Kamis, 28 Desember 2017

MENYONGSONG TAHUN BARU SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH

Mujizat dan berkat tampaknya tidak pernah lekang dicari orang. Sampai hari ini, tema-tema khotbah atau lebih tepatnya KKR banyak menawarkan dan menyajikan mujizat dan berkat. Ada mujizat kesembuhan, pemulihan keluarga, berkat usaha, kesuksesan, umur panjang dan sebagainya. Tentu bukan sesuatu yang keliru kalau orang mengharapkan hidup penuh mujizat dan diberkati. Bukankah dambaan setiap orang jika kantong tebal, badan sehat, pikiran waras dan punya banyak relasi? Namun, yang sering dilupakan adalah proses dalam mendapatkan itu semua. Ada yang menekuni dengan berjerih lelah sambil menjaga ketaatan kepada Tuhan. Sebaliknya, tidak sedikit yang hanya mengandalkan doa dan KKR dan dalam sekejap segalanya dapat berubah sesuai dengan yang dikehendakinya.

Dalam Perjanjian Lama, sumber berkat adalah Allah sendiri. Berkat Allah secara spesifik digambarkan dengan menganugerahkan keturunan yang akan menjadi bangsa yang besar dan kuat, kekayaan, tanah, kesehatan, dan kehadiran di tengah-tengah umat-Nya. Mereka yang berada "dekat" dengan Allah akan dilindungi. Berkat Tuhan memberikan gambaran tentang apa yang paling dibutuhkan oleh manusia, yakni suasana penuh perlindungan dan keamanan, kasih karunia, dan damai sejahtera, juga gambaran kasih Allah yang semakin lama semakin dalam.  Sayangnya, manusia cenderung dekat dengan Allah hanya karena ingin berkat dan mujizat-Nya. Akibatnya, Sang Pemberi berkat sering terabaikan. Orang menjadi lupa apa yang harus dilakukan  terhadap Sang Pemberi berkat itu.

Dalam Perjanjian Lama, secara khusus Allah telah memerintahkan Musa agar Harun dan keturunannya sebagai imam menyampaikan berkat-Nya. Dari sisi ini sangatlah jelas bahwa tidak usah diminta pun TUHAN menjamin berkat bagi umat-Nya. Ucapan berkat imam yang tercatat dalam Bilangan 6:24,25 terdiri dari tiga bagian. Pertama-tama, "TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau." DI sini tergambar bahwa Allah memelihara dan menjamin umat-Nya dengan penuh, baik apa yang dibutuhkan untuk keperluan kehidupan mereka maupun perlindungan dari segala sesuatu yang jahat. Kedua, "TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia." Ini menyiratkan tanda bahwa TUHAN berkenan atas diri seseorang. Dengan demikian orang itu boleh merasa yakin bahwa Allah akan mendengar doa-doanya dan menyelamatkan dia dari musuh, penyakit dan dosa. Tidak ada satu pun kekuatan jahat yang tahan berhadapan dengan "SInar Wajah Allah". Berkat ketiga, "TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera." Ini menyatakan manifestasi kuasa yang memelihara manusia untuk menjaganya dalam keadaan damai sehjatera, hidup dalam syalom Allah. Ketika Allah berkenan memandang seseorang, hal itu berarti Ia berkenan atas orang itu dan akan menyelamatkan dia dari segala kesukaran (bnd. Mzm.33:18; 34:16).

Dalam Perjanjian Lama, berkat TUHAN tidak dapat dipisahkan dari ketaatan manusia kepada-Nya. Artinya, berkat itu akan "mengalir" dalam kehidupan seseorang jika orang tersebut berlaku setia terhadap Allah. Sebagai tanda kesetiaan, umat mau dengan sukacita hidup dalam hukum-hukum-Nya. Allah telah melengkapi umat itu dengan Taurat, agar dengannya mereka belajar taat dan setia. Dahulu sekali, sebelum Taurat diberikan TUHAN kepada umat-Nya, sunat merupakan tanda dari ikatan perjanjian itu. Abram menerima janji-janji berkat dari TUHAN, sejak saat itu namanya menjadi Abraham dan kemudian ia diperintahkan untuk disunat. Selanjutnya, setiap anak laki-laki yang berumur delapan hari dari keturunannya turun-temurun harus disunat (Kejadian 17:1-27). Itulah tanda kesetiaan dari orang yang kepadanya Allah mengikat janji.

Ketaatan keturunan Abraham ini masih terlacak sampai orang tua Yesus; Yusuf dan Maria. Mereka menyunat dan memberi nama Anak mereka Yesus pada usia delapan hari (Lukas 2:21). Peristiwa ini menandakan bahwa inkarnasi: Firman yang menjadi Manusia itu total, tidak setengah-setengah. Yesus masuk menembus tradisi dan ketaatan manusia dalam ikatan perjanjian berkat dengan Allah. Dalam diri Yesus, Allah bukan hanya berada di antara manusia, melainkan benar-benar menjadi seorang manusia. Dalam penyunatan ini, Yesus Kristus mengidentifikasikan diri-Nya dengan umat manusia yang ditebus-Nya.

Lukas mengisahkan sunat Yesus dari sudut pandang seorang bukan Yahudi kepada seorang bukan Yahudi (dalam hal ini Teofilus), ceritanya, "sesudah delapan hari anak yang bernama Yesus itu disunat, dan sesudah empat puluh hari, ia dibawa ke dalam Bait Suci sebagai tanda bahwa Ia diserahkan kepada TUHAN Allah. Andaikata Lukas menulis untuk orang-orang Yahudi, mungkin saja penjelasannya seperti ini,"upacara tradisi itu memperlihatkan bahwa Yesus takluk kepada hukum Taurat." Sejak permulaan Dia telah memenuhi segala ketetapan  Taurat dan dengan demikian telah membebaskan kita dari Taurat itu (Galatia 4:4-5). Di dalam Surat Galatia ini, Paulus menyebutkan bahwa Yesus Kristus takluk kepada Hukum Taurat untuk "menebus mereka yang takluk kepada hukum Taurat." Hasil dari karya penebusan ini pun disebutkan dengan jelas; "kita diterima menjadi anak" (Gal.4:5b) dan dapat berseru kepada Allah, "ya Abba, ya Bapa" (Gal.4:6). Artinya, di dalam Yesus kita dapat melihat ketaatan-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa yang berdampak tidak hanya memulihkan hubungan, melainkan lebih dalam, yakni hubungan yang sangat dekat (anak-Bapa). Sekaligus juga memberikan contoh dan teladan tentang ketaatan itu.

Di dalam Yesus Kristus kita menyapa Allah sebagai Bapa. Hal ini menandakan bahwa kita adalah anak-anak-Nya. Ya, anak-anak TUHAN! Lalu, apakah cukup hanya sekedar pengakuan dogmatis saja? Status anak bukan hanya penanda bahwa kita adalah pewaris segala kasih karunia-Nya. Melainkan, sebuah identitas yang menyiratkan ketaatan dan kesetiaan. Percuma saja kita mengaku dan yakin sebagai anak-anak TUHAN apabila tutur kata dan prilaku kita jauh dari apa yang dikehendaki Bapa! Tidak ada gunanya embel-embel anak TUHAN kalau iri, dengki, sombong dan arogan masih mewarnai kehidupan kita!

Dalam menyongsong tahun baru, jelas ada banyak tantangan. Namun, tidak sedikit juga harapan. Ya, harapan akan berkat-berkat TUHAN. Sejak dari zaman Perjanjian Lama, Allah telah menjamin berkat bagi kehidupan manusia. Berkat itu telah ada sebelum kita memintanya. Kini, giliran kita yang harus hidup penuh komitmen sebagai anak-anak Allah. Anak-anak yang semakin hari semakin banyak kemiripannya dengan Sang Bapa yang dicontohkan oleh Yesus Kristus. Permulaan tahun baru adalah saat yang tepat untuk kita membuat komitmen dan resolusi agar hidup sebagai anak-anak TUHAN lebih baik lagi. Songsonglah tahun baru dengan optimis sebagai anak-anak Allah! 

Jakarta,  jelang Tahun Baru 2018

Rabu, 27 Desember 2017

BERKAT KESELAMATAN YANG TAK TERKIRA

Alkisah, seorang profesor dari sebuah universitas ternama memiliki hasrat menggelora untuk menemukan dan mendapatkan keinginannya yang terakhir. Selain terkenal di seantero dunia sebagai pakar arkeologi suku Maya, dia juga mengarang beberapa buku, menerbitkan hasil risetnya dalam jurnal-jurnal bergengsi, dan sering menjadi pembicara pada banyak konferensi internasional. Namun, itu semua belum cukup. Dia telah menemukan banyak artefak berharga yang kini  sudah banyak tersimpan di pelbagai museum. Dia telah menemukan banyak pengetahuan tentang suku Maya, tetapi hal ini lagi-lagi belum cukup. Yang paling dia dambakan adalah mendapatkan apa yang menurut koleganya, sebuah mitos, sebuah rumor, sebuah petunjuk sederhana tentang sesuatu yang mungkin ada dan mungkin juga tidak.

Tulisan-tulisan kuno yang dia pelajari seolah meyakinkannya bahwa siapa pun yang mampu menemukan dan memiliki sebuah guci wasiat, maka segala keinginannya akan terkabul. Inilah yang menjadikan ambisinya begitu menyala. Keyakinan itulah yang menyebabkannya menyatakan, "Saya tidak pernah akan merasa bahagia hingga berhasil menemukan guci wasiat suku Maya itu!"

Dokumen-dokumen dari suku Maya yang ada padanya tidak memberikan referensi tempat benda yang menjadi obsesinya tersebut berada, kecuali keterangan singkat bahwa guci tersebut disimpan di sebuah kuil khusus yang belum diketahui. Kini, sang Profesor itu memutuskan untuk terbang dengan pesawat ringan melintasi hutan-hutan di Amerika Tengah, angin yang kuat menerbangkan pesawatnya keluar jalur. Sambil memandang ke bawah untuk menentukan di mana posisinya, mata arkeologisnya yang terlatih melihat sebuah bukit berbentuk kerucut di sebuah tempat terpencil. Bukit itu muncul menyembul di tengah hutan. Jantungnya berdebar keras. Bagi orang lain mungkin bukit tersebut tak lebih dari sebuah bukit kecil simetris yang indah. Bagi profesor ini, bukit tersebut adalah sebuah kuil asing yang belum pernah dikenal.

Dengan harapan yang membuncah, cepat-cepat dia membentuk tim ekspedisi lintas darat. Dia memastikan menyewa asisten yang sering dia ajak bekerja sama, yaitu seorang pria yang sudah faham betul seluk-beluk daerah itu. Dia bisa dipercaya, pekerja keras, dan setia, tetapi punya kelemahan, yakni pecandu alkohol. Untuk menjamin kesetiaan dan kejujurannya, sang arkeolog berupaya keras memastikan bahwa tidak ada minuman memabukkan yang dimasukkan ke dalam suplai bahan makanan untuk ekspedisi tersebut.

Membuka jalan melewati hutan yang begitu lebat dan menggali kuil yang sudah berabad-abad dilupakan sungguh merupakan kerja keras. Cuacanya panas sekali. Kelembabannya begitu tinggi, dan asistennya jelas terlihat ingin minum. Sesudah bekerja keras seharian, hanya ada satu yang ada dalam pikirannya. Minum! Secara tak sengaja, dialah yang pertama kali berlari memasuki ruang kuil bagian dalam. Hidungnya dengan cepat mendeteksi bau wiski yang paling lezat. Dia mengikuti bau tersebut menyeberangi ruang bagian dalam kuil menuju sebuah altar yang di atasnya terdapat sebuah guci. Dia membuka sumbat leher guci dan menenggak wiski yang menurutnya paling lezat daripada yang pernah dia minum sebelumnya. Sang profesor berada tidak jauh darinya. Dia mengira si asisten itu telah menyembunyikan beberapa botol wiski ke dalam suplai makanan mereka. Di tengah geramnya, sang profesor melihat guci yang ada di atas altar, tepat di tempat asistennya menemukannya lebih dahulu.

Sepintas guci itu tidak ada bedanya dengan hasil karya suku Maya lainnya, sebuah guci keramik berwarna putih susu dihiasi gambar jaguar suci, matahari, dan dewa bulan. Meskipun begitu, dia tahu inilah guci yang dia cari. Seperti asistennya, sang arkeolog ini membuka sumbat leher guci, namun dia tidak mencium bau alkohol. Ketika guci itu diguncang, ternyata tidak ada isinya. Dengan hati-hati dia mengepaknya untuk dibawa pulang. Dia tidak sabar ingin memberitahu koleganya yang skeptis bahwa, guci itu ada dan dia sudah menemukannya. Dia sangat bahagia!

Sudah dua atau tiga hari perjalanan dan rasa penasaran sang profesor itu kian meningkat dan tidak dapat ditahan lagi. Benarkah guci ini dapat mengabulkan semua permintaannya? Apakah guci tersebut bisa memberikan sesuatu yang paling diinginkannya? Apakah guci itu memiliki kekuatan dan keajaiban seperti yang dijelaskan dalam pahatan-pahatan batu yang dia pelajari dahulu? Akhirnya, pada suatu malam, saat bulan purnama, dia mengambil kotak tempat guci tersebut disimpan dan duduk bersandar pada sebuah pohon. Dia membuka harta bendanya yang paling berharga dan memutuskan untuk menguji kemampuan guci ajaib itu. Dia membuka sumbat guci tua itu. Sambil memeganginnya di bawah sinar bulan, dia mengucapkan permintaan utamanya, "Saya ingin bebas dari luka, rasa sakit, tragedi, dan kesedihan. Saya ingin kebahagiaan total!" Kepandaian akademis dan kepakaran sang profesor tenggelam dalam obsesi dan ambisinya. Dia tidak mau merenungkan dahulu apa yang dia minta. Luka, derita, dan ketidakbahagiaan adalah bagian dari pengalaman semua orang.

Benar, baru saja dia mengucapkan permintaannya, keinginannya terkabul. Dia jatuh dan mati di samping guci tersebut, bebas dari luka, sakit, dan kesedihan. Keesokan paginya, asistennya bangun dan keluar dari tendanya. Dia menyiapkan makan pagi dan membawanya ke tenda sang profesor. Dia heran karena tidak menemukan sang profesor. Ia mencarinya dan akhirnya menemukan majikannya duduk di bawah pohon sudah tak bernyawa dan di sampingnya tergeletak guci wasiat!

Ada kemiripan Simeon dengan sang profesor arkeolog dalam cerita kita. Simeon seorang yang sedang mencari dan menanti-nantikan Mesias. Betapa bahagianya dia ketika berjumpa dengan Yusuf dan Maria yang mengendong bayi Yesus menuju ke Bait Suci. Siapa Simeon? Injil Lukas (Lukas 2:25-35) tidak menjelaskan apakah Simeon itu imam dan berapa umurnya. Tetapi Lukas langsung menegaskan bahwa ia tinggal di Yerusalem. Simeon dikenal sebagai seorang yang benar dan saleh dan ia menantikan penghiburan bagi Israel. Kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus bahwa ia tidak akan mati sebelum melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan" (Luk.2:25-26).

Simeon mengakhiri hidupnya setelah mengalami perjumpaan dengan Sang Mesias. Kebahagiaan yang sepenuhnya itu ditandai dengan penyerahan hidup, "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang datang dari-Mu..." (Luk.2:29). Berbeda dari sang profesor itu, Simeon benar-benar bahagia karena ia melihat sendiri janji Allah itu. Oh, bukan karena usianya sudah renta dan banyak mengalami kelemahan tubuh yang menyebabkan ia meminta untuk segera pergi dari dunia. Bukan, bukan itu! Melainkan, karena sudah tidak ada lagi yang dapat membahagiakan dirinya ketimbang melihat Sang Mesias itu. Tentu, tidak semua orang dikaruniai kebahagiaan seperti Simeon. Namun, setidaknya kita bisa mencontoh dari kehidupan seorang Simeon.

Simeon disebutkan seorang yang hidupnya benar (dikaios) dan saleh (eulabes) di hadapan Allah. Kata dikaios dapat berarti "benar" dan "adil" sedangkan eulabes berarti : hidup saleh dan sangat berhati-hati serta takut akan Tuhan. Simeon dikatakan benar dan saleh, hal itu menunjukkan bahwa ia senantiasa berlaku benar, adil, sangat berhati-hati, hidup saleh, dan takut akan Tuhan. Arah hidupnya hanya ditujukan kepada penantian akan datangnya Mesias yang diutus Allah. Tidak mengherankan jika kehidupannya dikuasai oleh Roh Kudus. Jadi, seseorang akan berjumpa dengan kebahagiaan sejati bukan melalui benda ini dan itu, atau kuasa-kuasa yang selalu diperebutkan orang. Melainkan, hanya dengan hidup saleh dan benar.

Beberapa jam lagi kita akan mengakhiri tahun 2017. Bagaimana kita mengakhiri tahun ini? Apakah penuh dengan rasa syukur dan bahagia? Ataukah sebaliknya, diwarnai oleh kelu kesah, ketidakpuasan dan beban berat serta penderitaan? Seharusnya, perjumpaan kita dengan Sang Mesias membuahkan kebahagiaan sejati dan menolong kita untuk hidup benar dan saleh di hadapan Allah. Hal ini akan menjadi modal buat kita - dengan memertahankan hidup saleh dan benar - menyongsong kedatangan-Nya kembali sehingga kebahagiaan itu benar-benar paripurna! Selamat mengakhiri tahun 2017 dengan sukacita!

Jakarta, Penghujung tahun 2017

Sabtu, 23 Desember 2017

TUHAN YANG MULIA DALAM KEUGAHARIAN



Belakangan kata "ugahari" banyak dibicarakan. Khususnya ketika gereja-gereja dan PGI mengangkatnya dalam tema-tema pembinaan kontekstual - apalagi ketika kini dijadikan tema Natal dalam lingkup GKI. Lalu apa yang dimaksud dengan ugahari  itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya: 1. sedang; pertengahan, 2. sederhana. Pengembangan arti lainnya adalah: bersahaja, lugu, polos, prasaja. Sedangkan keugaharian mengandung arti :keluguan, kepolosan, kesahajaan, kesederhanaan, dan kewajaran. Apakah kalau begitu kalimat tema Natal tahun ini berarti, Tuhan yang mulia itu tampil dalam keluguan, kepolosan, kesahajaan, kesederhanaan dan kewajaran? Ya, bisa saja mirip-mirip dengan itu. Namun, tentu tidak seugahari atau selugu itu.

Spiritualitas ugahari adalah semangat iman yang meyakini bahwa rakhmat TUHAN itu cukup untuk semua ciptaan-Nya. Oleh karenanya setiap orang yang meyakini semangat iman seperti ini akan mengembangkan gaya hidup sederhana, menolak berfoya-foya, serakah atau rakus. "Spiritualitas keugaharian adalah berani berkata cukup terhadap godaan materi sebagaimana doa yang Tuhan Yesus ajarkan, 'berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.'"(Dr. Mery L.Y. Kolimon, Ketua Majelis Sinode GMIT). Semangat ugahari tidak berhenti hanya untuk mencukupkan diri dan hidup dalam kesederhanaan. Spiritualitas ugahari akan mendorong seseorang untuk peduli terhadap sesamanya agar mereka dapat hidup dalam kecukupan juga. Ugahari akan memberi ruang bahkan merangkul orang-orang yang papa, miskin dan menderita tanpa memandang perbedaan ras, suku golongan, atau pun agama. Semangat ugahari mengajarkan bahwa Allah begitu peduli terhadap penderitaan dunia, khususnya manusia. Alkitab berulang kali mencatat, siapa pun, bangsa atau umat manapun akan menjadi lawan Allah manakala ia atau mereka tampil sebagai orang atau bangsa yang tamak, rakus dan menindas sesamanya. Sebaliknya, Allah akan selalu bersama orang-orang yang diperlakukan tidak adil namun hidup dalam kebenaran. Ia akan selalu ada bersama mereka yang miskin dan tersingkir!

Alkitab mencatat, Allah hadir dalam realita hidup manusia. "Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita,..." (Yohanes 1:14). Eskénósen en hèmin, "... firman itu berkediaman di antara kita". Kata kerja "berkediaman" secara harafiah berarti berkemah, mendirikan tenda. Dulu, umat Israel merasakan pengalaman kehadiran Allah dalam "Kemah Suci". Dalam kemah itu bersemayam Tabut Perjanjian Allah. Israel menyaksikan betapa dasyatnya pengalaman penyertaan Allah itu. Melewati padang gurun dan berhadapan dengan pelbagai musuh serta tantangan dapat mereka atasi berkat kehadiran Allah bersama mereka. Kedasyatan Allah itu juga nyata mana kala sikap hidup mereka bertentangan dengan kehendak-Nya. Allah tidak main-main dengan pelanggaran yang dilakukan umat-Nya itu.

Pengalaman rumit, jatuh-bangun umat Israel bersama dengan kehadiran Allah itu ternyata tidak hanya berhenti di padang gurun. Setelah mereka tiba di negeri perjanjian lalu berhasil menjadi bangsa yang besar. Raja berganti raja. Sayang, umat itu bukannya terus tumbuh menjadi bangsa yang semakin baik beribadah kepada Allah, melainkan tidak henti-hentinya memberontak terhadap Allah. Para nabi diutus untuk mengingatkan prilaku yang keliru itu. Namun, nyatanya umat itu tetap tegar tengkuk. Lelahkah Allah dengan sikap manusia seperti ini? "Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta." (Ibrani 1:1,2)

Rupanya Allah tidak pernah lelah dalam membangun komunikasi dengan manusia. Kini Firman itu telah menjadi 'daging'. Firman itu tidak menjauhi dunia manusia (ini berbeda dengan logos dalam dunia Gnostik yang menjauhi materi) melainkan masuk ke dalam kehidupan manusia. Di dalam Yesus Firman yang semula bersama-sama dengan Allah dan yang merupakan kesatuan utuh dengan Allah itu kini hadir dalam diri manusia Yesus. Yesus sebagai Firman Allah dan shekinah (kehadiran) Allah, kemuliaan dan kasih setia Allah menjadi tampak dan terungkap di bumi. Yesus sebagai Firman Allah yang menjadi manusia adalah jalan yang baru dan paling penuh bagi Allah untuk mengungkapkan diri-Nya kepada manusia.

Firman itu masuk menembus rasa, logika, bahasa, dan budaya manusia. Ia begitu nyata: terlihat dan teraba oleh karena tutur-Nya menjadi hidup di dalam diri-Nya. Ketika Sang Firman itu berbicara tentang kasih. Ini bukan teori, tetapi seluruh hidup-Nya memperagakan itu. Ketika Ia berbicara tentang pengampunan, itu pun bukan sebuah dogma tetapi apa yang dipentaskan melalui kehidupan-Nya orang segera mengerti apa itu pengampunan. Ketika Sang Firman itu berbicara tentang pengharapan, bukankah pelbagai tanda-tanda yang Ia lakukan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Firman itu sendiri. Dan ketika Ia berbicara tentang keugaharian, lalu mengajarkan, "Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya." Maka seluruh hidup-Nya merupakan keugaharian. Ia tidak mengumbar kuasa dan mujizat-Nya untuk kepentingan diri sendiri. Ia melakukannya demi keberpihakan kepada mereka yang lemah, miskin, papa dan menderita.

Kedatangan-Nya sebagai Firman yang menjadi manusia adalah wujud konkrit dalam membatasi diri-Nya. Ia adalah Allah Yang Mahamulia mau hadir di dunia yang fana. Bergumul, menderita, merasakan pahit getirnya kehidupan akibat dosa dan berusaha mengangkat manusia dari lumpur dosa itu supaya mengenal hidup yang sesungguhnya. Pada saat yang sama, Ia menginginkan orang-orang yang telah mengecap kasih karunia-Nya dapat mengerjakan apa yang telah dikerjakan-Nya. Allah tidak pernah mengumbar kuasa-Nya hanya untuk kepentingan diri-Nya sendiri. Maka mestinya kita menyadari: umat Tuhan atau gereja tidak boleh membanggakan dan membesarkan diri demi ego spiritualitasnya.

Natal patut kita rayakan sebagai wujud dari cinta kasih Allah yang mau mengambil rupa manusia agar manusia mengerti bahasa cinta kasih-Nya. Natal perlu kita rayakan bukan dengan pesta pora di tengah-tengah pergumulan dan penderitaan sesama. Natal bukanlah cara kita melampiaskan ego konsumeritas kita dengan aji mumpung. Ya, mumpung musim diskon akhir tahun. Natal adalah saat komitmen hidup baru itu terus mengalami pembaruan. Natal saat kita sama seperti Allah yang berbelarasa terhadap penderitaan umat manusia. Natal adalah menghadirkan diri dalam keugaharian, peduli dan mau membuka tangan bagi mereka yang tersisihkan.

Selamat merayakan Natal dalam keugaharian....

Jumat, 22 Desember 2017

SUKACITA UNTUK SELURUH BANGSA



"Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia." (Lukas 2:1)

Kalimat pembuka dari kisah kelahiran Yesus menurut Lukas menyiratkan bahwa kelahiran Yesus terjadi dalam sejarah umat manusia, yakni pada masa Agustus menjadi kaisar Romawi (30 SM - 14 M). Zaman ini ditandai dengan "kedamaian", yang dikenal dengan istilah Pax Romana. Sayangnya keadaan damai yang dimaksudkan bukanlah damai yang penuh sukacita. Namun, buah penindasan keras yang dicanangkan oleh penguasa Romawi. Singkat kata, kedamaian itu merupakan pembungkaman dan penindasan atas segala perbedaan pendapat, apalagi perlawanan terhadap penguasa. Karen Amstrong dalam bukunya, Fields of Blood mengungkapkan kekejaman penguasa Romawi itu; setiap bentuk perlawanan apa pun menjadi pembenaran bagi pembantaian habis-habisan. Ketika mereka berhasil merebut sebuah kota, kata sejarawan Yunani Polybus, kebijakan mereka adalah "membunuh semua orang yang mereka temui dan tidak melepaskan siapa pun" - bahkan tidak binatang.

Polybius memahami bahwa tujuan dari kekejaman ini adalah "untuk menciptakan teror" atas warga bangsa taklukan. Biasanya itu berhasil, tetapi orang Romawi perlu waktu hampir dua ratus tahun untuk menjinakkan orang Yahudi Palestina! Sebagai bangsa yang terjajah, Yahudi-Palestina terus-menerus diperas melalui pungutan pajak. Konon pencacahan jiwa yang dilakukan kaisar Agustus salah satunya adalah untuk kepentingan pajak.

Yesus dilahirkan dalam sebuah masyarakat yang sedang trauma dengan kekerasan, intimidasi, penindasan dan penghisapan habis-habisan. Pemberontakan setelah kematian Herodes terjadi pada tahun kelahiran-Nya dan Ia dibesarkan di kampung yang bernama Nazareth. Selama hidup-Nya, Galilea diperintah oleh Herodes Antipas, yang membiayai program pembangunan mahal dengan mengenakan pajak berat kepada warga Galilea. Gagal bayar dihukum dengan perampasan dan penyitaan tanah, dan praktik ini telah menggelembungkan kepemilikan lahan aristokrat Herodian.

Berita sukacita apa yang paling pas buat mereka yang sedang dalam tekanan, penindasan, dan kekerasan yang dilakukan penguasa Romawi ini? Ya, mungkin kita berpikir seperti Yudas Makabeus: lawan dan hancurkan! Penghancuran musuh dengan kekuatan yang lebih besar adalah berita sukacita! Bukankah itu yang menjadi pengharapan bagi setiap bangsa yang sedang tertindas? Cobalah Anda telisik ke dalam hati Anda manakala sedang terluka, disakiti, ditekan, dianiaya dan Anda tidak punya power untuk menghadapinya. Pada situasi kondisi seperti ini apa yang paling Anda dambakan? Hampir semua orang bermimpi akan hadirnya sosok super hero yang akan memusnahkan si penindas itu. Super hero, itulah berita sukacita!

Namun sayangnya, kelahiran Yesus bukan kelahiran "super hero" tipe itu. Benar, dalam pelayanan-Nya kelak Ia akan berhadapan dengan para penguasa Romawi yang berkolaborasi dengan elit Yahudi. Namun, tidak ada bukti Ia mengajak pengikut-Nya untuk memberontak terhadap penguasa Romawi tetap berdiri kokoh. Yang Ia bawa bukanlah pemberontakan a la Yudas Makabeus itu. Sebab, kalau ini yang dilakukan ibarat menghukum si pencuri dengan memotong tangannya, karena menganggap yang berdosa itu adalah tangan. Atau mencukil mata karena melihat yang tidak pantas dilihat. Dalam pandangan Yesus, tangan dan mata bukan yang pertama-tama dan terutama yang bertanggung jawab atas dosa. Tangan dan mata hanya alat, kehendak dan "aktor" utamanya ada jauh tersembunyi, yakni di kedalaman hati manusia!

Demikian juga dengan kekerasan, kekejaman, intimidasi, pemusnahan dan sejenisnya, ini semua bukan aktor utamanya. Sumber segala kelaliman yang sesungguhnya adalah  nafsu yang ada dalam diri manusia! Segala bentuk kejahatan, kekejaman, pembunuhan dan pemusnahan tidak pernah akan benar-benar musnah ketika dilawan dengan kekejaman, pembunuhan dan pemusnahan lagi. Lihatlah, bukankah sejarah membuktikan ini? Bangsa yang tertindas berpotensi menindas ketika punya kesempatan berkuasa. Hitler berusaha menampilkan Jerman sebagai ras paling unggul di dunia. Mereka membantai umat Yahudi, korbannya lebih dari 6 juta orang Yahudi terbunuh. Namun, apa yang terjadi berikutnya dengan bangsa Yahudi sekarang? Dapatkah mereka berbelarasa dengan Palestina? Tidak mudah menjawabnya!

Jadi jelas, super hero bukanlah berita sukacita yang benar-benar dibutuhkan manusia! Jika demikian apa yang ditawarkan dari berita Natal? Sukacita apa? Kelahiran Yesus tidak mengusir bangsa Romawi dari negara itu. Ia menyuarakan Kerajaan Allah telah datang di dalam diri-Nya. Kerajaan yang dibawa-Nya berdasarkan keadilan dan kesetaraan, terbuka buat semua orang - terutama mereka yang disingkirkan oleh penindaasan sesamanya.

Kerajaan Allah yang tampil dalam diri Yesus menantang kekejaman Yudea Romawi dan Galilea Herodian dengan menyajikan kehendak Tuhan lebih dekat, "Di bumi seperti di Sorga." Mereka yang takut berutang harus melepaskan orang lain dari utang; mereka harus mencintai sesamanya seperti diri mereka sendiri bahkan terhadap musuh sekalipun. Para pengikut Yesus harus hidup dengan berbela rasa seperti Yesus sendiri, memberi dengan murah hati kepada semua, dan menahan diri dari penghakiman dan pengutukan! Ini sebenarnya yang dibutuhkan oleh semua orang. Berita sukacita yang bukan semata isapan jempol atau semu. Bayangkan jika hati semua orang dipenuhi dengan kesetaraan, keadilan, kebenaran dan bela rasa, maka sukacita yang sesungguhnya menjadi sebuah keniscayaan.

Apa yang sekarang sedang dihadapi dunia? Tidak jauh berbeda dengan ketika Kaisar Agustus berkuasa. Semangat primordial, keserakahan, penaklukan dan penindasan terus terjadi. Banyak dari kita tergoda untuk mengutuki, memerangi bahkan berandai-andai menjadi seorang atau sebagai bangsa digdaya yang akan menumpas segala bentuk kelalilman itu. Namun, dapatkah keadilan dan kebenaran itu tegak berdiri setelah kita atau kelompok kita berhasil menaklukkan apa yang kita maksud dengan kelalilam itu? Bukankah dalam posisi itu kita sangat berpotensi menjadi monster baru yang menindas orang atau kelompok yang berbeda dari kita?

Natal adalah berita sukacita yang pertama-tama disampaikan Malaikat kepada para gembala di padang. Berita itu sederhana namun menukik tajam ke dalam jantung peradaban manusia. Berita itu sederhana, "Jangan takut!". Tidak ada orang yang terbebas dari rasa takut. Ada banyak alasan untuk kita menjadi takut. Dalam batas-batas tertentu ketakutan itu menolong kita bertindak hati-hati, misalnya: takut sakit, maka kita merawat tubuh dengan baik; takut sengsara, kita akan bekerja dengan sungguh-sungguh. Namun, ketakutan yang dimaksud adalah ketakutan yang begitu rupa menguasai diri sehingga kehidupan kita menjadi pesimis dan merasa terancam. Malaikat itu memberi alasan untuk tidak takut, "sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan di kota Daud."(Lukas 2:10,11). Yesus itulah jawaban dari segala ketakutan dalam arti Ia bukan mengambil alih tanggungjawab manusia, lalu dengan serta merta melenyapkan semua sumber ketakutan manusia. Bukan itu! Ia lahir agar manusia mempunyai kedamaian di hati dan memampukan mereka yang menyambut-Nya dapat melihat bahwa tangan Allah menopang dan memampukan untuk menghadapi segala realita kehidupan ini!

Para gembala itu kembali ke tempat mereka bekerja. Mereka tetap sebagai gembala, menempati strata terendah dalam tatanan sosial masyarakat pada zamannya. Mereka tidak termotivasi memberontak terhadap penguasa yang menindas. Namun, ada sesuatu yang berubah. Mereka kembali dengan bersukacita. Perjumpaan dengan Yesus di malam Natal itu bukan meninabobokan para gembala untuk tetap tertindas dan terus menjadi gembala. Melainkan, meneguhkan mereka bahwa seorang jelata pun dikasihi Tuhan maka selayaknyalah cinta kasih itu ditularkan kepada sesama.

Berita sukacita Natal akan tetap relevan di sepanjang zaman ketika kita menyambutnya dalam hati kita dan mendorong kita untuk melakukan kepedulian terhadap sesama. Mengasihi dengan tulus, berbagi dengan gembira dan menolong tanpa pamrih seperti yang dilakukan Yesus sendiri. Selamat Hari Natal, Selamat Bersukacita!

Jakarta, Natal 2017