Undang-undang yang baru tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) baru saja diketok oleh DPR. Dalam beberapa
diskusi yang ditayangkan oleh sejumlah televisi nasional, para anggota dewan
menegaskan bahwa mereka memerlukan revisi undang-undang MD3 agar kehormatan
anggota dewan yang mulia itu tidak dengan mudahnya difitnah, dilecehkan dan
dihina. Minimal ada tiga pasal untuk menjaga kemuliaan lembaga-lembaga - dan
tentunya anggota-anggotanya. Pasal-pasal itu adalah:
Pasal 73,
Polisi diwajibkan membantu pemanggilan paksa bagi pihak yang diperiksa DPR namun enggan datang.
Pasal 122 huruf "K",
di mana Mahkamah Kemhormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum terhadap
pihak yang merendahkan kehormatan DPR baik sebagai lembaga maupun anggota.
Pasal 245, yang mengatur bahwa
pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum harus melalui pertimbangan MKD
terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.
Pengesahan
undang-undang MD3 ini menuai polemik dan
penolakan oleh banyak kalangan, terutama mahasiswa. Dasar penolakan itu oleh
karena nantinya DPR baik sebagai lembaga maupun anggotanya tidak lagi bisa
dikritik. Undang-undang itu akan memperkuat hak imun mereka. Setiap kritik dan
masukan bisa saja ditafsirkan sebagai pelecehan atau penghinaan terhadap
anggota dewan yang terhormat itu dan untuk itu pelakukan bisa dikenakan tindak
pidana. Di lain pihak, mereka bisa menyeret - bahkan menggunakan alat negara,
dalam hal ini polisi - setiap orang yang dinilai tidak kooperatif dan
melecehkan anggota dewan ini.
Tentu
sebagian masyarakat kecewa. Logika berpikir seharusnya adalah bahwa hehormatan
anggota dewan bukanlah diraih dengan cara membuat sejumlah undang-undang agar
mereka imun (tidak bisa dipidanakan) dan membungkam suara-suara sumbang
masyarakat tentang kinerja dan moralitas mereka. Sebagian rakyat menghendaki
mereka yang terhormat itu menunjukkan fungsi mereka benar-benar wakil rakyat.
Memberi contoh dalam tranparansi anggaran, menjadi teladan dan benteng moral,
panutan dalam berdemokrasi, menyelesaikan tugas pokok mereka sebagai pembuat
undang-undang. Nyatanya, target penyelesaian undang-undang dari tahun ke tahun
tidak pernah selesai. Bangku-bangku dalam ruangan yang berfasilitas bintang
lima hampir selalu tidak kourum dalam setiap persidangan. Sebagian banyak
terjerat kasus korupsi, narkoba dan tindakan ilegal lainnya.
Setiap
orang tentu ingin dihormati dan diberi tempat mulia. Tidak salah! Namun,
masalahnya apakah pantas sebuah tuntutan setinggi langit hanya dibayar dengan
sebuah produk undang-undang? Tidakkah seharusnya penghargaan itu berbanding
lurus dengan komitmen pada integritas dan kerja keras yang dihasilkan?
Menanggapi
sebuah peristiwa yang menggegerkan di Betania, para anggota Mahkamah Agama
berkumpul. Dalam sidang itu mereka membahas bagaimana memertahankan kemuliaan
dan kewibawaan mereka. Kewibawaan dan ajaran mereka kini terancam. Sebabnya,
ada seorang yang terus-menerus melakukan pengajaran disertai tanda-tanda
mujizat! "Apa yang harus kita buat?
Sebab orang itu membuat banyak mujizat. Apabila kita biarkan Dia, maka semua orang
akan percaya kepada-Nya dan orang-orang Roma akan datang dan akan merampas
tempat suci kita serta bangsa kita." (Yohanes 11:48). Lalu bangkitlah
pemimpin mereka, imam besar Kayafas. Ia menyatakan bahwa lebih baik satu orang
mati dari pada seluruh bangsa binasa. Bungkam dan enyahkan orang yang
merongrong kekuasaan itu! Sejak peristiwa Lazarus yang dibangkitkan itu, mereka
mencari jalan untuk membunuh baik Lazarus maupun Yesus.
Bagaimana
Yesus menghadapi ancaman ini? Ancaman tidak bisa menghentikan kiprah-Nya. Ia
memaknainya bahwa kesengsaraan dan bahkan kematian di tiang salib itu justeru menggenapi
kedatangan-Nya (Yoh.12:27). Yesus memberi makna baru terhadap kematian yang
mengerikan itu: ditinggikan dan
dimuliakan! Yesus yang terlihat nantinya digantung di tiang salib itu,
justeru di situlah letak kemuliaan sesungguhnya. Kemuliaan yang seperti apa? Ya,
Ia menyelesaikan tugas dengan setia sampai akhir! Kemuliaan Yesus telah tampak
dari seluruh karya-Nya. Ia menerjemahkan kalam ilahi menjadi nyata dalam hidup:
dalam darah dan daging-Nya, dalam ucap dan perbuatan-Nya dan puncaknya adalah
ketaatan di atas kayu salib itu!
Yesus
menyatakan kematian-Nya sebagai kematian butir gandum yang memang harus jatuh
dan mati untuk menghasilkan banyak buah. Pernyataan Yesus tentang gandum ini
tidak hanya berlaku bagi Yesus, tetapi juga setiap orang yang ingin mengikuti-Nya.
Yesus mengundang para murid untuk menempuh cara hidup yang sama, yakni tidak
menyayangkan nyawa mereka untuk sebuah kemuliaan yang sesungguhnya: untuk
sebuah kehidupan kekal. Orang yang tidak menyayangkan - nyawa sekali pun - di
dunia ini adalah seperti gandum yang ditabur di tanah kemudian mati, tetapi
pada akhirnya menghasilkan butir-butir gandum yang baru. Orang yang mencintai
nyawanya adalah bagaikan bulir gandung yang tidak mau mati sehingga akhirnya
tinggal sebiji saja.
Biji
gandum harus mati agar menghasilkan banyak buah. Kita dipanggil untuk mati
terhadap keegoisan kita. Kehilangan "nyawa" bukan hanya hidup psikis, tetapi hidup menurut nilai-nilai
duniawi. Dunia yang tidak memberi tempat kepada Allah tetapi penuh dengan
berhala: keserakahan atu nafsu terhadap kuasa, harta, seksualitas, dan
penaklukan. "Nyawa" juga menyangkut kecenderungan-kecenderungan
psikologis kita: untuk dicintai, dihargai, diakui oleh kelompok, dan untuk
mengontrol orang lain. Bukankah keinginan-keinginan seperti ini bukan hanya
milik anggota dewan terhormat, atau mahkamah Sanhedrin? Keinginan-keinginan ini
ada dalam diri kita!
Kita dapat
merasakan keinginan untuk dikagumi, untuk menjadi pribadi rohani yang paling unggul
dan mendambakan punya otoritas mengontrol orang lain. Kita dapat menciptakan
topeng intelektual, religius, atau mencitrakan diri sebagai tokoh filantropis,
itulah "nyawa" atau spirit dari hampir setiap orang. Seolah Yesus mau
menegaskan, "barang siapa mencintai dan memertahankan 'spirit' hidup
seperti ini, maka ia akan kehilangan 'nyawa' yang sebenarnya!"
Mati
terhadap diri sendiri dan bangkit dalam kasih akan terjadi ketika kita berusaha
membuka genggaman kita: keegoisan dan keserakahan. Kita berani untuk
meninggalkan ruang nyaman kita dan menyentuh serta merawat tubuh-tubuh yang
rentan dan menderita. Seperti Yesus menyentuh si kusta, mencelikan si buta, dan
memanggil Lazarus dari kuburnya. Kemuliaan yang seharus diidamkan oleh murid
Yesus bukanlah kemuliaan semu; bukan pula penghargaan decak kagum dunia.
Melainkan datangnya dari Allah sendiri ketika kelak Ia menyambut kita,
"baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia..."
Yesus
telah terlebih dahulu menuju jalan kemuliaan itu. Ia memberi contoh dan
teladan, maka ketika kita menyatakan diri menjadi murid-murid-Nya, kita pun
seharusnya berada pada jalan yang sama. Mengikuti apa saja yang sudah
dilalui-Nya hingga sampai pada titik akhir!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar