Perayaan Paskah dalam Perjanjian
Lama tidak dapat dipisahkan dari sejarah Israel. Pembebasan dari tanah
perbudakan di Mesir menuju negeri perjanjian. Cara perayaan itu diuraikan
dengan rinci: Perayaan itu jatuh pada tanggal 14 Nisan, dalam keluarga dengan sepuluh
anggota atau lebih mengurbankan satu ekor domba. Perayaan Paskah dirayakan oleh
komunitas, oleh karenanya merayakan Paskah secara pribadi, dilakukan untuk
sendiri sulit dibayangkan, sebab perayaan ini merujuk pada seluruh umat Allah
dibawah pimpinan Musa yang keluar dari Mesir. Komunitaslah yang harus berkumpul
bersama untuk mengenang pembebasan itu. Jumlah paling sedikit untuk merayakan
paskah adalah 10 orang. Dan jika anggota keluarga yang ada tidak memenuhi
jumlah itu maka mereka harus mengundang tetangganya (Kel. 12:4).
Perayaan Paskah bagi umat
Israel merupakan perayaan utama. Karena Paskah merupakan perayaan puncak yang
dipenuhi suasana puji-pujian, rasa syukur dan kegembiraan karena karya
penyelamatan yang mengangumkan di masa lampau. Oleh karena itu setiap orang
Israel yang berada di mana pun terpanggil untuk kembali ke axis mundi mereka : Yerusalem dan Bait Allah. Kita dapat
membayangkan bagaimana penuh sesaknya Yerusalem pada perayaan Paskah itu.
Yerusalem pada zaman Yesus diperkirakan berpenduduk sekitar 50.000 jiwa. Jumlah
anak domba yang dikurbankan di halaman Bait Allah pada hari Kamis bisa mencapai
tidak kurang dari 18.000 ekor. Karena jumlah rata-rata peserta dalam setiap
kelompok adalah sepuluh orang, maka jumlah seluruh orang yang hadir di Yerusalem
mencapai 180.000 orang (Jeremias:
Jerusalem in the Time of Jesus).
Anak domba yang disembelih
pada pagi hari di Bait Allah dimakan pada sore harinya di rumah, dalam
perjamuan religius yang merupakan bagian hakiki dari perayaan Paskah itu. Yesus
bersama-sama para murid adalah salah satu dari ribuan kelompok yang merayakan
Paskah itu. Kamis pagi itu pasti penuh sesak dengan aliran peziarah yang tak
putus-putusnya membanjiri Bait Allah. Bisa dibayangkan betapa sulitnya
mendapatkan tempat untuk bersama-sama merayakan Paskah itu. Luar biasa,
ternyata Yesus sudah menyiapkan dengan begitu detil, "Pergilah ke kota; di sana kamu akan bertemu dengan seorang yang membawa
kendi....katakanlah kepada pemilik rumah...:Pean Guru: di manakah ruangan yang
disediakan bagi-Ku untuk makan Paskah bersama-sama...Lalu orang itu akan
menunjukkan kamu sebuah ruangan atas yang besar yang sudah lengkap...Di situlah
kamu harus mempersiapkan perjamuan Paskah untuk kita!" (Markus
14:13-15). Ayat-ayat ini sudah biasa kita tafsirkan bahwa Yesus adalah Tuhan
maka Ia berkuasa dan Mahatahu, Ia sangat bisa melakukan keajaiban seperti ini.
Bukankah kita bisa menafsirkannya juga bahwa di tengah-tengah situasi begitu
banyaknya orang berziarah dan pastinya tempat yang tersedia sangat terbatas,
Yesus telah menyiapkan segala sesuatunya dengan cermat! Dia sendiri yang berinisiatif
memesan kamar dan semua perlengkapan untuk perjamuan malam. Tidak seorang murid
pun menyadari dan mau melakukannya. Padahal, bisa jadi setiap tahun mereka
merayakan Paskah di Yerusalem. Setiap tahun juga mereka menyaksikan keramaian
dan kesulitan mendapatkan tempat untuk makan perjamuan Paskah, mengingat mereka
bukan penduduk asli Yerusalem: mereka pendatang dari Nazaret - Galilea!
Kini, mereka tiba di rumah
yang telah dipesan oleh Sang Guru. Perjamuan Paskah biasanya ada dua acara
pokok: makan roti tidak beragi, matzoth,
dan makan daging domba. Anggur digunakan sebagai pelengkap sukacita. Pada awal
perayaan, pemimpin kelompok memberkati dan mengedarkan piala pertama berisi
anggur dicampur air kepada angota kelompoknya. kemudian kidung hallel (Mazmur 111-113) dinyanyikan.
Sesudah itu dedaunan pahit yang dicelupkan dalam cuka dimakan untuk mengenang
kepahitan hidup mereka selama perbudakan di Mesir. Kemudian diedarkan piala
anggur kedua dan pembasuhan tangan menjadi tanda berakhirnya bagian akhir
persiapan perjamuan (Encyclopedia
Britannica 15th). Lalu, mulailah perjamuan itu. roti tidak beragi diberkati,
dipecah-pecahkan dan diberikan kepada semua peserta diikuti penyantapan domba
yang disembelih di Bait Suci pada pagi hari tadi dan piala anggur ketiga yang
juga diberkati dan diedarkan kepada para peserta. Kemudian bagian kedua kidung hallel dinyanyikan (Mzm 115-118) dengan
demikian perjamuan ditutup.
Dalam perjamuan ini, Yesus -
seperti halnya ketika berbicara tentang merobohkan dan membangun Bait Allah
dalam tiga hari - memberi makna baru, Ia mengubah secara mendalam makna
religius dari perayaan Paskah itu. Sekarang makna pembebasan dari Mesir diganti
oleh kematian dan kebangkitan Yesus. Inti perayaan secara mendasar berubah,
tetapi seluruh suasana syukur yang mendalam tetap meliputi mereka. Via dolorosa menggantikan tempat Mesir,
dan roti serta anggur bukan lagi unsur yang biasa-biasa saja, melainkan simbol
dari Sang Pemberi: "Inilah tubuh-Ku,
inilah darah-Ku!"
Berbeda dari Injil Sinoptik,
Yohanes tidak menceritakan tentang pemecahan roti dan pembagian anggur. Yang
menjadi sorotan Yohanes adalah tentang Yesus membasuh kaki para murid. Yesus meninggalkan
tindakan simbolik namun sekaligus nyata. Yesus bangkit dari perjamuan itu dan
menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil peran seorang budak. Ia membasuh kaki para
murid-Nya. Jubah adalah simbol keagungan dari si pemakainya. Orang menanggalkan
jubah berarti menanggalkan kemapanan dan kemuliaannya. Sebagai ganti jubah,
Yesus mengenakan kain lenan yang diikaatkan pada pinggang-Nya. Lalu, Ia mulai
membasuh kaki para murid-Nya. Semuanya ini biasanya dilakukan oleh seorang
budak sebelum perjamuan!
Bayangkan dalam suasana
Yerusalem yang kebanjiran para peziarah, bisa jadi budak pun sulit untuk
didapatkan. Mereka semua sibuk melayani para tamu dan tuan-tuan yang datang ke
Yerusalem. Tak satu pun dari para murid tergerak untuk merendahkan diri dan mau
mengambil peran sebagai budak. Ya, siapa juga yang mau menjadi jongos! Namun,
betapa terkejutnya mereka ketika tak satu pun berinisiatif menjadi pelayan, di
situlah Yesus mengambil peran itu. Maka tidaklah mengherankan kalau Petrus
merasa sungkan dan tidak mau untuk dibasuh. Yesus memberikan contoh konkrit
untuk perendahan diri dan melayani!
Banyak gereja melakukan
tindakan simbolik ini pada Kamis Putih yang diyakini sebagai hari di mana Yesus
melakukan Perjamuan terakhir bersama-sama para murid. Ada ritual pembasuhan
kaki! Ini tidak salah bahkan sangat menggugah. Namun, menjadi sia-sia bahkan
batu sandungan ketika dalam keseharian orang tidak menemukan semangat otentik
dari sebuah kata yang bernama "melayani". Dari awal perjamuan Yesus
terlebih dulu menyiapkan akomodasi dan perlengkapan, pun sampai dalam perjamuan
itu Ia mengambil tindakan inisiatif proaktif.
Pembasuhan kaki menjadi
mubajir, jika kita menyaksikan toilet-toilet gereja kotor dan kita hanya bisa
memerintah saja, oleh karena kita merasa "itu bukan tugas saya"!
Pembasuhan kaki menjadi sia-sia, apabila kita makan di restoran siap saji atau
cafe lalu kita meninggalkan begitu saja piring kotor, sisa-sisa makanan dan
sampah karena kita berpikir, "saya sudah membayar untuk itu semua!"
Lebih baik tidak usah membasuh kaki, jika semangat yang masih ada dalam diri
kita adalah dilayani dan bukan melayani!
Kasih yang sempurna bukanlah
kasih yang menuntut orang lain melayani kita, melainkan menuntut diri sendiri,
melakukan berbagai karya dan karsa terbaik untuk melayani sesama, meski dengan
demikian kita harus menanggalkan harkat dan martabat kita. Semoga kasih Yesus
menginspirasi kita untuk melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar