Jumat, 16 Maret 2018

MERENGKUH KEMATIAN DEMI KESELAMATAN



Penemuan arkeologi membuktikan bahwa hukuman salib sudah digunakan di Athena, pada abad 7 SM untuk menghukum mati para perampok. Tetapi cara penghukuman seperti itu lebih sering dipraktikan oleh orang-orang Persia. Menurut Tacitus, sejarawan Romawi, penyaliban dikenal dikalangan orang-orang Jerman dan juga orang Briton. Sedangkan orang Romawi mengambil alih penyaliban dari orang-orang Kartago. Penyaliban yang dilakukan oleh orang Yahudi, dilaporkan oleh Yoshepus, terjadi satu abad sebelum Yesus adalah ketika Imam Besar orang Saduki, Alexander Janneus memerintahkan untuk menghukum mati 800 orang dengan cara disalibkan di Yerusalem. Menurut hukum Yahudi, mayat para penyembah berhala dan para penghujat digantung pada sebatang pohon untuk menunjukkan bahwa mereka dikutuk oleh Allah (Ulangan 21:23).

Yosephus berpendapat bahwa, salib merupakan "kematian yang paling buruk". Penulis Romawi, Cicero, menyebutnya sebagai "hukuman yang paling bengis dan memuakkan...bentuk hukuman mati yang secara khusus diekanakan untuk para budak." Di bawah kekaisaran Romawi, penyaliban biasanya mencakup juga penyesahan yakni, penyiksaan paling menyakitkan. Disebabkan hukuman salib merupakan hukuman mengerikan, penyiksaan dan pelecehan terhadap martabat kemanusiaan, maka Filsuf Seneca mengatakan, "Lebih baik melakukan bunuh diri daripada menghadapi kematian di salib yang berkepanjangan. Adakah orang yang lebih suka disia-siakan dalam penderitaan, sekarat dalam waktu yang lambat dan mati perlahan-lahan? Dapatkah ditemukan orang yang mau diikat pada sebatang kayu terkutuk, sakit berlama-lama, seluruh tubuh rusak, bengkak dengan bilur-bilur yang nyeri pada bahu dan dada, menarik nafas kehidupan selama penderitaan yang berkepanjangan. Ia akan memilih banyak cara lain untuk mati sebelum menaiki salib."

Banyak orang memilih kematian singkat daripada menderita berlama-lama! Bukankah kasus-kasus bunuh diri yang marak belakangan ini dilatarbelakangi oleh enggannya manusia berlama-lama hidup dalam penderitaan. Namun, ternyata Yesus memilih jalan itu sebagai bentuk ketaatan kepada Bapa-Nya.

Menarik, dalam Injil Yohanes, kematian yang begitu mengerikan dan dihindari oleh siapa pun, justeru dipilih Yesus. Yesus menguasai dan mengontrol situasi. Di sini Yesus bukan sosok yang dikorbankan. Kematian-Nya tidak disertai jeritan "Eloi, Eloi, lama sabaktani!" Sebaliknya, Ia mati dengan kesadaran bahwa Ia menjalankan segala tugas Bapa-Nya dengan paripurna. Oleh karena itu Ia berkata, "Tetelestai!" (Sudah selesai!).

Di dalam Injil Yohanes, kematian Yesus tidak digambarkan sebagai sebuah kematian yang disertai peristiwa-peristiwa kosmis. Tidak ada gempa bumi, tidak ada tabir Bait Suci terbelah dua, tidak ada kubur yang terbuka, tidak ada orang-orang mati yang bangkit kembali. Hanya dikatakan, Yesus menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya. Semua seolah wajar seperti kematian orang lain juga yang disalibkan. Namun, yang membedakan adalah pilihan Yesus untuk menempuh jalan itu dan sikap berserah penuh kepada Bapa-Nya.

Yesus sengaja merengkuh kematian itu - bahkan dengan cara paling mengerikan pada zaman-Nya. Cara itu dilakukan agar kematiaan-Nya membuahkan keselamatan bagi umat manusia. Di kayu salib itu kisah mengerikan mengenai kekerasan, kebencian, dan kekejaman sudah selesai. Kekerasan dan kebencian telah diubah menjadi kelembutan dan pengampunan, berkat kuasa Allah, sabda Allah yang menjadi daging. Air hidup mulai mengalir. Sekarang, melalui-Nya, orang dapat menerima air sumber kasih.

Namun, anugerah Allah tidak diberikan tanpa rasa pedih dan nyeri. Pedihnya kematian Yesus, yang diterima dengan bebas, diikuti oleh kepedihan dan kematian yang diterima dengan percuma oleh para murid-Nya. Sebagaimana hidup mengalir dari hati Yesus yang tertombak, hidup juga akan mengalir dari hari orang-orang yang akan menderita dalam nama Yesus. Kita juga dipanggil-Nya untuk masuk dalam arus ini. Bisa saja dalam meneruskan cinta kasih Bapa kita menghadapi penolakan bahkan penganiayan. Namun, yakinlah bahwa segala pengurbanan itu tidak akan sia-sia.

Pada tahun 1982, Oscar Romero dibunuh oleh militer di El Salvador, karena ia dituduh berpihak kepada orang miskin, mereka yang tidak mempunyai tanah. Ia melawan penindasan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa. Tidak lama sebelum ia meninggal, Oscar Romero mengatakan, "Kalau darah saya ditumpahkan, darah itu akan memberi hidup kepada orang lain di El Salvador." Dia adalah satu dari orang yang tak terbilang banyaknya yang telah memberikan hidup mereka demi meneruskan kasih Kristus.

Sekarang ini banyak orang dengan hati terluka, jiwa hancur, hidup dengan perasaan gagal, tertolak, kehilangan makna hidup. Misteri Yesus adalah bahwa Ia turun merengkuh kegagalan dan kepedihan, serta membiarkan diri-Nya diinjak-injak. Melalui kegagalan dan kepedihan ini, Ia membawa hidup bagi kita. Biji gandum harus mati agar menghasilkan buah. Buah anggur harus menjadi busuk agar dapat berfermentasi dan menghasilkan minuman anggur.

Banyak orang menjadi korban ketidakadilan, di tempat-tempat pengungsian, penjara, rumah sakit, lembaga sosial, daerah kumuh, hidup di pinggir jalan. Banyak orang ditolak, dilempar keluar dari masyarakat; mereka berteriak mencari orang yang bisa meringankan penderitaan mereka. Mereka berjuang demi martabat kemerdekaan. Banyak yang kehilangan iman. Mereka mencari orang yang berbela rasa untuk berdiri di samping mereka, seperti Maria berdiri di kaki salib Yesus. Mereka tidak butuh teori tetapi butuh mengalami kehadiran kasih. Apakah Anda merasa diri Anda orangnya yang Tuhan gerakkan untuk mereka-mereka ini? Jika, "ya" berarti Anda benar-benar telah merasakan jamahan kasih TUHAN.

Jakarta, Jumat Agung '2018

1 komentar: