Genderang perang seolah ditabuh kembali Trump. Rabu, 6 Desember 2017 pukul 13.00 di Washington DC melalui
pidato politiknya ia menyatakan bahwa Yerusalem adalah Ibu Kota Israel. Tidak hanya ucap, melainkan lebih jauh dari
itu, ia menyampaikan tekadnya itu kepada para pemimpin Arab, seperti Raja
Salman bin Abdulaziz al-Saud dari Arab Saudi, Raja ABdullah II dari Jordania,
Presiden Mesir Abdel Fatah al-Sisi, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dan Raja
Maroko Muhammad VI. Melengkapi niatnya itu Trump akan memindahkan kator
Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem!
Bagaimana reaksi dunia
terhadap ucapan Trump? Atas pidato kontroversi itu, beberapa pemimpin dunia,
mulai dari Arab Saudi, Mesir, Jordania, Uni Eropa, Perancis, Jerman, Turki,
Inggris, Rusia, China, Indonesia, hingga pemimpin Katolik Paus Fransiskus
mengingatkan akan kesepakatan-kesepakatan damai yang telah dibuat bahkan
diprakarsai oleh Amerika Serikat sendiri dan bahaya radikalisme agama yang
memicu pertumbahan darah bakal terjadi. Yerusalem merupakan isu yang paling
sensitif dalam konfliks Arab-Israel selama hampir 7 dekade terakhir. Kota ini
kini menjadi kota suci bagi umat Islam, Kristen, dan Yahudi. Di kota itu
terdapat Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama umat Islam sebelum ke Kabah di Masjidil
Haram, Mekkah. Di sisi barat Masjid Al-Aqsa ada tembok ratapan, tempat orang
Yahudi dari seluruh dunia memanjatkan doa-doa mereka. Di Yerusalem juga
terdapat Gereja Makam Yesus. Trump sedang memprovokasi dunia khususnya kaum
Zionis untuk kembali membangun "menara Babel" di kota Yerusalem.
Yerusalem adalah kota yang
direbut Daud dari suku Yebus dan dijadikannya ibu kota Kerajaan Israel, di kota
itu Bait Allah dibangun oleh Salomo yang mewujudkan mimpi sang ayah, Raja Daud!
Di sini pula ritual-ritual padang gurun mulai "dirumahkan". Segala
detil ornamen dan liturgi ibadah menjadi begitu sakral. Aturan-aturan Taurat
mulai diuraikan menjadi rinci dan rigit di mana setiap orang terikat dengan
tatanan kesalehan yang harus dikerjakan setiap hari. Tidak boleh dilanggar!
Yerusalem telah melahirkan
ribuan ahli Taurat dan para pengikutnya yang begitu fanatik sebagai umat
istimewa, manusia-manusia pilihan Allah, mereka berbeda dari manusia lainnya. Begitu
sakralnya ritual sehingga lebih memilih membiarkan orang sakit terkapar
ketimbang harus mencederai Sabat, lebih mengutamakan kesucian tubuh ketimbang
bersentuhan dengan luka si kusta atau mayat! Sedekah, puasa dan doa bukan lagi manivestasi
kesalehan otentik, melainkan topeng-topeng pembungkus setiap kebusukan.
Tembok Yerusalem telah memisah antara yang suci dan yang nazis.
Bukan laskar prajurit atau
derap kaki kuda angkatan perang kini mengguncang Yerusalem. Namun suara orang
padang gurun itu ternyata mampu mengoyak "kesucian" Yerusalem! Sebab
lazimnya, orang dari pelbagai penjuru menyerbu Yerusalem, mengambil bagian
dalam ritus ibadah. Bukankah di sana ada Rumah TUHAN dan di rumah itu TUHAN
bisa ditemui? Namun, kali ini mereka berbalik arah, meninggalkan Yerusalem
menuju ke padang gurun memenuhi undangan suara lantang itu. Setelah hampir 300
tahun di Israel tidak muncul seorang nabi kini, suara manusia gurun yang
eksentrik itu memekik lantang. Dia tidak meminta Israel lebih serius lagi
memelihara Sabat. Dia juga tidak meminta mereka lebih banyak lagi mengurbankan
hewan-hewan ternak agar Allah senang. Juga tidak meminta mereka bersedekah atau
memperbanyak doa dan puasa. Tidak! Yang dia serukan hanya satu : bertobat!
Markus menegaskan, tak salah lagi siapa yang
dimaksudkan oleh Nabi Yesaya ketika mengatakan, "Lihatlah, Aku menyuruh utusan-Ku mendahului Engkau,.."(Markus
1:2) adalah Yohanes Pembaptis. Yohanes meminta umat Allah bertobat dan
mengarahkannya kepada Mesias yang mereka nantikan. Bertobat seperti apakah yang
dimaksudkan oleh Yohanes? Apakah mereka bukan orang yang percaya kepada Allah?
Apakah mereka kurang dalam memberlakukan syareat hukum Taurat?
Pertobatan yang sejati bukan
hanya berhenti pada simbol-simbol ritual meski itu penting. Bertobat tidak
hanya melakukan perbuatan yang tidak berkenan kepada Allah oleh karena takut
hukuman yang mengerikan, melainkan dengan kesungguhan hati memulai hidup dengan
menuruti firman-Nya.
Konsep pertobatan dalam
kehidupan orang Yahudi sangat sulit dilepaskan dari pengalaman padang gurun.
Setelah keluar dari perbudakan di tanah Mesir, tidak serta merta mereka berada
di negeri perjanjian. Berpuluh tahun mereka harus melintasi padang gurun. Di
padang gurun itulah mereka ditempa dan tahu apa artinya bertobat. Di padang
gurun, bangsa Israel benar-benar berstatus "anak-anak Allah", hanya
mereka yang taatlah yang selamat. Kini, suara padang gurun itu kembali menarik
perhatian mereka!
Yohanes ingin agar bangsanya
tidak hanya berhenti melakukan dosa. Ia tidak mau Israel menangisi dan
menyesali dosa-dosanya atau mengubah tingkah laku mereka secara lahiriah saja.
Melainkan, berani mengambil keputusan radikal untuk membiarkan diri dikuasai
bukan oleh ambisinya melainkan oleh Roh Allah! Pertobatan itu harus tulen dan
menyeluruh, bukan lahiriah saja. Dimintanya, tanpa kecuali supaya seluruh orang
bertobat. Bukan hanya yang digolongkan sebagai pendosa saja (pezinah, pembunuh,
pencuri dan lainnya). Ia menuntut pertobatan juga kepada yang merasa dirinya
sudah saleh dan tidak lagi membutuhkan pertobatan.
Yohanes menyakini bahwa mereka
yang menerima tobat akan dijadikan sebuah jemaat baru yang siap menyambut
keselamatan yang sebentar lagi akan datang, dan tentu saja mereka akan
mengalami damai sejahtera. Pertobatan (metanoia)
adalah karunia Allah. Anda dan saya bertobat jelas ada yang menggerakkan, kita percaya itulah
kuasa Allah melalui Roh Kudus. Meskipun demikian tidak berarti meniadakan
tanggungjawab kita untuk merespons karunia tersebut. Kewajiban manusialah untuk
menyambut kasih Allah itu dengan membiarkan hati kita dikuasai oleh Allah. Jadi
jelaslah bahwa seseorang yang menyatakan dirinya bertobat ia tidak pasif,
melainkan proaktif menyambut karunia Allah itu.
Kembali ke padang gurun.
Setelah Israel keluar dari perbudakan di tanah Mesir, mereka harus menempuh
ribuan mil dan dalam kurun waktu puluhan tahun, terkadang berputar-putar untuk
sampai tiba di negeri perjanjian. Ketika manusia bertobat, Allah mengampuni
dosa-dosanya bukan berarti selesai dan langsung tiba di negeri perjanjian.
Yohanes memberitakan pentingnya bertobat agar terhindar dari murka Allah.
Namun, bukan berarti sudah selesai. Tidak! Manusia yang bertobat masih harus
melewati pergumulan "gurun dunia", maka pentingnya di sini suara
"padang gurun" itu. Dulu, Israel di pandu oleh tiang awan dan tiang
api agar tidak hangus terbakar matahari dan mati kedinginan serta mereka tahu
arah yang harus ditempuh untuk sampai di negeri perjanjian itu. Kini, Yohanes
mengarahkan manusia yang sudah bertobat itu bukan kepada dirinya. Melainkan
kepada Mesias yang sesungguhnya yakni, Yesus Kristus!
Yohanes menyerukan pertobatan.
Dan orang yang bertobat itu adalah mereka yang hatinya terbuka untuk dipimpin
dan dikendalikan oleh Allah, bukan oleh kemauan dan ambisi nafsunya. Dan secara
gamlang Yohanes menunjukkan bahwa yang harus diikuti adalah Mesias itu.
Ditambah pula dalam peristiwa baptisan Yesus oleh Yohanes ada suara langit
berseru, "Engkaulah Anak-Ku yang
Kukasihi, kepadamulah Aku berkenan." (Markus 1:11). Jadi, siapa yang
dapat memandu kita untuk melakukan hidup pertobatan dengan benar dan agar
sampai di negeri perjanjian yang sesungguhnya itu. Tidak lain dialah Mesias
itu. Dialah Sang Firman yang telah menjadi manusia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar