Dalam kondisi serba terbatas,
sepatu merupakan barang mewah. Lama saya merindukan sepasang sepatu kulit
pembungkus kaki untuk menemaniku sekolah. "Kali ini, Papa pergi agak lama
karena harus mencari bahan baku pabrik kacang yang memang saat ini bukan musimnya.
Tapi jangan kuatir, Papa janji, kalau pulang nanti, Papa akan membelikan kamu
sepasang sepatu kulit!" Kata Papa yang sebentar lagi harus meninggalkan
rumah dan pergi ke beberapa daerah untuk mencari dan membeli kacang tanah.
Papaku bekerja sebagai orang upahan yang mencari bahan baku kacang tanah untuk
dibuat kacang asin panggang.
Tiap hari terasa lama menunggu
Papa pulang. Jelas, yang ditunggu adalah sepasang sepatu kulit itu. Sehari, dua
hari dan setelah hampir dua minggu barulah ia pulang. Papaku terlihat lusuh walau
ia berusaha tersenyum, namun air muka kecewa tidak dapat ditutupinya. Setelah
berbicara sejenak dengan Mama, ia berpaling kepadaku, "Nang, maafkan Papa.
Jangankan membeli sepatu buat kamu, Papa bisa sampai ke rumah saja sudah
bersyukur!" Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa usahanya kali ini tidak
berhasil. Kecewa? Tentu saja! Pada saat itu saya terus mengingat, bukankah Papa
sudah berjanji dan saya terlanjur bercerita kepada teman-teman bahwa
sepulangnya Papa nanti, saya akan memakai sepatu baru!
Belakangan setelah dewasa,
saya mengerti. Adalah sebuah kebanggaan buat orang tua apabila dapat memenuhi
janji-janjinya untuk membahagiakan anak-anak mereka. Namun nyatanya, betapa pun
niat tulus itu ada dalam hatinya dan dia berusaha sekuat tenaga memenuhinya,
tetap saja sebagai manusia memiliki keterbatasan. Bukankah hal itu juga yang
sering menimpa kita? Kita berjanji dan berusaha untuk tidak lalai memenuhinya,
namun nyatanya ada saja faktor-faktor lain yang bisa menggagalkan janji itu. Di sinilah kita menyadari bahwa
kita makhluk yang terbatas. Berbeda dengan kita, ketika Allah berjanji Dia
pasti punya keendak dan sanggup memenuhinya. Tidak ada faktor-faktor lain yang
dapat menggagalkan janji-Nya. Namun sayangnya - sama seperti saya yang terus
mengingat janji Papa tentang sepatu itu - kita terus-menerus mengingat bahkan
untuk sebagian orang tidak segan-segan mengklaim janji Allah itu. Sementara
terhadap diri sendiri kita lupa apa yang harus diperbuat dalam menantikan
terpenuhinya janji Allah itu. Kita berani mempertanyakan, menggugat seolah-olah
kalau tidak begitu Allah lupa. Sebaliknya, kesetiaan dan ketaatan kita dalam
mengerjakan firman-Nya tidak pernah kita perhatikan. Bahkan, untuk tiba pada
hari ini, hari Adven terakhir di mana kita melatih diri untuk sebuah penantian,
banyak orang yang tidak tahan. Ya, masa penantian itu ditunda dulu dengan
merayakan Natal! Bagaimana mungkin dalam melatih diri menanti kedatangan-Nya,
terus kemudian kita merayakan Natal?
Allah berjanji dan pasti Ia
menggenapinya. Bacaan pertama Adven terakhir hari ini (2 Samuel 7:1-11,16)
salah satu yang menegaskan penggenapan janji itu. Setelah Daud merasakan
dirinya begitu luar biasa diberkati TUHAN, ia ingin membangun rumah buat TUHAN.
Namun, TUHAN memakai Natan untuk menyatakan bahwa bukan Daud yang akan
mendirikan Bait Suci itu, melainkan keturunannya. Dalam konteks ini juga TUHAN
menyatakan janji-Nya bukan hanya sekedar Salomo, anak Daud yang akan membangun
Bait Suci itu, melainkan juga keturunan Daud kelak akan terus bertahta, TUHAN
mengokohkan kerajaannya, "Keluarga
dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku, takhtamu akan
kokoh untuk selama-lamanya." (2 Sam.7:16).
Nubuat Natan berbicara tentang
keturunan Daud dalam arti kolektif dan menunjuk kepada dinasti secara
keseluruhan bahwa kelak kerajaan keturunan Daud akan memerintah selama-lamanya.
Dalam konteks ini, penulis Injil Lukas melihat bahwa dalam nubuat Natan itu ada
hal yang sangat spesifik mengenai keturunan atau anak Daud yakni dalam diri
Yesus. Dalam perjalanan kemudian, Yesus beberapa kali disapa sebagai Anak Daud
(Lukas 18:38,39).
Ada dua Injil yang mencatat
silsilah kelahiran Yesus. Matius dan Lukas. Matius merunut silsilah Yesus dari
garis keturunan Yusuf sedangkan Lukas menelisik dari garis keturunan Maria.
Tentu bukan sebuah kebetulan kalau mereka berdua mempunyai garis keturunan
Daud. Dari sudut pandang iman, para penulis Injil yakin bahwa kelahiran Yesus
sang Mesias melalui Maria yang pada saat itu sudah bertunangan dengan Yusuf
merupakan bagian dari rancangan Allah dan sekaligus pemenuhan janji-Nya kepada
Daud. Lihatlah ungkapan malaikat pembawa pesan Allah kepada Maria, "Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak
Allah Yang Mahatinggi, Dan Tuhan ALlah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta
Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub
sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan." (Lukas
1:32-33).
Bagaimana reaksi Maria? Kita
dapat membayangkan ada sebuah kegelisahan besar di dalam dirinya. Mungkin saja
ia mencemaskan hubungan dengan pria yang
dicintainya, Yusuf. Apakah dia akan begitu saja percaya dengan kehamilannya
karena kuasa Roh Kudus? Tidakah sangat wajar kalau Yusuf curiga bahwa dirinya
menjalin hubungan dengan pria lain dan kemudian hamil? Bagaimana pula pandangan
orang-orang di kampungnya nanti. Dalam situasi seperti ini pasti Maria panik
dan takut!
Sebaliknya, bisa jadi Maria
akan sangat bangga. Mengapa? Betapa tidak, Allah menaruh kepercayaan terhadap
dirinya yang luar biasa. Dari dalam rahimnya akan melahirkan seorang Raja yang
kekuasaannya tidak pernah akan berkesudahan! Atas kegalauan Maria itu, yang
pasti kita menemukan sebuah ungkapan darinya, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut
perkataanmu itu." (Lukas 1:38). Selanjutnya, dalam kesederhanaan,
Maria dan Yusuf menjalani kehidupan seperti biasa. Mereka tabah dan terus
menantikan kelahiran Sang Mesias itu.
Tuhan tidak pernah lalai
menepati janji-Nya, sebab itu kita tidak perlu ragu apalagi mengingatkan atau menggugat
janji-Nya. Dia tidak hanya punya keinginan, melainkan punya kapasitas untuk
memenuhi janji-janji-Nya. Dia tahu kapan waktu terbaik untuk menggenapinya.
Tinggal sekarang kitalah yang harus mawas diri. Sudah seberapa setiakah kita
dalam menanti janji-Nya?
Bisa jadi kehidupan yang
sedang kita jalani saat ini seperti pergumulan Maria. Penuh kecemasan, kuatir
dengan pelbagai acaman dan harapan yang tak terpenuhi. Dicibir dan
dipersalahkan banyak orang. Di sinilah kita harus menggunakan cara yang sama
seperti Maria, "Sesungguhnya aku ini
adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Kalimat
ini bukan pertanda orang pesimis dan kehilangan pengharapan, ya sudah menyerah
saja. Bukan! Kalimat ini adalah bentuk penyerahan aktif, bukan pasif. Maria
mengucapkan itu dan kemudian dia, bersama Yusuf menjalani kehidupan dalam
ketaatan kepada Allah.
Kemungkinan lain, bisa saja
saat ini kita seperti Maria yang sedang mengandung janin "Raja yang kekuasaannya tidak akan
berkesudahan." Artinya, kehidupan yang penuh pengharapan, kesuksesan
sudah di tangan, masa depan terjamin oleh karena semua kemudahan ada dalam
genggaman. Dalam kondisi seperti ini pun
kita mestinya kembali belajar dari Maria, "....jadilah kepadaku menurut perkataanmu itu." Dengan begitu kita
menyerahkan bahwa segala keberhasilan, harapan, dan kejayaan bukanlah
semata-mata untuk diri sendiri, melainkan diletakkan dalam kerangka rencana
Agung Sang Mesias. Maka pada akhirnya, seperti perkataan Paulus bahwa segala
kemuliaan hanya bagi Allah, "...bagi
Dia, satu-satunya Allah yang penuh hikmat, oleh Yesus Kristus: segala kemuliaan
sampai selama-lamanya! Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar