Themis adalah salah satu dari
tujuh isteri Zeus. Dalam mitologi Yunani, dewi Themis tampil sebagai sosok
perempuan cantik dengan mata tertutup oleh kain dan tangannya memegang pedang.
Figur tersebut seolah mau menagatakan, pedang di tangan kanannya siap menebas
siapa saja yang berlaku curang, jahat dan tidak adil. Dia sia menumpas siapa
pun yang menindas dan merugikan manusia. Mata tertutup mengisyaratkan bahwa dia
tidak pandang bulu dalam memberi penghukuman. Tak pelak lagi Themis sering
dikaitkan dengan Sang Dewi Keadilan.
Sejajar dengan Themis, dalam
mitologi Romawi, dikenal Lady Justice (Iustitia). Sejak era Renaissance,
Justitia digambarkan sebagai perempuan telanjang dada, membawa sebuah pedang
dan timbangan dengan mata tertutup. Gambaran umum Justitia membawa timbangan di
tangan kiri, ini menyimbolkan pembelaan dan perlawanan pada sebuah kasus.
Tangan kanannya membawa pedang bermata dua yang menyimbolkan kekuatan
pertimbangan dan keadilan. Sedangkan mata tertutup menggambarkan bahwa keadilan
harus diberikan secara obyektif: tidak pandang bulu. Justitia dan Themis adalah
personifikasi dari adanya sebuah kerinduan manusia akan keadilan.
Ketika patung-patung Themis
atau Justitia dihadirkan di ruang-ruang pengadilan, tidak salah lagi bahwa
spirit keadilan yang obyektif itu harus dijunjung tinggi. Kita mengingat jargon
dalam dunia peradilan: Fiat justitia ruat
caelum! (Hendaklah keadilan ditegakkan, walau langit akan runtuh!). Namun,
apa yang terjadi dalam praktik-praktik peradilan? Mikha 7:3 mungkin mewakili
kelamnya dunia peradilan, "Tangan
mereka sudah cekatan berbuat jahat; pemuka menuntut, hakim dapat disuap;
pembesar memberi putusan sekehendaknya, dan hukum, mereka putar balikkan."
Kelamnya peradilan kini
menimpa Yesus. Injil Yohanes mencatat sejak peristiwa Yesus membangkitkan
Lazarus, pada saat itulah intensitas upaya pembungkaman dan pembunuhan terhadap
Yesus semakin meningkat. Para penguasa Yahudi gusar akan runtuhnya wibawa dan
ajaran mereka. "Apa yang harus kita
buat? Sebab orang itu membuat banyak mujizat. Apabila kita biarkan Dia, maka
semua orang akan percaya kepada-Nya dan orang-orang Roma akan datang dan akan
merampas tempat suci kita serta bangsa kita." (Yohanes 11:48). Lalu
bangkitlah pemimpin mereka, imam besar Kayafas. Ia menyatakan bahwa lebih baik
satu orang mati dari pada seluruh bangsa binasa. Bungkam dan enyahkan orang
yang merongrong kekuasaan itu!
Sedangkan dalam Injil
sinoptis, tuduhan terhadap Yesus tidak tunggal, minimal ada tiga tuduhan.
Pertama, Yesus dituduh telah mengancam untuk menghancurkan Bait Suci, tempat
paling suci di seantero Palestina. Yesus dituduh telah memakai gelar Mesias.
Ketiga, Yesus dituduh arogan. Dia telah menyatakan dirinya Anak Manusia dan
dengan demikian telah melewati ranah keilahian. Pada akhir pengadilan, Injil
Markus menyatakan dengan singkat, "Lalu dengan suara bulat mereka
memutuskan bahwa Dia, Yesus, harus dihukum mati" (Markus 14:64).
Kesepakatan bulat tercapai meski terjadi kejanggalan dalam proses pengadilan.
Padahal, kesepakatan bulat, tanpa ada suatu suara pun yang tidak setuju, secara
hukum merupakan tanda kebenaran yang tidak dapat dibantah.
Pembungkaman dan pembunuhan
terencana lewat apa yang namanya pengadilan telah berlansung dari generasi ke
generasi. Alasan utama biasanya demi stabilitas politik atau ada penguasa yang
merasa terganggu. Siapa penguasa Yahudi yang terganggu itu?
Sanhedrin adalah Mahkamah
Agama, dewan perwakilan pimpinan Yahudi yang mempunyai hak mengadili dan
memiliki kekuasaan besar di bidang keagamaan dan duniawi. Kekuasaan itu
meliputi kekuasaan politis, legislatif, dan yudikatif. Mahkamah ningrat
aristokrat ini muncul kira-kira dua abad sebelum kelahiran Yesus. Meski
berulang kali Mahkamah Agama itu banyak disalahgunakan oleh anggota-anggotanya
untuk kepentingan mereka sendiri. Pada zaman Yesus, Mahkamah Agama masih
mempunyai banyak kehormatan dan pengaruh. Anggota Mahkamah terdiri dari 71
anggota yang diambil dari tiga kelas sosial yang berbeda: imam-iman kepala,
ahli kitab, dan kaum tua-tua.
Istilah "imam
kepala" adalah imam besar yang masih menjabat, mencakup mantan-mantan Imam
Besar, anggota-anggota terkemuka dari keluarga-keluarga imam tempat asal imam
agung dipilih. Mereka adalah bangsawan imam di Yerusalem. Ahli-ahli kitab
adalah mereka yang mahir dalam membaca dan menafsirkan kitab suci. Kaum
tua-tua, tentu tidak sama seperti pada zaman Musa. Mereka terdiri dari tuan
tanah dan kepala keluarga-keluarga penting. Mereka berhasil menjadi orang
terpandang karena warisan atau kekayaan yang dimilikinya.
Mahkamah Agama, yang terdiri
dari tiga kelompok itu, merupakan sidang pengadilan tertinggi dan keputusannya
tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan tinggi mana pun. Kitab Talmud
menggambarkan bahwa sidang Mahkamah Agama berbentuk setengah lingkaran. Di
depan setengah lingkaran itu ada dua orang juru tulis: yang satu mencatat
jumlah yang memilih bebas dan yang lainnya mencatat yang memilih dihukum.
Menyangkut hukuman mati, ada hal-hal khusus yang harus diperhatikan.
Alasan-alasan bebas harus didengar terlebih dahulu dan tidak ada orang yang
menjatuhkan pilihan dihukum terhadap tersangka diperbolehkan memberikan
kesaksian yang tak mendukung. Keputusan tidak boleh diambil kecuali berdasarkan
dua orang saksi. Keputusan bebas dapat diambil pada hari yang sama, tetapi
keputusan dihukum hanya boleh diambil pada hari berikutnya. Setiap anggota yang
memilih, bangkit berdiri di hadapan semua yang hadir, mulai dari yang paling
muda. Mayoritas kecil cukup untuk membebaskan orang. Tetapi, keputusan setuju
untuk menghukum orang menuntut mayoritas mutlak.
Yesus dibawa ke Mahkamah Agama
itu. Mereka mencari kesaksian terhadap Yesus supaya Ia dapat dihukum mati.
Tetapi mereka tidak mendapatkannya. Di ruang sidang itu banyak juga orang yang
mengucapkan kesaksian itu tidak sesuai satu dengan yang lainnya (Markus 14:56).
Ironisnya, pengadilan terhadap Yesus itu telah melanggar hukum melawan
kesaksian-kesaksian palsu karena Kitab Keluaran 20:16 mengatakan, "Jangan mengucapkan saksi dusta tentang
sesamamu." Dalam suasana kepalsuan dan fitnah, mereka tidak mampu
memertahankan tuduhan-tuduhan mereka. Sampai akhirnya, ada seseorang yang ingat
perkataan Yesus yang memberatkan-Nya, "Kami
sudah mendengarkan orang ini berkata: Aku akan merubuhkan Bait Suci buatan
tangan manusia ini dan dalam tiga hari akan kudirikan yang lain, yang bukan
buatan tangan manusia" (Markus 14:58).
Atas tuduhan itu Yesus diam.
Diamnya Yesus membuat semakin berang Imam Besar. Ia bangkit dan meminta Yesus
menjawab pertanyaanya tentang apakah Dia adalah Mesias, Anak dari Yang Terpuji.
Yesus menjawab, "Akulah Dia, dan
kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang
di tengah-tengah awan-awan di langit" (Markus 14:62). Atas jawaban
Yesus itu, Imam Besar menyimpulkan bahwa sudah cukup bukti Yesus menghujat
Allah dan atas dasar itu hukuman mati dapat dikenakan kepada-Nya.
Dari kisah pengadilan Yesus
oleh Mahkamah Agama kita dapat melihat bahwa tujuan utama pengadilan itu bukan
untuk mengungkap kebenaran, melainkan membungkam kebenaran itu. Ada
kepentingan-kepentingan yang terganggu oleh kiprah Yesus selama ini. Imam-imam
kepala mempunyai kepentingan untuk melenyapkan Yesus oleh karena otoritas
mereka sebagai pemegang kunci kekudusan di Bait Allah mulai digugat. "Bait
Allah bukanlah bangunan fisik lagi, tetapi ada di dalam dri-Nya" kata
Yesus. Para ahli kitab suci juga punya kepentingan mengenyahkan Yesus oleh
karena otoritas kesahihan tafsir kini dijungkirbalikkan Yesus. Pun demikian
para tua-tua yang merupakan orang kaya terpandang yang berbisnis di sekitar
Bait Allah merasa perlu untuk segera melenyapkan Yesus. Bisnis mereka jadi
porak poranda oleh karena ulah Yesus.
Meski kesimpulan akhir
pengadilan rekayasa itu memutuskan Yesus harus dihukum mati. Namun, mereka
tidak dapat melakukannya. Israel wilayah jajahan Romawi, hukuman mati harus
dilakukan oleh otoritas penguasa Romawi. Itulah sebabnya, setelah Yesus
dibelenggu, mereka membawa-Nya kepada Pilatus. Untuk sampai kepada Pilatus maka
harus dicari alasan lain yang bisa menjerat-Nya dengan hukuman mati. Kini,
alasanya mulai bergeser: dari alasan menghujat Allah ke alasan politis. Yesus
mengaku raja, kata mereka! Ini alasan suversif, pemberontakan terhadap
pemerintah yang berkuasa dan hukuman yang setimpal dengan itu adalah hukuman
mati!
Pilatus tampaknya tidak mau
begitu saja percaya. Ia mencoba mengintrogasi Yesus. Namun, orang banyak yang
mulai terhasut terus-menerus memberikan tuduhan. Pada akhirnya, Pilatus
menyerah dan ia memberikan penawaran tentang siapakah yang harus dibebaskan. Mereka
berteriak dan meminta Barabas - penjahat yang sebenarnya - untuk dibebaskan dan
Yesus disalibkan!
Pengadilan bukan mencari
keadilan dan menegakkan kebenaran terus bergulir. Yang salah bisa jadi benar
dan yang benar disalahkan. Namun demikian apakah keadilan itu sendiri mati dan
kebenaran tidak lagi berdaya? Untuk sementara waktu terlihat begitu. Para murid
kocar-kacir ketakutan. Orang banyak yang dulunya berteriak Hosana! Diberkatilah Dia yang datang di dalam nama Tuhan, Raja
Israel!" Kini berbalik dengan teriakan dan hujatan caci maki, "Salibkan Dia! Salibkan Dia!"
Selanjutnya, kebenaran tetap muncul sebagai kebenaran! Kebangkitan-Nya adalah
jawaban dan koreksi atas rekayasa pengadilan sempal itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar