Seorang dermawan membuat
pengumuman bahwa dirinya hendak membagi-bagikan berkaleng-kaleng susu bubuk
kepada warga di pemukiman kumuh. Para warga miskin nan kumal telah mengantri.
Kaleng-kaleng susu bubuk telah disusun di luar...dan para duafa itu tidak sabar
lagi untuk menerima pembagian susu itu. Namun, sang dermawan tak kunjung segera
membagi-bagikan susu itu.
Lima menit telah berlalu
berganti setengah jam, sampai akhirnya satu jam dari waktu yang telah ditentukan. Para warga mulai resah. "Mengapa susu itu belum juga
dibagikan?" tanya mereka.
Jawaban yang diberikan
terdengar tidak masuk akal bagi mereka, "Juru fotonya belum datang!"
Sang dermawan yang murah hati
itu berharap agar ketika ia membagi-bagi kaleng susu, menyapa dan bersentuhan
dengan si jelata, saat itu juga tertangkap kamera dan menjadi viral. Dan ia
juga sangat berharap bahwa si juru foto itu dapat mengambil gambar
se-"natural" mungkin, seolah-olah dirinya tidak tahu bahwa ia sedang
dipotret.
Memberi sedekah, berdoa, dan
berpuasa adalah tiga aktivitas kesalehan. Sejatinya, kesalehan itu benar-benar
sebuah tindakan tulus yang keluar dari niatan yang baik yakni, ibadah.
Bentuk-bentuk kesalehan itu tidak lain agar hati kita selaras dengan yang kita
sembah. Namun, sangat disayangkan ketiga aktivitas keagamaan itu sering dipakai
sebagai alat untuk menyombongkan diri dan banyak juga yang memakainya sebagai
topeng untuk menutup tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kehendak-Nya.
Ini sebenarnya yang disebut kesalehan palsu atau kemunafikan. Yesus mengingatkan,
jika mereka ingin membuat orang lain terkesan, maka "mereka telah
mendapatkan upahnya. Kata Yunani untuk "upah" berada dalam bentuk singular, yang mengindikasikan bahwa
upah ini hanya sekali saja. Mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka
menginginkan pujian, bukan keintiman dengan Allah.
Kita sering seperti itu,
melakukan aktivitas keagamaan agar dilihat sebagai sebuah prestasi rohani dan
membuat orang berdecak kagum. Jika tujuannya itu, kita dapat mendapatkannya di
dunia ini. Namun, risikonya kehilangan keintiman dengan Allah. Lihat, apa yang
terjadi dengan umat Allah dahulu. Mereka lebih gemar mendadani diri dengan
kesalehan palsu, iman yang kosmetik. Mereka memelihara hari-hari perayaan
ibadah, menyiapkan pelbagai korban persembahan, memelihara Taurat dengan
akurat. Nyatanya, itu semua tidak berpengaruh terhadap moralitas dan karakter
kekudusan yang Allah inginkan. Meski rajin beribadah tetapi gemar menindas dan
berbohong. Meski memberikan persembahan dan sedekah namun korupsi, manipulasi
dan markup jalan terus. Setiap Sabat
dikhususkan untuk ibadah namun tidak memberi kesempatan kepada para budak
mereka untuk sejenak beristirahat!
Sekembalinya dari pembuangan
di Babel, kehidupan religius umat Israel cukup kuat dikuasai oleh para imam.
Bait Allah telah dibangun kembali sebagai tempat beribadah. Situasi keamanan
negara terkendali. Bangsa Israel hidup dalam semangat beribadah yang tinggi.
Ini ditunjukkan melalui semaraknya aktivitas agama. Namun, perkembangan
kemudian legalisme dan formalitas agama menjadi semakin mengkristal. Mereka
terjebak menjadi kaku dan bisu terhadap masalah-masalah sosial di depan mata
mereka. Agama tidak menolong mereka bertindak seperti yang Tuhan inginkan. Dan
tindakan seperti itu ternyata berdosa di hadapan Allah.
Yoel mengingatkan bahwa dosa akan
membawa kepada penghukuman, "Dengarlah
ini, hai para tua-tua, pasanglah telinga, hai seluruh penduduk negeri!
Pernahkan terjadi seperti ini dalam zamanmu, atau dalam zaman nenek moyangmu?
Ceritakanlah tentang itu kepada anak-anakmu, dan biarlah anak-anakmu
menceritakannya kepada anak-anak mereka, dan anak-anak mereka kepada angkatan
yang kemudian. Apa yang ditinggalkan belalang pengerip telah dimakan belalang
pindahan, apa yang ditinggalkan belalang pindahan telah dimakan belalang
pelompat, dan apa yang ditinggalkan belalang pelompat telah dimakan belalang
pelahap." (Yoel 1:2-4). Inilah bencana kelaparan yang bakal melanda
umat Allah itu. Hukuman yang mengerikan!
Yoel mengajak umat untuk
menyikapi perkara ini dengan serius. Tidak ada lagi waktu bermain-main. Ia
mengajak umat untuk bertobat sesuai dengan pesan Ilahi, "berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu,
dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh. Koyakkanlah hatimu dan
jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan
penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena
hukuman-Nya." (Yoel 2:12-13). Yoel mengajak umat untuk tidak main-main
dengan Allah meskipun Dia pengasih, penyayang, panjang sabar dan berlimpah
kasih setia. Pertobatan yang dikehendaki adalah bukan pertobatan semu atau
lahiriah saja (mengoyakkan pakaian) melainkan dari hati dan niatan yang tulus
(koyakkanlah hatimu).
Sayangnya, hampir empat ratus
tahun kemudian apa yang diingatkan Yoel ternyata terus berulang. Umat TUHAN
kembali menggunakan aktivitas keagamaan bukan sebagai sarana menjalin keintiman
dengan Allah, melainkan sebagai alat untuk pamer kesalehan. Manusia kembali
menjadi sombong rohani. Apa solusi atas kesombongan?
Yesus mengkritik praktek
kesalehan orang-orang Yahudi yang sering dipakai menjadi alat untuk sombong
rohani. Yang Yesus ajarkan bukanlah soal bagaimana cara memberi, berdoa, atau
berpuasa, melainkan apa tujuan dari itu semua.
Tentang memberi sedekah. Yesus
mengajarkan bahwa ketika memberi sedekah, janganlah tangan kiri kita mengetahui
apa yang dilakukan oleh tangan kanan (Mat.6:3). Beberapa pakar PB menduga bahwa
ketika Yesus mengatakan hal ini, Ia sedang berada di sebelah kanan pintu masuk
Bait Suci, yang berarti persembahan akan diberikan dengan tangan kanan. Gambaran ini menunjukkan bahwa ketika kita
melakukan perbuatan baik (memberikan uang kita kepada yang memerlukan) dengan
sikap bahwa tangan kiri tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanan.
Jika kemudian ada orang bertanya, "Apakah kamu baru saja memberikan uangmu
kepada orang miskin itu?" Anda harus menjawab, "Hmm. O, ya? Saya tidak
ingat," dan Anda memang benar-benar tidak mengingatnya. Benar, ini perkara
yang tidak mudah: memberikan kebaikan kepada orang lain lalu melupakannya.
Tidak ada alasan untuk Anda menanamkan hutang budi kepada orang yang Anda beri
itu. Di sinilah berlaku Anda memberi "untuk Tuhan". Begitu jugalah
yang kita lakukan ketika memberi persembahan di gereja. Kita mendoakan dan
menyerahkannya kepada Tuhan sambil meminta bahwa persembahan itu dikuduskan
oleh-Nya. Anda dan saya tidak perlu mengingat-ingat, apalagi merasa berjasa.
Mengapa? Sederhana saja, karena itu semua berasal dari Tuhan. Pada pihak lain,
orang yang menerima, ia tidak tahu dari mana asalnya pemberian itu. Dari
ketidaktahuan itu, ia akan merasakan bahwa yang diterimanya adalah benar-benar
berasal dari Tuhan saja. Dan, tentu saja tidak perlu rikuh atau merasa berhutang
budi terhadap Anda!
Hal kedua sebagai alat pamer
rohani adalah doa. Yesus mendorong kita untuk menutup dan mengunci pintu kamar
ketika kita berdoa. Doa adalah sesuatu yang bersifat personal dan rahasia.
Kamar yang dimaksud oleh Yesus bisa jadi adalah gudang, karena di zaman itu
hanya gudanglah yang bisa dikunci. Kita harus mengunci pintu untuk memastikan
bahwa tidak ada yang melihat ketika kita sedang berdoa. Privaisasi inilah yang
membuat kita "tidak terlihat" oleh orang lain tetapi bisa intim
dengan Allah. John Chrysostom menulis, mengapa kita harus berdoa? "Bukan
untuk menyuruh Allah, melainkan untuk menang bersama-Nya; untuk dekat
dengan-Nya, dalam keberlangsungan doa permohonan; untuk menjadi rendah hati;
untuk mengingatkan dosa kita." Doa seperti ini tidak bisa dilakukan dengan
pamer, melainkan dengan "rahasia".
Ketiga, Yesus mengajarkan
bahwa puasa harus dilakukan tanpa memberitahu orang lain. Ketika kita berpuasa,
kita tidak boleh mengenakan pakaian kabung dan mengusap debu di wajah agar
semua orang tahu bahwa kita sedang berpuasa. Penampilan kita harus normal.
Mencuci wajah dan memakai minyak adalah budaya umum Yahudi. Membuat orang lain
tahu bahwa kita sedang berpuasa menunjukkan motivasi kita adalah untuk membuat
orang lain terkesan, dan bukan mendisiplinkan diri serta mendekatkan diri
kapada Allah.
Rentang zaman Yoel sampai pada
zaman Yesus lebih kurang empat ratus
tahun. Rentang waktu ketika Yesus mengingatkan bahwa sedekah, doa dan puasa
bukan sebagai alat pamer kesalehan sampai pada masa kini sekitar dua ribu
tahun. Sangatlah mungkin kita mengulangi praktek-praktek kesalehan agar dilihat
dan dikagumi orang lain. Kita telah memahami bahwa praktik alih-alih
mendekatkan kita dengan Allah, justeru sebaliknya semakin menjauh dan Allah
tidak menyukainya.
Hari ini, kita memasuki masa
raya Paskah dengan Rabu Abu, mengingatkan kembali kita yang berasal dari debu,
diciptakan dari debu tanah dan kelak akan kembali menjadi debu. Pergunakanlah
kesempatan yang ada - sebelum menjadi debu - untuk melakukan pertobatan yang
sesungguhnya. Tidak cukup dengan tanda-tanda lahiriah saja, melainkan
"koyakkanlah hatimu!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar