Jumat, 01 Desember 2017

TUNAS PENGHARAPAN



Lawrence E. Joshep dalam karyanya Apocalypse 2012 (2007), mengapresiasi astronom bangsa Maya. Tanpa teleskop dan peralatan canggih, mereka bisa memperhitungkan lamanya satu bulan lunar adalah 29,53020 hari - berarti hanya selisih 34 detik dari apa yang sekarang kita ketahui sebagai jangka akuratnya: 29,53059 hari. Sehingga tidaklah berlebihan kalau banyak orang percaya bahwa kalender Maya yang berusia dua ribu tahun itu lebih akurat dibanding kalender Gregorian yang baru berusia lima ratusan tahun yang kita gunakan sekarang.

Selama berabad-abad, Suku Maya menciptakan paling tidak dua puluh kalender yang disesuaikan dengan segala macam siklus, dari kehamilan sampai dengan panen, dari bulan hingga planet Venus yang orbitnya mereka kalkulasi dengan begitu akurat hingga hanya selisih 1 hari saja untuk setiap 1.000 tahun. Setelah observasi berabad-abad, para astronom suku Maya menyimpulkan bahwa titik balik musim dingin 2012, yang jatuh pada tanggal 21 Desember 2012 (21/12/12) atau 13.0.0.0.0 berdasarkan Long Count mereka - era baru dalam sejarah manusia akan dimulai. "Tengah malam" tanggal 21/12/12 ini mulai zaman baru, seperti halnya bumi menyelesaikan orbitnya pada Matahari dan membawa tahun baru pada setiap tengah malam 1 Januari. Bangsa Maya kuno yakin tanggal 21/12/12 adalah awal zaman baru. Maka hari itu adalah hari yang paling sakral, paling menguntungkan, dan paling berbahaya dalam sejarah alam semesta.

Apakah dunia akan berakhir pada 21/12/12? Meski para astronom bangsa Maya ribuan tahun yang lalu tidak menyebutkan tentang kiamat pada 21/12/12. Namun, banyak orang kemudian menafsirnya bahwa hari itu adalah hari berakhirnya semesta alam. Banyak orang menyajikan fakta-fakta kehancuran dunia dan prediksi-prediksi yang bakal terjadi sehingga dengan didukung oleh pengalaman dan fakta akurasi perhitungan suku Maya, sangat besarlah keyakinan bahwa apa yang dikatakan bangsa Maya bahwa 21/12/12 adalah awal zaman baru dan itu berarti kiamat!

Kiamat, akhir zaman, atau Hari Tuhan sering dikaitkan dengan hancur leburnya alam semesta. Kita, melihat "tanda-tanda" kehancuran itu sebagai sebuah pembenaran bahwa hari itu semakin dekat. Fakta-fakta kehancuran itu disajikan untuk memperkuat sebuah argumentasi yang konon katanya berasal dari Kitab Suci. Bukankah bacaan pada Adven Pertama minggu ini juga menyatakan begitu? "Tetapi pada masa itu, sesudah siksaan itu, matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak bercahaya dan bintang-bintang akan berjatuhan dari langit dan kuasa-kuasa langit akan goncang."(Markus 13:24-25). Mengerikan! Orang kemudian mengaitkan dengan bencana-bencana yang kini sedang terjadi. Gunung meletus, gempa bumi, banjir, tsunami, kelaparan, aksi teroris, peperangan khususnya yang menggunakan senjata pemusnah massal dan nuklir. Itu semua seolah membenarkan bahwa bumi ini telah tua dan sebentar lagi kiamat tiba!

Benarkah yang dimaksudkan Yesus seperti itu? Bukankah bencana-bencana dasyat telah lebih dahulu ada? Contohnya air bah pada zaman Nuh, fisikawan di UC Berkeley berkesimpulan bahwa 65 juta tahun lalu telah terjadi komet atau asteroid selebar 10 kilometer menghantam Chicxulub, di semenanjung Yucatan, Mexico, meninggalkan kawah berdiameter 175 kilometer persegi tepat di jantung yang hari ini menjadi kekuasaan Suku Maya. Menurut Luis Alvarez, fisikawan Berkeley peraih Nobel, dampak dari jatuhnya meteor itu telah melenyapkan 70% spesies di planet bumi. Contoh lain letusan Supervulkan Yellowstone 600.000 tahun yang lalu. Memuntahkan begitu banyak debu sehingga menyelimuti benua Afrika memusnahkan nyaris tiga perempat spesies di bumi. Peristiwa meletusnya Yellowstone mengakhiri kehidupan dinosaurus di muka bumi. Dan bencana besar terakhir adalah letusan kekuatan bawah bumi yang terjadi di Danau Toba pada 74.000 tahun yang laluu yang menghancurkan 90 % populasi dunia! Jadi, dibanding dengan dasyatnya kehancuran alam pada masa lalu, bencana-bencana yang kini terjadi belum ada apa-apanya.

Lalu bagaimana kita memaknai perkataan Yesus tentang akhir zaman? Benarkah Yesus sedang menakut-nakuti pendengar-Nya dengan ancaman siksaan dan dasyatnya kehancuran alam sehingga dengan begitu mereka akan mengimani-Nya agar selamat dari murka itu? Kalau yang dimaksudkan begitu, apa bedanya dengan ajaran para ahli Taurat?

Menurut kitab-kitab apokaliptik (akhir zaman) Yahudi, suasana caos, guncangan kosmik di akhir zaman sama seperti keadaan bumi sebelum dibentuk oleh Allah (bnd. Kejadian 1:1). Keadaan kosong, caos, kacau balau tidak memungkinkan sebuah kehidupan terjadi. Seperti itulah hukuman alam yang dasyat. Nabi-nabi Perjanjian Lama menyerukan pertobatan agar manusia terhindar dari malapetaka sebagai penghukuman atas umat yang berdosa. Namun, dalam teks Markus ini sama sekali tidak disebutkan penghakiman, hukuman atau sebagainya. Melainkan, penghiburan yang menguatkan! Mengapa kita banyak menghabiskan energi untuk yang mengerikan itu dan bukan memikirkan sebuah pengharapan? Keseluruhan pewartaan yang disampaikan Yesus ini sama sekali bukan untuk menakit-nakuti umat. Namun, tidak juga sedang meninabobokan pendengar-Nya.

Tentu saja, semua cobaan yang dibicarakan sebelumnya harus dialami oleh umat beriman, sebagaimana layaknya semua orang menerima itu. Namun, semuanya itu seharusnya mengantar mereka kepada kedatangan Anak Manusia yang akan membawa keselamatan.

Alih-alih mengikuti tradisi para ahli Taurat yang memberitakan bencana agar orang takut, Yesus menampilkan sebuah harapan. Harapan itu ia katakan dalam sebuah tanda "tunas pohon ara". Pohon ara punya makna unik bagi orang Yahudi. Pohon itu sering dipakai untuk tempat merenung dan berdoa. Gambaran tentang pohon ara yang bertunas - di satu sisi benar seperti yang disampaikan Yesus bahwa itu pertanda pergantian musim. Semua orang di sana sangat mengerti bahwa tunas itu pertanda dari dingin membeku, seperti dicengkram kematian, kini akan beralih ke pengharapan kehidupan. Tunas baru!

Para pendengar Yesus tidak dibuai dengan harapan palsu tentang akhir zaman, namun diajak untuk memerhatikan tunas pohon ara itu. Bukan kematian atau kehancuran yang mereka harus terus nantikan, melainkan pengharapan untuk kehidupan yang lebih baik: damai sejahtera di bumi! Masa penantian kedatangan Anak Manusia bukanlah fokus pada gempa bumi, perang, atau nabi-nabi palsu. Dengan begitu, umat Tuhan akan menatap masa depan dengan pengharapan bahwa di sana ada "tunas Daud", Tunas yang muncul memberi keteduhan dan kedamaian. Dengan demikian berita hari Tuhan bukanlah tentang kehancuran melainkan kesetiaan, pembebasan dan kehidupan yang baru di tengah dunia yang penuh kecenderungan untuk menghancurkan.

Itulah sebabnya setiap umat Tuhan diminta-Nya untuk senantiasa berjaga-jaga.Kata berjaga-jaga setara artinya dengan kiasan :bersiap-siap agar jangan kaget pada saat kedatangan yang tak terduga. Selalu siap sedia artinya semakin mengakarkan diri pada Kristus, semakin merangkul karunia keselamatan dan semakin melepaskan diri dari kuasa-kuasa kegelapan yang dapat menghancurkan dunia. Kuasa-kuasa itu sangat nyata dalam keserakahan, kesombongan, iri hati dan pemuasan nafsu duniawi.  

Berjaga-jaga yang sebenarnya searti dengan menjadi "merdeka". Manusia yang merdeka, tidak membiarkan dirinya terpengaruh oleh "nasib hidupnya" yang terus-menerus berubah. Di tengah "matahari dan bulan yang tak bersinar", "bintang-bintang" berjatuhan, gnjang-ganjing kemelut dunia, sakit dan penderitaan...hatinya tetap tenang. Pengharapan itu selalu ada! Damai itu datang dari Kristus. Lihatlah pertanda itu di tengah kekacauan, "Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya."(Markus 13:26). Mungkinkah kita akan dapat melihat Anak Manusia dengan segala kekuasaan-Nya itu, sementara hati kita terpaut dan bahkan sedang menjadi bagian dari kuasa kekacauan itu?

Jakarta, Adven 1, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar