Jumat, 02 Februari 2018

TUHAN HADIR DI TENGAH HIDUP YANG GETIR



"Teori-teori kosmologi membawa kita ke batas, ke suatu tepi cakrawala. Di batas paling jauh dari yang bisa kita raih, di tempat hal-hal tidak bisa diselesaikan lagi dengan berpikir, di situlah ada tahap iman." Karlina Supelli.

Tak banyak orang berkesempatan menjalani hidup seperti Kalina Supelli. Ia harus meninggalkan seluruh cita-citanya ketika keberhasilan tinggal selangkah lagi. Di tengah kesendirian, ia kelihangan kakak yang amat dicintainya. Belum selesai masa berkabung, enam bulan kemudian Karlina didiagnosa dokter terkena kanker. Dari suatu kematian yang riil, ia menghadapi risiko lain yang berujung sama.

Penderitaan yang bertubi-tubi itu tidak membuat Karlina luruh. Bekal ilmiahnya membantu untuk bangkit. "Nalar berpikir menuntun saya memilih mana yang harus diselesaikan secara teknis, mana yang perlu dipikirkan mendalam, dan mana yang memerlukan rasa perasaan", kata Karlina.

Namun, ketika nalar berpikir tak lagi mampu menjangkau, hanya iman yang bisa menuntun. Iman pula yang bisa membuatnya berserah. Seperti pasien-pasien kanker lainnya, kemoterapi merontokkan fungsi pertahanan tubuhnya. Ia tidak boleh bertemu banyak orang karena kondisinya amat rentan. Rambutnya yang tebal mengurai berguguran. Ia sangat lemah. Hanya otaknya yang bergerak bebas, berkelana ke ranah-ranah yang jauh. Dalam kesakitan yang panjang ia bangkit menyelesaikan pikiran utama dalam buku, "Dari Kosmologi ke Dialog, Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme." (Desember 2011)

Karlina lahir di Jakarta, 15 Januari 1958, lulus dengan predikat cum laude sebagai sarjana bidang astronomi di Institut Teknologi Bandung. Sempat ke Inggris untuk mewujudkan cita-citanya menjadi ilmuwan kosmologi. Jalan hidupnya berubah total ketika harus kembali ke Indonesia sebelum waktunya. Ia sempat merasa buntu, tetapi kemudian dia sadar bahwa hidup tidak semua pintu tertutup dan tidak semua jendela terbuka. "Selalu ada jalan, asal mau melangkah," katanya. (Diringkas dari tulisan Kompas, Maria Hartingsih & Agnes Aristiarini dalam blog Halaman Kebudayaan Indonesia).

Saya percaya apa yang difahami oleh Karlina bukanlah sebuah pemisahan antara ilmu pengetahuan, nalar dengan iman atau kepercayaan. Namun, iman itulah yang menopangnya manakala jangauan ilmu pengetahuan tidak lagi sanggup menjawab kegelisahannya. Iman memampukan seseorang untuk tetap berbaik sangka dan berpengharapan di tengah kegetiran hidup walau nalar mengatakan, "no way".

Ada banyak penyebab kita berada dalam pusaran kegetiran hidup. Bisa karena bencana, sakit penyakit, berada pada situasi dan kondisi yang tidak tepat, difitnah, dianiaya, dan dipersalahkan. Pendek kata situasi itu membuat hidup menjadi tidak enak, jauh dari damai sejahtera. Dalam situasi seperti ini sangat mungkin kita berkata seperti umat Israel ketika berada dalam tekanan Nebukadnezar, "Hidupku tersembunyi dari TUHAN, dan hakku tidak diperhatikan Allahku..." (Yesaya 40:27). Ketika badai hidup menerpa, bagi sebagian besar orang tidak lagi mampu menggunakan nalarnya dengan baik, sebaliknya menjadi baperan: sangat sensitif, mudah marah, berprasangka buruk dan cenderung mencari kambing hitam dan menyalahkan keadaan atau pihak-pihak lain ketimbang  memaknai dan mencari solusi. Bukankah Israel mestinya menyadari bahwa sebelum terjadi kegetiran itu, TUHAN sudah dengan pelbagai cara melalui para nabi-Nya mengingatkan mereka?  

Beruntung, TUHAN menjawab, "Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu dan menyuruh segenap tentara keluar, sambil memanggil nama mereka sekaliannya?..." (Yesaya 40:26). Dalam jawaban ini, tampaknya TUHAN mengajak Israel  memakai panca indra, narasi histori dan nalar mereka untuk memahami kegetiran itu sambil mengakui kedaulatan TUHAN dan keterbatasan mereka. TUHAN mengajak umat-Nya untuk tidak sekedar menuntut dan hidup dalam kenyamanan, melainkan bertanggung jawab dan menemukan rancangannya.

Mencari solusi dan memecahkan masalah tentu lebih mudah jika penyebab masalah itu diketahui. Sebagaimana dokter menolong orang sakit. Ia akan lebih mudah mengobati ketika mengetahui penyebab sakit itu. Yesus berhadapan dengan banyak orang yang sedang mengalami kegetiran: kemiskinan dan sakit penyakit. Minggu kelima setelah epifani, bacaan Injil masih berkisah tentang  pelayanan Yesus yang memulihkan banyak orang. Injil Markus 1:29-39 bercerita tentang pemulihan ibu mertua Petrus yang sakit demam dan banyak orang sakit lainnya di sekitar Kapernamun dan Galilea. Dalam Perjanjian Baru terdapat tiga kisah penyembuhan dari demam (Markus 1-30, Yohanes 4:52 dan Kisah rasul 28:8). Menurut Injil Lukas yang sejajar dengan kisah ini, demam ibu mertua Simon itu serius. Demam menurut ilmu medis saat ini bukanlah "sakit", melainkan tanda (simptom) di mana suhu tubuh meingkat, badan menggigil, kepala pusing dan lainnya. Demam adalah tanda yang menunjukkan bahwa dalam tubuh ada sesuatu yang tidak beres: ada infeksi atau virus. Tentu saja pemahaman seperti ini belum ada pada zaman Yesus.

Penderitaan, sakit dan dalam kasus ini demam menurut pemikiran orang Yahudi pada zaman itu terjadi karena dua hal: kuasa roh jahat atau hukuman Allah. Menurut Ulangan 28:22, demam termasuk kutukan yang ditimpakan Allah atas Israel yang tidak setia dalam perjanjian. Maka kehadiran dan pemulihan yang dilakukan Yesus terhadap ibu mertua Petrus dipandang sebagai pengangkatan segala macam kutuk.

Sepertinya, berita pemulihan ini tersebar di kampung itu. Maka berduyun-duyunlah orang datang kepada Yesus untuk dipulihkan dari sakit dan kelemahan mereka. Yesus yang menyembuhkan banyak orang, jangan dipandang sebagai tabib atau dukun. Profesi-Nya bukan itu! Ia menyembuhkan orang sakit dan membebaskan orang dari gangguan roh jahat, bukan untuk menyelesaikan seluruh masalah gangguan kesehatan di Kapernaum, melainkan untuk menunjukkan belas kasihan Allah yang mengalahkan kuasa-kuasa jahat yang merusak kehidupan manusia. Mujizat yang Yesus lakukan adalah tanda-tanda kecil yang berbicara tentang sesuatu yang lebih besar, yakni Kerajaan Allah. Allah sendiri, melalui Yesus Kristus hadir dan membarui dunia. Mujizat tidak diberikan hanya untuk kenikmatan diri sendiri. Anugerah keselamatan yang Tuhan berikan kepada kita hendaknya dijawab dengan kesediaan melayani Tuhan melalui sesama, seperti yang dicontohkan sendiri oleh ibu mertua Petrus. Setelah disembuhkan dari demamnya, ibu ini melayani mereka.

Bisa jadi pada saat ini kita sedang mengalami kegetiran hidup seperti pengalaman Karlina Supelli, Israel pada masa Nebukadnezar atau seperti ibu mertua Petrus dan orang-orang sakit di kampung Kapernaum. Adalah lebih bijak untuk tidak hanya sekedar menyalahkan keadaan, orang lain, atau bahkan menyalahkan Tuhan. Karlina berhasil menemukan kehadiran Tuhan di mana batas cakrawala berpikirnya sudah berhenti. Iman yang memampukannya untuk merasakan kehadiran-Nya untuk menopang dalam meneruskan langkah kehidupannya. Yesaya menyatakan bahwa Allah tidak pernah melupakan umat-Nya. Ia selalu hadir dan kehadiran-Nya mengenyahkan kegetiran umat itu. Demikian juga dengan dengan kehadiran Yesus, Ia menyatakan Kekuasaan dan Kerajaan Allah itu benar-benar nyata.

Nah, saat ini marilah kita yakini bahwa kehadiran-Nya bukan saja ketika kehidupan serba menyenangkan, melainkan juga Ia bisa hadir di tengah kegetiran hidup kita. Ia mampu mengubahkan kondisi itu menjadi kebaikan dan berkat. Ada tugas menanti yang harus dilakukan oleh setiap orang yang telah merasakan kehadiran-Nya, yakni melayani Dia melalui sesama seperti yang diperagakan oleh ibu mertua Yesus. Siapa tahu justeru dengan pelayanan tulus yang kita berikan terhadap orang lain, di situlah kita menjadi alat untuk jawaban doa dari kegetiran orang lain.

Jakarta, Epifani V 2018

1 komentar:

  1. cara daftar sabung ayam di agen s128 terpercaya!
    Minimal Deposit IDR 50.000,- Raih Kemenangan Anda Sekarang Juga 100% Tanpa Bot
    Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www.bolavita.ltd
    Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
    WA: +628122222995

    BalasHapus