Belakangan ini serangkaian
kecelakaan proyek infrastruktur terjadi diberbagai tempat. Percepatan
pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan mau tidak mau mensyaratkan
perbaikan dan pengadaan infrastruktur yang memadai. Sayangnya, pengejaran
target penyelesaian sebuah proyek tidak selalu diimbangi oleh perhitungan yang
matang dari sisi keselamatan kerja dan kualitas bangunan yang dihasilkan. Alhasil
korban pun banyak berjatuhan.
Contoh, kecelakaan proyek
pembangunan Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) pada Selasa, 20 Februari
yang lalu yang meminta tujuh orang korban luka-luka. Kecelakaan ini mestinya
bisa dihindari kalau saja semua perhitungan konstruksi dan keselamatan kerja
dipatuhi. Fakta di lapangan menunjukkan tiang penyangga tol PCB 34 di depan
Institut Bisnis Nusantara, Jalan DI Panjaitan, Cawang, menunjukkan kerangka
tiang dari baja meleyot akibat tidak kuat menahan beban. Penggunaan empat
batang baja dengan diameter 19-25 milimeter untuk mengikat penyangga, cukup
menjadi petunjuk mengapa tiang itu ambrol dan menimpa ketujuh pekerja di
bawahnya. Berdasarkan dokumen Metode Improvement Kementrian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, seharusnya tiang penyangga itu berjumlah 12 batang baja
berdiameter 32 milimeter sehingga mampu menyangga beton seberat 326 ton.
Pengurangan kualitas dari yang
semestinya dan pengabaian standar keamanan sering dilakukan manusia, tidak
hanya dalam proyek infrastruktur tetapi juga hampir di semua bidang kehidupan,
tujuannya tidak lain untuk menekan biaya tinggi dan mengejar keuntungan dari
sebuah proyek. Akibatnya kecelakaan dan kematian yang tidak seharusnya terjadi.
Keserakahan, mengejar keuntungan dan ambisi untuk menjadi nomor wahid membuat
manusia buta dan tidak lagi
mengindahkan aturan dan kaidah moral.
Manusia sering membutakan diri
terhadap norma, kaidah dan ketetapan yang berlaku demi mengejar ambisi. Israel
contohnya: Peperangan baru saja mereka menangkan. Raja negeri Arad yang tinggal
di tanah Negeb telah ditaklukan orang Israel dan kota-kotanya berhasil ditumpas
binasa. Baru saja mereka berangkat dari gunung Hor itu dan berjalan menuju Laut
Teberau untuk mengelilingi Edom, mereka mulai bersungut-sungut lagi tentang
roti dan air. Mereka tidak puas dengan apa yang sudah didapat. Mereka menuntut
lebih, mereka serakah lalu mereka melawan Allah dan Musa. Hukum-hukum Allah
diabaikan dan kini mereka memberontak. Akibatnya, tragedi dan kematian yang
harus mereka terima. "Lalu TUHAN
menyuruh ular-ular tedung ke antara bangsa itu, yang memagut mereka, sehingga
banyak dari orang Israel mati." (Bilangan 21:7). Atas tragedi ini,
mereka bertobat. Lalu Musa berdoa untuk bangsa itu. Dan TUHAN memerintahkan
Musa membuat "ular" tedung dari tembaga. Meletakkannya pada sebuah
tiang agar mudah dilihat orang. ketika seseorang dipagut ular dan ia memandang
kepala ular tedung tembaga itu, mata ia tetap hidup.
Ular tedung dari tembaga
adalah sebuah simbol. Ia bukan berhala yang harus disembah dan kemudian kuasa
mujarabnya terpancar, dapat menyembuhkan. Hukum Allah harus ditegakkan dan
tidak ada kompromi dengan dosa keserakahan manusia. Namun, di sisi lain Dia
juga TUHAN yang penuh rakhmat. Bukan ular tembaganya yang sakti, namun
spiritualitas di balik seseorang memandang ular tembaga itu. Ular-ular tedung
adalah alat di tangan Tuhan untuk mengingatkan dan menghukum mereka yang tidak
taat. Ular tembaga yang dibuat Musa juga adalah sarana di mana manusia yang
sadar akan kesalahannya segera berhenti sejenak dan memandang ular tembaga itu.
Bukan sekedar memandang, tetapi bagi yang telah terluka oleh gigitan ular
tedung, mereka mempunyai keyakinan bahwa dengan memandangnya, arah pikiran
mereka tertuju kepada Allah, mereka akan selamat. Jadi yang memulihkan adalah
pusat perhatian mereka kepada Allah. Ular tembaga itu hanyalah syareat untuk
mengingatkan kesalahan manusia sekaligus sarana pemulihannya.
Sejarah kehidupan spiritualitas kita mirip-mirip
dengan perjalanan pembebasan Israel dari tanah perbudakan di Mesir menuju tanah
perjanjian. Dalam konteks ini kita semua seperti orang Israel yang melawan
Allah dan akibatnya dihukum dengan gigitan ular tedung, lalu mati. Kita telah
jatuh di dalam dosa. Tidak ada seorang pun yang bebas dari dosa (I Yohanes 1.8)
dan upah dosa itu adalah maut. Memang kita tidak langsung mati secara fisik,
namun mengalami kematian rohani. Jika pada zaman Musa, Allah meminta Musa
membuat ular tembaga, supaya dengan
media itu orang yang seharusnya mati karena gigitan ular tedung tidak mengalami
kematian. Kini kita percaya bahwa Allah juga
menyediakan jalan pemulihan untuk kita sekarang, Yohanes 3:14,15 mengatakan:
“Dan sama seperti Musa meninggikan ular
di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap
orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” Allah menyediakan
jalan itu oleh karena begitu besarnya kasih Allah (Yohanes 3:16) dan manusia
pada dirinya sendiri –seperti orang yang digigit ular tedung- tidak dapat menolong dirinya sendiri.
Sama seperti ular yang dibuat Musa tidak mempunyai
kekuatan magis apa-apa di dalamnya. Hanya dibutuhkan ketaatan dan keyakinan.
Maka hal serupa juga mestinya terjadi ketika kita memandang dan meninggikan
Salib Yesus. Bukan an sich salibnya
yang mempunyai daya magis atau kekuatan supranatural yang luar biasa, melainkan
makna di balik salib itu. Maka salib tidak boleh diberhalakan. Salib menurut
tradisi Injil Yohanes adalah jalan kemuliaan bagi Yesus di dalam menuntaskan
karya keselamatan bagi umat manusia. Memandang dan meninggikan Salib berarti
yakin dan percaya bahwa melalui karya penderitaan Yesus itulah dosa manusia
ditebus.
Kata kerja “meninggikan”
dalam bahasa Yunani adalah hupsoun.
Dalam hubungan dengan karya Yesus, kata ini dikaitkan dengan dua peristiwa.
Pertama, kata itu dipakai ketika Yesus diangkat
di kayu salib (Yohanes 8:28; 12:32). Kedua, kata itu dipakai untuk Yesus yang diangkat atau ditinggikan ke dalam kemuliaan-Nya (Kisah Rasul 2:33, 5:31; Filipi
2:9). Bagi Yesus salib adalah jalan menuju kemuliaan. Percaya kepada salib
Yesus itu berarti menjadikan salib itu hidup dalam diri orang yang
mempercayainya, bukan percaya seperti pada berhala. Melalui salib, kita belajar
dari Yesus tentang kerendahan hati dan ketaatan. Salib pada awalnya adalah
hukuman yang memilukan dan memalukan namun, di tangan Yesus, salib telah
menjadi mulia.
Manusia ingin dihormati dan dimuliakan. Tidak ada yang
salah. Wajar! Yang salah adalah pemahaman tentang apa yang membuat orang
dihormati dan ditinggikan. Saat ini umumnya orang beranggapan dengan uang dan
kuasalah maka ia ditinggikan dan dihormati. Maka kuasa dan kekayaanlah yang
dikejar manusia sampai mati. Dalam Yesus kita belajar, kemuliaan didapati
justeru dengan kerendahaan hati dan ketaatan. Orang yang menghayati dan percaya
akan karya salib Kristus mau tidak mau di dalam hidupnya terjadi perubahan.
Dalam kisah Nikodemus, Yesus menyatakan bahwa kalau
kita percaya kepada-Nya, kita akan mempunyai hidup kekal. Kekal bukan selalu
harus dipahami sebagai kehidupan di seberang kematian. Hidup kekal adalah hidup
ilahi yang dianugerahkan kepada kita sekarang ini juga. Ini adalah hidup Dia Yang Abadi yang berkenan
mengisi ruang bathin kita. Ketika kita masuk dalam relasi dengan Yesus dan
tinggal di dalamnya, saat itu juga kita mempunyai relasi dengan-Nya, terhubung
dengan sumber kekekalan. Di sanalah kita akan mengalami transformasi dan
pembaruan hidup yang sesungguhnya. Sesudah diperbaharui, kita dapat mengerjakan
hal-hal - yang menurut perhitungan manusiawi - tidak dapat dilakukan dengan
kekuatan sendiri seperti: mencintai musuh, mengampuni tanpa batas, berbagi
hidup dengan mereka yang papa dan murah hati seperti Bapa murah hati!
Perubahan itu nyata, dapat dilihat, dirasakan dan menginspirasi
orang lain seperti apa yang dilakukan oleh Paulus (Efesus 2:1-10). Paulus
mengingatkan jemaat di Efesus bahwa mereka, sama seperti dirinya dahulu adalah
orang berdosa yang menuruti nafsu duniawi, berpikiran jahat dan selayaknyalah
dimurkai tetapi oleh karena Allah di dalam Kristus yang penuh rahmat telah
mengampuni dan memulihkan maka ia mengajak mereka untuk mengerjakan pekerjaan baik yang telah
dipersiapkan Allah sebelumnya. Bagaimana dengan kita? Apa yang sekarang sedang
kita kejar dan kerjakan? Apakah pekerjaan-pekerjaan Allah atau keserakahan dan
nafsu kita?
Jakarta, Pra-paskah IV 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar