"Teori-teori kosmologi membawa kita ke batas, ke suatu tepi
cakrawala. Di batas paling jauh dari yang bisa kita raih, di tempat hal-hal
tidak bisa diselesaikan lagi dengan berpikir, di situlah ada tahap iman."
Karlina Supelli.
Tak banyak orang berkesempatan
menjalani hidup seperti Kalina Supelli. Ia harus meninggalkan seluruh
cita-citanya ketika keberhasilan tinggal selangkah lagi. Di tengah kesendirian,
ia kelihangan kakak yang amat dicintainya. Belum selesai masa berkabung, enam
bulan kemudian Karlina didiagnosa dokter terkena kanker. Dari suatu kematian
yang riil, ia menghadapi risiko lain yang berujung sama.
Penderitaan yang bertubi-tubi
itu tidak membuat Karlina luruh. Bekal ilmiahnya membantu untuk bangkit.
"Nalar berpikir menuntun saya memilih mana yang harus diselesaikan secara
teknis, mana yang perlu dipikirkan mendalam, dan mana yang memerlukan rasa
perasaan", kata Karlina.
Namun, ketika nalar berpikir
tak lagi mampu menjangkau, hanya iman yang bisa menuntun. Iman pula yang bisa
membuatnya berserah. Seperti pasien-pasien kanker lainnya, kemoterapi
merontokkan fungsi pertahanan tubuhnya. Ia tidak boleh bertemu banyak orang
karena kondisinya amat rentan. Rambutnya yang tebal mengurai berguguran. Ia
sangat lemah. Hanya otaknya yang bergerak bebas, berkelana ke ranah-ranah yang
jauh. Dalam kesakitan yang panjang ia bangkit menyelesaikan pikiran utama dalam
buku, "Dari Kosmologi ke Dialog,
Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme." (Desember 2011)
Karlina lahir di Jakarta, 15
Januari 1958, lulus dengan predikat cum laude sebagai sarjana bidang astronomi
di Institut Teknologi Bandung. Sempat ke Inggris untuk mewujudkan cita-citanya
menjadi ilmuwan kosmologi. Jalan hidupnya berubah total ketika harus kembali ke
Indonesia sebelum waktunya. Ia sempat merasa buntu, tetapi kemudian dia sadar
bahwa hidup tidak semua pintu tertutup dan tidak semua jendela terbuka.
"Selalu ada jalan, asal mau melangkah," katanya. (Diringkas dari tulisan Kompas, Maria
Hartingsih & Agnes Aristiarini dalam blog Halaman Kebudayaan Indonesia).
Saya percaya apa yang difahami
oleh Karlina bukanlah sebuah pemisahan antara ilmu pengetahuan, nalar dengan
iman atau kepercayaan. Namun, iman itulah yang menopangnya manakala jangauan
ilmu pengetahuan tidak lagi sanggup menjawab kegelisahannya. Iman memampukan
seseorang untuk tetap berbaik sangka dan berpengharapan di tengah kegetiran
hidup walau nalar mengatakan, "no
way".
Ada banyak penyebab kita
berada dalam pusaran kegetiran hidup. Bisa karena bencana, sakit penyakit,
berada pada situasi dan kondisi yang tidak tepat, difitnah, dianiaya, dan
dipersalahkan. Pendek kata situasi itu membuat hidup menjadi tidak enak, jauh
dari damai sejahtera. Dalam situasi seperti ini sangat mungkin kita berkata
seperti umat Israel ketika berada dalam tekanan Nebukadnezar, "Hidupku tersembunyi dari TUHAN, dan
hakku tidak diperhatikan Allahku..." (Yesaya 40:27). Ketika badai
hidup menerpa, bagi sebagian besar orang tidak lagi mampu menggunakan nalarnya
dengan baik, sebaliknya menjadi baperan:
sangat sensitif, mudah marah, berprasangka buruk dan cenderung mencari kambing
hitam dan menyalahkan keadaan atau pihak-pihak lain ketimbang memaknai dan mencari solusi. Bukankah Israel
mestinya menyadari bahwa sebelum terjadi kegetiran itu, TUHAN sudah dengan
pelbagai cara melalui para nabi-Nya mengingatkan mereka?
Beruntung, TUHAN menjawab, "Arahkanlah matamu ke langit dan
lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu dan menyuruh segenap tentara
keluar, sambil memanggil nama mereka sekaliannya?..." (Yesaya 40:26).
Dalam jawaban ini, tampaknya TUHAN mengajak Israel memakai panca indra, narasi histori dan nalar
mereka untuk memahami kegetiran itu sambil mengakui kedaulatan TUHAN dan keterbatasan
mereka. TUHAN mengajak umat-Nya untuk tidak sekedar menuntut dan hidup dalam
kenyamanan, melainkan bertanggung jawab dan menemukan rancangannya.
Mencari solusi dan memecahkan
masalah tentu lebih mudah jika penyebab masalah itu diketahui. Sebagaimana
dokter menolong orang sakit. Ia akan lebih mudah mengobati ketika mengetahui
penyebab sakit itu. Yesus berhadapan dengan banyak orang yang sedang mengalami
kegetiran: kemiskinan dan sakit penyakit. Minggu kelima setelah epifani, bacaan Injil masih berkisah
tentang pelayanan Yesus yang memulihkan
banyak orang. Injil Markus 1:29-39 bercerita tentang pemulihan ibu mertua
Petrus yang sakit demam dan banyak orang sakit lainnya di sekitar Kapernamun
dan Galilea. Dalam Perjanjian Baru terdapat tiga kisah penyembuhan dari demam
(Markus 1-30, Yohanes 4:52 dan Kisah rasul 28:8). Menurut Injil Lukas yang
sejajar dengan kisah ini, demam ibu mertua Simon itu serius. Demam menurut ilmu
medis saat ini bukanlah "sakit", melainkan tanda (simptom) di mana suhu tubuh meingkat,
badan menggigil, kepala pusing dan lainnya. Demam adalah tanda yang menunjukkan
bahwa dalam tubuh ada sesuatu yang tidak beres: ada infeksi atau virus. Tentu
saja pemahaman seperti ini belum ada pada zaman Yesus.
Penderitaan, sakit dan dalam
kasus ini demam menurut pemikiran orang Yahudi pada zaman itu terjadi karena
dua hal: kuasa roh jahat atau hukuman Allah. Menurut Ulangan 28:22, demam
termasuk kutukan yang ditimpakan Allah atas Israel yang tidak setia dalam perjanjian.
Maka kehadiran dan pemulihan yang dilakukan Yesus terhadap ibu mertua Petrus
dipandang sebagai pengangkatan segala macam kutuk.
Sepertinya, berita pemulihan
ini tersebar di kampung itu. Maka berduyun-duyunlah orang datang kepada Yesus
untuk dipulihkan dari sakit dan kelemahan mereka. Yesus yang menyembuhkan
banyak orang, jangan dipandang sebagai tabib atau dukun. Profesi-Nya bukan itu!
Ia menyembuhkan orang sakit dan membebaskan orang dari gangguan roh jahat,
bukan untuk menyelesaikan seluruh masalah gangguan kesehatan di Kapernaum,
melainkan untuk menunjukkan belas kasihan Allah yang mengalahkan kuasa-kuasa
jahat yang merusak kehidupan manusia. Mujizat yang Yesus lakukan adalah
tanda-tanda kecil yang berbicara tentang sesuatu yang lebih besar, yakni
Kerajaan Allah. Allah sendiri, melalui Yesus Kristus hadir dan membarui dunia.
Mujizat tidak diberikan hanya untuk kenikmatan diri sendiri. Anugerah
keselamatan yang Tuhan berikan kepada kita hendaknya dijawab dengan kesediaan
melayani Tuhan melalui sesama, seperti yang dicontohkan sendiri oleh ibu mertua
Petrus. Setelah disembuhkan dari demamnya, ibu ini melayani mereka.
Bisa jadi pada saat ini kita
sedang mengalami kegetiran hidup seperti pengalaman Karlina Supelli, Israel
pada masa Nebukadnezar atau seperti ibu mertua Petrus dan orang-orang sakit di
kampung Kapernaum. Adalah lebih bijak untuk tidak hanya sekedar menyalahkan
keadaan, orang lain, atau bahkan menyalahkan Tuhan. Karlina berhasil menemukan
kehadiran Tuhan di mana batas cakrawala berpikirnya sudah berhenti. Iman yang
memampukannya untuk merasakan kehadiran-Nya untuk menopang dalam meneruskan
langkah kehidupannya. Yesaya menyatakan bahwa Allah tidak pernah melupakan
umat-Nya. Ia selalu hadir dan kehadiran-Nya mengenyahkan kegetiran umat itu.
Demikian juga dengan dengan kehadiran Yesus, Ia menyatakan Kekuasaan dan
Kerajaan Allah itu benar-benar nyata.
Nah, saat ini marilah kita
yakini bahwa kehadiran-Nya bukan saja ketika kehidupan serba menyenangkan,
melainkan juga Ia bisa hadir di tengah kegetiran hidup kita. Ia mampu
mengubahkan kondisi itu menjadi kebaikan dan berkat. Ada tugas menanti yang harus
dilakukan oleh setiap orang yang telah merasakan kehadiran-Nya, yakni melayani
Dia melalui sesama seperti yang diperagakan oleh ibu mertua Yesus. Siapa tahu
justeru dengan pelayanan tulus yang kita berikan terhadap orang lain, di
situlah kita menjadi alat untuk jawaban doa dari kegetiran orang lain.
cara daftar sabung ayam di agen s128 terpercaya!
BalasHapusMinimal Deposit IDR 50.000,- Raih Kemenangan Anda Sekarang Juga 100% Tanpa Bot
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www.bolavita.ltd
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
WA: +628122222995