Berbicara
tentang pembaruan, mau tidak mau menghantar kita pada apa yang namanya
perubahan. Pembaruan hidup selalu diikuti oleh perubahan sikap ke arah yang
lebih baik. Bukan kosmetik atau aksesoris, namun berasal dari sumber esensi prilaku
yakni, hati. Maka tidaklah mengherankan kalau nabi Yoel menyerukan, "Koyakkanlah hatimu dan jangan
pakaianmu,.." (Yoel 2:13).
Mengoyak
berarti: mencabik, merobek, memecahkan, atau merusak. Seorang dokter bedah akan
mengoyak bagian tubuh tertentu manakala hasil diagnosa menunjukkan ada masalah
yang harus diangkat di bagian itu. Tentu menimbulkan luka irisan, pedih,
menyakitkan dan membutuhkan kerelaan serta kesabaran untuk pulih. Pemulihan
pasti melalui proses tidak nyaman. Namun, ketika pemulihan terjadi maka kita
akan dapat mensyukuri proses yang menyakitkan itu.
Sebuah
pertobatan selalu menyakitkan. Ketika Tuhan meminta mengoyakkan hati dan bukan
pakaian maka itu berarti pertobatan itu dilakukan bukan dengan kepura-puraan.
Hati yang sudah nyaman dan aman dengan pelbagai aktivitas bentuk kesalehan yang
sudah dikerjakan kini dirobek, dicabik-cabik. Benarkah selama ini kita
menjalani kehidupan ini sesuai dengan kehendak-Nya? Ataukah justeru kita
menggunakan segala aktivitas kesalehan hanya sebagai topeng kebusukan moral? Tidak
semua orang bersedia dicabik-cabik hatinya, karena menyakitkan. Hanya sedikit
saja yang bersedia membayar harga untuk itu.
Setelah
menyelesaikan ritual tobat, Roh yang turun ke atas Yesus di tepi sungai Yordan
itu segera mendesak-Nya menuju padang gurun. Padang gurun bukan tempat tinggal
ideal bagi manusia. Namun, padang gurun bagi umat Perjanjian Lama dapat
mengingatkan kembali masa lalu mereka. Empat puluh tahun mereka berada di
padang gurun; ditempa dan belajar berani mempercayakan hidup mereka kepada
Allah. Padang gurun mengajarkan disiplin dan memusatkan mata batin kepada Allah
semata jika ingin sampai tiba negeri perjanjian. Padang gurun adalah tempat
sepi, hening dan ini ideal buat seseorang yang ingin intim dengan Allah. Yesus
berkali-kali dalam pelayanan-Nya menarik diri, mencari tempat sunyi untuk
bersekutu dengan Bapa-Nya. Pada pihak lain, padang gurun merupakan tempat yang
mengerikan "Ia berada di sana di
antara binatang-binatang liar..." (Markus 1:13). Gambaran ancaman
kasat mata, namun di padang gurun itu tersembunyi ancaman dasyat yakni,
kuasa-kuasa jahat: iblis!
Setelah
ritual baptisan tobat itu, Yesus menindaklanjutinya dengan perjalanan menuju
padang gurun. Di situlah jalan pertobatan diejawantahkan. Artinya, Ia sadar
bahwa sesuai dengan seruan Yohanes Pembaptis manusia harus berani memerangi
musuh Allah. Keputusan-Nya itu mau tidak mau membawa konfrontasi dasyat dengan
musuh Allah yang berusaha membelokkan dari misi-Nya dan dari ketaatan-Nya
kepada Bapa. Di gurun inilah Yesus berhadapan dengan Iblis (Satana) dalam Perjanjian Lama searti
dengan penuduh, pendakwa, atau lawan. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, kata Iblis mengacu kepada majikan segala
kuasa jahat, lawan Allah dan manusia.
Yesus berada
di gurun itu selama empat puluh hari.
Bisa berarti harafiah, namun lebih bermakna simbolis. Dalam tradisi Perjanjian
Lama, empat puluh hari melambangkan waktu yang cukup lama agar sesuatu mencapai
kematangannya. Karena itu empat puluh hari yang disebut sebagai lamanya Yesus
di gurun itu tidak hanya dipandang sebagai sebuah periode yang selesai dengan berlalunya
waktu itu saja. Sesungguhnya Yesus mengalami "gurun" sepanjang
karya-Nya. (Stefan Leks).
Empat puluh
hari semacam angka khusus bagi orang Yahudi. Musa tinggal di Gunung Sinai,
sambil berpuasa selama empat puluh hari. Perjalanan Elia lewat gurun menuju
Gunung Horeb berlangsung selama empat puluh hari. Selama itu Elia diberi makan
secara ajaib. Perlu disadari bahwa baik Musa maupun Elia adalah orang-orang
padang gurun, sebelum maupun sesudah dipanggil oleh Allah. Kisah empat puluh hari
Yesus di gurun seolah menegaskan kesinambungan orang-orang dipercaya Allah
untuk mengemban tugas-Nya.
Injil Markus
tidak merinci bentuk-bentuk pencobaan yang dilakukan Iblis kepada Yesus. Markus
lebih menitik beratkan adanya dua figur selain Yesus yakni, Iblis dan
Malaikat-malaikat. Iblis sebagai penggoda dan para malaikat yang melayani Dia.
Bukankah kisah umat Allah di padang gurun itu juga mirip-mirip seperti ini. Ada
kekuatan jahat yang berupaya menggagalkan mereka untuk sampai di negeri
perjanjian. Namun, ada malaikat yang memimpin dan menolong mereka. Artinya,
baik Allah (melalui para malaikat) maupun Iblis (lewat binatang-binatang liar
dan pencobaan) mengerahkan seluruh kekuatan mereka pada umat atau Yesus di
gurun itu.
Kisah pencobaan
Yesus versi Markus ini cukup singkat. Namun, justeru lewat kisah singkat ini
kita memahami maksud penulisnya. Markus meyakini bahwa Yesus memahami seruan
Yohanes Pembaptis secara lebih mendalam. Israel harus kembali ke padang gurun
untuk membarui diri, untuk hidup sebagai anak Allah, dan membuktikan niat itu
dengan baptisan dan melanjutkan ketaatan-Nya. Karena itu, walaupun suara Langit
telah menegaskan bahwa Yesus adalah Anak Allah yang terkasih, Ia tetap tinggal
di gurun: belajar dari dan di gurun. Ia benar-benar menjadi Anak yang taat
kepada Roh yang tidak mengizinkan-Nya untuk meninggalkan gurun begitu saja.
Akibat ketaatan-Nya itu, Ia harus berkonfrontasi dengan Iblis, mengalami
cobaan, hidup bersama dengan binatang-binatang liar dan menerima pelayanan
malaikat. Semua unsur ini berhubungan erat dengan tradisi padang gurun yang
dikenal dalam Perjanjian Lama dan sekaligus memperjelas makna gurun itu. Di
gurun itu Yesus membuktikan diri-Nya sebagai manusia yang taat kepada Allah. Di
tempat bangsa Israel kalah total, Yesus justeru berhasil. Yesus bertahan,
supaya kelak terciptalah Israel baru.
Bukankah kita
sering mendengar atau mengatakan dunia ini sebagai "padang gurun
kehidupan"? Di sinilah kita diperhadapkan kepada kuasa si penggoda itu. Injil
Markus tidak merinci bentuk-bentuk penggodaan yang dapat membelokkan kesetiaan
Yesus. Pada masa kini, jika kita merinci bentuk-bentuk penggodaan itu tentu
sangat banyak: ada yang berbentuk kesenangan, hedonisme, kekuasaan, ketenaran,
dan kejayaan. Namun, bisa juga berbentuk kesulitan, pergumulan, penderitaan,
kemalangan hidup dan seterusnya. Hanya satu saja kunci keberhasilan melawan
pelbagai cobaan itu yakni ketaatan kepada Bapa!
Belajar dari
Yesus, Ia tidak hanya memahami ritual pertobatan sebagai seremonial belaka. Ia
menindaklanjuti-Nya dengan kembali ke gurun, bukan untuk menjadi orang yang
anti sosial atau eksentrik melainkan sebagai bentuk nyata dari sebuah ketaatan.
Kembali pada
esensi pembaruan hidup yang meminta syarat yakni, sebuah perubahan, kita dapat
mencontoh dari apa yang dilakukan Yesus di padang gurun. Pertobatan dimaknai
bukan sekedar simbolis ritual formal ibadah atau menorehkan abu di jidat lalu
berhenti dan di situ kita merasa sudah berbeda dari yang lain. Bukan itu!
Melainkan sebuah tahap yang harus dibuktikan lewat tindakan nyata. Setelah
penorehan abu, kita bersama memasuki masa pra-paskah yang sering diisi oleh
pelbagai macam bentuk kesalehan: puasa atau pantang dan banyak berdoa. Empat
puluh hari kita diajak untuk setia seperti Musa, Elia dan Yesus setia kepada
tugas panggilan Allah. Sekali lagi, sama seperti penorehan abu di dijat akan
menjadi tanda mubajair jika tidak dilanjutkan dengan perubahan sikap sebagai
orang yang bertobat, demikian juga empat puluh hari menjadi waktu yang percuma,
hanya mendapat lapar dan haus, apabila puasa yang kita lakukan tidak berdampak
pada pemulihan dan perubahan sikan iman yang lebih baik. Menjadi sia-sia bahkan
dikecam oleh Yesus, apabila bentuk-bentuk kesalehan itu hanya sekedar kosmetik
dan alat pamer kesalehan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar