Kamis, 04 Januari 2018

EPIFANI MEMBERI KEHIDUPAN



Dalam rubrik Analisis Politik harian umum nasional, Kompas hari ini (4 Januari 2017) Yudi Latif mengangkat tema Kekuatan Mencintai. Ia menyoroti, antara lain tentang keburukan dan krisis politik di Indonesia. "Pangkal keburukan kekuasaan bermula ketika orang lebih terobsesi 'cinta kekuasaan' (the love of power) ketimbang 'kekuasaan untuk mencintai' (the power of love). Dalam krisis yang membutuhkan kekuasaan yang lebih bertanggung jawab pada kebaikan hidup bersama, para pemimpin justeru lebih mencintai kekuasaan yang melayani kepentingannya. Elit negeri tak segan menjerumuskan rakyat ke dalam kobaran api permusuhan antaridentitas yang membakar rumah kebangsaan menjadi puing-puing kesumat." Ujar Latif yang berharap memasuki tahun politik 2018 kesadaran kekuasaan dipakai untuk mencinta itu akan semakin tumbuh.

Sejarah mencatat pergulatan antara orang yang haus kekuasaan dan orang yang menggunakan kekuasaannya untuk meredakan dahaga akan cinta terus berlangsung. Orang yang haus dan cinta kekuasaan akan memakai segala macam cara untuk mendapatkannya. Dari cara-cara harus, seperti membujuk, membuat pencitraan, dan membagikan pelbagai kebaikan sampai cara-cara kasar, seperti menebarkan kampanye hitam, membuat berita bohong, memfitnah, mengintimidasi, mengancam dan tak segan memecah belah rakyat akan digunakan. Korbannya, tentu rakyat itu sendiri! Sebaliknya, orang yang menggunakan kekuasaan atau kekuatan yang ada pada dirinya untuk mencinta, ia akan melakukan apa pun agar rakyat yang dicintainya terbebas dari pelbagai kesengsaraan hidup.

Kehadiran Yesus ada di tengah paradoks ini. Ia lahir ketika Galilea diperintah oleh Raja Herodes I (37-4 SM). Sesudah raja itu meninggal, Galilea dan Perea diperintah oleh Herodes Antipas, putranya. Pada waktu itu Galilea cukup "sejahtera". Namun, kesejahteraan yang diperoleh tidak lain karena Antipas tampil penindas dengan pelbagai kekerasan yang dilakukannya. Ia tidak segan menumpas setiap orang atau kelompok yang dicurigai dapat merongrong kekuasaannya. Tidaklah mengherankan kalau kemudian di wilayah kekuasaannya ini muncul gerakan-gerakan anti pemerintahan. Galilea menjadi basis kaum Zelot yang melawan penjajah Romawi. Di sini pula menjadi pusat Yudaisme sesudah runtuhnya Yerusalem (tahun 70 M). Di daerah ini pula kita dapat menyaksikan pergulatan the love of power dan the power of love : kekuasaan yang menindas dan Kekuasaan yang menyapa serta berbela rasa dengan penderitaan umat manusia.

Menurut Injil Markus, Galilea bukan hanya negeri asal Yesus (Mrk 1:9) melainkan juga pusat karya-Nya, khususnya wilayah sekitar danau Genesaret atau danau Galilea. Daerah ini dijadikan daerah awal dari misi Yesus dan para pengikut-Nya di antara orang-orang kafir. Yesus meninggalkan wilayah itu hanya sewaktu-waktu saja  (Mrk.7:24, 31; 8:27).

Pada awal karya-Nya di hadapan banyak orang, tentu saja Yesus - seperti orang-orang lain - mendengar seruan tobat yang disampaikan Yohanes. Yesus pun berangkat dari Nazaret ke Yudea. Dengan datang kepada Yohanes, Yesus menyamakan diri-Nya dengan para pendurhaka yang memerlukan penebusan. Ia ada bersama-sama sebagai sebuah umat Yahudi. Walaupun -kata Yohanes - Yesus lebih besar kuasa-Nya dan hanya Dia yang mampu membaptis orang dengan Roh Kudus. Namun, Ia merendahkan diri-Nya menerima baptisan tobat. Bukan karena Yesus juga berdosa maka Ia harus dibaptiskan. Melainkan, Yesus setuju dengan gerakan moral yang dikumandangkan Yohanes bahwa bangsa itu harus bertobat! Markus ini memperkenalkan Yesus dari sudut batin-Nya. Yesus datang kepada Yohanes secara incognito. Sama seperti orang-orang lain, Ia berdiri di tengah-tengah para pendosa dan menerima baptisan Yohanes walaupun Ia sungguh-sungguh Putra Allah dan Allah sendiri. Hal ini dilakukan-Nya bukan supaya Ia sendiri selamat atau luput dari murka Allah yang mendekat, melainkan karena Ia sepenuhnya mau bersatu dengan umat manusia. Ia mendekati manusia sedalam mungkin, supaya kelak dapat Ia dapat melimpahinya dengan kasih di dalam kerahiman-Nya.

Yesus merendahkan diri dan berdiri dalam jajaran orang berdosa yang menanti pertobatan, ini bukan pencitraan. Ini bukan seperti orang-orang yang haus kekuasaan (the love of power) yang mau melakukan apa saja, bahkan yang tidak pernah dilakukannya selama hidupnya. Kini, demi kekuasaan banyak orang-orang yang rela membersihkan got, makan di pinggir jalan, mengayuh sepeda, menyapu jalanan, mengendong orang miskin, membeli pakaian di pedagang kaki lima, dan sebagainya. Lihat, bahasa tubuh mereka sebenarnya menyangkal itu. Namun, demi citra diri agar kekuasaan dapat diraih, mereka rela melakukannya! Yesus bukan manusia tipe ini.

Tidak berbeda dengan orang-orang Yahudi waktu itu, Yesus pun turun ke dalam sungai air Yordan sebagai tanda ketaatan kepada Allah. Maka, Ia menguduskan diri-Nya dalam iman sebagaimana layaknya seorang manusia. Pada saat itulah langit  terkoyak melambangkan keadaan baru: kehadiran Allah tidak lagi tersembunyi, sehingga manusia dapat menjangkau-Nya. Allah meniadakan kendala-kendala dan kini sudah berada di tengah-tengah manusia.  Kini, di bumi mulailah sebuah proses perubahan dasyat: bukan hanya manusia lebih mudah berjumpa dengan Allah, melainkan justeru sebaliknua: Allahlah yang turun kepada manusia. Dalam diri Yesus, Allah hadir di antara manusia!

Yesus meninggalkan takhta kemuliaan dan kekuasaan-Nya agar wujud konkrit kasih, karakter, sifat, dan wajah Allah dapat disapa, diraba, disentuh, dilihat, dan diraih sepenuhnya oleh manusia. Itulah sejatinya Firman yang menjadi Manusia! Itulah Epifani yang sebenarnya, Allah yang menyatakan diri kepada umat manusia.  Epifani itu adalah the power of love : kuasa yang tidak terbatas, kini mau membatasi diri untuk mencintai!

Epifani mestinya bukan hanya bagian dari masa lalu ketika pembaptisan Yesus oleh Yohanes di sungai Yordan. Epifani itu harus terus terjadi di sepanjang generasi. Kini, Sang Firman Hidup itu telah kembali kepada Bapa di Sorga. Namun, Ia telah menyatakan Firman hidup dan yang menghidupkan itu kepada setiap kita. Kini, giliran kita yang harus meneruskan karya-Nya agar kehadiran Allah yang peduli, menyelamatkan, mengampuni, mengasihi dan mencintai itu terus terlihat. Dapatkah setiap orang yang bersentuhan dengan kita - dalam pelbagai cara dan kesempatan; termasuk di dunia maya - melihat Epifani itu?

Selama kita menjadi orang dalam kelompok the love of power, yang melakukan segala upaya untuk pementingan dan keagungan diri sendiri, selama itu kita makin menutupi wajah Allah yang penuh rakhmat dan damai sejahtera. Tidak ada jalan lain untuk menghadirkan epifani, kecuali dengan mencontoh apa yang sudah diteladankan Yesus kepada kita. Sebarapa pun daya atau "kuasa" yang ada pada kita mestinya mampu menghadirkan rakhmat dan kemuraha-Nya pada orang-orang yang kita jumpai.

Jakarta, Epifani 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar