Kamis, 29 Maret 2018

KASIH YANG SEMPURNA


Perayaan Paskah dalam Perjanjian Lama tidak dapat dipisahkan dari sejarah Israel. Pembebasan dari tanah perbudakan di Mesir menuju negeri perjanjian. Cara perayaan itu diuraikan dengan rinci: Perayaan itu jatuh pada tanggal 14 Nisan, dalam keluarga dengan sepuluh anggota atau lebih mengurbankan satu ekor domba. Perayaan Paskah dirayakan oleh komunitas, oleh karenanya merayakan Paskah secara pribadi, dilakukan untuk sendiri sulit dibayangkan, sebab perayaan ini merujuk pada seluruh umat Allah dibawah pimpinan Musa yang keluar dari Mesir. Komunitaslah yang harus berkumpul bersama untuk mengenang pembebasan itu. Jumlah paling sedikit untuk merayakan paskah adalah 10 orang. Dan jika anggota keluarga yang ada tidak memenuhi jumlah itu maka mereka harus mengundang tetangganya (Kel. 12:4).

Perayaan Paskah bagi umat Israel merupakan perayaan utama. Karena Paskah merupakan perayaan puncak yang dipenuhi suasana puji-pujian, rasa syukur dan kegembiraan karena karya penyelamatan yang mengangumkan di masa lampau. Oleh karena itu setiap orang Israel yang berada di mana pun terpanggil untuk kembali ke axis mundi mereka : Yerusalem dan Bait Allah. Kita dapat membayangkan bagaimana penuh sesaknya Yerusalem pada perayaan Paskah itu. Yerusalem pada zaman Yesus diperkirakan berpenduduk sekitar 50.000 jiwa. Jumlah anak domba yang dikurbankan di halaman Bait Allah pada hari Kamis bisa mencapai tidak kurang dari 18.000 ekor. Karena jumlah rata-rata peserta dalam setiap kelompok adalah sepuluh orang, maka jumlah seluruh orang yang hadir di Yerusalem mencapai 180.000 orang (Jeremias: Jerusalem in the Time of Jesus).

Anak domba yang disembelih pada pagi hari di Bait Allah dimakan pada sore harinya di rumah, dalam perjamuan religius yang merupakan bagian hakiki dari perayaan Paskah itu. Yesus bersama-sama para murid adalah salah satu dari ribuan kelompok yang merayakan Paskah itu. Kamis pagi itu pasti penuh sesak dengan aliran peziarah yang tak putus-putusnya membanjiri Bait Allah. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mendapatkan tempat untuk bersama-sama merayakan Paskah itu. Luar biasa, ternyata Yesus sudah menyiapkan dengan begitu detil, "Pergilah ke kota; di sana kamu akan bertemu dengan seorang yang membawa kendi....katakanlah kepada pemilik rumah...:Pean Guru: di manakah ruangan yang disediakan bagi-Ku untuk makan Paskah bersama-sama...Lalu orang itu akan menunjukkan kamu sebuah ruangan atas yang besar yang sudah lengkap...Di situlah kamu harus mempersiapkan perjamuan Paskah untuk kita!" (Markus 14:13-15). Ayat-ayat ini sudah biasa kita tafsirkan bahwa Yesus adalah Tuhan maka Ia berkuasa dan Mahatahu, Ia sangat bisa melakukan keajaiban seperti ini. Bukankah kita bisa menafsirkannya juga bahwa di tengah-tengah situasi begitu banyaknya orang berziarah dan pastinya tempat yang tersedia sangat terbatas, Yesus telah menyiapkan segala sesuatunya dengan cermat! Dia sendiri yang berinisiatif memesan kamar dan semua perlengkapan untuk perjamuan malam. Tidak seorang murid pun menyadari dan mau melakukannya. Padahal, bisa jadi setiap tahun mereka merayakan Paskah di Yerusalem. Setiap tahun juga mereka menyaksikan keramaian dan kesulitan mendapatkan tempat untuk makan perjamuan Paskah, mengingat mereka bukan penduduk asli Yerusalem: mereka pendatang dari Nazaret - Galilea!

Kini, mereka tiba di rumah yang telah dipesan oleh Sang Guru. Perjamuan Paskah biasanya ada dua acara pokok: makan roti tidak beragi, matzoth, dan makan daging domba. Anggur digunakan sebagai pelengkap sukacita. Pada awal perayaan, pemimpin kelompok memberkati dan mengedarkan piala pertama berisi anggur dicampur air kepada angota kelompoknya. kemudian kidung hallel (Mazmur 111-113) dinyanyikan. Sesudah itu dedaunan pahit yang dicelupkan dalam cuka dimakan untuk mengenang kepahitan hidup mereka selama perbudakan di Mesir. Kemudian diedarkan piala anggur kedua dan pembasuhan tangan menjadi tanda berakhirnya bagian akhir persiapan perjamuan (Encyclopedia Britannica 15th). Lalu, mulailah perjamuan itu. roti tidak beragi diberkati, dipecah-pecahkan dan diberikan kepada semua peserta diikuti penyantapan domba yang disembelih di Bait Suci pada pagi hari tadi dan piala anggur ketiga yang juga diberkati dan diedarkan kepada para peserta. Kemudian bagian kedua kidung hallel dinyanyikan (Mzm 115-118) dengan demikian perjamuan ditutup.

Dalam perjamuan ini, Yesus - seperti halnya ketika berbicara tentang merobohkan dan membangun Bait Allah dalam tiga hari - memberi makna baru, Ia mengubah secara mendalam makna religius dari perayaan Paskah itu. Sekarang makna pembebasan dari Mesir diganti oleh kematian dan kebangkitan Yesus. Inti perayaan secara mendasar berubah, tetapi seluruh suasana syukur yang mendalam tetap meliputi mereka. Via dolorosa menggantikan tempat Mesir, dan roti serta anggur bukan lagi unsur yang biasa-biasa saja, melainkan simbol dari Sang Pemberi: "Inilah tubuh-Ku, inilah darah-Ku!"

Berbeda dari Injil Sinoptik, Yohanes tidak menceritakan tentang pemecahan roti dan pembagian anggur. Yang menjadi sorotan Yohanes adalah tentang Yesus membasuh kaki para murid. Yesus meninggalkan tindakan simbolik namun sekaligus nyata. Yesus bangkit dari perjamuan itu dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil peran seorang budak. Ia membasuh kaki para murid-Nya. Jubah adalah simbol keagungan dari si pemakainya. Orang menanggalkan jubah berarti menanggalkan kemapanan dan kemuliaannya. Sebagai ganti jubah, Yesus mengenakan kain lenan yang diikaatkan pada pinggang-Nya. Lalu, Ia mulai membasuh kaki para murid-Nya. Semuanya ini biasanya dilakukan oleh seorang budak sebelum perjamuan!

Bayangkan dalam suasana Yerusalem yang kebanjiran para peziarah, bisa jadi budak pun sulit untuk didapatkan. Mereka semua sibuk melayani para tamu dan tuan-tuan yang datang ke Yerusalem. Tak satu pun dari para murid tergerak untuk merendahkan diri dan mau mengambil peran sebagai budak. Ya, siapa juga yang mau menjadi jongos! Namun, betapa terkejutnya mereka ketika tak satu pun berinisiatif menjadi pelayan, di situlah Yesus mengambil peran itu. Maka tidaklah mengherankan kalau Petrus merasa sungkan dan tidak mau untuk dibasuh. Yesus memberikan contoh konkrit untuk perendahan diri dan melayani!

Banyak gereja melakukan tindakan simbolik ini pada Kamis Putih yang diyakini sebagai hari di mana Yesus melakukan Perjamuan terakhir bersama-sama para murid. Ada ritual pembasuhan kaki! Ini tidak salah bahkan sangat menggugah. Namun, menjadi sia-sia bahkan batu sandungan ketika dalam keseharian orang tidak menemukan semangat otentik dari sebuah kata yang bernama "melayani". Dari awal perjamuan Yesus terlebih dulu menyiapkan akomodasi dan perlengkapan, pun sampai dalam perjamuan itu Ia mengambil tindakan inisiatif proaktif.

Pembasuhan kaki menjadi mubajir, jika kita menyaksikan toilet-toilet gereja kotor dan kita hanya bisa memerintah saja, oleh karena kita merasa "itu bukan tugas saya"! Pembasuhan kaki menjadi sia-sia, apabila kita makan di restoran siap saji atau cafe lalu kita meninggalkan begitu saja piring kotor, sisa-sisa makanan dan sampah karena kita berpikir, "saya sudah membayar untuk itu semua!" Lebih baik tidak usah membasuh kaki, jika semangat yang masih ada dalam diri kita adalah dilayani dan bukan melayani!

Kasih yang sempurna bukanlah kasih yang menuntut orang lain melayani kita, melainkan menuntut diri sendiri, melakukan berbagai karya dan karsa terbaik untuk melayani sesama, meski dengan demikian kita harus menanggalkan harkat dan martabat kita. Semoga kasih Yesus menginspirasi kita untuk melakukannya.

Kamis Putis, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar