh. Yesus ingin
orang beriman bukan dalam sekeja, melainkan berjalan bersama-Nya melalui alur
penderitaan. Yesus ingin kita punya iman yang otentik. Iman yang berani
memercayakan diri kepada Allah sekalipun jalan hidup tidak selalu menyenangkan.
Keberanian iman bukanlah ditunjukkan dengan percaya kepada kemudahan hidup saja
melainkan iman itu mampu menopang kita mana kala Tuhan mengizinkan kita
melewati pekatnya gelap malam dan lembah air mata!
Jakarta, Pra-paskah ke-2, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar