Hari Minggu ini (26/11)
merupakan Minggu penutup dalam kalender liturgi gereja. Minggu Kristus Raja!
Tahun ini adalah tahun liturgi A. Bacaan Injil terambil dari Matius 25: 31-46.
Kita menghayati Kristus Raja sebagai Hakim Agung akhir zaman. Raja dan Gembala
Agung yang sekaligus nantinya akan milahpisahkan domba dari kambing. Kristus
Raja adalah tokoh sentral dalam peristiwa penghakiman itu. Kehadiran para
malaikat menambah agung kemuliaan Sang Raja itu.
Yang dikumpulkan ke hadapan
takhta Anak Manusia bukan hanya umat pilihan, melainkan semua bangsa. Tanpa
kecuali! Pemisahan bukan berdasar pada ras atau bangsa. Bukan berdasar umat
pilihan atau bukan. Tetapi seorang demi seorang. Masing-masing orang diadili
menurut tindakannya sendiri-sendiri. Ukuran penghakiman bukanlah aneka macam
kewajiban agama yang dikerjakan dengan taat atau dilanggar. Tetapi hanya satu
hal saja: pelayanan kasih, yang dikonkretkan atau dicontohkan dalam enam
tindakan, yakni: memberi makan bagi yang lapar, minum kepada yang haus,
tumpangan kepada orang asing, memberi pakaian kepada orang telanjang, menjenguk
ketika sakit, dan mengunjungi orang yang terpenjara. Daftar kepedulian dan
tindakan kasih ini konsisten dengan pemahaman Yesus terhadap Taurat: "Apa yang Kukehendaki bukanlah kurban
persembahan melainkan belas kasih" (Mat. 9:13, 12:7, 23:23). Itulah
juga yang Dia hidupi, sepanjang pelayanan-Nya kasih dan bela rasa Allah yang
Yesus kerjakan.
Orang-orang yang berada di sebelah
kanan, mereka yang disebut benar itu heran. Kapankah Raja Yang Mahamulia itu
lapar, haus, sebagai orang asing, telanjang, sakit dan terpenjara? Lalu Raja
membuka rahasia, "...segala sesuatu
yang kamu lakukan untuk salah sorang dari saudara-Ku yang paling kecil ini,
kamu telah melakukannya untuk Aku."(Mat.10:42). Siapa yang dimaksudkan
dengan "saudara-Ku yang paling
kecil..."? Banyak yang menafsirkan saudara-Ku
itu adalah "murid-murid Yesus". Hal ini mengacu pada pasal
sebelumnya. Dalam Matius 18, kata saudara
menunjuk kepada para murid (18:15,21,35). Jadi, ketika seseorang melakukan
tindakan kasih terhadap murid Yesus, maka ia telah memenuhi kualifikasi sebagai
"domba" dan pantas duduk di sebelah kanan!
Mari kita telaah lebih jauh. Kalau
demikian, tindakan kasih itu menjadi berbatas. Ya, sebatas kepada para murid
atau sesama orang Kristen saja. Apakah benar seperti itu? Jika benar, apa
bedanya dengan tafsir Yahudi yang dikecam oleh Yesus? Mereka yang sangat
ekslusif, menganggap sesama itu hanya kalangan sendiri, bangsanya sendiri dan
kemudian merasa diri paling benar serta serta umat istimewa di hadapan Allah.
Membatasi tolok ukur pengadilan
akhir zaman pada tindakan bela rasa hanya terhadap para murid Yesus saja rasanya
tidak cocok dengan apa yang diperjuangkan oleh Yesus sendiri. Allah Bapa
mengutus Yesus Kristus tidak pernah membatasi bela rasa itu hanya untuk
kelompok tertentu saja. Lihatlah berulang kali Yesus berjumpa dengan
orang-orang asing, orang Samaria dan pejabat Romawi. Kasih Yesus tidak dibatasi
hanya untuk kalangan atau kelompok tertentu saja. Kasih-Nya untuk semua! Jika
demikian para pengikut-Nya pun tidak boleh membatasi bela rasa itu hanya untuk
kelompok tertentu saja.
Gembala Agung itu mengajar dan
mencontohkan bagaimana mencintai semua orang bahkan musuh sekalipun, mestinya
kita yang sering merasa dan mengatakan dirinya adalah "kawanan domba
gembalaan-Nya" sudah terbiasa melakukan tindakan kasih itu. Kita, akan
sanggup mengenali bahwa di balik orang-orang "kecil", tersisih,
terbuang, sampah masyarakat dan yang terabaikan itu ada wajah Yesus. Di
sinilah, setiap orang yang telah menjadi kawanan domba Kristus terpanggil untuk
"menggembalakan" mereka yang tersisih. Seperti halnya Yesus
menggembalakan kita dengan cinta kasih-Nya.
Tindakan kasih sering
ditafsirkan hanya berupa pemberian karena iba. Misalnya, memberi pengemis atau
gelandangan dengan uang recehan atau baju bekas. Dengan begitu merasa diri
sudah memenuhi kriteria orang benar! Cukupkah begitu? Memberi makan kepada yang
lapar, minum kepada yang haus, pakaian kepada yang telanjang dan menjenguk yang
sakit dan terpenjara adalah baik dan itu harus dilakukan ketika memang saudara
sesama kita dalam keadaan benar-benar membutuhkan. Kita tidak boleh diam! Yesus
memberi contoh demikian karena pada zaman-Nya itulah yang sangat kasat mata
penderitaan yang dialami sesama anak manusia. Mestinya ada yang lebih dari itu.
Joe Vitale dalam bukunya,
"The Awakened Millionaire"
menceritakan ulang tentang milyuner kenamaan Amerika Serikat. Ia bercerita
tentang J.C. Penney. Penney adalah orang yang sangat religius. Ia anak seorang
pendeta yang mengajarinya kemandirian. Ketika beranjak sembilan tahun, sang
ayah memberi tahu Penney bahwa ia harus mencari uang sendiri untuk memenuhi
kebutuhannya. Pengasuhan, didikan yang sangat ketat dan pelatihan tentang
kemandirian sejak dini membuahkan sikap
sensitif terhadap kebutuhan orang lain.
Setelah menjadi dewasa, Penney
tetap saja miskin. Suatu ketika, ia ingin membuka sebuah toko yang menjual
pakaian dengan harga murah, sehingga penduduk yang tinggal di kotanya mampu
membeli pakaian berkualitas yang terjangkau. Tak seorang pun percaya ia akan
sukses menjalankan bisnisnya. Di atas kertas, peluang untuk mendapat kesuksesan
sangat kecil. Tetap inilah panggilan jiwanya dan dia menggunakan keteguhan rasa
percaya dirinya untuk melangkah sejauh mungkin.
Toko itu berdiri, namanya "Golden Rule".
"Perlakukanlah orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan. Itulah
filosofi model bisnis yang ia bangun. Setiap orang telah berpikir, usahanya
tidak mungkin maju. Nyatanya, dia berhasil meraup $ 466,59 pada hari pertama.
Pendapatan total tahun pertama adalah $28.898,11. Baginya, Golden Rule merupakan keyakinan spiritualnya yang dibagikan kepada
semua orang di seluruh dunia. Itulah konsep utama dalam bisnisnya. Ia bersih
keras menawarkan barang-barang berkualitas dengan harga semurah mungkin kepada
para pelanggannya. Dia menyukai sesama manusia, sangat religius, dan menjadikan
orang-orang yang menjalankan tokonya sebagai rekan, bukan karyawan!
Implementasi spiritual yang ia
yakini berhasil diterapkan dalam perusahaannya. Usahanya terus berkembang.
Penney tidak ingin mendapatkan untung dengan mengorbankan pelanggannya. maka ia
berusaha memberi yang terbaik.
Pada tahun 1913, Penney
merumuskan visi perusahaannya sebagai berikut:
a. Untuk
mengharapkan layanan dari para staf, kami memberikan upah yang adil sehingga
tidak mengambil semua keuntungan untuk kami.
b. Untuk
melayani pelanggan secara maksimal, sehingga uang yang mereka keluarkan memberi
nilai, kualitas, dan kepuasan.
c. Untuk
terus melatih diri kami dan para rekanan, sehingga layanan yang kami berikan
akan semakin baik.
d. Untuk
terus-menerus meningkatkan faktor kemanusiaan dalam berbisnis.
e. Memberikan
penghargaan kepada pria dan wanita dalam organisasi kami melalui partisipasi
dalam apa yang diproduksi oleh bisnis kami.
f. Menguji setiap kebijakan, metode dan tindakan:
Apakah sudah sesuai dengan apa yang benar dan adil.
Bisnisnya terus berkembang
hingga mendapatkan keuntungan $40.000.000 sekalipun tujuan utamanya bukan untuk
mencari keuntungan. Dia mempersembahkan hidupnya untuk membantu banyak orang.
Pada tahun 1923, Penney mengembangkan percobaan komunitas pertanian seluas
120.000 hektare di Florida dengan nama Penney Farms. Sekitar 20.000 hektare di
antaranya dibagi-bagi untuk petani kecil, mereka boleh tinggal dan bekerja
sampai bisa mandiri. Pada tahun 1954, Penney mendirikan yayasan amal Yayasan James C. Penney, yang masih
aktif sampai sekarang. Yayasan keluarga ini mendukung berbagai organisasi yang
menangani masalah-masalah perbaikan kualitas hidup masyarakat, lingkungan hidup
dan perdamaian dunia.
Penney dapat membuktikan bahwa
nilai-nilai spiritualitas dari Gembala Agung itu sangat mungkin dikembangkan
dalam bisnisnya. Bisnisnya menjadi berkat bagi banyak orang, setidaknya pada
masa keemasannya.
Sekali lagi, memberi bantuan
karitatif itu sangat baik dan perlu. Namun, mestinya setiap anak Tuhan punya
kepekaan sosial tinggi terhadap sesamanya. Sebagai pengusaha, politisi, penegak
hukum, pedagang, guru, seniman, petani, nelayan, apa saja profesi kita mestinya
di sana kita dapat menerjemahkan kasih Kristus itu kepada sesama. Bukan
sebaliknya, mengabaikan sesama bahkan menindas hanya untuk kepuasan diri
sendiri. Ingatlah, bahwa di hari penghakiman itu Sang Raja akan mengadili. Ia
akan memperlihatkan kembali bagaimana cara kita hidup dan peduli terhadap
sesama. Mumpung waktunya belum terlambat, mari berbenah diri!
Jakarta, 22 Nov '17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar