Penemuan arkeologi membuktikan
bahwa hukuman salib sudah digunakan di Athena, pada abad 7 SM untuk menghukum
mati para perampok. Tetapi cara penghukuman seperti itu lebih sering
dipraktikan oleh orang-orang Persia. Menurut Tacitus, sejarawan Romawi, penyaliban
dikenal dikalangan orang-orang Jerman dan juga orang Briton. Sedangkan orang
Romawi mengambil alih penyaliban dari orang-orang Kartago. Penyaliban yang
dilakukan oleh orang Yahudi, dilaporkan oleh Yoshepus, terjadi satu abad
sebelum Yesus adalah ketika Imam Besar orang Saduki, Alexander Janneus
memerintahkan untuk menghukum mati 800 orang dengan cara disalibkan di
Yerusalem. Menurut hukum Yahudi, mayat para penyembah berhala dan para
penghujat digantung pada sebatang pohon untuk menunjukkan bahwa mereka dikutuk
oleh Allah (Ulangan 21:23).
Yosephus berpendapat bahwa,
salib merupakan "kematian yang paling buruk". Penulis Romawi, Cicero,
menyebutnya sebagai "hukuman yang paling bengis dan memuakkan...bentuk
hukuman mati yang secara khusus diekanakan untuk para budak." Di bawah
kekaisaran Romawi, penyaliban biasanya mencakup juga penyesahan yakni,
penyiksaan paling menyakitkan. Disebabkan hukuman salib merupakan hukuman
mengerikan, penyiksaan dan pelecehan terhadap martabat kemanusiaan, maka Filsuf
Seneca mengatakan, "Lebih baik melakukan bunuh diri daripada menghadapi
kematian di salib yang berkepanjangan. Adakah orang yang lebih suka disia-siakan
dalam penderitaan, sekarat dalam waktu yang lambat dan mati perlahan-lahan?
Dapatkah ditemukan orang yang mau diikat pada sebatang kayu terkutuk, sakit
berlama-lama, seluruh tubuh rusak, bengkak dengan bilur-bilur yang nyeri pada
bahu dan dada, menarik nafas kehidupan selama penderitaan yang berkepanjangan.
Ia akan memilih banyak cara lain untuk mati sebelum menaiki salib."
Banyak orang memilih kematian
singkat daripada menderita berlama-lama! Bukankah kasus-kasus bunuh diri yang
marak belakangan ini dilatarbelakangi oleh enggannya manusia berlama-lama hidup
dalam penderitaan. Namun, ternyata Yesus memilih jalan itu sebagai bentuk
ketaatan kepada Bapa-Nya.
Menarik, dalam Injil Yohanes,
kematian yang begitu mengerikan dan dihindari oleh siapa pun, justeru dipilih
Yesus. Yesus menguasai dan mengontrol situasi. Di sini Yesus bukan sosok yang
dikorbankan. Kematian-Nya tidak disertai jeritan "Eloi, Eloi, lama sabaktani!" Sebaliknya, Ia mati dengan
kesadaran bahwa Ia menjalankan segala tugas Bapa-Nya dengan paripurna. Oleh
karena itu Ia berkata, "Tetelestai!"
(Sudah selesai!).
Di dalam Injil Yohanes,
kematian Yesus tidak digambarkan sebagai sebuah kematian yang disertai
peristiwa-peristiwa kosmis. Tidak ada gempa bumi, tidak ada tabir Bait Suci
terbelah dua, tidak ada kubur yang terbuka, tidak ada orang-orang mati yang
bangkit kembali. Hanya dikatakan, Yesus menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan
nyawa-Nya. Semua seolah wajar seperti kematian orang lain juga yang disalibkan.
Namun, yang membedakan adalah pilihan Yesus untuk menempuh jalan itu dan sikap
berserah penuh kepada Bapa-Nya.
Yesus sengaja merengkuh
kematian itu - bahkan dengan cara paling mengerikan pada zaman-Nya. Cara itu
dilakukan agar kematiaan-Nya membuahkan keselamatan bagi umat manusia. Di kayu
salib itu kisah mengerikan mengenai kekerasan, kebencian, dan kekejaman sudah
selesai. Kekerasan dan kebencian telah diubah menjadi kelembutan dan
pengampunan, berkat kuasa Allah, sabda Allah yang menjadi daging. Air hidup
mulai mengalir. Sekarang, melalui-Nya, orang dapat menerima air sumber kasih.
Namun, anugerah Allah tidak
diberikan tanpa rasa pedih dan nyeri. Pedihnya kematian Yesus, yang diterima
dengan bebas, diikuti oleh kepedihan dan kematian yang diterima dengan percuma
oleh para murid-Nya. Sebagaimana hidup mengalir dari hati Yesus yang tertombak,
hidup juga akan mengalir dari hari orang-orang yang akan menderita dalam nama
Yesus. Kita juga dipanggil-Nya untuk masuk dalam arus ini. Bisa saja dalam
meneruskan cinta kasih Bapa kita menghadapi penolakan bahkan penganiayan.
Namun, yakinlah bahwa segala pengurbanan itu tidak akan sia-sia.
Pada tahun 1982, Oscar Romero
dibunuh oleh militer di El Salvador, karena ia dituduh berpihak kepada orang
miskin, mereka yang tidak mempunyai tanah. Ia melawan penindasan yang dilakukan
oleh orang-orang yang berkuasa. Tidak lama sebelum ia meninggal, Oscar Romero
mengatakan, "Kalau darah saya ditumpahkan, darah itu akan memberi hidup
kepada orang lain di El Salvador." Dia adalah satu dari orang yang tak
terbilang banyaknya yang telah memberikan hidup mereka demi meneruskan kasih
Kristus.
Sekarang ini banyak orang
dengan hati terluka, jiwa hancur, hidup dengan perasaan gagal, tertolak,
kehilangan makna hidup. Misteri Yesus adalah bahwa Ia turun merengkuh kegagalan
dan kepedihan, serta membiarkan diri-Nya diinjak-injak. Melalui kegagalan dan
kepedihan ini, Ia membawa hidup bagi kita. Biji gandum harus mati agar
menghasilkan buah. Buah anggur harus menjadi busuk agar dapat berfermentasi dan
menghasilkan minuman anggur.
Banyak orang menjadi korban
ketidakadilan, di tempat-tempat pengungsian, penjara, rumah sakit, lembaga
sosial, daerah kumuh, hidup di pinggir jalan. Banyak orang ditolak, dilempar
keluar dari masyarakat; mereka berteriak mencari orang yang bisa meringankan
penderitaan mereka. Mereka berjuang demi martabat kemerdekaan. Banyak yang
kehilangan iman. Mereka mencari orang yang berbela rasa untuk berdiri di
samping mereka, seperti Maria berdiri di kaki salib Yesus. Mereka tidak butuh
teori tetapi butuh mengalami kehadiran kasih. Apakah Anda merasa diri Anda
orangnya yang Tuhan gerakkan untuk mereka-mereka ini? Jika, "ya"
berarti Anda benar-benar telah merasakan jamahan kasih TUHAN.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus