Di era eforia media sosial
online salah satu kecenderungan penggunanya adalah membaca berita sesingkat
mungkin. Alasannya, selain ogah membaca
paparan panjang, ada banyak hal menarik lainnya yang mencuri perhatian. Dari
cerita sepenggal itu, para warga duniia maya seringnya hanya membaca judulnya
saja dan orang lebih tertarik pada komentar-komentar di bawahnya. Yang lebih
celaka lagi, banyak orang memercayai berita sepenggal itu sebagai sebuah fakta
yang benar dan kemudian menyebarkannya. Inilah yang oleh para psikolog disebut
dengan prasangka kognitif (Jocelyn
David). Prasangka kognitif adalah bagian
dari titik buta manusia. Salah satu gejalanya adalah "penjangkaran",
yaitu kecenderungan seseorang untuk mengikat suatu keputusan dengan terlalu
kuat hanya berdasarkan sepotong informasi yang baru saja diterimanya. Bukankah
sepotong berita saja pada saat ini dapat digunakan untuk membakar emosi sebuah
komunitas?
Prasangka kognitif mendorong kita kecendurang memandang segala
sesuatu di dunia ini sebagai alat untuk tujuan memperoleh apa yang kita
inginkan ketimbang membiarkannya sebagai subyek
pada dirinya (fungsional fixedness).
Martin Heidegger, seorang filsuf abad kedua puluh menyebutnya readiness - to - hand dan ia berpendapat,
"inilah cara manusia melihat dunia". Jadi, manusia melihat segala
sesuatu tidak lebih sebagai alat untuk mencapai sesuatu yang diingininya.
Sebagian besar waktu kita bergerak dengan bahagianya seraya asyik dengan
"peralatan" kepercayaan kita, sehingga kita menggenggamnya tetapi
tidak memahaminya.
Agama, katanya sering dipakai
sebagai "alat" untuk menggapai sesuatu yang kita ingini. Sampai
batas-batas tertentu ada benarnya. Ya, agama bukan Tuhan. Namun, melalui agama
kita dapat belajar mengenal Tuhan. Menjadi, keliru apabila kita menjadikan
agama sebagai alat politik dalam merebut kekuasaan. Dan, sudah pasti
orang-orang yang menggunakannya tidak memahami agama itu dengan utuh. Lihatlah,
kasus-kasus perebutan kekuasaan di tanah air. Sangat jauh dari esensi ajaran
agama itu sendiri. Orang merasa beragama, bahagia dengan itu, menggenggamnya
dengan asyik namun tidak memahami esensi yang sebenarnya.
Bisa jadi ketakjuban Petrus
dan dua temannya adalah prasangka
kognitif dalam titik buta. Mereka begitu takjub melihat Sang Guru berubah
rupa. "Lalu Yesus berubah rupa di
depan mata mereka, dan pakaian-Nya sangat putih berkilat-kilat "
(Markus 9:2b-3a) ditambah dua orang tokoh Perjanjian Lama yang sangat
dihormati; Musa dan Elia hadir berbincang-bincang dengan Guru mereka, makin
lengkaplah keterpesonaan mereka. Dalam ketakjuban yang tiada tara menyaksikan
peristiwa itu, Petrus berkata kepada Yesus, "Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan
tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia."
(Markus 9:5). Ini makin menegaskan bahwa Petrus sedang masuk dalam wilayah
"titik buta: prasangka kognitif".
Petrus sebenarnya tidak tahu dengan apa yang dikatakannya itu (Markus 9:6).
Beruntunglah titik buta prasangka
kognitif Petrus ditanggapi Suara Langit. Pernyataan Surgawi itu tidak hanya
mengungkapkan identitas Yesus (Anak yang
Kukasihi), melainkan juga bagaimana caranya Ia disembut: bukan dengan
mendirikan kemah dan menahan rasa "bahagia" itu. Melainkan dengan
cara "dengarkanlah Dia!".
Yesus digelari "Anak-Ku yang terkasih", rumusan yang mengacu kepada
Raja Mesias dalam Mazmur 2:7 ("Anak-Ku
engkau), dan kepada anak tunggal yang akan dipersembahkan oleh Abraham ("anakmu yang kekasih,"
Kejadian 22:2). Ungkapan ini seperti, anak satu-satunya yang dikasihi Abraham
harus disembelih dan dikembalikan kepada Allah di gunung Moria, demikian juga
Anak Tunggal Allah yang terkasih harus dibunuh di Yerusalem.
Selanjutnya, suara Surgawi itu
memerintahkan "Dengarkanlah
Dia!". Ini menegaskan Yesus sama dengan Nabi yang dinubuatkan Musa.
Kita biasa menafsirkan bahwa kehadiran Musa melambangkan wibawa Taurat dalam
Perjanjian Lama. Namun, dalam konteks ini akan terasa lebih pas bahwa kehadiran
Musa itu mengingatkan orang Yahudi bahwa dahulu TUHAN pernah berbicara kepada
Musa tentang, "Seorang nabi dari
tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan
dibangkitkan bagimu oleh TUHAN, Allahmu: dialah yang harus kamu
dengarkan." (Ulangan 18:15). Jadi, suara Surgawi dan hadirnya Musa
ditambah perubahan rupa Yesus sesungguhnya hendak menegaskan kepada Petrus,
Yakobus dan Yohanes (akhirnya kepada semua kita) bahwa Yesuslah Nabi, Mesias
dan Anak yang terkasih yang dinubuatkan itu!
Lalu, bagaimana kita
menanggapi Suara Surgawi itu? Apakah akan melakukan hal yang sama seperti Petrus?
Kalau Yesus memang Nabi yang dijanjikan, Mesias, Anak Allah, maka
perkataan-perkataan-Nya perlu didengar. Dalam tradisi umat TUHAN, mendengar itu
berarti satu paket dengan melakukan apa yang didengar. Ajaran-Nya tidak boleh
diabaikan, juga tidak kalaupun bertentangan dengan nalar kognitif kita, seperti
misalnya dalam hal melayani, memikul salib, mengampuni, kehilangan nyawa demi
Injil, dan seterusnya!
Kenyataannya: Petrus adalah
gambaran kita. Kita lebih suka melestarikan gambaran Yesus yang mulia, dan
menutup mata bagi jalan yang kurang menyenangkan. Bukankah pendirian kemah yang
diinginkan Petrus pada hakikatnya adalah dalam rangka menahan
"kemuliaan" Yesus itu hanya bagi mereka saja. Mendirikan kemah itu
berarti juga menghambat perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Padahal, Yesus, Anak
Allah yang kekasih itu harus menanggung salib, menderita dan mati.
Kemuliaan-Nya diperoleh melalui ketaatan viadolorosa
dan menyerahkan diri dalam kematian.
Itulah kemuliaan Yesus yang sesungguhnya. Kemuliaan yang terjadi pada Yesus
mestinya menjadi bagian dari orang yang percaya kepada-Nya.
Tidak mustahil saat ini kita
sedang mengalami titik buta: prasangka
kognitif. Kita seperti Petrus dan teman-temannya. Mengikut Yesus dengan
sebuah harapan - yang meminjam istilah Martin Heidegger: readiness
- to - hand. Yesus sebagai "alat" untuk menggapai yang aku ingini
dan tidak membiarkan Dia sebagai "Subyek"
pada diri-Nya sendiri. Manakala kita menempuh jalan terjal kehidupan, alih-alih
melihat dan meneladani ketaatan Yesus, kita cenderung marah, kecewa dan
mempertanyakan realitas TUHAN. Tidak pada tempatnya menjadikan Yesus sebagai
"alat". Kitalah yang menaklukan diri untuk menjadi
"pendengar" setia dan menjadikan-Nya benar-benar Tuhan atas hidup dan
kehidupan kita.
Tranfigurasi Yesus adalah
gambaran rupa kemuliaan-Nya. Peristiwa ini terjadi hanya selang enam hari dari
pemberitahuan tentang penderitaan-Nya. Seakan peristiwa ini mau menyatakan: "Lihatlah
Aku yang menderita dan mati, kelak akan tampil dengan tubuh kemuliaan seperti
ini!" Kemuliaan Yesus yang utuh bukan terjadi di atas gunung itu,
melainkan ketika Ia menyelesaikan seluruh amanat Bapa. Kemuliaan di atas gunung
itu hanya sebentar, tetapi kemuliaan setelah peristiwa salib: Ia bangkit, naik
ke Surga, kekal selamanya.
Bukankah kita menghendaki
kemuliaan itu kekal dan sejati? Cara satu-satunya adalah mengikuti apa yang
disampaikan suara Surgawi itu: Percaya bahwa Dialah Nabi yang dijanjikan kepada
Musa, Anak Allah yang terkasih, Mesias dan melakukan apa yang dikatakan-Nya apa
pun risikonya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar