Rabu, 14 Februari 2018

AKU DEBU, DEBU ITU AKU

Seorang dermawan membuat pengumuman bahwa dirinya hendak membagi-bagikan berkaleng-kaleng susu bubuk kepada warga di pemukiman kumuh. Para warga miskin nan kumal telah mengantri. Kaleng-kaleng susu bubuk telah disusun di luar...dan para duafa itu tidak sabar lagi untuk menerima pembagian susu itu. Namun, sang dermawan tak kunjung segera membagi-bagikan susu itu.

Lima menit telah berlalu berganti setengah jam, sampai akhirnya satu jam dari waktu yang telah ditentukan. Para warga mulai resah. "Mengapa susu itu belum juga dibagikan?" tanya mereka.

Jawaban yang diberikan terdengar tidak masuk akal bagi mereka, "Juru fotonya belum datang!"

Sang dermawan yang murah hati itu berharap agar ketika ia membagi-bagi kaleng susu, menyapa dan bersentuhan dengan si jelata, saat itu juga tertangkap kamera dan menjadi viral. Dan ia juga sangat berharap bahwa si juru foto itu dapat mengambil gambar se-"natural" mungkin, seolah-olah dirinya tidak tahu bahwa ia sedang dipotret.

Memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa adalah tiga aktivitas kesalehan. Sejatinya, kesalehan itu benar-benar sebuah tindakan tulus yang keluar dari niatan yang baik yakni, ibadah. Bentuk-bentuk kesalehan itu tidak lain agar hati kita selaras dengan yang kita sembah. Namun, sangat disayangkan ketiga aktivitas keagamaan itu sering dipakai sebagai alat untuk menyombongkan diri dan banyak juga yang memakainya sebagai topeng untuk menutup tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Ini sebenarnya yang disebut kesalehan palsu atau kemunafikan. Yesus mengingatkan, jika mereka ingin membuat orang lain terkesan, maka "mereka telah mendapatkan upahnya. Kata Yunani untuk "upah" berada dalam bentuk singular, yang mengindikasikan bahwa upah ini hanya sekali saja. Mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka menginginkan pujian, bukan keintiman dengan Allah.

Kita sering seperti itu, melakukan aktivitas keagamaan agar dilihat sebagai sebuah prestasi rohani dan membuat orang berdecak kagum. Jika tujuannya itu, kita dapat mendapatkannya di dunia ini. Namun, risikonya kehilangan keintiman dengan Allah. Lihat, apa yang terjadi dengan umat Allah dahulu. Mereka lebih gemar mendadani diri dengan kesalehan palsu, iman yang kosmetik. Mereka memelihara hari-hari perayaan ibadah, menyiapkan pelbagai korban persembahan, memelihara Taurat dengan akurat. Nyatanya, itu semua tidak berpengaruh terhadap moralitas dan karakter kekudusan yang Allah inginkan. Meski rajin beribadah tetapi gemar menindas dan berbohong. Meski memberikan persembahan dan sedekah namun korupsi, manipulasi dan markup jalan terus. Setiap Sabat dikhususkan untuk ibadah namun tidak memberi kesempatan kepada para budak mereka untuk sejenak beristirahat!

Sekembalinya dari pembuangan di Babel, kehidupan religius umat Israel cukup kuat dikuasai oleh para imam. Bait Allah telah dibangun kembali sebagai tempat beribadah. Situasi keamanan negara terkendali. Bangsa Israel hidup dalam semangat beribadah yang tinggi. Ini ditunjukkan melalui semaraknya aktivitas agama. Namun, perkembangan kemudian legalisme dan formalitas agama menjadi semakin mengkristal. Mereka terjebak menjadi kaku dan bisu terhadap masalah-masalah sosial di depan mata mereka. Agama tidak menolong mereka bertindak seperti yang Tuhan inginkan. Dan tindakan seperti itu ternyata berdosa di hadapan Allah.

Yoel mengingatkan bahwa dosa akan membawa kepada penghukuman, "Dengarlah ini, hai para tua-tua, pasanglah telinga, hai seluruh penduduk negeri! Pernahkan terjadi seperti ini dalam zamanmu, atau dalam zaman nenek moyangmu? Ceritakanlah tentang itu kepada anak-anakmu, dan biarlah anak-anakmu menceritakannya kepada anak-anak mereka, dan anak-anak mereka kepada angkatan yang kemudian. Apa yang ditinggalkan belalang pengerip telah dimakan belalang pindahan, apa yang ditinggalkan belalang pindahan telah dimakan belalang pelompat, dan apa yang ditinggalkan belalang pelompat telah dimakan belalang pelahap." (Yoel 1:2-4). Inilah bencana kelaparan yang bakal melanda umat Allah itu. Hukuman yang mengerikan!

Yoel mengajak umat untuk menyikapi perkara ini dengan serius. Tidak ada lagi waktu bermain-main. Ia mengajak umat untuk bertobat sesuai dengan pesan Ilahi, "berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh. Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya." (Yoel 2:12-13). Yoel mengajak umat untuk tidak main-main dengan Allah meskipun Dia pengasih, penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Pertobatan yang dikehendaki adalah bukan pertobatan semu atau lahiriah saja (mengoyakkan pakaian) melainkan dari hati dan niatan yang tulus (koyakkanlah hatimu).

Sayangnya, hampir empat ratus tahun kemudian apa yang diingatkan Yoel ternyata terus berulang. Umat TUHAN kembali menggunakan aktivitas keagamaan bukan sebagai sarana menjalin keintiman dengan Allah, melainkan sebagai alat untuk pamer kesalehan. Manusia kembali menjadi sombong rohani. Apa solusi atas kesombongan?

Yesus mengkritik praktek kesalehan orang-orang Yahudi yang sering dipakai menjadi alat untuk sombong rohani. Yang Yesus ajarkan bukanlah soal bagaimana cara memberi, berdoa, atau berpuasa, melainkan apa tujuan dari itu semua. 

Tentang memberi sedekah. Yesus mengajarkan bahwa ketika memberi sedekah, janganlah tangan kiri kita mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanan (Mat.6:3). Beberapa pakar PB menduga bahwa ketika Yesus mengatakan hal ini, Ia sedang berada di sebelah kanan pintu masuk Bait Suci, yang berarti persembahan akan diberikan dengan tangan kanan.  Gambaran ini menunjukkan bahwa ketika kita melakukan perbuatan baik (memberikan uang kita kepada yang memerlukan) dengan sikap bahwa tangan kiri tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanan. Jika kemudian ada orang bertanya, "Apakah kamu baru saja memberikan uangmu kepada orang miskin itu?" Anda harus menjawab, "Hmm. O, ya? Saya tidak ingat," dan Anda memang benar-benar tidak mengingatnya. Benar, ini perkara yang tidak mudah: memberikan kebaikan kepada orang lain lalu melupakannya. Tidak ada alasan untuk Anda menanamkan hutang budi kepada orang yang Anda beri itu. Di sinilah berlaku Anda memberi "untuk Tuhan". Begitu jugalah yang kita lakukan ketika memberi persembahan di gereja. Kita mendoakan dan menyerahkannya kepada Tuhan sambil meminta bahwa persembahan itu dikuduskan oleh-Nya. Anda dan saya tidak perlu mengingat-ingat, apalagi merasa berjasa. Mengapa? Sederhana saja, karena itu semua berasal dari Tuhan. Pada pihak lain, orang yang menerima, ia tidak tahu dari mana asalnya pemberian itu. Dari ketidaktahuan itu, ia akan merasakan bahwa yang diterimanya adalah benar-benar berasal dari Tuhan saja. Dan, tentu saja tidak perlu rikuh atau merasa berhutang budi terhadap Anda!

Hal kedua sebagai alat pamer rohani adalah doa. Yesus mendorong kita untuk menutup dan mengunci pintu kamar ketika kita berdoa. Doa adalah sesuatu yang bersifat personal dan rahasia. Kamar yang dimaksud oleh Yesus bisa jadi adalah gudang, karena di zaman itu hanya gudanglah yang bisa dikunci. Kita harus mengunci pintu untuk memastikan bahwa tidak ada yang melihat ketika kita sedang berdoa. Privaisasi inilah yang membuat kita "tidak terlihat" oleh orang lain tetapi bisa intim dengan Allah. John Chrysostom menulis, mengapa kita harus berdoa? "Bukan untuk menyuruh Allah, melainkan untuk menang bersama-Nya; untuk dekat dengan-Nya, dalam keberlangsungan doa permohonan; untuk menjadi rendah hati; untuk mengingatkan dosa kita." Doa seperti ini tidak bisa dilakukan dengan pamer, melainkan dengan "rahasia".

Ketiga, Yesus mengajarkan bahwa puasa harus dilakukan tanpa memberitahu orang lain. Ketika kita berpuasa, kita tidak boleh mengenakan pakaian kabung dan mengusap debu di wajah agar semua orang tahu bahwa kita sedang berpuasa. Penampilan kita harus normal. Mencuci wajah dan memakai minyak adalah budaya umum Yahudi. Membuat orang lain tahu bahwa kita sedang berpuasa menunjukkan motivasi kita adalah untuk membuat orang lain terkesan, dan bukan mendisiplinkan diri serta mendekatkan diri kapada Allah.

Rentang zaman Yoel sampai pada zaman Yesus lebih kurang  empat ratus tahun. Rentang waktu ketika Yesus mengingatkan bahwa sedekah, doa dan puasa bukan sebagai alat pamer kesalehan sampai pada masa kini sekitar dua ribu tahun. Sangatlah mungkin kita mengulangi praktek-praktek kesalehan agar dilihat dan dikagumi orang lain. Kita telah memahami bahwa praktik alih-alih mendekatkan kita dengan Allah, justeru sebaliknya semakin menjauh dan Allah tidak menyukainya.

Hari ini, kita memasuki masa raya Paskah dengan Rabu Abu, mengingatkan kembali kita yang berasal dari debu, diciptakan dari debu tanah dan kelak akan kembali menjadi debu. Pergunakanlah kesempatan yang ada - sebelum menjadi debu - untuk melakukan pertobatan yang sesungguhnya. Tidak cukup dengan tanda-tanda lahiriah saja, melainkan "koyakkanlah hatimu!"

Jakarta, Rabu Abu 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar