Dalam rubrik Analisis Politik
harian umum nasional, Kompas hari ini
(4 Januari 2017) Yudi Latif mengangkat tema Kekuatan
Mencintai. Ia menyoroti, antara lain tentang keburukan dan krisis politik
di Indonesia. "Pangkal keburukan kekuasaan bermula ketika orang lebih
terobsesi 'cinta kekuasaan' (the love of
power) ketimbang 'kekuasaan untuk mencintai' (the power of love). Dalam krisis yang membutuhkan kekuasaan yang
lebih bertanggung jawab pada kebaikan hidup bersama, para pemimpin justeru
lebih mencintai kekuasaan yang melayani kepentingannya. Elit negeri tak segan
menjerumuskan rakyat ke dalam kobaran api permusuhan antaridentitas yang
membakar rumah kebangsaan menjadi puing-puing kesumat." Ujar Latif yang
berharap memasuki tahun politik 2018 kesadaran kekuasaan dipakai untuk mencinta
itu akan semakin tumbuh.
Sejarah mencatat pergulatan
antara orang yang haus kekuasaan dan orang yang menggunakan kekuasaannya untuk
meredakan dahaga akan cinta terus berlangsung. Orang yang haus dan cinta
kekuasaan akan memakai segala macam cara untuk mendapatkannya. Dari cara-cara
harus, seperti membujuk, membuat pencitraan, dan membagikan pelbagai kebaikan
sampai cara-cara kasar, seperti menebarkan kampanye hitam, membuat berita
bohong, memfitnah, mengintimidasi, mengancam dan tak segan memecah belah rakyat
akan digunakan. Korbannya, tentu rakyat itu sendiri! Sebaliknya, orang yang
menggunakan kekuasaan atau kekuatan yang ada pada dirinya untuk mencinta, ia
akan melakukan apa pun agar rakyat yang dicintainya terbebas dari pelbagai
kesengsaraan hidup.
Kehadiran Yesus ada di tengah
paradoks ini. Ia lahir ketika Galilea diperintah oleh Raja Herodes I (37-4 SM).
Sesudah raja itu meninggal, Galilea dan Perea diperintah oleh Herodes Antipas,
putranya. Pada waktu itu Galilea cukup "sejahtera". Namun,
kesejahteraan yang diperoleh tidak lain karena Antipas tampil penindas dengan
pelbagai kekerasan yang dilakukannya. Ia tidak segan menumpas setiap orang atau
kelompok yang dicurigai dapat merongrong kekuasaannya. Tidaklah mengherankan
kalau kemudian di wilayah kekuasaannya ini muncul gerakan-gerakan anti
pemerintahan. Galilea menjadi basis kaum Zelot yang melawan penjajah Romawi. Di
sini pula menjadi pusat Yudaisme sesudah runtuhnya Yerusalem (tahun 70 M). Di
daerah ini pula kita dapat menyaksikan pergulatan the love of power dan the
power of love : kekuasaan yang menindas dan Kekuasaan yang menyapa serta berbela rasa dengan penderitaan umat
manusia.
Menurut Injil Markus, Galilea
bukan hanya negeri asal Yesus (Mrk 1:9) melainkan juga pusat karya-Nya,
khususnya wilayah sekitar danau Genesaret atau danau Galilea. Daerah ini
dijadikan daerah awal dari misi Yesus dan para pengikut-Nya di antara
orang-orang kafir. Yesus meninggalkan wilayah itu hanya sewaktu-waktu saja (Mrk.7:24, 31; 8:27).
Pada awal karya-Nya di hadapan
banyak orang, tentu saja Yesus - seperti orang-orang lain - mendengar seruan
tobat yang disampaikan Yohanes. Yesus pun berangkat dari Nazaret ke Yudea.
Dengan datang kepada Yohanes, Yesus menyamakan diri-Nya dengan para pendurhaka
yang memerlukan penebusan. Ia ada bersama-sama sebagai sebuah umat Yahudi.
Walaupun -kata Yohanes - Yesus lebih besar kuasa-Nya dan hanya Dia yang mampu
membaptis orang dengan Roh Kudus. Namun, Ia merendahkan diri-Nya menerima
baptisan tobat. Bukan karena Yesus juga berdosa maka Ia harus dibaptiskan.
Melainkan, Yesus setuju dengan gerakan moral yang dikumandangkan Yohanes bahwa
bangsa itu harus bertobat! Markus ini memperkenalkan Yesus dari sudut
batin-Nya. Yesus datang kepada Yohanes secara incognito. Sama seperti orang-orang lain, Ia berdiri di
tengah-tengah para pendosa dan menerima baptisan Yohanes walaupun Ia
sungguh-sungguh Putra Allah dan Allah sendiri. Hal ini dilakukan-Nya bukan
supaya Ia sendiri selamat atau luput dari murka Allah yang mendekat, melainkan
karena Ia sepenuhnya mau bersatu dengan umat manusia. Ia mendekati manusia
sedalam mungkin, supaya kelak dapat Ia dapat melimpahinya dengan kasih di dalam
kerahiman-Nya.
Yesus merendahkan diri dan
berdiri dalam jajaran orang berdosa yang menanti pertobatan, ini bukan
pencitraan. Ini bukan seperti orang-orang yang haus kekuasaan (the love of power) yang mau melakukan
apa saja, bahkan yang tidak pernah dilakukannya selama hidupnya. Kini, demi
kekuasaan banyak orang-orang yang rela membersihkan got, makan di pinggir
jalan, mengayuh sepeda, menyapu jalanan, mengendong orang miskin, membeli pakaian
di pedagang kaki lima, dan sebagainya. Lihat, bahasa tubuh mereka sebenarnya
menyangkal itu. Namun, demi citra diri agar kekuasaan dapat diraih, mereka rela
melakukannya! Yesus bukan manusia tipe ini.
Tidak berbeda dengan
orang-orang Yahudi waktu itu, Yesus pun turun ke dalam sungai air Yordan sebagai
tanda ketaatan kepada Allah. Maka, Ia menguduskan diri-Nya dalam iman
sebagaimana layaknya seorang manusia. Pada saat itulah langit terkoyak melambangkan keadaan baru: kehadiran
Allah tidak lagi tersembunyi, sehingga manusia dapat menjangkau-Nya. Allah
meniadakan kendala-kendala dan kini sudah berada di tengah-tengah manusia. Kini, di bumi mulailah sebuah proses
perubahan dasyat: bukan hanya manusia lebih mudah berjumpa dengan Allah,
melainkan justeru sebaliknua: Allahlah yang turun kepada manusia. Dalam diri
Yesus, Allah hadir di antara manusia!
Yesus meninggalkan takhta
kemuliaan dan kekuasaan-Nya agar wujud konkrit kasih, karakter, sifat, dan
wajah Allah dapat disapa, diraba, disentuh, dilihat, dan diraih sepenuhnya oleh
manusia. Itulah sejatinya Firman yang menjadi Manusia! Itulah Epifani yang
sebenarnya, Allah yang menyatakan diri kepada umat manusia. Epifani itu adalah the power of love : kuasa yang tidak terbatas, kini mau membatasi
diri untuk mencintai!
Epifani mestinya bukan hanya
bagian dari masa lalu ketika pembaptisan Yesus oleh Yohanes di sungai Yordan.
Epifani itu harus terus terjadi di sepanjang generasi. Kini, Sang Firman Hidup
itu telah kembali kepada Bapa di Sorga. Namun, Ia telah menyatakan Firman hidup
dan yang menghidupkan itu kepada setiap kita. Kini, giliran kita yang harus
meneruskan karya-Nya agar kehadiran Allah yang peduli, menyelamatkan,
mengampuni, mengasihi dan mencintai itu terus terlihat. Dapatkah setiap orang
yang bersentuhan dengan kita - dalam pelbagai cara dan kesempatan; termasuk di
dunia maya - melihat Epifani itu?
Selama kita menjadi orang
dalam kelompok the love of power,
yang melakukan segala upaya untuk pementingan dan keagungan diri sendiri,
selama itu kita makin menutupi wajah Allah yang penuh rakhmat dan damai
sejahtera. Tidak ada jalan lain untuk menghadirkan epifani, kecuali dengan
mencontoh apa yang sudah diteladankan Yesus kepada kita. Sebarapa pun daya atau
"kuasa" yang ada pada kita mestinya mampu menghadirkan rakhmat dan
kemuraha-Nya pada orang-orang yang kita jumpai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar