Kamis, 21 Desember 2017

JANJI YANG MANIS



Dalam kondisi serba terbatas, sepatu merupakan barang mewah. Lama saya merindukan sepasang sepatu kulit pembungkus kaki untuk menemaniku sekolah. "Kali ini, Papa pergi agak lama karena harus mencari bahan baku pabrik kacang yang memang saat ini bukan musimnya. Tapi jangan kuatir, Papa janji, kalau pulang nanti, Papa akan membelikan kamu sepasang sepatu kulit!" Kata Papa yang sebentar lagi harus meninggalkan rumah dan pergi ke beberapa daerah untuk mencari dan membeli kacang tanah. Papaku bekerja sebagai orang upahan yang mencari bahan baku kacang tanah untuk dibuat kacang asin panggang.

Tiap hari terasa lama menunggu Papa pulang. Jelas, yang ditunggu adalah sepasang sepatu kulit itu. Sehari, dua hari dan setelah hampir dua minggu barulah ia pulang. Papaku terlihat lusuh walau ia berusaha tersenyum, namun air muka kecewa tidak dapat ditutupinya. Setelah berbicara sejenak dengan Mama, ia berpaling kepadaku, "Nang, maafkan Papa. Jangankan membeli sepatu buat kamu, Papa bisa sampai ke rumah saja sudah bersyukur!" Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa usahanya kali ini tidak berhasil. Kecewa? Tentu saja! Pada saat itu saya terus mengingat, bukankah Papa sudah berjanji dan saya terlanjur bercerita kepada teman-teman bahwa sepulangnya Papa nanti, saya akan memakai sepatu baru!

Belakangan setelah dewasa, saya mengerti. Adalah sebuah kebanggaan buat orang tua apabila dapat memenuhi janji-janjinya untuk membahagiakan anak-anak mereka. Namun nyatanya, betapa pun niat tulus itu ada dalam hatinya dan dia berusaha sekuat tenaga memenuhinya, tetap saja sebagai manusia memiliki keterbatasan. Bukankah hal itu juga yang sering menimpa kita? Kita berjanji dan berusaha untuk tidak lalai memenuhinya, namun nyatanya ada saja faktor-faktor lain yang bisa menggagalkan  janji itu. Di sinilah kita menyadari bahwa kita makhluk yang terbatas. Berbeda dengan kita, ketika Allah berjanji Dia pasti punya keendak dan sanggup memenuhinya. Tidak ada faktor-faktor lain yang dapat menggagalkan janji-Nya. Namun sayangnya - sama seperti saya yang terus mengingat janji Papa tentang sepatu itu - kita terus-menerus mengingat bahkan untuk sebagian orang tidak segan-segan mengklaim janji Allah itu. Sementara terhadap diri sendiri kita lupa apa yang harus diperbuat dalam menantikan terpenuhinya janji Allah itu. Kita berani mempertanyakan, menggugat seolah-olah kalau tidak begitu Allah lupa. Sebaliknya, kesetiaan dan ketaatan kita dalam mengerjakan firman-Nya tidak pernah kita perhatikan. Bahkan, untuk tiba pada hari ini, hari Adven terakhir di mana kita melatih diri untuk sebuah penantian, banyak orang yang tidak tahan. Ya, masa penantian itu ditunda dulu dengan merayakan Natal! Bagaimana mungkin dalam melatih diri menanti kedatangan-Nya, terus kemudian kita merayakan Natal?

Allah berjanji dan pasti Ia menggenapinya. Bacaan pertama Adven terakhir hari ini (2 Samuel 7:1-11,16) salah satu yang menegaskan penggenapan janji itu. Setelah Daud merasakan dirinya begitu luar biasa diberkati TUHAN, ia ingin membangun rumah buat TUHAN. Namun, TUHAN memakai Natan untuk menyatakan bahwa bukan Daud yang akan mendirikan Bait Suci itu, melainkan keturunannya. Dalam konteks ini juga TUHAN menyatakan janji-Nya bukan hanya sekedar Salomo, anak Daud yang akan membangun Bait Suci itu, melainkan juga keturunan Daud kelak akan terus bertahta, TUHAN mengokohkan kerajaannya, "Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya." (2 Sam.7:16).

Nubuat Natan berbicara tentang keturunan Daud dalam arti kolektif dan menunjuk kepada dinasti secara keseluruhan bahwa kelak kerajaan keturunan Daud akan memerintah selama-lamanya. Dalam konteks ini, penulis Injil Lukas melihat bahwa dalam nubuat Natan itu ada hal yang sangat spesifik mengenai keturunan atau anak Daud yakni dalam diri Yesus. Dalam perjalanan kemudian, Yesus beberapa kali disapa sebagai Anak Daud (Lukas 18:38,39).  

Ada dua Injil yang mencatat silsilah kelahiran Yesus. Matius dan Lukas. Matius merunut silsilah Yesus dari garis keturunan Yusuf sedangkan Lukas menelisik dari garis keturunan Maria. Tentu bukan sebuah kebetulan kalau mereka berdua mempunyai garis keturunan Daud. Dari sudut pandang iman, para penulis Injil yakin bahwa kelahiran Yesus sang Mesias melalui Maria yang pada saat itu sudah bertunangan dengan Yusuf merupakan bagian dari rancangan Allah dan sekaligus pemenuhan janji-Nya kepada Daud. Lihatlah ungkapan malaikat pembawa pesan Allah kepada Maria, "Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi, Dan Tuhan ALlah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan." (Lukas 1:32-33).

Bagaimana reaksi Maria? Kita dapat membayangkan ada sebuah kegelisahan besar di dalam dirinya. Mungkin saja ia mencemaskan  hubungan dengan pria yang dicintainya, Yusuf. Apakah dia akan begitu saja percaya dengan kehamilannya karena kuasa Roh Kudus? Tidakah sangat wajar kalau Yusuf curiga bahwa dirinya menjalin hubungan dengan pria lain dan kemudian hamil? Bagaimana pula pandangan orang-orang di kampungnya nanti. Dalam situasi seperti ini pasti Maria panik dan takut!

Sebaliknya, bisa jadi Maria akan sangat bangga. Mengapa? Betapa tidak, Allah menaruh kepercayaan terhadap dirinya yang luar biasa. Dari dalam rahimnya akan melahirkan seorang Raja yang kekuasaannya tidak pernah akan berkesudahan! Atas kegalauan Maria itu, yang pasti kita menemukan sebuah ungkapan darinya, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Lukas 1:38). Selanjutnya, dalam kesederhanaan, Maria dan Yusuf menjalani kehidupan seperti biasa. Mereka tabah dan terus menantikan kelahiran Sang Mesias itu.

Tuhan tidak pernah lalai menepati janji-Nya, sebab itu kita tidak perlu ragu apalagi mengingatkan atau menggugat janji-Nya. Dia tidak hanya punya keinginan, melainkan punya kapasitas untuk memenuhi janji-janji-Nya. Dia tahu kapan waktu terbaik untuk menggenapinya. Tinggal sekarang kitalah yang harus mawas diri. Sudah seberapa setiakah kita dalam menanti janji-Nya?

Bisa jadi kehidupan yang sedang kita jalani saat ini seperti pergumulan Maria. Penuh kecemasan, kuatir dengan pelbagai acaman dan harapan yang tak terpenuhi. Dicibir dan dipersalahkan banyak orang. Di sinilah kita harus menggunakan cara yang sama seperti Maria, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Kalimat ini bukan pertanda orang pesimis dan kehilangan pengharapan, ya sudah menyerah saja. Bukan! Kalimat ini adalah bentuk penyerahan aktif, bukan pasif. Maria mengucapkan itu dan kemudian dia, bersama Yusuf menjalani kehidupan dalam ketaatan kepada Allah.

Kemungkinan lain, bisa saja saat ini kita seperti Maria yang sedang mengandung janin "Raja yang kekuasaannya tidak akan berkesudahan." Artinya, kehidupan yang penuh pengharapan, kesuksesan sudah di tangan, masa depan terjamin oleh karena semua kemudahan ada dalam genggaman.  Dalam kondisi seperti ini pun kita mestinya kembali belajar dari Maria, "....jadilah kepadaku menurut perkataanmu itu." Dengan begitu kita menyerahkan bahwa segala keberhasilan, harapan, dan kejayaan bukanlah semata-mata untuk diri sendiri, melainkan diletakkan dalam kerangka rencana Agung Sang Mesias. Maka pada akhirnya, seperti perkataan Paulus bahwa segala kemuliaan hanya bagi Allah, "...bagi Dia, satu-satunya Allah yang penuh hikmat, oleh Yesus Kristus: segala kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.

Adven terakhir 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar